Labels

2012@Aruna Sachi Kayana. Powered by Blogger.

Blog Archive

Labels

Thursday, 1 November 2018

Musafir Cinta

1
TEGAL JADIN ….SELAMAT  TINGGAL
Semilir angin sore menjamah  daduan  kering seperti  halnya dia menjamah  wajahku ; meriap-riapkan ujung-ujung rambutku. Detik –detik  ini aku hanya bisa berbicara dalam diam, merangkai kata dalam lisan yang bisu. Kulirik wajah kiai sepuluh yang juga diam dan hanya berjalan mensejajari langkah-langkah kaki ku.Aisah juga diam. Dan Ihsan pun lidahnya kelu.
Tapak kakiku telah mengijak tanah diluar pagar pesantren. Kubalikan badan. Kuberdiri  termanggu. Kuberdiri termangu. Kutatap tulisan yang dulu menyambutku: Tegakan tauhid, timbankan sirik. Kuhela nafas. Kupejamkan mata. Dan kuucapkan selamat tinggal kepada tulisan sacral penyejuk jiwa. Inilah dimana  aku harus segera berpisah.Demikian berat aku meninggalkan pesantren ini. Sungguh kalau boleh berharap, aku tidak ingin meninggalkan pesantren tercinta ini dengan membawa perbedaan dengan membentangkan buhul  pertentangan. Aku ingin pergi seperti orang yang sudah benar-benar lulus dari pesantren dan menyandang gelar santri. Tetapi apa hendak kita , takdirku ternyarta berbuah perbedaan , dan perbedaanku dengan para sahabat dipesantren ini tidak mengijinkanku untuk lebih lama tinggal di sini. Aku pun harus segera pergi .
Anakku  kini saatnya kita harus berpisah, demikian rata-rata yang terlontar dari kiai sepuh terdengar dari telinggaku. Hatiku miris ketika beliau memangilku dengan kata anakku. Beliau menghentikan langkah. Aku pun juga berhenti. Perjumpaan kita Cuma sampai disini. Jangan lupa itu  ! hari ini, tiga tahun lagi, cintamu menungumu disini !
Tak terasa air mataku menetes kembali. Kuraih tanggan kiai sepuh. Kumohon doa restunya. Kumohon beliau mau mendoakan agar allah berkenan menjaga hatiku. Kiai sepuh menepuk –nepuk punggungku .
Lalu setelah itu, kurangkul ikhsan sahabatku. Dia pemuda yang baikh. Semogga allah selalu menunjuk kannya jalan yang lurus. Dia ingin ikut denganku, sedangkan aku tidak tahu akan melangkah ke mana dan dengan tujuan apa. Aku senang dia ingin ikut denganku, tetapi aku tidak bisa mengijinkannya sebab tidak mungkin mengajarkannya dalam langkah-langkahnya yang sulit diraba ke mana hendak ditinjau .
Lalu terhadap aisyah, kuucapkan kata-kataberpisah. Kukatakan kepadanya, jarak bukanlah alasan untuk kita saling melupakan,adikku. Namun akan selalu kujaga hati. Aku mohon, namaku jangan pernah kamu sirnakan dari hatimu, semoga pernikahan kalian nanti mendapatkan berkah dan diberkahi. Karena demikianlah doa yang diajarkan nabi .1 “
Aisyah menangis.
Tiba-tiba dia menyergapku dalam pelukanya. Dia merangkulku erat-erat.
Untuk sesaat jiwaku melayang. Jiwaku melayang bukan karena pelukan itu. Jiwaku melayag karena disini ada ihsan dan, utamanya, ada kiai sepuh. Jiwa – jiwaku tidak bisa menghentikan sergapan kedua tangannya. Aku berdiri diatas kedua kaki yang kaku.
Kiai sepuh diam saja. Ihsan hanya memalingkan muka. Aisyah masih menangis sesengukan. Kupengang kedua pundaknya dan kudarong pelan agar tidak menyakitkan perasaannya. Aduhai, sungguh berat hati  ini menyaksikan tumpahnya air mata; air mata gadis yang memiliki hati permata. Kukatakan, kamu jangan seperti anak kecil. Dia menjawab , biarin aja. Kukatakan lagi, jangan begitu. Dia masih menjawab, biarin aja. Kubilang, tidak enak dengan kiai sepuh, dan nanti menimbulkan fitnah. Dan dia mengerti. Dan dia menyeka air matanya.
Kang, jangan lupa kabari aku,’’ pinta ihsan.
Insyaallah,’’jawabku.’’assalamu’alaikum…’’
‘’wa’alaikum salam…’’jawab kiai sepuh, aisyah, dan ihsan.’’allah ma’ak,’’imbuh kiai sepuh.
***
Tegal jadin, selamat tinggal….
Selamat tinggal jeringen-jeringenku. Kalian telah menjadi bagian dari masa laluku, masa dimana aku selama lebih  dari dua bulan selalu memikul dirimu dari telaga ke pesantrenan dan dari pesantren ke telaga. Selamat tinggal telagaku. Engkau juga telah menjadi bagian dari masa laluku. Airmu yang jernih telah menjadi jernihkan hatiku. Lempengan batu yang ada di dekatmu juga menjadi saksi akan mulai bersemiya cintaku kepada Rabbmu, Rabb kita. Kalian sama-sama makhluk Allah, seperti halnya diriku. Islammu2yang telah mengajariku makna kepasrahan total kepada kehendak Allah SWT , Tuhanku dan Tuhanmu. Dan kehendak allah lah yang aku sakaikan hari ini, aku alami hari ini. Aku langkahkan kedua kaki dari  pesantren ini. Selamat tinggal daun perduku. Masih terbayang putaran dan pilinmu diterpa angin dan menyentuh ujung kaki kananku. Disaat itu , aku terlempar dalam keluh kesah. Engkau juga telah menjadi bagian dari masa laluku.
Selamat tinggal pesantrenku .
Dan … selamat tinggal cintaku.
Cintaku yang masih menggantung di antara langit hati zaenab,priscillia,dan khaura. Cintaku yang belum aku tahu akan berlabuh di hati yang mana dari ketiga gadis yang diberikan itu. Cintaku yang harus berjuang melawan waktu, selama tiga tahun mendatang, hingga dating takdir apakah Allah SWT akan mengijinkan aku untuk menjemput cintaku atau tidakl.
Ketika aku disergap gelisah apakah nilai cintaku tidak berat sebelah,sungguh , kata-kata kiai sepuh tasi demikian menenangkanku. Beliau mengatakan bahwa zaenab dan pricillia akan menerima cintaku. Tetapi apakah cintaku nanti akan terbelah ? bagaimana dengan khaura? Oh, gadis itu, apa kabar dia? Dia tentu tidak tahu tentang semua yang telah terjadi padaku. Dia ingin dating ke pesantren Tegal Jadin , dan itu bisa berarti karena aku atau karena ingin lari dari paksaan orang tuanya. Jika nanti, sepeningalku, dia memang benar- benar dating ke pesantren, dan cintaku tidak menyapanya, maka telah zalimkah aku kepadanya?
Duh, gusti…
Zalimkah aku sebab terus memikirkan tentang cintaku kepada wanita? Benarkah yang disebut penggoda itu berarti jahat dengan sendirinya? Aduhai , tidak mungkin. Wanita dilahirkan untuk pria dan pria ada untuk wanita. Cinta pastilah mengikatkan hati wanita dan pria.
Kujejakan langkah kembali , menyusuri jalan berbatu ini. Oh, tegal jadin, kini aku pergi meninggalkanmu. Aku pergi menjauhimu. Harapanku hanya satu; hari ini ,tiga tahun yang akan datang , aku akan menapaki jalan ini kembali, menujumu, duhai Tegal Jadinku. Aku akan menjemput cintaku. Aku akan melihat lagi gadis berkerudung biru itu. Mungkin puluhan syair akan kudendangkan untuknya. Dan aku akan sampai kepada wakah pricillia penjelma syahadat cintaku, dan mungkin simfoni jiwaku bisa menghibur kepedihannya(laa hawla wa laa quwwata illa billah, aku pergi tanpa bisa berpamitan dengan lia,tanpa bisa menghibur kehancuran hatinya. Ya, allah , aku titip lia kepada kedua tangan-mu!). dan akan kuserakan kepada allah nasib cinta khaura, apakah dia akan mencintaiku atau tidak. Kalai toh allah menghendaki, kusapa pula dirinya dengan cintaku..
Dan jalan berbatu ini..
Telah tiga kali aku menapakinya. Di kali pertma, kutapaki jalan berbatu-berdebu ini ketika aku mau nyantri di pesantren tegal jading. Kala itu aku datang dalam dergapan kekhawatiran, kecemadam, dan  ketakutan, sebab aku belum pernah pergi  ke pesantren  dan kali pertama pergi aku hanya membawa kebutaan diri terhadap agama yang telah aku  peluk sejak kecil ini. Di kali kedua, kutapaki jalan berbatu –berdebu ini ketika aku melarikan diri dari pesantren  layaknya pengkhianat- pengecut yang lari meninggalkan medan laga. Dan kali ini adalah kali ketiga  di mana aku harus pergi intuk waktu yang lama. Aku pergi hanya untuk berharap akan bisa kembali menjemput cintaku yang tertinggal di pesantren ini.
Aku terus melangkah. Menyusuri jalan setapak menuju sungai.
Tak berapa lama kemudian , gemericik air sungai terdengar. Aku segera mempercepat langkah. Aku berlomba dengan waktu. Aku tidak mau ditelan senja di tengajh perjalanan yang masih jauh dari jalan raya.
Kuseberagi sungai dengan pikiran yang melayang-layang. Sepi mencekam. Langit sore mulai membentang. Seekor wallet melintas di atas punggung sungai, berputar0-putar, dan melayang pada sebuah titik di ujung sana. Pikiranku semakin melayang-layang. Sebuah pertanyaan yang sejak tadi  menggelisahkanku kembali menyerang; Hendak ke manakah aku sekarang?
***
Pukul  16;20 WIB.
Aku tiba di jalan desa Bandung. Tetapi sejauh ini, aku juga belum berhasil menemukan jawaban dari pertanyaan yang memang harus bisa aku jawab sendiri itu. Dalam keadaan normal , dan andaikan saja aku berada di wilayah Jakarta sebelah mana saja, tentu akan medah bagiku untuk  menjawab pertanyaan itu. Jika aku bingung hendak kemana , aku bisa pulang saat itu juga.
Tetapi, akankah sekarang ini aku kembali saja? Akankah aku pulang ke Jakarta? Siapakah aku ini, pabila pergi meninggalkan rumah untuk belajar agama di pesantren , tetapi belum genap setahun telah kembali kerumah lagi? Bagai mana aku bisa dibandigkan dengan ihsan, kang rusli , Amin , atau bahkan kang Rahmat?Lima tahun , tujuh tahun, sepuluh tahun , bahkan lima belas tahun adalah waktu rata-rata yang dimiliki para sahabat untuk nyantri. Sedangkan aku ? siapakah aku? Pantaskah aku disebut sebagai hamba –Mu, ya Allah ? bagai mana aku bisa mendapat predikat ‘santri’ pabila hanya seumur jagung tinggal di pesantren?
Tetapi pabila aku tidak pulang , aku hendak kemana?
Akankah aku pergi lagi ke rumah Bu Jamilah dan kembali tinggal disana?tetapi apakah hal itu mungkin?mungkinkah aku tinggal terus menerus di rumah orang yang nyata nyata bukan muhrimku?  Lalu, pabila aku kembali kesana, bukankah itu berarti aku ingin mengulang cerita hidup yang sama? Dan jika demikian , lalu di mana perubahanku?!
Atau ,ke solo-kah ? bagaimana nanti kalau kakek ku bertanya – Tanya dan tak satu pun aku mampu menjawab pertanyaanya? Bagaimana jika kakekku menguji pengetahuanku tentang agama yang aku dapat di Tegal Jadin ? dan bagaimana sendainya kakekku tidak bisa memahami perbedaanku?
Ya,Allah …..
Kenapa?
Kenapa aku selaliu disergap gelisah seperti  ini?
Inikah wujud hukuman –Mu kepada seorng anak manusia yang berani berbeda? Ya,Allah , bagaimana aku harus menentukan langkah ? kemana aku hendak mengadu?
Kepada-Mu?!
Kepada-Mu?!!
Masyaallah…
Bukankah aku belum mengerjakan sholat ashar?
Bukankah menghadap  Allah adalah saat yang tepat untuk kulakukan dalam situasi seperti  sekarang ?
Dari arah kanan, seorang gadis kecil melintas di depanku. Kepadanya aku bertanya , “dik , masjid di mana?”
‘’ masjid?”
“ho-oh.”
“o, di sana  kak…..” gadis kecil itu menunjuk suatu arah. Kuikuti telujuknya. Dan benar , kubah masjid terlihat disana.
“terimakasih ya.”
“memang untuk apa nanya masjid,kak?”
Aku , tersenyum. Aku pikir, bagaimana bisa gadis kecil ini bertanya begitu. Umurnya saja kira-kira 6-7 tahun, kok masih bertanya seperti itu. Apa orang tuanya tidak mengajari sholat? Tetapi aku tetap menjawabnya,” kakak mau sholat ashar.”
“emang jam berapa sekarang?”
“jam 16;30.’
“jam 16;30 kok baru sholat ashar?”
Dug!!!!
Gadis itu berlalu begitu saja. Jadi itu maksudnya? Masyaallah, begitu terlambatkah aku untuk sholat asar di waktu sekaranhg untuk ukuran gadis kecil di sini? Tetapi sungguh , aku senag mendengar perkataany. Aku senanhg. Dan  aku sangat senang. Inilah mungkin hakikat agama di desa bandung ini, atau di desa-desa manapun juga. Sebuah hakikat yang ditampakkan oleh seorang anak semacanm dia.
Hatiku menjadi agak tenang. Kata-kata gadis  itu sedikit bayak mampu memecah kebingumganku. Benar, tiada tempat sebaik-baiknya mengadu , kecuali masjid. Dan tiada sebaik-baiknya tujuan mengadu , kecuali mengadu kepada allah swt.
Aku melangkah kemasjid itu. Satu dua orang penduduk berpapasabn denganku. Kuanggukkamn kepala. Kutebarkan senyum. Kusapa dengan baik-baiknya.
Seampainya dimasjid , aku duduk sebentar. Kuturunkan tas punggungku. Kutaruh disebelah kananku. Lalu kulepas sepatuku. Segera setelah itu, aku mengambil air wudhu.
***
Inilah aku yang telah mendirikan sembahyang asar. Inilah aku, ya rabb, yang tengah mengadu kembali kepadamu. Tidak banyak doa berbahasa arab yang aku hafal. Tetapi apa arti bahasa bagimu ? engkau adalah dzat yang maha berfirman. Berfirman itu sendiri adalah dirimu, sebab dzatmu adalah sifatmu itu sendiri. Aku inget, melalui lidah suci nabimu engkau telah berfirman melalui bahasa. Maka lidahku yang hanya bisa berbahasa Indonesia ini saja yang mewakili pengaduanku kepadamu
Berilah petunjuk kepadakku , aku harus kemana, duh ilahi? Kan kuukir waktuku dengan apa?
Aku bersujud.
Tiba-tiba, aku teringat sebuah buku yang telah aku baca, tentang bagai mana memohon petunjuk kepada allah melalui jalan istikharah. Aku lupa ulama yang menulis buku itu, tetapi aku masih ingat cara-cara berisstikharah dengan ayat- ayat al-qur’an. Adakah mushaf al-qur’an di masjid ini?
Kuberdiri. Kutoleh kekanan dan kekiri.
Di pojok kiri serambi, kutemukan mushaf-mushaf al-qur’an. Ku berjalan kesana. Kuambil salah satu musaf yang ada disitu. Dan aku pun bingung.
Aku bingung sebab aku tidak bisa memahami arti ayat al-qur’an yang nanti menjadi hasil istikharahku. Aku bisa membaca ayat itu, tetepi aku tidak tahu arti nya, dan itu berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Kuraih musaf lagi. Kubalik-balikkan tumpukan mushaf itu. Dan alhamdulilah , aku menemukan al-qur’an dan terjemahannya keluaran departemen agama.
Ku berjalan ke tempat sujudku kembali.
Lalu aku duduk. Dengan mengucap basmallah dan shalawat kepada nabi yang ummi sebanyak tiga kali, kubuka al-qur’an yang ada di tangganku ini. Telunjuk ku bergerak ke halaman sekian baris sekian. Di situ aku menemukan  ayat al quran yang menfirmankan…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Ayat itu mengisahkan tentang perkataan Musa as kepada muridnya. Aku tidak akan berhenti (berjalan)…’ darahku berdesir. Kata-kata Musa ini berpengaruh kuat dalam jiwa. Aku tidak akan berhenti berjalan. Apakah ini jawaban Allah kepadaku? Apakah aku harus terus berjalan melakahkan kaki?
Aku menelan ludah. Aku belum yakin dengan hasil istikharahku ini. Alangkah baijknya pabila aku mengulangi lagi. Dengan mengucap basmalah dan shalawat kepada nabi yang ada yang ummi sebanyak tiga kali, kubuka al-quran yang ada di tangganku lagi. Telunjuku bergerak ke halaman sekian baris. Disitu aku menujukan ayat al-qurabn yang memfirmankan;,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Dan kuulangi lagi. Kutemukan ayat al-quran yang memfirmankan;,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Demi allah, aku yakin sekarang. Aku benar-benar yakin. Inilah jawaban allah kepadaku. Dengan kitab nya aku beristikharah dan dengan ayatnya aku memperoleh keputusan bahwa aku harus terus berjalan. Berjalan memtafsirkan diri dan semesta ciptaannya. Ini berarti aku tidak boleh memilih untuk pulang ke ibundaku. Juga aku berarti tidak boleh pergi ke wajah kakekku, atau pergi ke rumah bu jamilah. Aku harus berjalan. Berjalan seperti air tenag. Berjalan mengikuti tanda-tanda allah di atas bumi nya. Aku harus menjadi seorang musafir. Seorang musafir yang merindukan dua cinta; cinta tuhannya dan cinta kekasih hatinya. Kurang dari satu tahun, takdirku menghendakiku bercengkerama dengan pesantren dan para sahabat disana, dan barang kali kurang lebih selama tiga tahun nanti pesantren sejatiku bukanlah sebuah pondok lainya tegal jadin, memba’ul ‘ ulum, gontor, dan lain sebagainya. Bisa jadi takdir menghendaki bahwa pesantren sejatiku adalah pesantren jalanan.
Dan aku siap, ya, allah. Aku siap mengencap takdirmu ini, jika ini adalah sebaik-baik takdir yang berlaku atas diriku. Aku siap menjadi seorang musafir. Aku siap untuk semakin berusaha mendekatimu. Aku siap menjadi seorang musafir cinta.
Aku berdiri. Berjalan. Memakai sepatu. Menangkat tas. Bismillah. Melangkah pergi.
2
Sepenggal cerita cinta dalam bus antar kota
Ketika aku sampai disruwen tadi, putaran waktu telah menunjuk angka setengah tujuh. Langit malam telah terbang. Hawa dingin mulai menyerang . kuseberangi jalan dan kuberdiri  menunggu bus yang lewat. Apa hendak kukata, belasan bus telah hilir mudik didepanku, dan belasan kali pula aku masih tetap menunggu.
Menunggu siapakah aku ini? Menungguh apakah ? tanda-tanda allah manakah yang harus aku ikuti  ini?
 Sebuah bus melaju pelan dari arah solo, dari arah kananku. Mungkin ini,pikirku, bus yang harus aku tumpangi. Ya, mungkin disemaranglah aku akan mendapatkan tanda-tanda ilahi!
Aku segera menyetop bus itu. Kulambai-lambaikan tangan kananku. Masih sepuluh meter di sebelah kananku. Kulambaikan lagi. Bus semakin mendekat.  Tidak ada tanda-tanda berhenti. Aku bertanya? Kemana sopir bus itu?! Aku jengkel, kulambaikan kedua tangaku seperti seorang pramuka melambaikan bendera sandi. Dan bus itu ternyata tidak mau berhentu. Ia melintas pelan bagaikan ular yang tak peduli. Aku mangsanya, tetepi ular itu mencuek.
“sialan ….!
‘sialan’kataku?
Bukankah kata ‘sialan’ adalah umpatan? Astaghfirullah. Kenapa aku harus mengumpat seperti ini? Baru saja meninggalkan pesantren, kenapa lidahku sudah mengumpat seperti ini?kenapa, iqbal?kenapa??! dimana kelembutan hatimu, bal ?dimana kau buang hatimu? Layaknya kamu mengumpat bus yang tidak berhenti sebab lambaian tanganmu? Layakkah kamu mengata-ngatai dengan kalimat ‘kemana mata sopir itu’, bal? bagaimana kamu akan mampu membaca ayat-ayat illahi jika lidahmu busuk dan pikiranmu buruk seperti ini, bal?
Jawab, iqbal!!!!!
Jawab!
Jangan diam saja. Jangan pura-pura memejamkan mata. Jangan mendesah. Munafik kamu! Kamu tidak pantas menyandang gelar santri kiai subadar. Kamu tidak pantas mendapatkan doa dari kiai abdulah sidiq. Kamu tidak ada bedanya dengan berdebah tengik yang hanya bisa mengumpat-umpat.
Kamu…..
 Kamu bedebah , bal!
Oke, oke. Aku salah, jawab hatiku. Aku menyesal. Tidak sepantasnya seorang iqbal yang seorang muslim seperti itu. Aku salah. Aku menyesal. Aku tidak akan mengulangi lagi. Aku janji. Langit malam menjadi saksi . gemerlap bintang pun menjadi saksi. Aku tidak akan mengulanginya lagi.
Tetapi aku hendak kemana? Bukankah aku tidak bisa terus menerus disini, di pinggir jalan ini? Jika perjalanaku hanya berhenti disini, lalu apa yang bisa aku lakukan dengan hanya duduk dan berdiri di pinggir jalan seperti ini, di antara bus-bus yang hilir mudik jurusan solo-semarang ini?
Aku beringsut mundur. Kuhempaskan pantatku di emperan took  yang sudah tutup. Ketika kutoleh arah sebelah kiri, dari jauh aku melihat bus besar datang –bus dari semarang. Ahaaa…! Ini mungkin yang harus aku lakukan.
 Aku berdiri. Aku berlari. Aku menyeberangi jalan. Tepat di seberang jalan, aku terlambat melambaikan tangan. Bus melaju sangat kencang. Nafsu membisikiku agar aku mengumpat lagi, tetapi hatiku meminta mulut ini untuk tersenyum saja. Nafsuku kalah. Aku pun tersenyum. Allah tidak mentakdirkanku menaiki bus jurusan solo itu. Selamat jalan, bus! Maaf nafsu, aku tidak sudi melayanimu!
Aku kembali menyebrang. Kembali menghempaskan pantat di tempat semula. Kuselonjorkan kedua kakiku. Lalu kutekuk kedua lututku. Kuletakan tas disamping kiriku. Semenit telah berlalu. Dan menit pun terus berlalu. Dan lima belas menit telah berlalu.
 Dan aku mulai ragu untuk kemudian mulai membuat kesimpulan; mungkin titik berhentiku  ada di sini. Di tempat ini. Di pertigaan ini. Di sruweng ini. Aku mulai menyimpulkan, barng kali disinilah – diantara kota salatiga, boyolali, dan tegal jadin – aku harus tinggal dan manafakkuri hidupku.
 Maka., ketika sebuah bus jurusan semarang melintas kembali, aku tidak bergerak untuk melambaikan tangan menghentikanya. Aku biarkan saja dia berjalan, berjalan pelan, menuju semarang. Biarkan saja. Mungkin inilah pilihan terbaikku.
Beberapa saat setelah bus semarang itu melintas, ku lihat lagi meluncur dari arah solo. Semakin mendekat di pertigaan ini, bus itu semakin pelan jalannya. Dan tepat ketika bus itu ada didepan mataku, bus itu berhenti. Seorang penumpang turun. Seorang ibu berbaju kebaya berwarna biru. Biru lagi, biru lagi, setiap warna biru melintas dibenakku, zaenab seakan melintas didepan wajahku. Zaenab lagi, zaenab lagi! Aku tersenyum sendiri.
“Purwokerto…..purwokerto…..”teriak kondektur. Teriakan itu ditujukan kepadaku.
Entah mengapa, aku teriak dengan teriakan itu. Segera aku menyambar tasku. Bismillah ar-rahman ar-rahim. Aku menaiki bus jurusan solo-purwokerto itu.
Tidak kubayangkan sebelumya bahwa bus ini sesak dengan penumpang. Mumgkin karena mala m ini malam sabtu sehingga banyank orang mudik ke rumahnya masing-masing. Aku kesulitan untuk menyibak para penumpang. Semua kursi sudah diduduki. Orang-orang bergelayutan dalam kantuk yang sudah menyerang mata. Bau keringat berpadu dengan hawa panas dan bersatu menusuk hidungku. Inilah kali pertama aku naik bus antar kota(dan non ac lagi!) dalam cendawan hawa yang memusingkan kepala.
Kepalakku mulai pening, berputar-putar, berpusing-pusing. Aku benar-benar tidak tahan dengan bau keringat para penumpang yang menyesakiku ini. Bau keringat yang paling menyengat datang dari depanku, dari seorang laki-laki separuh baya memakai kaos warna merah(untung dia tidak memakai warna biru!) keringatnya meleleh membasahi punggungnya. Sesaat aku ingat bagaimana dulu di Jakarta, aku terjatuh tersungkur karena mabuk vodka atau marijuana. Sekarang ini, aku benar-benar bisa mabuk karena ”vodka-marijuna” keringat bapak itu!
Perutku mual. Aku ingin muntah. Keringat dingin membasahi tengkukku. Kuraba tengkuku, dan rasanya dingin sekali. Jika aku masih berada di tengah- tengah sini, sebentar lagi bisa muntah aku ini. Maka, dengan sekuat tenaga, aku menerobos disela-sela penumpang , mencari tempat  berdiri yang dekat dengan jendela. Ya,  hanya jendela itu yang mungkin bisa menghentikan kepusingan kepalaku.
Dengan susah payah, aku berhasil mencapai tempat di dekat jendela, disebelah kanan. Kepada seorang pemuda yang duduk di kursi dekat jendela, aku memohon, “bang maaf, bisakah jendela itu dibuka sedikit? Maaf bang, panas nich.”
Dia bersedia membukakan jendela.
 Kurasakan angin masuk dari luar bus. Angin dingin. Angin segar. Angin itu membelai wajahku, melewati daun telingaku. Pelan-pelan, rasa pusingku mulai hilang. Mual-mual di perutku pun mulai hilang. Alhamdulillah.
“mas,tolong dong tutup jendelanya!”
Seorang ibu berteriak dari belakangku. Dia meminta pemuda yang tadi membukakan jendela untukku, menutup jendela lagi. Sungguh, keinginannya itu berarti membuat kepalaku pening kembali. Dan aku tidak ingin kepalaku penig kembali. Aku pun tidak ingin muntah-muntah disini.
Kutoleh ibu itu.
Tetapi,setelah kutoleh dia,aku tertegun. Seorang bayi dipangkuanya menkerut kedinginan. Oleh ibu itu, yang barang kali dia adalah ibu bayi itu, sang bayi diselimuti oleh kain selendang, kain selendang yang sudah basah. Keringatlah yang pasti membasahi kain itu.
Sang bayi mulai menagis. Si ibu itu berteriak sekali lagi, meminta tolong agar jendela itu ditutup kembali.
 Dan aku mulai menyadari bahwa angin dingin yang segar yang menerpa wajahku dari luar jendela bus teryata membuat sang bayi itu kedinginan. Kupinta pemuda tadi untuk menutup jendelanya.
 Tetapi bayi itu kadung menagis. Tangisan kedinginan. Barang kali juga kegerahan. Barangkali entah.mungkin dia merasa sesak juga.
Sang ibu mulai tidak sabar. Mulai mengerutu. Cup..cup..cup, jangan menagis katanya. Tetapi bayi itu masih menagis. Cup..cup..cup,katanya lagi. Tetapi tangisan bayi itu malah kian menjadi-jadi. Ibu itu mulai berteriak kasar. Wajahnya berpeluh-peluh. Hawa dalam bus dapat membuat siapa saja meluapkan amarah. Dan ibu itu marah kepada bayinya. Semakin keras bayi itu menangis, semakin marah si ibu tadi.
Ketatap wajah ibu itu dalam-dalam. Kulihat pancaran wajahnya yang menujukkan rasa takut luar biasa. Demi allah, dia takut bukan kepada siapa-siapa, dia takut kepad ibunya sendiri.
Dan ibu itu mulai geram, dan aku mulai khawatir. Tidak sepantasnya seorang ibu mulai geram dan marah kepada anaknya sendiri, apalagi anaknya itu masih bayi. Tetapi apa yang mesti kuperbuat? Haruskah aku mengingatkan ibu itu supaya tidak marah-marah dan geram seperti itu? Tetapi , apa hakku? Bukankah aku laki-laki dan bukan seorang perasa seperti ini? Apakah aku punya hak untuk mengigatkanyaa?
ingin kukatakan kepada si ibu tadi bahwa bayi akan itu takut kepadanya. Bagaimana mungkin seorang bayi akan berhenti menangis pabila dia merasa takut? ya allah, bagaimana ini? Tolonglah bayi itu, duh illhi. Tolonglah. Aku tidak tahan melihat wajah ketakutannya. Aku tidak sanggup mendengar jerit tangisannya. Duh, allah-ku, bisikan kesabaran pada si ibu itu. Hasratkan cinta dan kasih saying dalam dadadnya. Lambungkan jiwanya dengan kelembutan murni seorang ibu kepada balitanya. Bukan teriakan, amarah, dan rasa geram yang bisa menghentikan tangisan bayi itu, tetapi belaian lembut  telapak tangan seorang ibu yang dibutuhkan oleh bayi itu. Aduhai, seandainya aku adalah ibunya, kubelai wajahnyaa dengan kedua tanganku. Kutimang-timang dia diatas dadaku. Ku peluk dan kucium dia dengan berjuta cinta. Dan kutenagkan dia dari keadaan yang menyesakkan ini. Telah kubaca al-qur’ an memfirmankan;………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
“Bu, coba deh , selimutnya dilepas,” kata seorang penumpang disebelahnya.” Dia tadi kedinginan. Mungkin  sekarang kepanasan.
Sambil masih mengerutu, si ibu itu menuruti saran penumpang disebelahnya. Dan benar saja, sang bayi berhenti menangis. Tangan mungilnya meraih-raih dada ibunya. Aku ingin menangis melihat pemandangan itu. Tetapi aku bersyukur kepadamu, ya allah, sebab engkau telah membisikan kata-kata ajaib pada penumpang disebelah ibu tadi.
@@@
Bus terus melaju.kota salatiga telah terelewati. Kota yang penuh kenangan itu telah jauh di belakang sana. Kini, aku tidak tahu bus ini sampai dikota apa. Kedua  mataku tidak bisa menembus gulita malam. Tidak bisa kubaca tulisan apa pun yang ada di pinggir-pinggir jalan. Aku hanya mampu melihat kegelapan.
 Dan bus ini masih penuh dengan penumpang. Memang, tidak sepenuh hati sih, tetapi aku sendiri masih belum bisa duduk dan hanya tegak berdiri. Kulihat jam yang melingkar dilengan tanggan kananku. Jarum menunjuk angka setengah Sembilan. Masyaallah, aku belum sembahyang!  Aku mendirikan shalat magrib, apalagi shalat isya. Bagaimana ini, ya allah ? bolehkah aku shalat dengan hanya berdiri di antara para penumpang seperti in? tetapi  aku belum mempunyai wudhu, ya allah?
Kenapa ketika tadi aku disruweng tidak mencari air untuk wudhu dulu? Kenapa? Kenapa aku tidak shalat tadi sebelum naik bus ini? Kenapa? Bagaimana ini, ya allah?
Bus berhenti.
 Bus menurunkan penumpang. Kulihat ada beberapa orang yang turun. Sesak menghilang. Sekarang, hanya beberapa orang saja yang masih berdiri. Beberapa orang itu termasuk aku didalamya. Kersi masih penuh. ‘ sejak kenaikan hingga keturunan, akankah aku tidak memperoleh kedudukan?’ aku tersenyum sendiri ketika pikiranku bertanya begitu. Aku ingat kata-kata canda itu dari seorang kawan di Jakarta. Kalimat itu adalah kalimat canda, sebab dia salah bila dibaca dari bibir logika bahasa Indonesia. ‘sejak kenaikan hingga keturunan,  akankah aku tidak memperoleh kedudukan?’
Bus berjalan kemali.
Ketika melewati jalanan yang terang dengan cahaya lampu, aku berhasil membaca sebuah tulisan dari sebuah papan diseberang jalan. Kabupaten temanggung. Yah, pastilah bus ini sampai di kabupaten temanggung.
Dan benar.
Beberapa saat kemudian, bus melewati tugu perbatasan kota temanggung. Saat itu, seorang penumpang yang duduk dibarisan kursi sebelah kanan berdiri. Dia tampaknya siap-siap untuk turun. Aduh, ingin aku merangsek mendekati jok yang tadi didudukinya, tetapi aku terhalang oleh pemuda yang sedari tadi berada didepanku. Dia tampaknya juga tahu bahwa penumpang itu akan segera turun. Karena itu, dia membentangkan kedua tangganya, menghalang-halangiku untuk maju. Aku tidak ingin maju, sebab aku tahu dia sudah berdiri lama. Ketika aku naik tadi di sruweng, dia sudah berdiri ditempatnya. Dia lebih berhak untuk dudukdijok yang telah ditinggalkan penumpang itu daripada aku.
Seorang pemuda, dengan tas punggung seperti tasku. Tingginya kurang lebih satu senti lebih tinggi dari tinggiku. Rambutnya ikal dan agak panjang. Tampaknya pemuda itu memiliki selera dalam  penampilan. Dan ketika udara berhembus  dari depan melewati pemuda itu, tercium dihidungku bau parfum khas seorang anak muda. Dan aku kenal jenis parfum itu. Aku kenal, itu parfum tergolong berkelas.  Ketika penumpang tadi sudah benar-benar berdiri dan mulai berjalan ke arah pintu, dengan serta merta pemuda itu langsung menduduki bangku. Aku yakin, rasanya pasti sangat lega. Rasanya sangat lega sebab pantat bisa didudukkan.
Kugeser badanku. Kusandarkan bagian punggungku pada pinggang jok yang tadi digunakan oleh pemuda itu. Kondektur melintas didepanku.memegang gumpalan uang di tanggan kanannya, dan segulung tiket di tangan kirinya.
“sudah bayar ongkos?” Tanya kepadaku.
“belum,” jawabku.
“mau turun mana?”
Aduuh.
Aku mulai sadar bahwa aku sedang naik bus dan pasti akan ditanya begitu. Aku ini hendak turun di man?
“mas…kok malah ngelamun? Mau turun mana?”
“aduh, di mana ya?”
“ lohh … mas ini mau ke mana?”
“memang bus ini mau ke mana?”
“lohh…mas ini gila apa?”
“aduh, jangan bilang begitu, bang. Saya benar-benar tidah tahu hendak turun di mana. Saya juga tidak tahu mau ke mana. Saya hanya mau naik bus ini saja.”
“gila, ente benar-benar gila.”
“Sudah, sudah. Malah gila beneran nanti saya, bang. Gini saja. Bus ini berhenti di mana? Maksud saya, tujuan terakhirnya mana?”
“Oh, iya. Saya ke Purwokerto saja. Berapa?”
“Naik dari mana?”
“Sruweng.”
“25.000.”
Kuambil dompetku. Kuberi dia uang lima puluh ribu.
“Jika aku mau, mas, udah kutipu kamu itu!”
“Alhamdililah, bang, abang tidak menipuku.”
“Nih kembalinya.”
“Trims, bang.’
Dia segera melintas, kembali meminta ongkos pada penumpang yang lain di belakagku.
Aku menghembuskan nafas. Kedua mataku tertuju kembali pada pemuda yang mendapatkan ‘tempat  kedudukan’ tadi.
Dan kini aku tahu. Yah , aku tahu. Aku benar-benar tahu. Pemuda itu sekarang duduk disamping gadis cantik berjilbab putih. Sesaat kuperhatikan wajahnya. Wajah itu mengigatkanku pada Khaura!
Aduh, Khaura…………
Kenapa gadis itu mengigatkanku pada dirinya? Sungguh, Allah itu Maha Indah. Kenindahannya di tampakkan pada wajah berjilbab putih itu. Dilihat dari gerak-gerak, dia kemungkinan besar seorang mahasiswi. Wajah yang masih padat itu pastilah khas wajah mahasiswi tingkat satu.
Dan aduhai betapa beruntungnya pemuda yang duduk di sebelahnya itu. Kini aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Wajahnya mengigatkanku pada wajah Brad Pitt, suami Angelina  Jolie itu. Oh, aku bisa menebak sekarang; duduk di  samping bidadari adalah harapan semua orang!
“Turun di mana?”
Aku dengar pemuda itu bertanya kepada sang gadis berjilbab  putih.
“Di Purwokerto. Mas sendiri?” binar-binar mata gadis itu menunjukan bahwa dia senang ditanya. Bagaimana tidak senang pabila yang bertanya bak malaikat seperti itu?
“Aku mau ke Purbalingga. Kulilah? Kerja?
“Kuliah.”
“Kuliah di mana?”
“Di UMS.”
“Fakultas?”
“Psikologi.”
“Wah, keren dong!”
Gadis itu tersenyum. “Mas sendiri?”
“aku di UNS. Fakultas Hukum semester akhir.”
“Wah, keren juga dong!”
Dan beruntung aku tidak duduk disebelah gadis itu!!
Aku bukan  anak kuliah. Aku pun bukan seorng karyawan. Andai saja kursi  yang diduduki pemuda itu adalah aku, entah apa jadinya jika pembicaraan berkisar  tentang kuliah dan fakultas seperti yang kudengar ini.       
“ Boleh  kenalan  nggak ?” Tanya pemuda itu. Dia mengulurkan tanganya.
Sang gadis tersenyum. Aduhai, senyuman itu mengigatkan  aku pada senyuman  Zaenab! Gadis itu memberikan senyuman kepada pemuda itu. Dia menyambut uluran tangannya.”aku Ida, Mustamiroh. Mas sendiri?”
“Yoga, yoga Alfiano. Ngomong-ngomon, sering pulang malam begini?”
“Ah, nggak juga. Kebetulan tadi ada tugas kampus yang harus kuselesaikan. Jadi yaaah…telat pulang deh…”
“Barapa bulan sekali pulang sich?”
“Nggak tentu sih. Kadang sebulan, kadang dua bulan. Pernah juga sebulan dua kali.”
“Ngomong-ngomong, ehm….em,apa ya….?”
Mulai dech! Teriaku dalam hati. Mulai deh dia akan berkata seperti umumnya perkataan laki-laki. Aku tahu apa yang akan dikatakannya itu. Ya, aku tahu, sebab aku laki-laki!
“Apa …..?” Tanya gadis yang mengaku bernama Ida itu.
“Ah, nggak..”
“Loh…apaan sih?”
Mulai deh si gadis itu penasaran. Reaksi yang khas dari seorang perempuan yang mulai tertarik berbicang dengan seorang laki-laki.
“Nggak….”
“Apa?”
Astagfirullah, pemandangan apa yang mulai kusaksikan ini? Ketika gadis itu berkata ‘apa’, kulihat tinju kanannya mulai berani memukul pinggang pemuda yang mengaku bernama Yoga tadi. Si Yoga mengaduh pura-pura. Pura-pura kesaktian dia, pada hal, aku yakin, batinnya berteriak, “ teruskan….teruskan….!”
Aduhai, malam……
Malam di dalam bus antar kota. Yang hanya diterangi nyala lampu redup memikat jiwa. Dua insan tengah meniti jalan memintal benang-benang asmara. Si perempuan bernama Ida, dan si laki-laki bernama Yoga.
“Boleh nanya nggak?”
Kudengar Yoga kembali bertanya.
“Iya, nanya apa?”
“Ehm, sudah…..sudah punya pacar belum?”
“Apaaahh………….?”
“Iya, pacar. Laki-laki yang menyapa hatimu dan kamu menyambut sapaannya?”
“Emang kenapa?”
“Emang nggak boleh bertanya?”
“Yaaa, boleh sih.”
“Yaaa, jawab dong!”
“kamu sendiri?”
“Belum………..”
“Ah, gombal. Laki-laki sering begitu!”
“Bisa berkata begitu berarti udah pengalamankan?”
“Pengalaman apa?”
“Apa lagi kalau bukan cinta.”
“Emang cinta itu apa sih?”
“Pengin tau cinta?”
“He-eh.”
“Sini, tanganmu……..”
Tak bisa dibiarkan! Pekik hatiku. Dasar laki-laki bangsat keparat. Dengan seenak sendiri dia meraih tangan kiri gadis berjilbab itu. Astagfirullah, dengan mudahnya pula gadis itu menyerahkan tangannya. Menyerahkan tangannya untuk diremas-remas kedua tangan laki-laki ini.
Oh, dunia, dunia. Dunia apa yang sedang aku saksikan ini? Inilah dunia cinta? Jika cinta telah menyapa, akankah bus umum dianggap milik berdua?!
“Iihh…jangan begitu ah,” lirih gadis itu berkata.”nggak enak dilihat orang…..”
Ketika kutahu pemuda itu akan menoleh kearahku, aku memutar kepalaku, pura-pura tidak memergoki buncahan nafsu itu.
“Kamu cantik ….”lirih si Yoga itu berkata, tetapi cukup terdengar di telingaku.” Betapa bahagianya cowok yang menjadi cowokmu….”
Hatiku berteriak, lepaskan! Lepaskan tangan harammu itu, si keparat Yoga! Tidak sepantasnya engkau berlaku begitu. Aku tidak tahu apa agamamu dan apa ajaran yang kau pegang tentang pegangmemegang tangan seperti itu. Tetapi, plis hormati dong gadis itu ! jangan jerat dia dengan nafsumu. Belalakan kedua matamu; dia gadis berjilbab. Jilbabnya menujukan bahwa dia itu gadis muslimah. Malu sedikitlah kamu kepada Tuhanmu, duhai anak muda!
“Mas, sudah punya pacar belum ?”
“Dibilangin belum ya belum.”
“Sungguh ?”
“He-eh. Sueer……! Aku marah. Aku benar-benar marah. Kusumpahi kesambar petir beneran beru tahu rasa!
Aku terus berusaha mencuri pandang kepada mereka berdua. Dan terus sambil mengerutu. Pada babak selanjutnya, aku akhirnya hanya bisa mengelus dada. Kulihat dengan kedua mata kepalaku sendiri, gadis berjilbab putih bernama Ida itu mulai merebahkan kepalanya di pundak pemuda bernama Yoga. Begitu mesra. Nyala redup lampu bus tentu semakin memikat hati keduanya!
Innalilahi wa innalilahi raaji’un.
Dunia, dunia…!
Aku benar-benar tidak habis mengerti. Sesungguhnya, apa arti kemuliaan seorang laki-laki? Apa pula arti kemuliaan seorang wanita? Apa yang kusaksikan malam ini adalah kenyataan tentang begitu mudahnya seorang wanita terjerat rayuan cinta sederhana dari seorang laki-laki. Umumnya hal ini terjadi? Belum ada setengah jam mereka berdua saling berkenalan. Tidak banyak percakapan yang mereka lakukan sebelumnya, tetapi begitu mudahnya mereka bermesraan seperti itu. Bisakah gadis itu disebut sebagai wanita mulia dalam hal cinta?
Aku menjadi teringat dengan sebuah ayat al-Qur’an  yang telah kuhafalkan;…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Sungguh, apa yang kusaksikan dalam bus ini adalah sepenggal kisah cinta dari dua sejoli yang keji. Maha Benar Allah ketika dia mengatakan bahwa si keji untuk sikeji. Kini, aku tahu kenapa seorang penjahat itu suka berkawan dengan penjahat. Tidak lain dan tidak bukan karena watak penjahat cenderung mudah diterima oleh watak penjahat yang lain.
Tetapi, apakah aku ini bukan seorang penjahat?
Masyaallah, sedari tadi aku telah memperhatikan mereka berdua. Apa hakku untuk melihat mereka berdua. ? bukankah ini namanya zalim? Tak peduli apakah perbuatan mereka itu benar atau salah, bukankah aku tidak bisa dibenarkan dan patut untuk disalahkan sebab telah sekian lama mercuri pandang pada mereka berdua?
Ya allah, ya tuhanku..
Jangan-jangan aku ini sedang iri sekaligus cemburu. Jangan-jangan kemarahanku kepada mereka itu disebabkan karena aku bukan pemuda itu terhadap gadis berjilbab putih bernama Ida itu. Jangan –jangan aku telah berubah seupama orang yang berteriak-teriak anti korupsi ; dia berteriak sebab dia tidak memiliki kesempatan untuk berbuat korupsi.
Apa salah mereka berdua kepadaku? Tidak adakan? Kenapa aku meneriaki mereka keras-keras dalam hatiku? Kanapa aku harus marah melihat peerbuatan mereka berdua? Pantaskah seorang Iqbal marah kepada dua orang yang tidak menyakaiti  perasaannya sendiri? Jika pun mereka telah berbuat dosa --- dan memang perbuatan itu adalah dosa--- maka bukan dosa itu adalah dosa terhadap Tuhan? Dan bukan terhadapku.
Aku mendesah. Kehembusan nafas kuat-kuat. Kudingakkan kepal. Kukerjapkan matak. Lalu aku menatap lurus kedepan. Cahaya lampu bus hanya bisa menerangi jalan beberapa meter saja. Garis –garis  putih tampak berjalan terbalik, walau aku tahu buslah yang berjalan kedepan dan mencipta gambaran seakan-akan garis-garis putih itu yang berjalan ke arahku dan menabrakku.
Pada detik yang sulit terduga, tiba-tiba aku ingat Aisyah. Aku teringat tudingan para sahabat  bahwa aku telah berkhalawat dengan Aisyah, tudingan yang menjadi bagian  hujjah yang mengadiliku sehingga aku harus pergi meninggalkan tegal jadin.
Aduhai sendainya saja kang Rahmat, Rusli, Amin, Ihsan, dan para sahabat yang lain sekarang ini ada dalam bus ini, akan kukatakan kepada meraka semua; inilah sejati-jatinya khalawat itu. Inilah yang disebut khalawat itu. Ialah dua insan ---laki-laki dan perempuan -------- yang berasyik-masyuk seperti Yoga  dan Ida itu. Inilah makna “berdua-duaan yang diharamkan” itu, sehingga berdua-duaan yang diharamkan itu tidak selalu harus berdua tanpa orang lain melihat mereka. Berdua-duan yang diharamkan adalah berdua-duaan yang dimulai dari kata ” mau kemana “, “kuliah atau kerja” , “namanya siapa” , “sudah punya pacar belum”,”inilah cinta”; lalu setelah itu “tinju memukul pinggang”, kata “aduh” pura-pura, lalu “tangan berpegangan”, dan akhirnya”kepala disandarkan”.
Apakah cinta harus seperti itu? Aduhai, betapa tipisnya hijab antara cinta dan nafsu. Demi Allah, cinta yang terbesit di hatiku kepada Zaenab dan Pricillia adalah cinta yang tidak dinodai nafsu. Aku mencintai mereka karena cinta itu sendiri, bukan karena nafsu. Aku tidak bisa mejelaskan hakikat cintaku, dan aku hanya bisa merasakan bahwa cintaku kepada mereka tumbuh seiring dengan cintaku kepada Tuhanku.
Kepada-Mu, ya Allah, aku selalu memohon agar  aku Engkau lindungi dari jeratan cinta seperti Ida dan Yoga itu.
Bus terus berjalan. Kusapu sekeliling dan kutemukan para penumpang sudah banyak yang tertidur. Sekali lagi, keperhatikan Ida dan Yoga dan ketemukan mereka semakin rapat saja. Sungguh kasihan jilbab yang dikenakan gadis itu. Sungguh kasihan.
Tanpa kusadari, mataku mulai menghangat basah oleh air mata. Aku menjadi teringat kepada cintaku yang bernam Pricillia. Demi kehormatan jilbabnya, dia rela untuk mendapatkan amuk dan siksa. Demi kehormatan jilbabnya, dia pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Demi kemuliaan jilbabnya, dia berlari menyelamatkan diri ke pesantren.
Tetapi lihatlah gadis yang bernama Ida itu? Lihatlah dia. Betapa tidak berharganya kain kerudung yang menutupi rambutnya itu. Malam ini aku menjadi saksi betapa jilbab sama sekali tidak memiliki ruh bagi pemakainya. Malam ini menjadi saksi betapa hinanya seorang yang bernama Ida. Ya Allah, seandainya saja engkau akan menakdirkanku bersanding dengan Pricillia, bagiku itu merupakan takdir yang seindah-indahnya. Semoga engkau menjauhkanku dari seorang gadis yang tidak menghormati  hak-Mu seperti gadis bernama Ida!
3
Kasidah lisan
Kudengarkan tadi kondektur menyebut nama parakan. Dia memperingatkan penumpang yang ingin turun di parakan untuk segera bersiap-siap, segera mendekati pintu. Lampu neon yang sedari tadi dimatikan, sekarang dihidupkan oleh sopir dan menganti nyala lampu bus yang redup. Kulihat jarum jam ditanganku menunjuk angka setengah sepuluh.
Seorang penumpang yang duduk di bangku sebelah kiri, yang sejajar dengan jok yang diduduki Ida dan Yoga, bersiap-siap untuk turun. Kini saatnya telah tiba bagiku untuk bisa menghempaskan pantat. Jok itu akan kosong dan penumpang yang lain tak ada yang mendudukkinya, sebab beberapa penumpang yang tadi berdiri sepertiku tampak ingin turun di Parakan juga.
Ketika sampai dipertigaan parakan, bus berehenti menurunkan penumpang. Dan alhamdulilah, kini aku bisa duduk. Aku baru berfikir bahwa seharusnya dari tadi aku letakkan tas punggungku di atas situ. Tapi, tak apalah. Kuletakan saja tas sekarang, di sana.
Berbarengan dengan aku duduk, kuberikan seulas senyum kepada penumpang di sebelahku. Dia juga seorang pemuda sepertiku. Dia membalas semyumku dan sedikit mengeser duduknya kearah jendela. Dia tampak ramah, dan aku tidak bisa diam melihat pemuda yang ramah. Maka, kusapa dia, “Mau kemana, bang?”
“Pulang ke Purwokerto. Mas sendiri?”
“Kenalkan,”kuulurkan tanganku,”saya Iqbal.”
Dia lalu menyebut namanya, Anton. “Mas ini dari mana dan mau kemana?”
Aku diam. Aku tertegun. Aku baru ingat bahwa aku seorang musafir yang berasal dari tempat yang jelas dan menuju ke tempat yang tidak jelas. Mudah bagiku untuk menjawab dari mana aku, tetapi aku tidak bisa menjawab mau kemana aku. Maka aku diam untuk beberapa lama.
“Mas, kok ngelamun? Ada yang dipikirkan?”
“Ah, nggak. Aku dari Sruweng, bang. Dan aku tidak tahu mau kemana.”
Sesaat Anton memperhatikanku. Dia pasti bertanya-tanya kenapa aku menjawab demikian itu.
“Memang tujuan mas Iqbal ke mana?”
“Aku tidak bisa menjawab, bang…………”
“Bolehkah aku mengerjakan sembahyang dulu, bang. Maaf, aku belum shalat.”
“Oouw, silahkan, silahkan………”
Bila taka da air untuk berwudlu, maka penganti air adalah debu. Adakah debu disini? Bagaimana cara mendapatkan debu?
“Bang, menurut abang, kira-kira jok ini ada debunya nggak ya?” aku menunjuk punggung jok yang ada didepanku.
“Yaahh, mungkin ada, mungkin tidak ada.”
“Maksud abang?”
“Ada dan tiada, apa  bedanya sih?”
“Abang ini sedang berbicara apa?”
“Aku sedang merasa heran saja, heran dengan anda.”
“Bisa dijelaskan?”
“Anda mau shalatkan? Berarti anda seorang muslim. Anda tidak bisa mendapatkan air wudlu kan? Berarti harus tayamum. Anda tidak tahu apakah jok ini berdebu atau tidak kan? Berarti anda ragu. Pertanyaanku, bagaimana anda akan menghadap Tuhan dengan keadaan yang meragukan?”
Sejenak, kerenungkan kata-katanya. Kutimang-timang dalam benakku. Dan aku memang mendapati diriku mulai merasa ragu. Pertanyaan-pertanyaan pemuda itu benar. Artinya juga benar. Tidak mungkin aku akan menghadap Allah dalam keadaan ragu. Dan aku benar-benar ragu. Ragu untuk mendapatkan maghrib dan isyakku.
“Bagaimana menurut anda?” Anton bertanya kembali.
“Aku belum pernah berpikir seperti itu.” Jawabku polos.
“lalu, akankah anda sembahyang?”
“Abang sendiri? Maaf, agama abang apa?” Anton tersenyum. Dia tidak menjawab pertanyaanku.
“Abang sudah sembahyang, maaf?” kuulangi pertanyaanku.
“Agamaku agama cinta, mas,”jawab Anton.
Aku bingung. Aku tidak mengerti. Dia menyebut agamanya agama cinta. Apa maksudnya? Bila dipikir-pikir,  pemuda ini sangat terpelajar.  Dia mungkin seorag sarjana sehingga kata-katanya membingungkan seperti ini.
Akhirnya aku bertanya, “Agama cinta itu agama apa, bang?”
“Yang jelas, aku bukan seorang muslim. Aku bukan seorang Kristen. Aku bukan seorang hindu. Aku bukan seorang budha. Memang, dulu aku seorang muslim seperti mas Iqbal ini. Tetapi itu dulu. Sekarang agamaku melampaui semua batasan itu. Agamaku adalah agama cinta.”
Melihat aku kaya kerbau  yang hanya bisa melongo-longo, Anton kemudian mengemukakan pendapat-pendapatnya. Katanya, seperti  yang dikatakan oleh John D. Caputo, agama itu ‘ terlalu banyak makna dan terlalu majemuk. Caputro tidak sedang berkeluh – kesah ketika ia mengatakan bahwa terlalu banyak yang perlu disebut dari agama -----agama-agama Barat, agama-agama Timur, agama-agama Purba, agama-agama Moderen, monoteistik,politeistik,dan malahan agama-agama yang sedikit atistik.
“Tetapi aku memang tengah dan telah berkeluh-kesah karena agama. Kenapa ? sebab aku bukanlah Caputro, aku menyarankan anda membaca bukunya juga, kalau anda mau. Karena itulah , agamaku-----kalau boleh juga disebut agama------adalah agama cinta,”demikian Anton mengatakan kepadaku.
“Bagaimana pendapat anda?” Tanya kembali.
“Apa yang mesti aku  katakana tentang pendapat abang?” tanyaku.
“Ya………pendapat anda tentang pendapatku?”
“Apakah abang sedang berpendapat atau sedang berprinsip?”
“Itulah pendapat yang menjadi prinsipku.”
“Jadi agama abang adalah agama cinta?”
“Iya.”
“Jadi agama cinta yang mana?” tanyaku.
“Anda tidak bida berkata begitu. Agamaku bukan agama apa pun yang telah aku katakan tadi. Agamaku diluar itu semua.agamaku adalah agama cinta.”
“Jadi abang memiliki agama yang seperti itu sebab keluh-kesah abang tentang agama-agama yang ada?”
“Yapp!”
“Dengan demikian, cinta sebagai agama abang itu adalah cinta yang diluar semua cinta yang diajarkan oleh agama apa pun?”
“Harus memang demikian kan ?”
“Kalau begitu, cinta sebagai agama abang peluk itu adalah cinta yang diluar agama? Kalau begitu, dasar cinta abang adalah cinta yang bukan ajaran agama mana pun ? lalu cinta abang kepada siapa?”
“Tentu  saja kepada Tuhan yang aku pahami.”
“Kalau begituTuhan abang itu bukan Tuhan yang dipahami oleh agama mana pun? Tuhan yang seperti apakah itu? Tuhan seperti apakah yang mengajarkan ajaran di luar ajaran agama apa pun, sebab abang menolak semua agama?”
Beruntung sekali aku sudah berkenalan dengan Socrates, walaupun perkenalanku denganya merupakan perkenalan yang tidak sengaja. Sengguh, aku tidak tahu sama sekali pikiran-pikiran Socrates. Tetapi aku tahu satu hal tentangnya: dia selalu berhasil membungkam lawan-lawan diskusinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan kepada lawan diskusinya itu. Dia sendiri tidak membuta kesimpulan untuk lawan diskusinya. Yang dia lakukan hanyalah membuatkan kesimpulan dari cara pandang lawan diskusinya sendiri, lalu menunjukan dimana letak kekeliruannya.
Dan aku, untuk detik ini, bisa membungkam perkataan pemuda yan duduk disebelahku. Aku senang. Aku merasa berhasil. Tadi dia sempat membungkam melutku dengan perkataan-perkataannya. Sekarang, aku bungkam mulutnya dengan lidahku.
Sejenak, kami diam dalam tafakur masing-masing. Sejenak, kulirik kembali pemuda yang bernama Yoga dan gadis yang bernama Ida tadi. Sejenak, mataku masih melihat kemesraan mereka berdua. Kedengar bisik-bisik mereka berdua.
Bus melaju menderu-deru. Jalanan semakin lama semakin menaik. Udara yang masuk di celah-celah kaca jendela terasa sangat dingin.
 “Giman pendapat abang ?” giliran aku yang bertanya demikian.
“Pernahkah anda mendengar perkataan Shunryu Suzuki?” dia justru balik bertanya.
“Siapa, bang? Saya baru mendengar namanya dari abang. Setahu saya, Suzuki ya………..merk mobil dan sepeda motor……….”selorohku.
“Dia adalah seorang guru sejati. Penutur kejernihan dan pelaku kebeningan. Dalam zen mind:beginner’s mind, ia pernah berpetuah, when your practice is calm and ordinary, everyday life is enlightrnment. Agamaku adalah agama yang memberikan ketenangan dan pencerahan seperti itu. Sekarang, menurut anda, adakah perasaan tentang dan tercerahkan pada diri anda pabila anda akan menyembah tuhan anda dalam keadaan rasa ragu-ragu?”
“Bang , jika abang berada dalam situasi seperti saya, akankah abang tidak merasa ragu?”
“Ooo, tentu………..”
“Aku kagum terhadap anda…..”
“Tetapi itu tidak menjawab pertanyaanku.”
“Mas Iqbal , sesungguhnya aku percaya bahwa setiap agama itu baik dan benar. Hanya saja, walaupun setiap agama itu demikian, belum tentu pemeluk –pemeluknya demikian. Apa yang aku lihat, apa yang aku amati, dan yang aku dapatkan dari para pemeluk agama adalh fakta yang sebaliknya dari ideal agama. Agama hanya di jadikan topeng, dijadikan alat, dijadikan kendaraan untuk memenuhi nafsu-nafsu para pemeluknya.”
“Lantas, apakah karena hal yang demikian itu  abang memilih agama cinta?”
“Apalagi? Dalam pandanganku, agama-agama yang baik-baik dan benar-benar tersebut pada akhirnya menjadi kotor penuh debu dan lumpur. Aku tidak mungkin beragama yang dipenuhi oleh hal yang demikian itu. Jadi, seandainya saja agama-agama apa pun di dunia Ini tidak dikotori oleh hal-hal yang  demikian itu, tentu kedamaian , keselamatan , kesdilan ,  kebaikan , dan kebenaran akan tegak terpancang di muka bumi ini. Tetapi apa faktanya? Apa kenyataannya? Aku tidak berhasil menjumpai jejak-jejak makna dalam agama-agama tersebut. Sebaliknya,yang  aku lihat dari banyak pemeluk agama adalah kebiasaan ketika hari yang baru telah datang, yang mereka ingat hanya membangunkan badan, dan sedikit yang ingat membangunkan jiwa. Setiap bulan baru berkunjung, banyak yang memegang kantong, sedikit yang ingat memegang nurani. Setiap tahun baru datang,  banyak yang bertanya,’ berapa umur saya sekarang?’ sedikit yang bertanya,’ seberapa bijaksana saya sekarang?’ sungguh, aku capek mas Iqbal, melihat fakta keberagamaan yang seperti ini. Tidak hanya di Islamsaja---seperti agama mas----tetapi juga pada agama-agama yang lain. Aku capek. Aku lelah. Aku ingin terbebas dari belenggu-belenggu agama yang telah dinodai dan di kotori tersebut. Dan aku hanya menemukan satu hal, satu makna, yakni cinta. Itulah agamaku.”
“Untuk hal-hal yang abang katakan tadi,” demikian kataku,” banyak yang aku sepakati, bang. Sesungguhnya aku menjadi seperti sekarang ini, bertemu dengan abang dalam bus pengap dan tua seperti ini, itu karena cinta juga, bang. Hanya saja, aku sungguh tidak tahu, apakah cinta yang aku rasakan adalah seperti cinta yang abang rasakan. Cinta yang bagaimanakah yang abang ‘ peluk ‘ sebagai agama itu, bang?”
“cinta yang bagaimana? Tetu saja cinta yang tidak dipenuhi nafsu-nafsu kotor!”
Seperti aku memahami ke mana arah bicara Anton ini.
“Ya, nafsu………”demikian timpalku sembari setengah berteriak. Aku yakin, kata-kataku-----dan juga kata-kata Anton yang terakhir----cukup terdengar oleh banyak  penumpang, tak terkecuali dua sejoli tadi.
“jadi anda juga memperhatikan dua pasangan haram itu?” Tanya Anton.”Itu tuch!”
“sebentar, mari kita luruskan bahwa abang tengah mengunakan term agama ( Islam)  ketika menyebut kata’haram’ tadi……”
“Baik, aku akui.”
“Ya, sudah sedari tadi aku memperhatikanya.”
“Dan apakah hal tersebut dibenarkan oleh Islam?”
“Tidak. Tetapi abang tentu tahu bahwa abang tidak bisa menyalahkan Islam akibat kesalahan pemeluknya.”
“Anda benar.”
“Dan bukankah dengan demikian abang pun tidak bisa menyalahkan semua agama dengan mengatakan bahwa agama telah dinodai, dikotori, dilumpuri, padahal yang mengotori , menodai, dan melumpuri itu orang-orang yang beragama, lebih tepatnya sebagian kaum agama?”
“Iya.”
“Nah, bukankah ketenangan dan pencerahan seperti yang dikatakan oleh Suzuki yang abang kutip tadi tidak harus kemudian ‘lari’ dan ‘meninggalkan’ agama untuk kemudian ‘mencipta’ agama baru?”
“Sekali lagi, anda juga benar.”
“Lalu kenapa abang memililki agama beru bernama agama cinta?”
Anton diam. Tampaknya dia merenugi apa yang aku katakana tadi.
Aku berkata, “Menurut buku yang pernah aku beli dan aku baca nih bang, wayne dyr dalam your sacred self memiliki sebuah ‘mantra’ yang akan membuat manusia memasuki alam kebahagiiam secara lebih lama. Mantra itu berbunyi,’ nothing ever goes wrong’:tidak ada satupun yang berjalan keliru. Beda bunga teratai dengan rumput liar hanya dalam pikiran belaka. Tanpa pemerkosaan pikiran menusia, semuanya sama baik, sama berguna, sama tingginya. Apakah abang marah melihat sejoli di samping kita yang bermesraan ini?”
“O, iya. Apalagi anda sebagai sesama muslim kayak perempuan itu. Anda seharusnya marah!”
“Kalau begitu, berarti pikiran abang masih dipenuhi oleh belengu baik dan buruk. Lalu bagaimana abang akan merasa tenang dan tercerahkan, walau abang tadi memeluk agama cinta? Maaf bang. Beberapa menit yang lalu, ketika aku perhatikan mereka berdua, aku memiliki perasaan seperti abang. Sekarang ini, aku menjadi sadar bahwa dua sejoli itu merupakan tanda-tanga Allah yang diberikan kepadaku. Ada makna yang bisa aku ambil. Dosa tidaknya mereka, bukan urusanku. Aku hanya melihat bahwa mereka adalah insan-insan yang patut untuk  disedihkan dan didoakan, bukan dimarahi atau dicaci maki. Aku kira, abang dan aku sama-sama sepekat bahwa cinta memberikan kelembutan pada hati pecinta. Dalam kelembutan tiada kemarahan dan kejengkelan. Yang ada hanyalah cahaya kasih yang menerangi hati. Cahaya kasih inilah yang akan memberikan  kejernihan dalam kita melangkah.”
Aku berkata demikian itu kepada Anton sebab aku berfikir bahwa dalam terang cahaya kejernihan, sebenarnya tidak ada baik-buruk,benar-salah. Diatas keduanya, tersisa sebuah cahaya mengagumkan;makna. Yang mengagumkan, makna tersembunyi di balik hal-hal yang disebut manusia baik sekaligus buruk, benar sekaligus salah. Sehingga dibandingkan sibuk memberikan judul baik buruk dan kemudian terperangkap didalamnya, mungkin layak direnungkan untuk terfokus pada cahaya-cahaya makna.
Yang baik memberikan makna. Yang buruk memberikan makna. Yang kejipun memberikan makna. Memberi energi negatif. Memberi kegelapan. Memberi buta. Buta jiwanya. Jiwanya hanya terkotori oleh nafsu.
Pemuda yang duduk disampingku ini semakin diam. Entahlah, apa yang sekarang ini ada dalam pikirannya.
“ Bang, bolehkah aku shalat sekarang?”
“Oh, apa? Oh iya, silahkan. Aku doakan anda tidak mengalami keraguan.’
Apa yang dapat mengusir keraguan ? inilah hal yang pertama yang harus aku jawab sebelum aku menyentuhkan kedua telapak tanganku ke punggung jok didepanku. Jika hatiku telah meragu, bagaimana hati akan mendapatkan keyakinan?
Aku tidak ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut dari Anton. Setelah pembicaraan terakhir tadi, anton tampak hanya diam saja. Diam saja. Diam saja. Aku tidak ingin menggangu keheningan yang sedang dilewatinya itu. Mungkin dia sedang mentasbihkan agama cintanya. Atau, barangkali dia sedang mentafakuri kata-kataku, kasidah lisanku.
Kupejamkan mata mencari kekuatan dan ketenangan diri. Kuajak hati dan pikiranku untuk membantu mengusir keraguan ini. Sungguh, adalah tidak mungkin aku akan menghadap Allah dalam keadaan yang ragu.
Tiba-tiba, kurasakan ada secercah cahaya yang melintas dibenakku. Aku menjadi ingat dengan buku karangan Ibn Qayyim al-Jauhziah (semoga  buku itu dan buku-buku yang lain bermanfaat berada di pesantren Tegal Jadin). Dikatakan oleh Ibn Qayyim bahwa setiap penyakit itu ada obatnya. Perkataan yang sama juga aku dapatkan dari Ibn Miskawaih dan Imam al-Ghazali. Obat dari penyakit itu adalah lawan dari penyakit itu.
Dan kini aku menjadi sadar dan tercerahkan!
Obat keragu-raguan hanya satu, yakni keyakinan, sebab yang namanya ragu selalu berlawanan dengan yakin. Jika aku ingin keragu-raguan ini sirna, aku harus menyambut keyakina dalam hati dan pikiranku.
“Bang, maaf, sudah tidur ya?” terpaksa Anton aku sapa kembali.
Dia menoleh.
Dia tersenyum. ‘Belum……..”jawabnya.
“Bolehkah aku menjawab pertanyaan abang tadi?”
“Pertanyaan yang mana?”
“Apakah aku ragu atau tidak untuk menghadap Ilahi….”
“Apa jawaban anda?”
“Keraguanku sudah hilang, dan sekarang aku memperoleh keyakinan. Obat ragu adalah yakin, bang!”
Sejenak, dalam temaram lampu bus ini, kulihat Anton mengangguk-anggukkan kepala. Sejurus kemudian, dia pun bertanya,”Dari mana datangnya keyakinan anda yang mengalahkan keraguan anda? Seberapa yakin anda terhadap keyakinan tersebut?”
Aduuh, pemuda apa yang tengah duduk disampingku ini? Pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan selalu berat untuk kujawab. Akhirnya, terpaksa aku bertanya begini,”Maaf, bang. Abang ini seorang mahasiswa, pemikir, atau apa?”
Anton tersenyum. Dia menjawab,  “aku pernah kuliah, mas. Tapi tidak selesai. Aku anggota MDO.”
“MDO itu apa?”
“Mahasiswa Drop Out……..”
Aku tertawa lirih.”kalau begitu, nasib kita sama, bang. Aku men-drop out-kan diri aku sendiri. He……. He…..he.”
“aku kagum terhadap mas, sebab mas memiliki pikiran-pikian yang jernih.”
“aku juga mengagumi abang sebab abang memiliki  prinsip yang bening.”
“lalu, dari mana datangnya keyakinan anda yag mengalahkan keraguan anda? Seberapa yakin anda terhadap keyakinan tersebut?”
“subhanallah, aku tidak tahu, bang. Aku hanya tahu bahwa Allah itu maha bijaksana. Dengan kebijaksanaannya, dia tentu akan memaafkanku pabila aku mengerjakan shalat dengan penyucian diri berupa tayamum yang tidak jelas, apakah aku benar-benar menggunakan debu atau tidak. Emang bus ini sampai Purwokerto jam berapa, bang?”
“Emang kenapa?”
“Iya……….siapa tahu aku bisa menjalankan sembahyang maghrib dan isya disana……”
“Anda terlambat pabila menunggu sampai Purwokerto. Bus ini, dengan jalannya yang lenggak-lenggok kayak perempuan tua ini, bisa jadi baru akan sampai di Purwokerto pukul tiga nanti. Apakah shalat maghrib dan isya bisa dilakukan pada pukul tiga dini hari? Aku kira tidak, mas.”
“Nah, itulah. Aku yakin Allah akan memaafkanku pabila aku keliru menjalankan shalat maghrib dan isya di bus ini dengan penyucian diri berupa tayamum. Sekarang, aku tambah tidak ragu lagi, bang. Aku yakin aku harus segera shalat!”
Kulipat lengan baju panjangku sampai di atas siku. Kuucapkan basmalah. Kuucapkan niat menyucikan diri dengan tayamum; nawaitu at-tayamumma li rafi al-hadatsi al-asyghari qurbatab ila Allah. Aku jejakkan kedua telapak tanganku di atas punggung jok. Lalu kuusap wajahku dengan kudua telapak tanganku. Setelah itu, kuusap kedua lenganku……..Allahu ya,rabbi, ijinkan aku menghadap-mu.
Kuucapkan niat mengerjakan shalat maghrib secara qadha. Kuhadapkan diriku seluruhnya dan seutuh-utuhnya kepada illahi. Kupasrahkan nasibku kepadanya. Ku mohon kepadanya. Kuberzikir kepadanya.
Dan kudapati bahwa jasadkku ada di dalam bus ini, tetapi ruhku terbang melayang-layang menembus cakrawala, melintasi bintang, meteor dan galaksi. Keterus terbang tinggi, menembus langit kesatu, melesat langit ketujuh. Sekarang, aku hanya mendapati diriku dalam keheningan yang sunyi. Aku mendengar detak-detak jantungku sendiri. Aku mendengar hembusan nafasku sendiri. Aku mendengar suara-suara yang dinyanyikan oleh hatiku sendiri. Dan aku bahkan dapat melihat diriku sendiri.
Aku melihat diriku hanyalah seorang manusia yang penuh dengan dosa dan kesalahan. Dosa dan kesalahan tersebut menjelema menjadi rupa-rupa buruk dan mengerikan. Rupa buruk itu adalah aku. Aku menangis. Aku merintih. Aku terisak. Aku pedih.
Aku memohon kepada raab-ku di keheningan dan dalam busana kesunyian agar dia berkenan menghapus dosa dan kesalahanku. Selama ini aku sudah banyak terlena dengan menisnya kehidupan, hingga lupa akan lezatnya hidangan akhirat. Kupejamkan mata saat ini. Kudapati air mataku mengalir dikedua pipikku.
Aku teringat akan kedua orang tuaku. Dan aku lebih teringat akan dosa dan kesalahan yang telah kuperbuat kepada kedua orang tuaku. Kedua tanganku ini, tangan ini……….innalillah wa inna ilaihi raaji’un………..telah demikian kejam mendorong tubuh ibuku, dan menyebabkan ia jatuh dan terbentur  kepalanya. Kedua tangan ini telah berlumuran darah, duh tuhanku. Kedua tangan ini telah melukai tubuh ibu, melukai hati dan perasaan ibu. Aduhai, Allahku, kumohon kepadamu ampunilah dosa dan kesalahanku kepada ibu. Dan ampunilah dosa dan kesalahan ibu sebagaimana aku juga memohon kepadamu agar engkau sudi mengampuni dosa dan kesalahan ayaku. Juga dosa dan kesalahan para penempuh jalan mendekatimu, melaksanakan kebenaranmu.
Aku teringat waktu, waktu yang telah kulewati dengan sepenuh kesia-siaan. Waktu yang telah kumiliki tanpa cukup memberi arti bagi kehidupan. Waktu di man dia menjadi saksi akan nestapa hati yang kumiliki.
Aku menyesal kepadamu, duh Ilahi………
Aku tidak ingin turun ke bumi-Mu, sebab aku takut bumi-Mu akan menelanku dalam dosa dan kesalahan yang sama. Aku ingin disini, bersama-Mu, walau aku tidak bias melihat diri-Mu. Setiap kali aku berjumpa dengan Mu, aku hanya yakin bahwa engkau ada, engkau melihatku, engkau mengerti gerak-gerikku, engkau mengerti bisikan-bisikan lembut dan halus dalam dadaku.
Engkau maha hebat, dan kehebatan Mu diatas segala kehebatan  makhluk-Mu. Engkau maha perkasa, dan kepekasaan-Mu melampaui batas-batas keperkasaan makhluk-Mu. Di hadapan Mu, engkau tinggikan derajat para hamba-hamba Mu.
Tinggikan derajatku, ya Allah. Jadikan aku sebagai bagian dari hamba-hamba yang mencintai Mu. Jadikan cintaku kepadamu sebaik-baiknya cinta. Jadikan rindukku kepada Mu seindah-indahnya rindu. Jadikan cinta dan rinduku kepada Mu sebagai kelezatan dalam hidupku.
4
Nyanyian-nyanyian cinta
Entah untuk  waktu yang berapa lama aku tenggelam dalam shalatku. Kalau bukan karena suara-suara penumpang yang rebut, di antara mereka ada yang betuk-betuk bertalu-talu, dan kalau bukan karena bau bensin terbakar dan bau mesin yang menusuk hidungku, mungkin aku akan menghabiskan waktu tanpa menyadari di mana sekarang ini aku tengah duduk.
“Mas, mari kita turun,”ajak Anton.
“ada apa, bang?”
“mobilnya mogok.”
“mogok?

“mobil tua. Ayo turun!”
Anton dan aku serta para penumpang yang lain pun turun.
“kita di mana, bang?” tanyaku setelah berada diluar bus.
“Di Banjarnegara.”
“Banjarnegara?”
“Ooooh………
“Ayo kita duduk-duduk dulu sambil menunggu bus yang akan segera diperbaiki.”
“Mari, bang.”
Aku dan Anton melihat sekeliling. Kudapati para penumpang yang lain bergerombol. Ketika aku dan Anton melewati mereka, kudengarkan kata-kata cemas dan syukur yang dilontarkan  mereka. Katanya, untung mereka bias segera keluar. Kalau tidak, entahlah, mungkin bus bias meledak.
“Memang separah itu, bang?” tanyaku kepada Anton, tepat ketika kami sampai di tempat duduk yang kami tuju.
“Iya, mas,” jawab Anton. Ia duduk di sebelah kananku.”Bolehkah aku Tanya sesuatu kepadamu, mas?
“Apa?”
“Emang mas Iqbal tadi tidak menyadari apa yang telah terjadi?”
Anton kemudian cerita, “ sejak keluar dari kota Wonosobo tadi, tanda-tanda bus akan mogok telah terlihat. Bau bensin yang terbakar, bau gesekan ban bus, dan bau bensin yang masuk ke dalam bus membuat kami merasa cemas. Aku sendiri merasa khawatir jangan-jangan mesin bus terlalu panas dan bus akan terbakar. Tepat ketika bus tadi melintasi lampu merah di dekat terminal, mesin mati.”
“Jadi begitu….” Kataku.
“Makanya aku heran kenapa mas Iqbal tidak menyadari hal ini. Aku benar-benar heran. Mas membuat aku terlalu kagum kepada mas. Hampir satu jam lebih mas tegelam dalam shalat yang mas kerjakan. Sungguh, demi Tuhan, aku baru melihat seorang muslim seperti mas. Aku menjadi teringat kisah tetang bagaimana sahabat dan menantu Rasulullah Muhammad saw, Ali bin Abi Thalib, yang tidak merasakan perihnya tusukan pedang Abdullah bin Muljam di saat Ali bersembahyang. Sungguh, aku kagum kepada mas.”
“Jangan berkata begitu, ya akhi. Akupun mengagumi abang dengan sepenuh hati. Atas dasar makrifat abang terhadap cara keberagamaan manusia yang abang lihat, abang menemukan betapa agama telah dikotori dan dilumuri oleh perilaku beragama yang justru menunjukan anti cinta. Karena hal itu, abang memilih agama cinta. Sangat penting bagiku untuk belajar tentang cinta kepada abang.”
“Apakah mas Iqbal ini selalu demikian rendah hati?”
Aku tersenyum.”Jangan begitu……..”kataku.
“Oh, iya, sejak kita berkenalan, aku belum tahu siapa sesungguhnya mas Iqbal ini. Ke mana dan untuk apa mas Iqbal mengadakan perjalanan di malamini?”
Aku mendesah. Kutatap sekeliling. Kudapati para penumpang masih bergerombol-gerombol. Di sana, di bawah pohon beringin, yang namanya Ida dan Yoga duduk berdua-duaan.
“Bang, lihat Ida dan Yoga itu,”kataku.
“Mana?”
“Itu tuch, du bawah beringin.”
Anton tersenyum. Senyum getir. Senyum sedih.
“Begitulah dunia cinta,mas,”kata Anton kemudian.”cinta dapat membuat para pecinta dimabuk kepayang. Cinta dapat membuat pecinta lupa diri dan lupa daratan. Cinta telah mengaburkan batas-batas etika,moralitas, dan norma-norma agama. Benarkah apa yang aku katakan ini, mas?”
“Yaahh, mungkin saja.”
“Mas Iqbal pernah jatuh cinta.”
Dan aku tersenyum mendengar perkataanya. Sesaat, pikiranku melayang ke Tegal Jadin dan mendarat di wajah Zaenab dan Pricillia. Kalau kemudian, “Abang sendiri?”
“aku tidak menolak cinta. Aku hanya tidak tahu kapan akan merangkai benag-benang cinta.”
“Di dunia ini,”kataku,” ada dua gadis yang sedang aku cintai, bang.”
“Dua gadis?”
“Ya.”
“Dua gadis menjadi pacar Iqbal?”
“Bukan pacar. Apa sich pacar itu? Tidak ada dalam kamus hidupku. Aku mencintai mereka karena cinta itu sendiri.”
“Maksud mas?”
“Cinta telah meminta hati, pikiran, dan perasaanku. Cinta memintaku untuk sesaat, maksudku selama tiga tahun, meninggalkan kekasih. Cinta memintaku untuk mengadakan perjalanan seperti ini. Cintaku kepada mereka, mudah-mudahan, tidak seperti cinta dua sejoli itu.”
“Apakah mas Iqbal menjalin cinta untuk menikahinya?”
“Insyaallah, jika Allah SWT mengijinkan tidak?”
“Wallahu a’lam….”
“Mas mau mempraktikkan poligami?”
“Wallahu a’lam ………. Aku hanya menjalani takdirku aja, bang. Cintaku mungkin terlalu aneh bagi pikiran – pikiran modern. Aku mencintai dua gadis, tetapi aku tidak tahu persis apakah dua gadis itu juga mencintaiku. Dan seandainya saja mereka tidak mencintaiku, aku tetap akan mencintai mereka sebab mereka pantas untuk dicintai. Cintaku tumbuh seiring niat dan kehendakku untuk menjadi orang yang baik, bang. Aku memiliki masa lalu yang kelam. Masa lalu yang penuh kengerian.”
Akhirnya, mau tidak mau, aku pun berkisah tentang siapakah aku. Aku berkisah bagaimana masa-masa kecilku, masa-masa ketika aku masih tenggelam dalam lumpur dosa dan kemaksiatan. Aku berkisah tentang kesenanganku terhadap bunga-bunga. Aku berkisah tentang kejahatanku kepada ibunda. Aku berkisah tentang keinginanku untuk menimba ilmu di pesantren. Aku berkisah bahwa selama dua bulan di pesntren aku tidak menimba ilmu, tetapi justru menimba air. Aku berkisah bahwa aku sebelumnya tidak bisa membaca al-Qur’an, tidak bisa wudlu, tidak bisa shalat. Aku berkisah bagaimana aku terus-menerus belajar agama, dan waktu belajar tersebut justru tidak berada di pesantren, melainkan berada digubuk tua milik janda miskin. Aku berkisah tentang Bu Jamilah beserta putra-putrinya di mana mereka hidup dalam kemiskinan harta, tetapi memiliki kekayaan hati. Aku berkisah tentang kesukaanku terhadap buku-buku yang telah aku baca itu. Dan aku berkisah bagaimana aku bisa ‘diusir’ dari pesantren oleh sebab perbedaan pemahamanku terhadap agama yang aku peluk ini dibandingkan dengan pemahaman sahabat-sahabat santri.
Dan alhamdulilah, aku berkisah bahwa Allah telah memberikan hidayah kepadaku. Akhirnya, aku berharap bahwa dia akan menunjukan jalan yang lurus yang bisa aku tempuh; sebuah jalan yang akan mengantarkan kepadaNya.
“Luar biasa, mas Iqbal ini! Sunggguh, belum pernah aku menemukan pemuda seperti mas. Aduhai, seandainya saja para pemeluk agama memiliki kepribadian seperti mas, betapa indahnya agama-agama itu. Betapa indahnya keragaman agama. Menurutku, mas adalah contoh bagaimana seorang pemeluk agama yang baik!”
“Aku juga berharap, andaikan pemeluk-pemeluk agama memiliki nalar kritis seperti abang, tentu energi dan kekuatan agama benar-benar tampak di muka bumi ini.”
Sejenak, kami terdiam. Angina malam berhembus agak kencang. Di atas sana, langit demikian cerah. Bulan bersinar demikian indah. Bintang-gemintang berkelap-kelip laksana kerdipan mata bidadari. Awan-awan putih berarak-arak seumpama lembut dan menari-nari.
Aku melihat, empat orang pemuda berjalan dari arah barat. Dua diantaranya membawa gitar. Mereka mendendangkan lagu-lagu yang, ah……….tidak jelas aku dengar. Sesaat kemudian, mereka berjalan melintas di depan aku dan Anton duduk. Dua orang melirik kami. Yang dua orang lagi menghisap rokok. Mereka berjalan.
Mereka mendekati Ida dan Yoga. Lalu mereka duduk  di sebelah Ida dan Yoga.
Mereka tampak bertanya jawab dengan dua sejoli itu. Aku dan Anton terus memperhatikan. Aku membaca wajah Ida tampak ketakutan; wajah Yoga tampak cemas. Walaupun aku tidak mengenal Ida dan Yoga, dan walupun mereka telah berasyik-masyuk dalam cinta yang rendah seperti yang tadi telah aku saksikan, aku tidak bisa menerima andaikam saja keempat pemuda itu mengganggu mereka. Aku bersiap-siap.
Kutunggu semenit, dua menit, lima menit……..
Tetapi tidak terjadi apa-apa.
Akhirnya,dengan alas an entah, Ida dan Yoga pergi menjauh dari keempat pemuda itu. Aku bersyukur bahwa aku tidak perlu bersiap-siap.
***
“mas Iqbal suka music?” Anton bertanya.
“Ya, sedikit-sedikit.”
“Jenis music apa yang mas sukai? Rock? Pop?campur sari?keroncong?seriosa?kasidah padang pasir?”
“Insyaallah aku belum terlalu tua untuk mencintai keroncong atau seriosa, bang. Kasidah padang pasir  jarang aku dengarkan. Paling-paling, aku suka pop atau rock.”
“Ada penyanyi yang mas sukai?”
“biasa aja, mas. Aku suka kelompok music dewa, peterpen,dan ungu. Lagu andai kutahunya ungu demikian memikat. Laskar cintanya dewa juga asyik untuk didengarkan.”
“Menurut mas, mendengarkan music itu haram tidak?”
“Aduh bagaimana ya? Setahuku, dalam Islam ada persengketaan mengenai masalah ini dan aku tidak ingin terlibat dalam persengketaan itu. Aku justru bertanya, apa salah music sehingga dia diharamkan? Kalau ada musik yang diharamkan, lalu dengan alasan apa ada music yang dihalalkan?”
“Mas lebih tahu dariku.”
“Aku mendengarkan music jika memang music itu  layak dan enak untuk didengarkan. Aku kira aneh pabila membayangkan kita akan menyalahkan jenis music tertentu dan membenarkan jenis yang lain”
“tetapi karena musiklah terjadi kekacauan-kekacauan, mas? Coba bayangkan, berapa ABG yang mati gara-gara menonton dan mendengarkan konser music. Yang begini ini, apakah tidak haram tuch?”
“Aku kira, ada dua hal yang berbeda di sini, bang. Satu, music; yang satunya, penikmat music. Jika ada yang berkelahi atau ada yang tewas karena musik, berarti ini berkaitan dengan penikmat music, bukan musiknya itu sendiri. Jadi, yang salah adalah cara menikmati musiknya itu, bukan musiknya.”
“Tetapi, bukankah karena adanya music tadilah yang menyebabkan adanya kekacauan?”
“Adanya manusia juga menimbulkan  adanya kekacauan, konflik, perang. Lalu salahkah Tuhan menciptakan manusia,bang? Apakah abang akan berpikir bahwa supaya tidak terjadi kekacauan, konflik, dan perang, maka lebih baik manusia ditiadakan saja, sebagai lawan dari keadaanya?”
***
Sejam telah berlalu. Dan taka da tanda-tandanya bus bisa diperbaiki. Kulihat kondektur sejak beberapa menit yang lalu sudah menggerundel terus, memaki-maki dirinya sendiri yang tidak sanggup memperbaiki mesin bus. Sopir pun demikian. Dari tadi dia hanya lebih banyak merokok dan diam saja. Dan keneknya pun hanya bisa bersumpah-serapah saja.
Para penumpang sudah mulai cemas. Kuhitung berapa jumlah penumpang yang masih tersisa. Ada 13 orang. Enam perempuan. Tujuh laki-laki. Dua diantaranya aku dan anton. Dua diantaranya lagi Ida dan Yoga.
“kalau begini terus, bisa-bisa kita nunggu bus berikutnya, mas,” kata Anton memecah kebisuan.
“Ya bagaimana lagi bang,”timpalku.”jam berapa lagi bus akan lewat?”
Anton melihat jam. Aku pun melihat  arlojiku. Jarum jam menunjuk angka setengah satu pagi;
“Mungkin setengah jam lagi.”
“Bukan waktu yang lama.”
“Mas tidak mengantuk/”
“Tidak.”
“Aku juga tidak.”
“Tetapi lihat beberapa penumpang itu. Kasihan sekali ibu-ibu itu. Dari tadi aku perhatikan dia tertidur dalam duduknya.”
Yang dikatakan Anton ternyata benar. Kondektur dan kenek menyerah. Sopir pun menyerah. Mereka meminta maaf kepada kami, para penumpang, bahwa bus tidak bisa dijalankan. Mesin rusak. Para penumpang di mohon sabar untuk menunggu kedatangan bus lainnya.
“Tidak memakan waktu yang lama. Bus akan segera lewat. Tenag saja. Sabar saja sedikit yang ngantuk bisa tidur sebentar. Yang tidak ngantuk bisa  bercakap-cakap dulu. Yang mendapatkan pacar baru silahkan saja nikmati malam di alun-alun Banjarnegara sambil menunggu bus selanjutnya. Yanh mau beli kopi, itu ada penjual kopi. Yang mau gorengan juga ada. Yang mau merokok, ke sini, mendekat, tetapi bawa  rokok sendiri-sendiri,” demikian kata-kata sopir kepada kami. Ucapannya ramah. Nadanya santun. Mau tidak mau, para pemupang sedikit terobati rasa gelisahnya. Minimal, aku sendiri merasa terhibur karenanya.
***
Tidak ada yang bisa kami, para penumpang, lakukan, kecuali menunggu waktu, yakni waktu kedatangan bus yang akan membawa kami ke Purwokerto. Para penjual gorengan dan minuman, satu per satu segera menutup dagangannya. Waktu sudah terlalu malam untuk terus menerus menjajakan gorengan. Lagi pula, tampaknya sia-sia belaka pabila terus menjajakan gorengn sedangkan orang-orang kota sudah pada tidur. Kota Banjar ini, aku  pikir adalah kota kecil. Kota yang harus terlelap ketika larut mulai menyelinap.
Terlihat, tinggal satu pedagang yang masi membuka dagangannya. Dia berada di pojok alun-alun barat. Kulihat dia telah menguap terus. Di depannya seorang tukang becak mengecap kopi dengan begitu nikmatnya, membuatku tergoda pula untuk meneguknya. Pedagang dan tukang becak itu kedua-duanya telah uzur. Waktu melibas umur. Tentu,demi bisa mencukupi kebutuhan keluargalah pabila mereka rela sedikit tidur.
Ya, Allah……….
Andaikan engkau menerangi setiap hati manusia akan kebijakan dan ilmu, tentu kesulitan hidup tidak akan berubah kerusakan kalbu. Andaikan para pengusaha, pejabat, orang-orang kaya, dan konglomerat sudi berjalan-jalan di alun-alun ini, dan mereka sudi membuka hati untuk melihat jerih-payah para pedagang dalam mempertahankan kehidupannya dan kehidupan keluarganya, tentu mereka akamn merasakan betapa wajah hidup itu tidaklah sama. Betapa orang-orang miskin dan serba kekurangan tidak dicipta untuk menjadi lebih miskin dan lebih kurang lagi. Andaikan orang-orang kaya suka bershodaqoh suka berderma, tentu mereka akan semakun kaya2 dan tentu derma atau shodaqohnya sangat bermanfaat bagi kehidupan kaum miskin dan papa. Tentu ragam wajah kehidupan justru menjadi pesona bagi kehidupan itu sendiri. Yang kaya tidak akan merasa dirinya kaya sehingga mereka dijauhkan dari kesombongan, keserakahan, dan kerakusan; sedang yang miskin tidak tenggelam dalam duka nertapa.
Oh, dunia……….
Aku melihat simfonimu……..
Astagfirullah
Rabb al-barayaa
Astaghfirullah
Minal-khotoyaa
Rabbi zidniy
‘ilm an-naafi’aa
Wa  wafiqniy
‘amalan shaliha
Ya, Allah Gusti
Nyuwun pangapunten
Dosane kawulo
Dalu lan rinten……….
Kudengar dendang mengiris  kalbu seperti itu. Kudengar gitar yang dipetik dengan baik dan lisan-lisan yang menyanyikan lagi istighfar itu. Kudengar dengan hati, pikiran, dan perasaanku.
Bergetarlah hatiku. Merindinglah kulit-kulitki. Kumendengar senandung itu dinyanyikan oleh para pemuda yang tadi duduk di dekat Ida dan Yoga. Kulihat mereka. Kunikmati alunan musik meraka.
Tepat setengah jam baru lebih sedikit, bus yang ditunggu-tunggu pun dating jua. Anton segera berdiri.
“Ayo, mas, tuh bus telah dating………”
Tetapi aku berat untuk berdiri.
“Mas…”panggil Anton lagi.
Dan aku masih berat untuk berdiri.
“Mas………, mas Iqbal!”
Tetapi  hatiku tengah terpaut pada nyanyian cinta yang didendangkan oleh para pemuda itu. Akhirnya aku berkata kepada Anton,”abang berangkat duli aja.”
“Looohhhh……..”
“Saya mau disini aja.”
“Di sini?”
“Iya.”
Kondektur bus yang baru tiba memanggil-manggil para penumpang.
Anton gelisah. Katanya,” aduh, gimana ya? Sungguh, bertemu dan berbincang-bincang dengan mas adalah nikmat yang indah. Dengan sepenuh hati aku katakana bahwa aku harus banyak belajar dari mas Iqbal. Tetapi, mau bagaimana lagi? Bolehkah aku minta nomor mas?”
“081327694333. Nomor abang sendiri?”
“08179408708. Baiklah, mas. Insyaallah, aku akan menghubungi mas. Tolong beri aku kabar yang indah tentang mas, minimal SMS –lah.”
“Insyaallah.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Sejenak aku tertegun.
Tadi, di sepanjang perjalanan, ketika aku berbincang-bincang dengan Anton, dia menyatakan bahwa agamanya adalah agama cinta. Agama cinta menurutnya adalah agama yang bukan agama Islam, bukan agama Kristen, bukan agama hindu, bukan agama budha. Tapi, kenapa dia berucap dengan simbol-simbol Islam seperti itu ya? Kenapa ya?
Ah, sudahlah………
Semoga saja dia memiliki heti bersih. Semoga ucapan Islaminya itu tidak hanya keluar dari lidahnya saja. Semoga Allah menujukkannya jalan yang benar dan lurus.
***
Lalu istigfar kudengar lagi. Dinyanyikan dengan suara yang lebih merdu lagi. Bus telah berangkat. Satu pun pedagang sudah tidak ada lagi. Kini, yang ada hanyalah malam yang sunyi, angin yang berhembus,  alun-alunan yang sepi, aku, dan keempat pemudi tadi. Rembulan telah bergeser ke ufuk barat. Bintang-bintang masih indah bertaburan.
Tiba-tiba, sebuah kekuatan menarikku untuk mendekati keempat pemuda itu. Aku pun melangkah pelan menuju mereka. Kutenteng tas dengan tangan kananku. 
Setelah dekat dengan mereka, kusapa mereka dengan ramah,”assalamu’alaikum”
Di antara mereka ada yang menjawab, walau bukan jawaban yang sempurna,”Aliykumsalam..”
“Bolehkah saya duduk di sini, bang?”
“Oh, boleh. Ini alun-alun, santai saja.”
Aku pun duduk. Segera kuperkenalkan diri. Dibalas dengan perkenalan mereka.
“Aku Parno,” kata pemuda yang duduk persis di sampingku.
“kenalin,surya,” kata pemuda di sebelahnya.
“Hek…….hek…..aku firman,” kata pemuda yang ketiga.
“Aku Patmo,”kata pemuda yang terakhir.
Sungguh, demi Allah, aku mencium bau minuman keras. Tampaknya, para pemuda itu habis menenguk minuman keras. Lihatlah Firman itu, bahkan dia masih teler begitu. Aku tahu bahwa ini bau minuman keras, sebab aku punya pengalaman mabuk, dulu.
Dan ketika kucecap bau rokok yang dihisap mereka, aku tahu bahwa mereka menghisap linthingan ganja. Aku juga tahu bahwa bau asap rokok ini adalah ganja, sebab aku biasa juga menghisapnya, dulu.
“Mas Iqbal ini mau ke mana?” Tanya Parno.
Sejenak keberpikir. Secepat kilat kumenjawab, “saya tidak kemana-mana. Saya tengah mengadakan perjalanan tanpa tujuan dan kejelasan.”
“kok bisa begitu?” firman bertanya dalam nada-nada mabuknya.
“Iya, begitulah.”
“Bisa nyanyi?” ini pertanyaan surya.
“Tadi, saya mendengar suara merdu. Siapa yang menyanyi?” tanyaku.
“Surya,” jawab Parno dan Patmo.
“Iya……..suara surya bagus……..bagus sekali. He………. He…..hk, hk……..coba ulangi lagi, ya astgh….firul……..lah. gimana nyanyinya? Dalu…..lan …rintan………ya, dulu. Hek….hk…..”
Surya pun menyanyi lagi, diiringi petikan gitarnya dan gitar parno. Firman mengangguk-angguk. Semakin kencang mengangguk. Semakin teler. Dan kemudian terhempas.
Dan aku hanya duduk. Mendengarkan musiknya. Mendengarkan nyanyiannya. Dan hatiku bertanya kepada pikiranku, pengalaman apa lagi yang tengah aku saksikan ini?
Demi Allah, tadi ketika aku masih duduk di sana, di sanalah hatiku bergetar sebab mendengrkan nyanyian cinta kepada sang Ilahi, yang diperdengarkan oleh para pemuda ini. Hatiku bergetar dan berdebar-debar sebab merenungi dan mendapati diriku berada di tengah malam yang dingin, di bibir alun-alun, ditengah kesucian, dan dipecah keheningan ini dengan nyanyian hati. Nyanyian cinta. Nyanyian yang menyenandungkan pertobatan dan pengampunan diri kepada Ilahi. Telah kuhafal ayat al-Qur’an yang memfirmankan:……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Para pemuda ini memang tidak sedang membaca al-Qur’an. Memang tidak sedang menjalankan shalat. Mereka hanya nyanyi. Mereka menyanyi di keheningan malam. Mereka menyanyi lagu rindu, cinta, pertobatan, dan pengampunan. Nyanyi seperti inilah yang tadi telah membuat diriku bergetar, kulit-kulitku merinding, dan jantungku berdebar-debar.
Tetapi sekarang?
Oh , dunia…….
Jawablah, apa arti syair-syair indah dan suci yang desenandungkan dari mulut-mulut berbau alcohol? Apa arti nyanyian pertobatan yang disenandungkan dari mulut yang dialiri minuman keras? Adakah keindahan yang didapat dari keadaan yang mabuk?
Subhanallahm memandang keempat pemuda ini, aku menjadi ingat dengan Jakarta di malam itu. Di saat aku tengah melintas si gang sempit di bilangan kramat pulom, senen. Saat itu, aku pu tengah dalam keadaan antara sadar dan tidak karena miras.aku berjalan melintasi sekumpulan muda-mudi yang tengah main kartu. Aku pun melintasi tiga orang pemuda yang tengah mabuk seperti diriku. Tetapi di dekatku, di dekat mereka, dari arah yang sangat dekat, kudengar alunan-alunan kalam suci yang berasal dari menara masjid. Kalam al-Qur’an mengalun, dan aku mabuk. Kalam suci terdengar, dan para pemuda-pemudi itu tenggelam dalam judi dan minuman-minuman keras. Sungguh, betapa dekatnya jarak antara suara Ilahi dengan perbuatan dosa dan maksiat. Sungguh, taka da harganya, taka da pengaruhnya, tak ada gunanya kalam-kalam suci itu didendangkan di sini, sebab pabila ia berpengaruh, ia berguna, dan ia berharga, tentu para muda-mudi ini tidak main judi dan sebagiannya mabuk-mabukan seperti itu.
Dan sekarang, di saat aku telah meninggalkan mabuk-mabukan, di saat aku telah menjauhkan diri dari narkoba dan ganja, di saat aku tengah mengadakan perjalanan dalam penantian cintaku, aku bertemu dengan para pemuda dalam keadaan berbeda dan tentang hal yang sama.
“Mas , coba nyanyikan sebuah lagu, dong.”
Aku tergagap. Karena aku sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak menyadari bahwa surya telah selasai menyanyi.
“Mas…….ah, mas suka melamun ya?” Tanya Parno.
“Oh, apa? Ah , nggak…..nggak. nyanyi apa?
“Seperti tadi. Seperti aku nyanyi tadi.”
“Iya …………., mas. Nyanyi dong. Mas punya uang nggak? Bertanya Firman kepadaku.
“Huss, jangan begitu, man !”seru Parno.
“Alaah……….,nggak apa-apa kan? Biasanya juga begitu!” jawab firman .
“Tapi lihat –lihat dulu dong kalau mau malak!”
“Ah, nggak apa-apa……”kataku. “ bang firman mau minta uang berapa?”
“Berapa sajalah…….habis nich minuman……….”
“Nggak usah diberi , mas, “ kata Parno.
“Kalau nggak mau ngasih, pergi aja dari sini!” teriak firman.
Sesaat, timbul ketegangan antara meraka sendiri. Firman berteriak-teriak kepadaku meminta uang. Parno sibuk memintaku untuk tidak memberinya. Parno mendorong tubuh Firman hingga terjungkal. Dan surya terus memetik gitarnya.
Aku menjadi bingung sendiri.
“Gini aja dech, “ demikian akhirnya aku barkata, “saya akan beri bang Firman fulus, asal tidak untuk membeli minuman dan bukan pula ganja?”
“Rokok aja, “kata surya.
“Yang lain, yang lebih asyik, apa?” sebenarnya aku ingin berkata ‘ yang lebih bermanfaat ‘apa; tetapi aku sadar tengah berbicara dengan para pemuda yang melihat manfaat uang untuk beli rokok, minuman, atau ganja.
“Memang mau ngasih duit berapa?” Tanya Firman .
“Bagaimana kalau beli gitar aja?”
“Heh……gitar?”
“Ya, kulihat kalian hanya membawa dua gitar, padahal jumlah kalian empat orang . bagaimana kalau beli dua gitar lagi? Siapa tahu kalian akan menjadi grup music?”
Sesaat, keempat pemuda itu saling pandang.
“Atau, bagaimana?”
“Ya, setuju,” kata Patmo. “ bagaimana menurutmu, Man?”
“Ya, terserahlah. Gitar juga lebih baik. Kalau bosan gitar, nanti kita bisa menjualnya. Uangnya bisa kita bellikan rokok. Oke, mana uangnya?”
“Mendingan kasih besok aja, mas,” kata Parno.”lagian, malam-malam begini mana ada took yang menjual gitar? Lagian, kalau mas mau memberi uang malam ini, bisa-bisa gitar tidak jasi dibeli.”
“Heh, asu…….teriak firman kepada Parno. “kau mencurigaiku? Kau ingin mengatakan uang itu akan kugunakan untuk membeli yang lain?”
“sudah, sudah. Nggak usah bertengkar. Saya percaya bang Firman akan membeli gitar kok. Bang Parno pun harus percaya,”kataku.
Mereka diam . mereka tidak jadi bertengkar. Dilihat dari raut wajahnya,aku yakin firman memang akan benar-benar membeli gitar seandainya saja aku beri dia uang malam ini. Ya Allah. Mungkin inilah yang harus kulakukan sekarang.
Mungkin disinilah, alun-alun Banjarnegara inilah tempat tujuannya. Mungkin, bersama sahabat-sahabat pengamen inilah aku akan menunggu dan mengisi waktu. Aku berdoa kepada-Mu, ya Allah, semoga uang yang akan kuberikan ini dapat menjadi wakil bagi diriku agar mereka mau menerimaku  sebagai sahabatnya. Dengan demikian, semoga nanti aku bisa membagi-bagi pengalamanku kepada mereka, sehingga mereka pun bisa meninggalkannya pula.
Kurogoh saku celanaku. Kuambil dompetku. Dengan mengucapkan basmalah, kubuka dompetku. Kutahu berapa harga gitar  yang standar. Maka, kuambil uang lima ratus ribu. Dengan hati yang penuh mengharap kepada-Mu, ya Allah, kuberikan uang ini kepada Firman,”Bang, terimalah.”
Terbelalaklah mata Firaman.
Terbelalaklah mata Parno,Patmo, dan Surya.
Terbelalaklah mereka sebab mereka tidak membayangkan aku akan memberi uang sebanyak itu.
“Mas, ini terlalu banyak,” kata Firman. Dari nada bicaranya, aku tahu bahwa mulai ada rasa segan kepadaku.
“Nggak apa-apa.”
“Tapi kalau untuk beli dua gitar,uang ini akan sisal oh mas?”
“Ambillah.”
“Benar?”
“Mas ini orang kaya ya?”
“Ah, nggak juga. Hanya saja, Allah SWT memberi rezeki yang cukup pada orang tua saya.”
“Sesungguhnya mas ini mau ke mana?” Tanya Parno.
“kemana pun mas Iqbal mau pergi, sekarang mari ikut kami pulang dulu. Sudah mau subuh nich. Istirahat dulu di rumahku, mas. Bagaimana ?” ajak Firman.
Aku mengangukkan kepala.
5
Seandainya Dia bukan Anakku
Ternyata rumah Firman tidak jauh dari alun-alun ini. Dia ternyata pemuda kota, kota Banjarnegara. Banjarnegara ternyata rumahnya terbilang bagus dan mewah, berpagar tinggi, dan berada du sebelah tenggara terminal. Dua puluh menit jarak ditempuh dari alun-alun ke rumah ini.
Aku pikir bahwa Firman ini bukanlah berasal dari keluarga yang kekurangan. Aku bayankan sebelumnya bahwa ia dan juga para sahabatnya itu berasal dari kelurga tak mampu sehingga mereka mencari penghidupan dengan menjadi pengamen. Mereka, minimal Firman, berasal dari kalangan berada. Mungkin sahabat-sahabatnya juga.
Firman memukul-mukul pagar besi, membangunkan orang yang tertidur di dalam agar membukakan pagar. Firman memukul lebih keras lagi, dan sesaat kemudian seorang wanita separuh baya membukakan pintu.
“Lama banget sih!” teriak Firman.
“Maaf, den ,” ucap perempuan separuh baya itu. Dia pasti seorang pembantu. Dia seperti bi inah di rumahku.
Kami segera masuk.
Firman segera mengajak aku dan sahabat-sahabat yang lain ke kamarnya. Kamarnya terletak di lantai dua.
“Ayo, masuk.”
Sebuah kamar berukuran luas dank has kamar seorang pemuda. Firman meraih tas punggungku dan meletakkanya di pojok kamar.
Sayu-sayup kudengar suara alunan kitab suci. Ku lirik arlojiku dan jarum jam menunjuk angka empat pagi.
Kudapati patmo, surya,dan parno sudah terserang kantuk yang demikian hebat. Mereka merenahkan tubuhnya di atas lantai. Sejurus kemudian, mereka sudah terlelap.
“Mas Iqbal bisa tidur di sini, atau di lantai itu. Bebas. Anggap saja rumah sendiri. Nggak usah sungkan-sengkan. Di rumah ini, akulah yang berkuasa!”
“Saya belum ngantuk. Kalau mau shalat di mana ya?”
“Oh, iya. Aku lupa. Mas bissa menurumi tangga.di sebelah kiri tangga ada ruang kosong. Di situ mushola.sori mas, aku nggak shalat. Nggak apa-apa kan?”
Aku tersenyum. Jawabku,”kalau saya shalat nggak apa-apakan?”
Firman pun tersenyum. Katanya kemudian “selamat tidur.”
“selamat tidur,” jawabku.
“mimpi indah,”katanya.
“mimpi indah,” kataku.
Tidak butuh waktu lima menit, firman telah tertidur. Pemuda itu, jika diperhatikan dengan seksama memiliki wajah yang tampan. Tubuhnya tegap dan atletis, demikian para gadis sering menyebut bentuk tubuh yang seperti itu.
Kuraih tasku. Kubuka isinya. Kuambil handuk, sabun, odol, dan sikat gigi. Aku ingin segera mandi, menghilangkan kepenatan dankelesuan tubuh, membersihkan badan dari kotoran dan bau-bau.
Aku menuruni tangga. Setelah turun, tidak sulit bagiku menemukan kamar mandi, sebab berada satu ruang dengan ruang mushola.
@@@
Sekarang, aku sudah memakai pakaian yang bersih, mengenangkan kain sarung, dan peci. Adzan subuh sudah berkumandang. Firman, surya, parno, dan patmo sudah semakin terlelap dalam tidurnya. Firman mendengkur. Dengkuranya sangat keras. Sendainya saja aku tidur di sampingnya, mungkin mata ini tidak akan mau di pejamkan. Mungkin telinga ini akan rishi mendengarnya.
Aku ingin mendirikan shalat sunnah terlebih dahulu, sebelumnya mendirikan shalat subuh. Aku tidak tahu, apa nama shalat sunnah yang akan aku kerejakan ini. Kalau itu disebut sunnah qabliyyah, tampaknya tidak tepat sebab adzan baru dikumandangkan. Kalau disebut shalat fajar, tampaknya juga tidak tepat, sebab fajar shadiq telah  lewat. Lalu disebut  shalat apa? Ah, apa pun namanya shalat sunnah itu, aku akan meniatkan sebagai ibadah tambahan (sunnah) untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Usai mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, aku lanjutkan dengan mendirikan shalat sunnah qabliyyah subuh. Setelah selesai, kukumandangkan iqamat, lalu setelah itu, kusambung dengan shalat subuh.
Kini, aku duduk dalam munajat kepada Allah. Aku bersyukur kepada-Mu, ya Allah, bahwa aku masih bisa mengerjakan sembahyang. Bahwa aku bisa mendirikan sembahyang tepat pada waktunya. Tidak seperti tadi ketika aku harus mengqadha shalat margib dan mengakhirka shalat isya. Aku bersyukur kepada-Mu sebab aku masih engkau beri kesempatan untuk menghadap-Mu. Engkau telah pilihkan aku jalan ini. Engkau telah jauhkan aku dari seorang Iqbal yang dulu tidak pernag beribadah kepada-Mu.
Duhai, Illahi.
Pagi ini aku berada di rumah sahabat baruku bernama firman. Pagi ini aku seakan-akan menyaksikan diriku, beberapa bulan yang lalu, tatkala aku masih seperti firman dan sahabat-sahabat yang lain itu. Pagi ini seakan-akan adalah pagi yang pernag kulewati , di sepanjang hari , tatkala aku sering pula pulang di penghujung malam, dan menghempaskan tubuhku tatkala suara adzan memanggil-manggil. Kusaksikan seakan-akan aku adalah firman, aku adalah surya, aku adalah parno, dan aku adalah patmo. Pagi ini, engkau mengigatkan aku akan masa laluku yang kelam, ya Allah, tatkala aku masih suka mabuk-mabukan, pergi ke night club menghambur-hamburkan uang.
Aku bersyukur kepada-mu bahwa kisah itu telah menjadi masa lalauku. Aku bersyukur kepada-Mu akan hidayah yang telah engkau berika kepadaku.
Tetapi bagaimana dengan firman?
Dengan surya?
Dengan parno?
Dan dengan patmo?
Akankah engkau memberikan hidayah pula pada sahabat-sahabat baru yang baru saja aku kenal ini? Tampak  sekali bahwa mereka adalah muslim seperti  halnya aku. Mereka membutuhkan cinta-Mu, ya Allah. Mereka membutuhkan kasih saying-Mu. Jikalau saja hamba-Mu ini boleh berharap, dan jikalau saja engkau mengabulkan harapan-harapanku, sekarang ini tidak ada yang lebih indah kecuali melihat perubagan yang terjadi pada sahabat-sahabatku itu. Hamba-Mu memohon  kepada-Mu, agar engkau berkenan memberikan hidayah kepada mereka, sebelum terlambat.
Aku memang baru saja mengenal mereka, tetapi salahkah aku jika memiliki pengharapan yang seperti itu?
Sungguh, si pagi ini, terlalu banyak yang ingin kuaduka kepada rabbku. Tentang keadaanku sendiri. Tentang nasibku. Tentang cintaku. Tentang pesantrenku. Tentang  bu jamilah dan putra-putrinya, tentang anton. Tentang ida. Tentang yoga. Tentang kedua orang tuaku. Dan tentang kaum muslimin pada umumnya. Telah banyak yang ingin aku adukan, sehingga lidahku kelu untuk mengeluarkan pengaduan. Akhirnya aku hanya dapat berdoa,” duh, tuhan kami; berikan bagi kehidupan kami di dunia, dan berilah kebaikan bagi kehidupan kami di akhirat.”
Setelah selesai munajat, aku segera meraih mushaf al-Quran yang berada di pojok ruang. Sebentar kemudian, aku segera membaca ayat-ayaat suci al-Quran.
Aku terus membaca.
Terus membaca.
Dan terus membaca.
Tanpa kusadari, dibelakangku berdiri dua orang tua.
@@@
“assalamualaikum.”
“wa’alaikum salam.”
Ketoleh kepala. Kudapati seorang laki-laki dan seorang perempuan tua. Sejenak kuperhatikan mereka, wajah mereka. Beberapa saat kemudian, aku mendapatkan keyakinan bahwa mereka adalah orang tua Firman. Ya, tak salah lagi, wajah ibu ini seperti wajah Firman.
“Nak mas ini siapa?” Tanya laki-laki tersebut yang aku yakin adalah ayah Firman.
“Oh, maaf,” aku berdiri. Aku pun menyalaminya. “saya Iqbal----Iqbal maulana. Bapak? Apakah bapak ini ayah Firman?”
“Jadi, nak mas ini temannya Firman?” yang bertanya ibunya.
“Iya,bu. Teman yang beru saja berkenalan.”
“Abah………ternyata………ternyata,” demikian gagap si ibu itu berkata, “ ternyata putra kita mempunyai teman yang baik.”
Kulihat ibu itu menitikan air mata.
Demi Allah, aku tidak tahu tentang apa yang tengah terjadi ini. Aku tidak tahu.
“Kami belum shalat subuh, nak Iqbal. Ijinkan kami untuk mengerjakan shalat dahulu, dan ijinkan kami untuk bercakap-cakap dengan nak mas, setelah shalat.”
“Oh iya, silahkan bapak dan ibu.”
“Nak mas bisa duduk di sana.”ayah Iqbal menunjuk kursi di ruang tamu.
Aku mengangukkan kepala.
Beberapa menit kemudian, orang tua Firman telah duduk berdampingan di depanku. Sulit menggambarkan bagaimana keadaan hati mereka yang tercermin pada wajah mereka. Kulihat ada kesediahn. Ada kekecewaan. Ada harapan. Ada ketakutan. Ada keinginan. Ada kemarahan. Sungguh, bahasa wajah tidak bisa menipu orang yang melihatnya. Perkataan bisa berbohong, tetapi bahasa tubuh tidak bisa melakukannya.
Kutunggu semenit, dua menit, tiga menit, mereka hanya diam. Mereka hanya saling pandang. Pada menit berikutnya, ayah Firman mulai berkata-kata.
“Nak, mas…..”dia mendesah.”darimana saya harus memulai dan kenapa saya harus mengatakannya.”
Aku diam. Aku hanya menunggu.
“Firman adalah putra kami satu-satunya,”demikian ayah Firman berkata.
“Tepatnya,putra kami yang masih hidup,”tambah ibu Firman.
Perlahan namun pasti, ait mata mulai mengalir di kedua pipinya. Sang ibu menitikan air mata. Air mata kepedihan.
“Dan kami tidak ingin Firman mengalami hal yang sama.” Imbuh sang ayah.
“Ibu, bapak…..”kataku kemudian,”demi Allah saya tidah tahu apa yang tengah terjadi pada keluarga ibu dan bapak. Saya baru kenal firman tadi…..tadi malam, ketika bus yang saya tumpangi mogok. Kalau bapak dan ibu ingin berbagi cerita dengan saya, saya akan dengarkan dengan sebaik-baiknya.”
Maka berkisahlah ayah dan ibu firman secara bergantian. Jika ayah Firman diam, maka sang ibu yang melanjutkan. Jika ibu Firman diam, sang ayah yang giliran berbicara. Jika ada pembicaraan yang kurang dari sang ayah, sang ibu menambahkan. Demikian pula sebaliknya.
Mereka berkata bahwa dulu, bertahun-tahun yang silam, mereka merupakan keluarga yang bahagia. Allah SWT memberikan rezeki yang cukup pada meraka, bahkan lebih dari hanya sekedar  cukup. Bisnis burhan, nama ayah firman, demikian lancar dan sukses. Sedangkan butik milik bu laela, nama ibu firman, demikian ramai dikunjungi pengunjungi pengunjung. Keadaan ini berjalan bertahun-tahun, bahkan sejak firman dan nida masih kecil. Walhasil, segala kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Kemakmuran dan kebahagiaan hidup menghiasi. Pak burhan dan bu laela telah bisa menjalankan rukun islam yang kelima, pergi ke bitullah, menjalankan ibadah haji, bahkan telah dilakukan sebanyak dua kali.
Sungguh demikian, walau rasa-rasanya semua telah terpenuhi, ada satu hal yang ternyata berjalan di luar dugaan pak burhan dan bu laela. Satu hal yang tak diduga tersebut, parahnya, berkaitan dengan perkembangan moral dan spiritual putra-putrinya. Mungkin, karena mereka, firman dan nida, merasa berasal dari keluarga yang sukses dan kaya, mereka sebagaimana seringkai terjadi pada keluarga-keluarga sukses dan kaya yang lain-----akhirnya terlibat dalam pergaulan yang salah, pergaulan yang bebas. Pak burhan dan bu laela tidak bisa mengontrol perkembangan mereka. Bahkan, pak burhan dan bu  laela merasa seakan-akan ditipu oleh sikap dan perangai putra-putrinya itu.
Di rumah, putra dan putri mereka kelihatan sebagai anak yang sopan, yang rajin, yang berbakti. Teman-teman mereka, kaliu dating ke rumah, juga kelihatan sangat sopan dan santun. Pendekanya, pak burhan dan bu laela melihat putra dan putrinya sebagai anak yang baik-baik.
Tetapi, lama kelamaan, nida dan firman---terlebih nida---seringkali pulang malam, dengan alas an yang itu-itu juga; belajar di rumah teman. Pak burhan pernah memerintahkan seseorang untuk mengawasi, apakah betul anak-anaknya itu belajar di rumah teman atau tidak. Nyatanya, mereka memang belajar di rumah teman.
“Satu hal yang tidak kami sadari,”demikian kata pak burhan,”setelah belajar, kami tidak tahu aktivitas apa yang dilakukan anak-anak kami. Ternyata, kami hanya percaya mereka belajar begitu saja, padahal waktu belajarnya sangat sedikit, sedang waktu yang dihabiskan di luar belajar sangat banyak.”
“Hingga suatu malam, kurang lebih satu setengah tahun yang silam, kami dikejutkan oleh kabar buruk yang demikian menusul ulu hati kami. Berita yang benar-benar ‘membunuh’kami.”
Bu laela mulai menitikkan air matanya kembali, pak burhan tersengal-sengal ketika harus melanjutkan kisahnya.
“Para tetangga……..menemukan nida…..telah menjadi mayat….!”
Kini, meledaklah tangisan bu laela.
Pak burahn sibuk menenangkan istrinya.
Pak burhan melanjutkan kisahnya; dari keterangan para saksi dan bukti-bukti yang dikumpulkan oleh polisi, nida---putri mereka yang cantik jelita------ternyata telah menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan. Tidak hanya itu, dinyatakan bahwa nida sudah sekian lama kecanduan obat-obatan terlarang.
“Dan kini, nak mas…..”kata pak burhan,”kami juga telah tahu bahwa firman pun mengalami kecanduan juga. Dia suka mabuk-mabukan. Dia suka menghisab ganja. Dia ……astagfirulah al-‘azim……..benar-benar membuat kami menjadi orang tua yang tidak berguna.”
“Sudah lama kami ingin melaporkan keadaannya itu kepada polisi. Tetapi, bagaimana? Mau bagaimana? Kami tidak ingin kehilangan dia, setelah kami kehilangan putri kami yang tercinta. Nak mas…..seberapa besar dosa yang harus kami tanggung sebagai orang tua?!”
Setegar-tegarnya batu karang, dia akan  lapuk juga. Setegar-tegarnya hati  seorang ayah, dia akan luluh juga. Itulah yang kusaksikan ketika aku melihat air mata pak burhan menetes, satu per satu, pelan-pelan, membasahi kedua pipi.
“Nak mas, demi Allah……demi Allah, selama ini kami tidak bercerita keadaan kami ini kepada siapa pun. Peristiwa tragis yang menimpa nida sudah lama dilupakan oleh para tetangga. Di mata mereka, kehidupan kami telah menjadi normal kembali.”
“Nak mas……..selama ini, kami pun tidak bisa mengatasi keadaan firman. Setelah adiknya diperkosa dan dibunuh, firman tidak semakin baik, tetapi justru semakin buruk. Di dendam  kepada orang yang tega memperkosa dan membunuh adiknya, tetapi dendamnya itu tidak terbalas. Bahkan, pelakunya sendiri sampai sekarang tak berhasil ditemukan polisi. Polisi itu kerjaannya apa sih, nak mas?!” menjerit bu laela keras-keras. Ada nada kegeraman dan kemarahan kepada orang yang berprofesi sebagai “polisi” ini.
“Dan pagi ini….pagi ini ketika kami hendak mengerjakan shalat subuh, kami mendapati seorang anak muda asing dan benar-benar asing di rumah kami. Kami mendapati dirimu tengah bersujud, bermunajat, dan membaca al-Qur’an di mushola kami, satu pemandangan yang belum pernah kami saksikan sebelumnya. Dan kami, demi Allan, benar-benar terkejut ketika mengetahui engkau adalah shabat putra kami.”
“Selama ini, tak satu pun ada teman firman yang pernah bersembahyang, bermunajat, dan membaca al-Qur’an. Selama ini, kami hanya menyaksikan teman-teman firman seperti hanya firman; pulang di pagi buta, dan tidur seperti biasa. Tidak jarang kami mendapati mereka pulang dalam keadaan mabuk.”
“Sungguh, nak mas…kamu adalah sahabat yang paling aneh dari semua sahabat putra kami.  Kamu adalah mukhuzat bagi kami, bagi rumah ini. Kami mendirikan shalat di rumah kami. Kamu bermunajat kepada Allah di rumah kami. Dan kamu hiasi pagi –pagi di rumah kami dengan kalam suci. Dan kamu adalah teman firman, putra kami.”
“Maka, bagaimana mungkin kami tidak akan berkisah dan berkeluh kesah tentang keadaan kemi kepadamu, nak mas? Yang dibutuhkan oleh putra kami adalah seorang  sahabat  seperti nak mas. Yang di cari oleh putra kami  adalah pemuda seperti nak mas. Dan yang kami butuhkan, sebagai orang tuannya, adalah seorang pemuda yang teguh memegang ajaran agama seperti nak mas.”
Apa yang hendak kukatakan?
Bagian mana yang harus kutanggapi?
Apa yang harus kukomentari?
Siapakah aku?
Aku hanyalah seorang Iqbal. Seorang yang baru benar-benar balajar agama beberapa bulan ini. Seorang yang baru saja melangkah menuju jalan kebenaran, dan selalu berharanp agar dirinya tidak berpaling dari kebenaran. Siapakah aku ini? Bahkan aku sendiri tidak sanggup meyakinkan diriku, apakah untuk selamanya dan untuk seterusnya aku bisa menapaki hidayah ini;aku bisa mengecap karunia Allah ini.
Suratan nasib ada di tangan Allah. Penanya juha si tanggan Allah. Apa yang akan terjadi  di kemudian hari, tak satu pun manusia yang mengerti dan mengetahui. Hari ini aku bisa menjadi orang baik, belum tentu besok aku masih menjadi pemuda yang baik-baik.
Siapakah aku ini?
Duh, Allahku……..
Pagi ini, kembali engkau menunjukan ayat-ayat mu. Pagi ini aku bersua dengan sepasang suami-istri yang telah menjalankan rukun islam  yang kelima, sebanyak dua kali, dan ternyata tengah menghadapi problem hidup yang demikian mengerikan. Putrinya pernah kecanduan narkona. Lalu, putrinya diperkosa dan dibunuh. Lalu, putranya pun kecanduan alcohol dan narkoba seperti halnya putrinya.
Duh, Ilahi….
Aku turut menyaksikan dan merasakan, betapa berat ujian yang engkau sandangkan pada keluarha ini. Dan betapa berat ayat-ayat yang engkau tunjukkan kepadaku kali ini.
“Nak, kenapa kamu hanya diam?” kata bu laela.”tolong, kami nak……”
“Benar, nak. Aduh, betapa bodohnya kami ini, sebab kemi belum mengenalmu sedangkan kami telah berkeluh –kesah kepadamu.”
“Saya, Iqpal-Iqbal Maulana.”
Kini, demi maksud untuk berbagi hati, aku kisahkan kisahku yang, sejatinya, tidak terlalu mengerikan jika dibandingkan dengan kisah yang tengah dijalani oleh pak burhan dan bu laela. Kukisahjan dari A hingga z perjalanan hidupku. Kisah A adalah kisah tatkala aku masih kecil hingga terjadi kecelakaan pada ibuku di malam itu, di saat aku mabuk, oleh kedua tanganku. Dan kisah B adalah kisah tatkala aku mengadakan perjalanan hati ke pesantren, hingga sekarang ini aku berada depan pak burahan dan bu laela.
Mendengar pemutaranku, bu laela tidak bisa menahan diri. Dia jatuh tak sadarkan diri.
Pak burhan masuk ke dalam kamar. Mengambil ini dan itu untuk menyadarkan istrinya. Dia dibantu oleh  seorang pembantu yang tadi membukakan pintu.
Sejurus kemudian, bu laela sadarkah diri. Dan dia menangis. Dan terus menangis.
Dan aku binggung. Telahkah aku membuatnya begitu pedih hati?
Di tengah-tengah isak tangisnya, bu laela berguman, Ya Allah, seandainya saja dia bukan anak saya….seandainya saja anak saya adalah nak mas Iqbal ini, alangkah bahagianya saya saat menghadap Ilahi.”
Bu laela jatuh tak sadarkan diri lagi.
6
Lebih Baik
Menghafal al-Qur’an
Begitu berat ujian yang diberikan Allah kepada bu laela. Begitu lama dia menjalani ujian itu. Begitu tertekan. Begitu tersiksa. Begitu pedih. Begitu perih. Kehadiranku di pagi ini ternyata membuka kerudung  kepedihan kembali, bahkan menambah kedukaan dan kepedihan yang tengah dirasakannya ini.
Aku mejadi tak enak hati. Aku merasa menjadi orang yang berdosa dengan kehadiranku di sini.
Pak burhan agak lama berada di kamarnya. Tadi, ketika bu laela kembali pingsan, pak burhan menggotongnya ke kamar, di bantu aku dan seorang pembantu. Sekarang, aku hanya bisa duduk sendiri di ruang tamu ini, ditemani secangkir kopi panas dan roti  bakar. Aku tidak tertarik untuk mengecap kopi itu dan melahap roti.
Untuk berapa lamakah aku akan duduk di sini?
Dan apakah aku akam terus-menerus di sini?
Apakah yang harus aku lakukan? Ke mana kedua kaki ini akan melangkah?
Sejenak, kuperhatikan keadaan di luar dari balik kaca-kaca jendela. Tampak orang-orang berjalan dan mobil berlalu-lalang. Datangnya pagi telah sempurna. Kulihat jarum jam dinding menunjuk angka setengah tujuh. Dan aku masih mendapati diriku sendiri duduk di atas kursi di ruang tamu ini.
Belum ada tanda-tanda firman dan para sahabat terbangun dari tidur. Dan aku masih tidak tahu apakah yang harus kukerjakan  sekarang. Langkah ke manakah yang harus aku tapaki?
Jikalau aku pergi dari sini, mencari bus dan menaikinya hingga ke Purwokerto, lalu untuk apa aku akan ke Purwokerto? Sesampainya di Purwokerto, apakah yang akan kuperbuat terhadap Purwokerto?
Jikalau aku mau di sini, aku mau tinggal di mana? Di rumah ini? Untuk tujuan apa? Bagaimana aku akan menolong firman pabila aku sendiri tidak bisa menolong diriku? Apa yang telah terjadi denganku, belum tentu akan terjadi pula terhadap firman dan para sahabat. Seharusnya aku bersyukur kepada Allah atas nasin baik yang sekarang ini telah menimpaku. Tetapi bagaimana dengan firman dan para sahabat?
Haruskah aku tutup mata dan tutup telinga, setelah tadi mendengarkan semua yang telah dikatakan oleh pak burhan dan bu laela? Akankah aku mensyukuri diriku sendiri dan memberikan pak burhan dan bu laela mengalami peristiwa seperti itu?
Ya Allah…….
Kenapa engkau ciptakan aku dalam keadaan yang terus-menerus  bertanya-tanya begini? Apakah keadaan yang seperti ini tetap menjadi cara engkau menghukumku, yang telah kuperbuat selama ini?
Ketika aku masih berada di rumah bu jamilah, telah kubaca sebuah kisah yang menceritakan tentang Imam  Abu Hanifah. Alkisah, Imam Abu Hanifah memiliki kebiasaan menghabiskan sebagian besar waktu malamnya untuk melakukan shalat dan membaca al-Quran. Ia mempunyai tetangga seorang pemuda yang kecanduan minuman keras dan terbiasa pulang larut malam. Tiap malam sehabis begadang, pemuda itu menyanyikan syair berikut ini;
Aku telah merek abikan
Dan setiap pemuda mereka sia-siakan
(kulewati) hari-hari kalut
Untuk mencari penyumpal mulut
Suatu malam, Abu Hanifah tidak mendengar nyanyian sang pemuda itu. Ternyata pemuda itu telah ditangkap polisi dan dimasukkan ke dalam penjara.
Abu Hanifah lalu pergi menghadap penguasa setempat. Beliau menceritakan hal ihwal pemuda dan meminta pembebasannya dengan harapan ia mau sadar dan menjadi orang baik. Demi menghormati Abu Hanifah, penguasa membebaskan pemuda itu.
Ketika itu Abu Hanifah bertanya kepada pemuda itu,”hai pemuda, apakah kami mengabaikan atau manjagamu?”
“Semoga Allah memberimu balasan kebaikan atas bagusnya ketentangganmu. Sungguh, aku berjanji kepadamu untuk bertobat dangan sebenar-benarnya kepada Allah dan meninggalkan segala perbuatan yang tidak diridloi-Nya,”jawab sang pemuda.1
Akankah aku masih bertanya-tanya kapada diriku sendiri ini, pak burhan muncul kembali dari kamar. Ia dating sendiri, tidak dengan bu laela. Dari pancaran wajahnya, kulihat pak burhan masih cemas, tetapi tidak secemas tadi. Dia kembali duduk di depanku.
Kutanya kemudian,” Nak mas, ini adalah kejadian pertama yang dialami istri saya. Kehadiran nak mas di sini sangat kuat pengaruhnya terhadap istri saya. Saya mohon nak mas mau tinggal di sini.”
“Saya, pak?”
“Saya mahon. Saya benar-benar memohon. Demi Allah, sesungguhnya saya mali terhadap nak Iqbal. Saya malu terhadap para tetangga. Dan, saya mali kepada Allah SWT. Saya benar-benar malu, nak. Saya sebanyak dua kali, ternyata tidak becus mendidik anak. Orang tua macam apa saya ini, nak?”
Sungguh, aku sendiri tidak tahu jawanan dari pertanyaan pak burhan tersebut. Aku sendiri tidak tahu. Mungkin Pak Burhan dan Bu Laela yang telah melakukan kesalahan.kesalahan mereka, barangkali karena terlalu sibuk dengan urusan merekan sendiri sehingga lupa terhadap urusan anaknya. Bukankah persoalan seperti ini adalah persoalan yang umum dan terhadap putra dan putrinya? Aku berpikir, kalau mau dicari kesalahan, tentu kesalahan itu ada para orang tua itu sendiri.
Orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan bisnisnya, misalnya, sehingga ia lupa mengontrol dan mengawasi perkembangan anak-anaknya. Atau, orang tua yang terlalu sibuk dengan ibadah-ibadahnya sendiri, sehingga lupia untuk mencermati perkembangan ibadah anak-anaknya.
“Saya telah membaca Rasulullah saw bersabda,”demikian kata pak burhan tatkala menyadari aku hanya diam saja,’Allah mengutuk orang tua yang membuat anak meraka menjadi durhaka kepada mereka’2saya juga telah membaca, bahkan berkali-kali----bahkan sampai sudah hafal di luar kepala---- sebuah riwayat  dari ibnu Abbas dan Abu Musa al-Asy’ari yang berkata bahwa Aus bin Ubadah al-Anshari mendatangi Rasulullah saw lalu berkata,”ya, Rasulullah. Saya memiliki beberapa anak permapuan dan saya mendoakan agar maut  menjumpai mereka.’Rasul bersabda,’Wahai ibn sa’idah,  jangan kamu berdoa seperti itu, karena anak –anak itu membawa berkah, mereka akan membawa berbagai nikmat, mereka akan membantu  apabila terjadi musibah dan mereka datang dari Allah SWT !’ tetapi bagaimana dengan saya dan anak saya? Nikmat apa yang telah saya peroleh dari kepemilikan anak seperti firman? Jangan dia bisa menjadi penyebab hati kami terasa sakit. Lalu, akankah saya mengatakan bahwa Rasulullah saw itu telah salah ketika beliau bersabda seperti itu, nak?”
“Pak, saya berlindung dari perkataan yang demikian itu, akhirnya aku berkata,” Saya sendiri pernah membaca riwayat di mana Rasulullah saw demikian murka kepada  para orang tua yang telah menelantarkan anak-anaknya. Bahkan dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa tatkala orang tua shalih di akhirat akan dimasukkan Allah ke dalam surge-Nya, orang tua tersebut akhirnya diseret malaikat Malilk ke neraka karena dia telah menelantarkan anaknya.”
“Itualah, nak Iqbal, yang benar-benar membuat saya takut. Benar-benar membuat istri saya takut. Saya pun telah membaca riwayat  yang demikian itu. Bahkan, jauh-jauh hari sebelum Nida---oh , semoga Allah mengampuninya---dan firman lahir. Saya dan istri saya sudah berusaha untuk mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Apa yang bisa saya berikan, telah coba saya lakukan. Tetapi, masyaallah, kenakpa letak kesalahan saya? Demikian  besarkah salah saya terhadap anak-anak saya? Bagaimana saya akan mempertanggungjawabkan diri ini di pengadilan Allah? Lalu apa makna saya dan istri saya rajin bersembahyang? Jika dengan cara yang salah? Duh gusti Allah, demikian beratkah engkau memberikan ujian pada kami?”
Kembali pak burhan menitikan air mata.
Dan kembali aku dibuat bingung dan tidak mengerti . dari penuturan yang disampaikan oleh pak burhan ini, aku membaca bahwa dia dan istrinya telah berusaha sekuat tenaga untuk mendidik putra dan putrinya. Pak burhan dan bu laela  telah berupaya, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang mereka miliki, untuk mendidik dan memberi pembelajaran pada putra dan putrinya.
Namun, fakta ternyata berbicara lain. Nida pernah kecanduan. Pernah diperkosa. Dan tewas dibunuh. Firman sendiri berubah menjadi anak jalanan. Menghabiskan hari dengan mengamen. Meninggalkan shalat. Kecanduan narkoba. Dan mabuk-mabukan.
Aku tahu bahwa perbuatan-perbuatan firman yang demikian itu tidak bisa dibenarkan dari sudut pandang agama. Dengan demikian, aku tahu bahwa firman telah melakukan dosa menurut agama.
Akan tetapi, berdosa pulakah pak burhan dan bu laela jika memang mereka telah berupaya sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya, dan semampunya, untuk mendidik dan memberikan pembelajaran padanya? Salahkah? Dosakah mereka di mata Rasulullah ? si mata Islam?di mata Allah SWT?
“Terkadang,”demikian pak Burhan melenjutkan bicaranya,” saya dan istri sering merasa terhibur dari  ketakutan dan kemurkaan Allah, ketika kami membaca dia berfirman:’ harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan  dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. Kami merasa bahwa kami telah melakukan kewajiban kami yang sebaik-baiknya kepada firman sebagai putra kami. Dan akhirnya, apa yang sekarang ini terjadi pada firman sudah berada di luar kuasa kami untuk mengendalikannya. Akhirnya, yang kami lakukan adalah selalu berdoa kepada Allah saja, memohon hidayah dan petunjuk-Nya, agar dia berkenan memberikan hidayah dan petunjuk kepada firman. Kami menenggelamkan diri dalam ibadah-ibadah kepada Allah sedangkan nasib firman kami serahkan sepenuhnya kepada  Allah SWT. Salahkah cara kami ini, nak mas?
“Pak burhan, saya meminta maaf  beribu-ribu maaf. Masih terlalu banyak yang tidak saya ketahui tentang salah dan benar dalam pendangan Islam. Berkali-kali bapak menanyakan pada saya persoalan salah dan benar dalam mendidik anak, sedangkan pengetahuan tentang hal itu---demi Allah—tidak banyak saya miliki. Barangkali, pak, sekarang ini adalah saatnya bagi kita untuk tidak berbicara siapa yang salah dan siapa yang benar. Barangkali , sudah saatnya sekarang ini kita terus berikhtiar sedemikian rupa sehingga bang firman terbebaskan dari belenggu hidup yang seperti itu.”
“Tetapi bagaimana dengan firman Allah yang mengatakan ; Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuj bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar? Haruskah firman saya padang sebagai musuh? Kemudian, haruskah saya memberi maaf kepadanya, tidak memarahinya, dan mengampuni kesalahan-kesalahannya?”
“Memang selama ini bagaimana bapak memandang, menggap, dan memperlakukan firman?”
“Kami sudah lelah. Kami sudah capek. Kami tidak sanggup lagi memarahinya, apalagi menasehatinya.”
“Artinga bapak telah putus asa?”
Pak burhan mendesah. “Entahlah, apakah sikap kami ini bisa disebut berputus asa atau bertawakal kepada Allah.”
“Yang saya tahu, begitu tipis jarak antara putus asa dan tawakal itu. Yang saya takutkan, bapak dan ibu bukan bertawakal, tetapi berputus asa.”
“Lalu bagaimana, nak?”
“Saya belum tahu jawabanya, pak. Benar-benar belum tahu. Mungkin , firman sekarang ini memang membutuhkan sahabat-sahabat yang mengerti dirinya, mengerti hati dan perasaannya; bukan sahabat atau kebutuhan-kebutuhan lain. Kami, insyaallah, lebih dari cukup untuk menanggungnya.”
Bagimana ini, ya Allah?
Keputusan apa yang perlu aku ambil?
@@@
Oh cintku……..
Cintaku yang masih menungguku.
Aku baru akan sampai pada wajah kekasih selama tiga tahun lagi. Oh tiga tahun.tiga puluh enam bulan. Seribu delapan puluh hari. Ini bukan jumlah hari yang pendek. Ini hari yang sangat panjang. Sepanjang itulah aku akan menunggu. Menunggu cintaku. Menunggu aku sampai pada waja Zaenab dan Pricillia.
Selama dalam masa menanti cinta ini, lalu apa yang mesti kukerjakan? Haruskah aku seperti ini seterusnya? Haruskah aku puas dengan apa yang telah kucapai hingga sekarang ini?
Aduhai, bagaimana mungkin aku akan puas dengan keadaanku sekrang, pabila ternayata pengetahuan dan pemahamanku akan agama hanya sebatas kuku jari? Apa arti perjalanan hidupku, seandainya aku hanya akan terus melangkah dan hanya melangkahkan kaki? Apa makna hidup itu sesungguhnya? Apa yang dicari dalam kehidupan ini?
Kebahagiaankah? Jika iya, apa yang akan membuatku bahagia?
Bertemu dengan kekasihkah?
Jika sudah bertemu, bukankah berarti kebahagiaan telah didapat? Lalu setelah didapat, bukankah kebahagiaan akan menjadi hilang?
Apa yang sesungguhnya dicari di balik jerih-payah seseorang bekerja membanting tulang/ uangkah? Tetapi kalau uang sudah didapat, lalu apa? Apa lagi yang mesti harus dicari?
Aduhai, kenapa aku selalu bertanya-tanya begini?
Bukankah sekarang ini yang harus segera kuputuskan adalah apakah aku akan di sini ataukah aku akan melanjutkan perjalananku ke Purwokerto? Seandainya aku pilih tinggal di sini, lalu keputusan untuk sebisa mungkin membantu Pak Burhan dan istrinya  serta menolong Firman, lalu siapakah yang akan menolong diriku sendiri mencapai kebahagiaan yang hakiki? Akan tetapi, jika kuputuskan untuk segera pergi dari rumah ini, ke Purwokerto atau ke mana pun juga, apakah ini tidak berarti aku telah berubah menjadi orang yang egois? Jika aku egois, lalu siapakah yang akan membantu Pak Burhan dan istrinya serta menolong Firman dan sahabat-sahabatnya?
Duh, Allah……
Aku lelah.
Aku bena-benar lelah.
Tak kusangkakan, perjalananku akan berat ini. Tak kubayangkan, keinginann untuk merubah diri menjadi orang yang lebih baik ternyata seberat ini.
Beratkan menurut-Mu, ya Tuhan?
Tiba-tiba, kepalaku menjadi pening. Kurasakan aliran darah demikian cepat memenuhi kepala. Kurasakan darah menjalar di seluruh kepalaku. Mataku berkunag-kunang. Otakku beku. Kantuk menyerangku dengan dashyat. Dan aku ambruk tertidur di atas kursi di ruang tamu.
@@@
Aku bangun ketika suara adzan Dhuhur terdengar. Tak terasa, sudah sekian lama aku memejamkan mata, di atas kursi ini, di ruang tamu. Sepi menyelimuti rumah ini. Tubuhku terasa pegal linu. Oh, seandainya saja di sini ada obat pegal linu.
Aku segera teringat Firman dan sahabat-sahabatnya. Sudah bangunkah mereka? Ke mana Bu Laela? Ke mana pembantu rumah tangga? Jam berapa Pak Burhan pulang dari kantor? Apa yang sekarang ini harus kukerjakan?
Aku berdiri. Aku melangkah menaiki tangga. Aku ingin melihat Firman dan para sahabat, ingin mengetahui apakah mereka sudah bangun atau belum.
Kubuka pintu kamar.
Sesampainya di dalam, aku tidak menemukan siapa pun. Firman nggak ada. Surya nggak ada. Parno nggak ada. Patmo nggak ada. Ke mana mereka ? mungkin, ya..mungkin mereka membeli gitar. Membeli gitar dari uang yang tadi malam aku berikan.
Oh Iqbal, sombong sekali dirimu!
Dengan mudahnya kamu beri uang lima ratus ribu kepada orang yang tidak kamu kenal?dan hanya untuk membeli gitar! Bukankah masih banyak janda-janda miskin dan anak-anak terlantar yang membutuhkan uang sebanyak itu? Bayangkan seorang kuli bangunan yang memiliki lima anak dan hanya dapat bekerja ketika lagi ada proyek. Bayangkan bagaimana keadaan mereka di saat tidak ada proyek yang harus dikerjakan? Sombong  sekali kamu ini, duh Iqbal, sebab kamu memberi uang sebanyak itu hanya demi membeli gitar, sedangkan orang-orang kelaparan di sekitarmu akan tertolong pabila kamu beri uang sebanyak itu? Gaji gutu honorer saja tiap bulan tidak sebanyak itu, sedangkan kamu beri orang asing uang sebanyak itu hanya untuk membeli gitar!!
Haruskah aku menyesal? Menyesali uang yang telah kuberikan kepada Firman dan para sahabat?
Kuhempaskan tubuhku di atas kasur. Kupejamkan mata. Kukumpulkan kekuatan pikiran yang dapat mencerahkan sekarang. Kusebut-sebut nama Allah berulang kali. Dalam keadaan seperti ini , menyebut nama Allah lebih baik daripada menyebut apa pun juga.
Pak Burhan.
Seorang bapak yang telah dua kali naik haji. Dari lidahnya seringkali keluar ayat-ayat suci ketika tadi aku bercakap-cakap dengannya. Dari ucapan-ucpannya, aku yakin, Pak Burhan telah berupaya sebisa mungkin untuk menyelematkan Firman dari belenggu hidup yang sia-sia. Aduhai, seandainya Pak Burhan itu memiliki putra yang shalih dan shalihah, sedangkan lidahnya bisa menghafal ayat-ayat suci dan ibadah-ibadahnya tak terbilang lagi jumlahny, tentu semua muslim akan merindukan diri menjadi orang seperti dia.
Dan aku rindu,ya Allah .
Aku rindu dengan hafalan ayat-ayat suci-Mu. Aku rindu dengan hafalan hadits-hadis rasul-Mu. Aku rindu.
Aku benar-benar rindu. Rindu. Rindu. Rindu!!
Tetapi di sini aku tidak memiliki buku-buku yang ada ayat-ayat al-Quran dan hadist-hadist nabi. Di sini bukan tegal jading, yang ke mana pun mataku memandang di dalam kamar, pasti kutemukan buku-buku, al-Quran, dan kitab-kitab kuning. Atau, seandainya sekarang ini aku ada di salatiga, tentu aku bisa pergi ke took buku untuk membeli banyak buku. Adakah toko buku di sini?seperti salatigakah kota Banjarnegara ini?
Tiba-tiba, secerah cahaya memasuki pikiranku membuatku bangkit terhenyak dari pembaringan. Tiba-tiba pikiranku menjadi cerah. Aku menemukan jawabannya;
Yaap! Dari pada mengkhayalkan yang tidak-tidak daripada pusing dan pening memikirkan apa yang mesti kulakukan padahal belum ada kepastian, daripada mengandikan ada tidakny buku, kitab hadist, atau toko buku di sini, lebih baik aku menghafal al-Qur’an saja!
Ya, kenapa aku harus tanggung-tanggung? Kanapa aku hanya menghafal petikan-petikan ayat al-Qur’an saja? Bukankah lebih baik aku hafalkan selurahnya saka?! Aku cemburu sama Pak Burhan, sebab dia hafal banyak ayat al-Qur’an  di luar ayat-ayat yang telah aku hafalkan. Aku cemburu. Cemburu buta. Lebih baik aku kalahkan dia dan semua orang yang hanya memiliki hafalan ayat-ayat al-Qur’an beberapa bagian saja.
7
Kamar Ini
Penuh Maksiat
Pukul setengah tiga.
Firman dan para sahabatnya pulang. Mereka mendapatiku sedang membongkar-bongkar tasku, mencari mushaf al-Qur’an yang sempat aku bawa dari pesantren. Mereka tersenyum. Aku pun tersenyum. Kullihat Firman membawa sebuah gitar. Parno juga membawa gitar. Gitar-gitar baru, sebab surya dan patmo pun membawa gitar yang lama.
“Mas, ini kami telah membeli gitar,”kata parno.
“Alhamdulilah,”jawab pendek.
“Aku tidak bohong, kan?” kata Firman.
Aku mengangguk.
“Maaf mas tadi aku tinggalkan. Aku nggak enak membangunkanmu. Kupikir mas patut untuk tidur sehingga kami membeli gitar tanpa mengajak mas.”
“Ah, nggak apa-apa.”
“Sedang cari apa,mas?” surya bertanya.
“Ini…..mencari mushaf al-Qur’an. Kok nggak ada ya? Apakah saya lupa membawa ya?”
“Qur’an?” Tanya Firman.
“Ya,”jawabku.
“Bapakku punya banyak Qur’an, mas seandainya mas mau. Nanti aku ambilkan.”
“Kamu sendiri tidak punya?” tanyaku menyelidiki.
“Aku?”
“ya.”
“Buat apa?”
Aduh, gimana menjawabnya?” yaaa………buat dibaca-baca.”
“Sori, mas. Aku nggak bisa membaca al-Qur’an. Kalau toh aku bisa membacanya, lalu untuk apa? Ya nggak, no!”
Parno dan Patmo mengangguk.
“Untuk cari keselamatan to?!”berkata surya.
“Aaaaaaaaaaah, selamat apa? Di akhirat?!” sergah Firman. “kayak kakek-kakek saja………hari gini ngomong akhirat? Puihhh! Omong kosong. Selama ini aku percaya akhirat, lalu aku tidak percaya. Ternyata, percaya dan tidak kepada akhirat toh sama aja!”
“Tapi bolehkah saya membaca al-Qur’an di sini?” tanyaku pada Firman.
“Ooo, boleh. Boleh-boleh aja. Ini kamar bebas sekali, mas. Bebas digunakan apa saja. Making love juga boleh. Ha..ha..ha…! mas punya “ love-lovean” nggak?”
Ku jawab dengan senyum.
“Senyum berarti punya kan?”
 Aku masih juga tersenyum.
“Sudah pernah bermain cinta dengannya belum?”!
Aku masih tersenyum.
“Nah, kalu senyum yang begituan sih berarti belum kan?”
Aku mengangguk.
“Bagimana kalau kapan-kapan mas kuajari bercinta, mau nggak?”
“Memang bercinta harus diajari?”
“Hah…ha…ha, Tanya ada ama surya!” seru Firman. Aku tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini. “Tanya aja padanya mas, apakah perlu diajari atau tidak?”
“Wow, untuk masalah yang satu ini, Firman jagonya, mas!” teriak surya kegirangan.
“Pagutannya kuat!” tambah Patmo.
“Sudah, sudah….aku tak tahan mendengarnya!” seruku.
“Ha……ha………..ha……….!”
Mereka semua tertawa. Mereka menertawakanku. Mereka tertawa, aku yakin, sebab mengandaikan aku adalah pemuda yang blooon terhadap cinta. Mereka pasti mengira aku pemuda yang tidak punya pengalaman bercinta. Padahal, aku berkata bagitu karena aku memang tidak tahan untuk mendengar pembicaraan yang jorok seperti itu. Dulu aku memang bajingan. Tetapi aku tidak pernah menjadi bajingan terhadap perempuan!
Hangphone Firman berbunyi. Ring tonenya lagi Ari Lasso, Cinta Terakhir.
“Halo,” sapa Firman.
“Man, nanti malam jangan lupa,” terdengar suara seorang laki-laki di seberang telpon.
“Oke. Beres…….”
“Uangnya sudah siap  belum?”
“Beres, beres. Kayak nggak kenal Firman aka!”
“Ini barangnya bagus, fulusnya tambahin ya?”
“Beres, beres. Mudah untuk masalah ini.  Tapi benar-benar bagus nggak?”
“Aku jamin……”
“Oke boss. Salamu’alikum………!”
“Haa…………ha………..ha……..kampret lu……..!”
Firman melempar handphonenya ke atas kasur. Dengan sepenuh girang, dia berkata kepada para sahabat, “ nanti malam barangnya datang!”
“Bener nich?” teriak para sahabat hamper berbarengan.
“Kapan Firman bohonh?”
“Waduh, pesta nich nanti malam…….tempatnya di mana?”
“Biasa.”
“Jam?”
“Biasa.”
“Bagaimana dengan mas Iqbal?”
Firman menoleh kearahku. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Sebentar kemudian, dia bertanya kepadaku,”mas, kamu telah membelikan gitar. Untuk itu, aku ucapkan terimakasih. Nanti malam ada pesta kecil-kecilan. Tetapi, dilihat dari tampangmu, aku yakin kamu tidak akan tertarik. Mas boleh memilih, mau menginap d sini? Atau , mau ke mana?terserah. menginap di sini, boleh ke mana pun juga boleh. Rumah ini bebas mas. Bebas untuk siapa saja. Tetapi aku harap, mas pun tidak menghalang-halangi kebebasan kami!”
“Jadi saha boleh menginap di sini?”
“Tidak ada yang melarang.”
“Kalau orang tuamu melarang, gimana?”
“Tidak ada yang berani melarang!!”
“Kalau begitu, nanti malam boleh ikut pesta nggak nich?”
“Apa?!”
“Jangan lupa, saya ini anak Jakarti.”
“Apa?!”
“Boleh nggak?!”
“Boleh-boleh.”
“Siip!!!!!!!!!!!!!”
“Tapi akibatnya tanggung sendiri ya?”
“Beres. Beres……”kutiru kata-kata Firman di telpon tadi.
“Kalau bagitu, kami pergi dulu.”
“Mau ke mana lagi?”
“Ke mana lagi kalau nggak ngamen?”
“Anak orang kaya kok ngamen sich?” tanyaku bergurau.
“Yang kaya itu bapakku, bukan aku. Lagi pula ngapain juga di rumah?!”
“Kapan-kapan, ikutan ngamen boleh nggak?” tanyaku lagi, tetapi kali ini serius.
“Orang baik-baik kok ikut ngamen?” jawab Firman.
“Yaa, sipa tahu jadi pengamen yang baik to?”
“Oke, oke.”
“Boleh ngaji nggak di kamar ini?”
“Boleh, boleh. Bukankah tadi telah kukatakan? Hanya saja, sori berat, sebab kamar ini penuh maksiat!!”
@@@
Ya Allah maafkan aku.
Maafkan aku, sebab aku kembali mendengar bagimana agamamu demikian tidak berharga pada diri sebagian makhluk-Mu. Al-Qur’an-Mu dilecehkan, agama-Mu dihinakan. Sungguh, betapa tidak berharganya ucapan “assalamu’alaikum” diperdengarkan.
Ya, Allah, maafkan Firman. Maafkan hamba-Mu yang satu ini.  Aku yakin dia tidak bermaksud untuk melecehkannya. Aku yakin. Dia hanya sedang luipa. Tadi malamnya, baru tadi malam, aku mendengar senandung lagu yang baik, yang dilagukan oleh Firman dan para sahabat, tetapi segera aku tahu bahwa mereka menyenandungkan lagu Istighfar dalam keadaan mabuk.
Jangan hukum mereka, ya Allah. Jangan hukum mereka. Berilah kasih sayang kepada mereka. Berilah petunjuk kepada mereka. Mereka lebih membutuhkan petunjuk-Mu dari pada kebutuhanku terhadap hal yang sama. Berilah kekuatan kepada Firman agar dia bisa terbebas dari belenggu hidupi seperti itu. Dan berilah kekuatan kepada penglihatan dan pendengaranku agar aku kuat mendengar wujud-wujud pelecehan dari mereka lagi, terhadap-Mu dan terhadap agama-Mu.
Sekarang, aku yakin bahwa aku tidak boleh kemana-mana. Aku tidak peril melanjutkan perjalanan lagi, sebab di sinilah, di rumah inilah, di kota inilah, perjalanan kumulai sekaligus kuakhiri. Aku telah berketepatan hati untuk menghafal ayat-ayat suci-Mu. Dan aku bertepat hati, demi kebesaran dan kemuliaan-Mu, untuk mendampingi Firman dan para sahabat menapaki jalan menuju kepada-Mu.
Aku yakin, sesgguhna di dalam diri oirang yang jahat, masih tersimpan detak-detak kebaikan dalam hatinya.firman dan para sahabat sesungguhnya bukan orang yang jahat. Mereka hanya belum menjadi baik saja. Mereka hanya berjarak dengan kebaikan saja. Aku yakin, mereka bisa diubah. Mereka bisa berubah.
Aku tidak bisa marah dan memandang hina mereka sebab jika itu kulakukan, kemungkinan besar mereka akan menjauh dariku. Dan jika mereka menjauh dariku, kemungkinan mereka semakin akaan terbelengu dalam hiduip yang seperti itu. Telah kubaca al-Qur’an yang suci memfirmankan;
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjaukan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, memohonkanlah ampun  bagi mereka, dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-nya.
Ya, sekiranya aku bersikap kasar dan berhati keras kepada Firman dan para sahabat, tentu mereka akan menjaukan dariku. Tentu semakin lebar jarak antara diriku dengan para sahabat yang seperti mereka. Yang dibutuhkan mereka, aku yakin, adalah kelembutan hati dan cinta kasih yang sejati. Mereka membutuhkan perhatian yang tulus, bukan wajah yang berpaling dan mulut yang mencaci maki.
Aduhai, seandainya orang-orang mengerti bahwa orang-orang seperti Firman dan para  sahabat  itu ada untuk  didekati dengan penuh kelembutan hati dan cinta kasih yang sejati, itu adalah sebaik-baiknya sikap yang ditunjukan kepada mereka, demi kebaikan mereka sendiri. Aduhai sayang seribu sayang, masih banyak di antara kita yang justru melihat mereka dengan penuh benci dan segudang caci maki. Mereka yang sudah merasa rendah, semakin direndahkan. Mereka yang sudah merasa hina, semakin dihinakan. Mereka yang sudah jahat, semakin dibuat jahat. Dan mereka yang sudah jauh dari cahaya Ilahi, semakin di jauhkan.
Demi Allah, aku tidak mau menjadi orang yang seperti itu. Aku tidak mau melihat sahabat-sahabat yang nyata-nyata membutuhkan cahaya hidup dipandang dengan cara yang rendah dan hina. Sebagimana aku yang memiliki hak untuk menjadi baik, mereka pun hanya sama;
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya, dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
Kuturuni tangga kembali. Kusing-singkan lengan baju. Kuambil air wudhu. Adzan Dzuhur sudah lama berlalu, dan tidak ada yang dapat menundaku lagi untuk menghadap Allah-ku.
@@@
Usai menjalankan shalat, aku berencana untuk pergi membeli mushaf al-Qur’an. Tidak ada yang bisa menghalang-halangiku lagi untuk segera memulai menghafal kitab suci. Ketika kaki kananku menapaki anak tangga pertama, bu laela memanggilku dari belakang.
“Nak mas……….”
Aku menoleh. Kulihat wajahnya yang masih memendam kesedihan. Kutersentuh melihatnya. Kuberikan seulas senyum yang tulus seumpama aku adalah anak kandungnya sendiri.
Aku tidak jadi menaiki tangga. Kudekati bu laela yang berjalan mendekati kursi di ruang tamu.
Bu laela duduk.
Aku pun duduk.
“ibu tidak berangkat kebutik?” tanyaku.
Bu laela mengelengkan kepala.
“Maaf, sekiranya kehadiran saya di sini demikian membuat galau perasaan ibu.”
Dan bu laela kembali menggelengkan kepala. Katanya, “Bersediakah nak mas membantu kami?”
“Hati saya akan pedih pabila nak mas pergi dari sini.”
“Bu, saya ingin menghafal al-Qur’an di rumah ini. Bolehkah?”
“Itulah cahaya yang akan menerangi rumah ini.”
“Firman juga telah mengijinkan saya tinggal di sini, Bu.”
“Semoga Allah sudi mengucurkan cinta –Nya kepada Firma.”
“Amin.”
“Amin. Ya rab al’alamin.”
“Ibu saya akan berusaha.saya akan berusaha sekuat dan sekemampuan saya. Maaf ibu, bukan berarti saya memadang diri saya sebagai orang yang baik, orang yang benar, orang yang memiliki akhlak al-karimah. Saya memandang diri saya sendiri masih banyak kekurangan dan kesalahan. Firman dan saya tidak ada bedanya, sebab saya sesungguhnya pemuda yang baik. Hanya saja, dia belum menapaki jalan yang baik itu.”
“Ibu percaya kepadamu, nak.”
“Tetapi mari kita semakin mendekatkan diri kepada Allah, sebab di genggaman tangan-Nyalah nasib  kita ditentuka.”
“Ibu percaya kepada Allah, nak. Ibu percaya. Pabila ibu hanya bisa mengeluh kepadanya, sebab ibu yakin tidak ada tujuan megeluh selain dirinya.”
“Bolehkah saya pergi sebentar, Bu”
“Nak Iqbal mau ke mana?”
“Ibu tahu di mana dijual mushaf al-Quran? Saya berniat menghafal al-Quran……….”
“Nak Iqbal bisa pergi ke pasar kota. Tetapi bila nak Iqbal membutuhkan mushaf, kami punya. Nak Iqbal bisa mengunakanya.”
“Terima kasih, Bu”
“Jadi bagaimana?”
“Hitung-hitung jalan-jalan ke pasar, sekalian membeli mushaf.”
“JIka itu yang nak Iqbal mau. Oh iya, masyaallah……nak mas kan belum makan?”
“Ah, belum lapar kok, bu. Lagi pula, saya bisa maka di pasar.”
“Jangan begitu.”
Bu laela melangkah ke dalam. Sayup-sayup kudengar dia berbicara dengan pembantu. Dia meminta pembantu untuk menyiapkan hidangan. Pembantu menjawab bahwa hidangan sudah sekian lama disiapkan sampai-sampai nasi dan sayuran tela dingin. Bu laela meminta untuk menghangatkan kembali. Pembantu mengiyakannya.
Aku masih duduk.
Sesaat kemudian, bu laela kembali. Di tangan beliau tergengagm mushaf al-Qur’an.
“Ini, nak mas. Mushaf ini bisa nak mas gunakan. Demi Allah, baru kali ini saya menyaksikan seorang pemuda seperti nak mas. Seorang pemuda yang memiliki tekad untuk menghafalkan al-Qur’an. Sebagai orang tua, saya akam mendoakan nak mas. Saya akan memohon petunjuk Allah. Saya akan memohon kepadanya supaya nak mas bisa menghafalkan al-Qur’an. Putri adik saya yang di Jawa timur juga telah  menghafal al-Quran, nak. Dia menghafal ketika dia mondok di sebuah pesantren tahfids al-Quran.”
“kalau boleh tahu, adakah kiat-kiat untuk menghafal al-Qur’an, Bu?”
“Ibu tidak tahu. Hanya saja, dulu ketika ibu bertanya kepada Niswan, nama keponakan  ibu itu, orang menghafal al-Quran itu harus selalu berusaha menghindari dosa dan maksiat. Selain itu, orang yang menghafal al-Quran  harus istiqomah, di samping juga dia harus setoran kepada seorang kiai.”
“Ya, menguji hafalan al-Quran kepada seorang kiai.”
“Kalau begitu saya……..”
“Kalau nak mas mau, nak mas bisa pergi ke KH Ilyas Bahesty al-Hafid di parakancanggah.”
“Di parakancanggah? Di mana itu?”
“Tidak terlalu jauh kok dari sini, nak. Paling sekitar 7 kilo dari sini. Saya bisa meminta Pak Kardi untuk mengantarkan nak mas. Pak Kardi itu sopir kami. Nanti saya kenalkan nak mas dengannya.”
“Aduh, saya jadi merepotkan ibu.”
“Saya senang. Demi Allah, benar-benar senang. Sendainya saja Firman itu seperti   nak mas.”
“Insyaallah, Bu. Jika Allah menghendaki…”
“Doakan dia, nak. Doakan. Barangkali, selama ini Allah tidak mengabulkan doa kami. Barangkali terlalu banyak dosa dan kesalahan kami sehingga doa kami memohon kebaikan dan petunjuk bagi Firman tidak dia kabulkan. Barangkali, oleh sebab doa-doa nak mas Iqbal sajalah pabila dia berkenan untuk memberikan hidayah kepada Firman.”
@@@
Akhirnya, atas keinginan tuan rumah, aku tinggal di sebuah kamar di lantai bawah. Sebuah kamar untuk tamu. Kamar yang luas ukurannya., dengan sebuah spring bed besar. Sebuah cermin. Sebuah kamar mandi. Satu set computer. Dan beberapa buku yang tergeletak tak terurus di meja kamar. Aku berniat untuk menggunakan kamar ini menghafal al-Quran, sedangkan untuk tidur aku akan tidur bersama Firman dan  para sahabat. Aku merasa tidak enak pabila harus menempati kamar ini, sedangkan Firman dan para sahabat berada di atas.
Seperti siang ini. Setelah aku selesai mengerjakan shalat dhuhur, aku mulai membuka mushaf al-Quran kembali. Sudah dua hari ini aku tidak memegang mushaf. Rasanya rindu sekali. Kurindui lekukan-lekukan huruf ayat-ayat al-Quran. Kurindui untuk menyentuhnya. Kurindui untuk membacanya.
Aku duduk di atas kasur. Kubuka surat al-Fatihah dan alhamdulilah, aku telah menghafalnya. Aku harus melanjutkan surat selanjutnya, surat al Baqarah,. Bagaimana caraku menghafalnya ya?
Bisakah aku menghafalkan al-Quran ini? Mempukah otakku  menghafalkan seluruh ayat al-Quran ini?
Ya Allah…..
Aku memohon petunjuk kepadaMu. Aku ingin menghafal al Quran sebab aku ingin menghafal ayat-ayatMU, sebab dengan cara yang demikian ini, aku akan tahu dan mengerti bahwa engkau adalah dzat yang menciptakan dan dzat yang pantas untuk disembah.
Jadi, perlancarlah lidahku untuk menghafal ayat-ayatMU, ya Allah. Tunjukkanlah aku bagaimaba aku dapat menghafal semua ayat-ayatMU dalam mushat yang suci ini.
Yang kulakukan kemudian adalah mengkalkulasi,menghitung-hitung. Kalau tidak salah ingatanku jumlah ayat-ayat al Quran  itu sebanyak 6.666ayat. sementara aku memiliki waktu 3 tahun untuk menghafalkannya. Ini berarti aku harus mempu menghafal sebanyak 6.666;(3x12x30_=6,1722. Aduh, adakah ayat berjumlah 6,1722? Ah, mustahil.  Nggak ada ayat pecahan seperti itu! Ini berarti aku harus menghafal sebanyak 7 atau 8 ayat perhari selama tiga tahun. Jika aku gunakan waktu setelah shalat fardlu, aku harus menghafal 2 atau 3 ayat. Ya, dua atau tiga ayat. Setelah dzuhur, dua atau tiga ayat setelah ashar,dua ayat setelah magrib, dua atau tiga ayat setelah isya, dua atau tiga ayat dan setelah subuh, dua atau tiga ayat.
Yaapp, dengan cara begitu, insyaalah, dalam waktu  tiga tahun aku bisa menghafalkan al-Quran dan selesai ~! Syaratnya , aku harus istiqamah. Jika tidak istiqomah, akan sulit bagiku untuk merampungkan hafalan al-Quran selama tiga tahun.
Bisakah aku utuk istiqomah?
Bisakah aku tidak, aku akan mencobanya, ya Allah. Aku akan, mencobanya.
Tanpa membuang waktu lagi, segera kubuka kembali mushaf al-Quran. Kubaca basmalah. Kubaca alFatihah. Kubaca shalawat. Dan kubertawashul kepada nabi dan para imam yang suci.
Segera kudapati bulu-bulu kudukku merinding. Kulihat mukaku menebal. Ini fenomena apa? Aku nggak tahu. Aku hanya merasa seumpam di atas perahu di tengah lautan di mana kedua mataku menyaksikan ombak tengah bergulung-gulung. Ayat-ayat al-Quran yang akan ku hafalakan, surah al Baqarah ini, serta mau mengulungku.
Maka kuulangi lagi membaca basmalah. Membaca al Fatihah. Membaca shalawat. Dan bertawashul kepada nabi yang ummi dan para imam  dari keluarganya yang suci.
Kutunggu sesaat.
Dan alhamdulilah.
Perasaanku takut pun sirana. Hatiku menjadi  tenang. Jantungku tidak bergedup kencang. Dadaku tidak bergetar. Lalu,  kubaca ayat pertama surah al Baqarah; alif laam mim.wallahu a’lamu bi muradihh-----demikian biasanya kang Rahmat dulu menjelaskan maksud dari ayat mustasyabih  ini. Kubaca ayat pertama ini sebanyak tujuh kali. Setelah itu. Kulanjutkan dengan ayat kedua.
8
Pesta kecil di dalam kamar
Bel rumah berbunyi berkali-kali, tetapi tuan rumah tidak membukakan pintu jua. Ke mana Bu laela?  Kemana pembantu rumah tangga? Bel berbunyi lagi sedangkan aku duduk  di sini, dekat sekali dengan pintu rumah. Dan ketika bel bebungi sekali lagi, aku segera turun dari tempat tidur. Aku menuju pintu.
Kubuka pintu.
Dan di depanku, berdiri seorang gadis memaki kaos putih ketat lengan pendek dan celana jeans.
“Eh, maaf, Firma nada?” tanyanya.
“Anda………?”
“Saya temanya. Firma nada?”
“Firman lagi keluar.”
“Keluar?”
“Ya.”
“Jam berapa keluar?”
“Masuk dulu, mbak.”
Dia masuk.
Aku pun mempersilahkannya duduk.
“Maaf, aku belum pernah melihat kamu di sini sebelumnya,”katanya, sesaat setelah duduk.
“Oh, iya. Kenalin, aku Iqbal, Iqbal Maulana.”
“Aku Indri. Indri Rahmaningtyas.”
“Indah sekali nama anda.”
“Kamu saudara Firman?”
“Bukan.  Aku sahabatnya.”
“Ooooh………kok aku baru lihat?”
“Sahabat barunya.”
“Ooooohh…..kok Firman nggak cerita sih?”
“Mbak bisa nelpon Firman. Dia bawa HP kok tadi.”
“Oh, iya. Maaf.”
Indri mengambil HP-nya. Sesaat kemudian, terdengar pembicaraan dengan Firman.
“Kamu dimana……?Oooo……..aku ke rumahmu nich sekarang. Iya, aku di temani mas Iqbal cakep lho………he……..he………he. nggak, nggak . kangen nich. Cepetan pulang dong……..pesta?! heh ntar malam? Jam berapa? Oke. Di mana? Biaasa? Oke. Dah sayang……….!”
Aku berfikir bahwa inilah kali pertama aku mendengar perkataan seorang gadis yang demikian terbuka, ceplas-ceplos. Entah apa yang dikatakan Firman di ujung telponnya sana, aku bisa mengerti bahwa gadis ini, indri ini, adalah pacar Firman. Mendengar nada bicaranya, wajahnya ketika bicara, dan kata-katanya, aku yakin gadis ini memang pacar Firman.
“Sebentar lagi dia pulang,”kata Indri kepadaku. “Aku nggak ganggu kan mas?”
“Ah, nggak. Lagian, aku bukan tuan rumah di sini.”
“Ssssttt…….Bu laela ada nggak?” dia berbisik.
“Emang kebapa?” aku setengah berteriak.
“Ah, nggak pa-pa. nggak enak aja. Boleh aku ke atas?”
“Maksudnya?”
“ke kamar Firman?”
“Maaf, Indri. Aku bukan tuan rumah. Aku tidak bisa memutuskan apakah boleh atau tidak.”
“Tetapi, aku biasa langsung ke kamarnya kok.”
“Tetapi bagaimana kalau Firman ditunggu di sini saja.”
“Yaaaah, kalau memang nggak boleh. Tapi, temenin dong. Kamu kan sahabat Firman? Jadi, sahabatku juga kan? Mau kan menemaniku?”
Aku menganguk saja.
Layaknya seorang tamu, seharusnya Indri aku kasih minum dan makanan ala kadarnya. Tetapi, aku sendiri di sini seorang tamu. Ah, lucu juga aku ini. Bagaimana tamu sepertiku akan tinggal bertahun-tahun di sini. Tetapi, kalau dia kuambilkan minuman, apa nanti tidak salah perbuatanku ini? Nanti tuan rumah akan menganggap aku keterlaluan. Lalu, haruskah aku belikan Aqua, keluar? Tetapi, kalau bu laela atau pak burhan pulang dan mendapati aku menyuguhkan minuman Aqua pada Indri, apa nanti nggak  dikira aku keterlaluan sebab menganggap tuan rumah nggak tahu diri?
Sesaat, aku bingung. Jangankan untuk ngobrol apa, untuk berpikir menjamu tamu saja aku bingung. Kalau tidak kujamu, apakah Indri tidak akan menganggapku tuan rumah yang tidak baik? Kalau kujamu…..ah, kenapa jadi nggak karuan begini??!
“Mas kok diam saja. Mas pendiam ya?”
“Oh, nggak. Aku sedang berpikir, maka aku diam.”
“Berpikir apa, kalau boleh tahu?”
Akhirnya kuberkata,”sori banget, in. aku nggak bisa ngasih minum nich.”
“Nggak usah di pikirin, sudah biasa kok. Sueeerrrr!”
“Alhamdulilah, kalu begitu.”
“Mas seorang muslim ya?”
“Iya………..”
“Aku juga muslim kok. Tapi, aku nggak pernah  shalat. Boleh nggak?”
“Kenapa?”
“Kenapa ya? Nggak sih, males saja.”
“Tapi bisa shalat kan?”
“Bisa sih bisa . tapi…..”
“Aku dulu nggak bisa. Baru beberapa bulan saja masuk neraka, mas?”
“Emang kenapa? Takut neraka?”
Indri tertawa. Katanya,” aku lebih takut ditinggalin Firman dari pada masuk neraka.”
“Gitu ya?”
“Iya.”
“Jadi Firman lebih hebat dari neraka ya?”
“Maksu loe?”
“Ah, nggak ………sayang loh, kalau cewek secakep kamu nggak shalat.”
Kulihat, pipi indri bersemu merah. Sumpah, dia memang kelihatan lebih cantik dengan semu merahnya itu.
“Aku ….aku cewek yang nggak baik kok mas.”
“Maksud loe?”
“Mas suka niruin omongan orang ya?”
“Nggak juga. Aku memang benar-benar nggak tahu apa yang barusan kamu katakana itu.”
“Aku muslim. Tapi aku nggak pernah shalat. Aku juga nggak paki jilbab. Kalau ramadhan , aku nggak pernah puasa ramadhan. Dan dengan Firman , aku sering melakukan …….melakukan hubungan………seksual laiknya suami istri. Menurut mas, aku ini gadis yang baik atau bukan?”
“Menurutmu sendiri?”
“Mungkin aku tidak layak disebut muslim kali ya?”
“Aku kagum kepadamu, Indri. Boleh aku panggil namamu saja, tanpa mbak? Usiamu berapa sih?”
“Sembilan belas mas?”
“Dua-dua. In , sori aku naya, apakah kamu biasanya orangnya ceplas-ceplos begini?”
“Inilah Indri, mas. Nggak usah heran. Mas heran ya? Mas kok nggak cerita sih, rumahnya di mana. Saudaranya berapa. Di sidi kerja apa. Kuliah di mana. Pacarnya berap.”
“Pacar bera[a?”
“Iya. Orang secakep mas tentu saja suka ngerampok ceweek kan?”
 Aku tertawa. Aku geleng-geleng kepala.
Dan aku terus geleng-geleng kepala.
@@@
Malukah aku yang harus berbincang-bincang denga gadis sepereti Indri? Atau, haruskah aku sedih mendengarkan kata-katanya, ucapan-ucapannya, dan keterbukaannya? Harus pulakah aku marah dan mencaci-maki kepadanya sebab dia mengatakan bahwa dirinya adalah seorang gadis muslim yang tida baik? Yang telah meninggalkan sembahyang, meningglkan puasa, dan bahkan telah melakukan hubungan badan dengan cara tidak sah dan tidak halal?
Siapakah aku ini sehingga pantas untuk merasa sedih dan marah; hingga pantas untuk mencaci dan memaki? Kata orang, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’untuk  menggambarkan watak, sikap ucapan, dan perilaku seorang anak yang mirip dengan kedua orang tuanya. Siang ini aku kembali belajar tentang hal yang serupa dangan peribahasa ‘buah tidak jatuh dari pohonnya’akan tetapi tidak pada hubungan orang tua dengan anaknya. Aku melihatnya pada diri Indri dan Firman. Peribahasa itu tidak terlalu cocok sih, tapi mungkin bisa menjelaskan bahwa seseorang akan  mendapatkan  orang yang sederajat dengannya. Aku pun menjadi ingat terhadap Ida dan Yoga di dalam bus tadi malam ;orang baik-baik akan mendapatkan orang baik-baik pula, sedangkan orang buruk-buruk akan mendapatkan orang buruk – buruk pula. Orang baik memiliki  kecenderungan  untuk bergaul dengan orang yang baik pula; sedangkan orang yang buruk memiliki kecenderungan untuk  bersahabat dengan orang yang buruk pula. Kecenderungan yang demikian  inilah yang aku lihat pada  diri Indri dan Firman dan para sahabat.
Lalu, ketika aku ikut  bergabung dalam persahabatan  dan pergaulan mereka, haruskah aku menganggap atau dianggap sebagi orang yang buruk pula. Haruskah aku dimaki sebagai orang yang jahat juga?
Oh, demi bintang di langit; demi ombak yang berdeburan di pantai, demi gunung yang menjulang tinggi, aku berlindung kepada Allah SWT dari keburukan dan kejahatan perangi dan perbuatanku sendiri. Apa pun kata orang nanti tentangku ketika mereka melihatku berteman, bersahabat, dan bergaul dengan orang-orang seperti Firman,Indri, dan para sahabat di sini, aku tidak peduli apakah aku akan dianggap bajingan atau penjahat. Mereka manusia; dan aku pun manusia. Mereka adalah orang – orang yang sering diamuk dengan pandangan beci oleh orang-orang yang merasa dirinya baik; dan aku tidak ingin mengamuk membeci mereka, sebab aku merasa bahwa mereka tidak hanya berhak untuk berkawan dengan orang-orang yang seperti mereka. Biarlah orang mencaci mereka, sedangkan aku ingin belajar mencintai dan menyayangi mereka. Biarlah orang mendengki mereka, sedangkan aku ingin belajar mengasihi mereka.  Semoga, dengan cara mencintai, mengasihi mereka, dan menyayangi mereka, mereka akan dipercepat untuk sampai pada kebaikan, kebahagiaan, dan kebenaran!
Itulah hal yang aku tanamkan pada diriku ketika menemani Indri berbincang-bincang tadi. Ketika Indri sendiri merasa capek dengan keluh-kesahnya tentang dirinya sendiri kepadaku. Kutemani dia bercakap-cakap hingga sore, hingga waktu ashar tiba, hingga bu laela pulang dari berpergian dan hanya memberikan lirikan sebentar kepadanya tanpa menyapa. Firman yang ditunggu-tunggu tidak juga pulang, sehingga akhirnya indri pulang tanpa bertemu dengannya.
Setelah kepergian Indri, setelah aku menjalankan shalat ashar, setelah aku menambah hafalan beberapa ayat dari surat-al Baqarah, Bu Laela mengajaku berbincang-bincang khusus tentang Indri. Kutemani beliau bercakap-cakap hingga Magrib menjelang Pak Burhan belum pulang dari kantor.
Dikatakan oleh Bu Laela bahwa dia tidak suka terhadap Indri. Bagaimana dia akan suka terhadapnya kalau Indri adalah gadis yang ‘terkutuk’di matanya?! Bagaimana tidak  ‘terkutuk’ jikalau hamper setiap hari Indri datang ke rumah ini, bertemu dengan Firman, bercakap-cakap di kamar, dan tidak jarang tidur bersama Firman? Sudah tak terhitung Bu Laela mengingatkan (tepatnya;memperingatkan) Firman bahwa perbuataan itu tidak bisa dibenarkan baik dari sudut pandang agama maupun kemasyarakatan , tetapi setiap kali Firman diingatkan, setiap itu pula Firman membantahnya. Setiap kali Bu Laela berbicara keras kepadanya, setiap itu pula Firman  menbentak-bentaknya. Ketika  Bu Laela memilih untuk berbicara dengan lemah – lembut, Firman mengatakan bahwa dirinya bukan anak kecil lagi.
“Apa bedanya tidur bersama antara sekarang dan nanti?”demikian kata firman.
“Bedanya, kamu belum menikahinya sekarang, Firman.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Masalahnya perbuatanmu itu tidak dibenarkan oleh agama kita.”
“Aaaalah……..agama lagi, agama lagi…..! aku sudah capek. Aku sudah muak! Aku sudah muak menyembah Allah . Buat apa?! Buat apa aku menyembah dia yang tidak mempu menyelamatkan adikku dari pemerkosaan dan pembunuhan, heh? Buat apa?! Tuhan jenis apa yang tega dan kejam seperti itu!!”
“Huss, jangan berkata begitu!”
“Emang kenapa? Tuhan mau menghukumku?! Mau membunuhku?! Lakukan saja………tapi, mana? Tuhan tidak bisa berbuat banyak terhadapku.bagaimana mungkin aku akan menyembahNya? Aku akan melaksanakan perintah-perintahNya? Enak saja! Bu, sudahlah. Nggak usah ibu mencampuri urusanku dengan Tuhan dan Indri. Biar kuurusi sendiri!”
Bagitulah.
Demikianlah.
Itulah yang sering dikatakan Firman seperti yang dikatakan Bu Laela. Ibu mana yang sanggup lagi mendengar kata-kata makian terhadap Allah? Ibu muslim mana yang tidak sedih bercampur kecewa marah mendengar kata-kata yang seperti itu? Ibu mana yang masih tahan memberikan nasehat-nasehat pada orang yang seperti itu?!
Mendengar penuturan Bu Laela, bisakah aku Tanya; seandainya aku adalah Bu Laela, bisakah aku menjadi orang yang lebih tahan dan lebih sabar juka dibandingkan dengan Bu Laela ? belum tentu.
Belum tentu aku sesabar dan setaha Bu Laela. Bisa jadi, firman kupukuli habis-habisan; akan kuanggap sebagai anak yang durhaka, anak yang tidak tahu diri, anak yang tidak diuntung; akan kuanggap lebih baik tidak memiliki anak seperti dia, tidak melahirkan anak seperti dia.
Tetapi Bu Laela ?
Dikatakan kepadaku bahwa walau dia sering mengeluh tentang Firman, sekalipun dia tidak pernah menurunkan tangannya kepada Firman. Pak Burhan juga demikian. Sakit hati orang tua terhadap anaknya tidak membuat Bu Laela dan Pak Burhan mendoakan Firman dengan doa-doa yang jelek, buruk, dan jahat. Perasaan sedih, kecewa, dan marah kepada Firman dilampiaskan dengan cara lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Akhirnya, Bu Laela dan Pak Burhan kembali menyerahkan urusan putranya itu kepada Dzat Yang Menentukan segala urusan, yakni Allah SWT.
Mungkin, itulah sebenar-benarnya hati seorang ibu. Betapapun anaknya demikian berperangai dan berperilaku yang jahat, buruk, dan rusak, hati seorang ibu selalu mendendangkan doa-munajat kepada Allah, agar Allah masih berkenan mengampuni dosa dan maksiat anaknya.
Dan demikian itu pulalah hati yang dimiliki oleh ibuku.
Aduh, ibu.
Di Banjarnegara ini, aku kembali teringat akan dosa dan kesalahan yang telah kuperbuat padamu, ibu. Tetapi karena kekuatan hatimu pula, Iqbal yang sekarang Insyaallah tidak seperti Iqbal yang dulu. Andai saja engkau tidak memiliki hati seorang ibu, mungkin nasibku akan lebih buruk sekarang ini jika dibandingkan dengan nasibku yang dulu.
Dan aku yakin, entah bagaimana caranya nanti, hati Bu Laela akan mampu meluluhkan kekerasan hati  Firman putranya.
@@@
Malam telah bergulir lama. Hamper sepanjang satu jam, aku duduk-duduk di teras rumah, menemani waktu dan angina yang berhembus. Langit masih cerah. Bintang-bintang masih bertaburan. Tak kulihat satu pun orang berjalan. Suara mesin kendaraan pun sudah lama tidak terdengar. Kuisi waktu yang hamper satu jam ini dengan mengulangi hafalan al-Quranku. Alhamdulillah, semua ayat yang telah aku hafalkan sejak tadi siang masih terjaga di ingatan. Kuulang-ulang terus hafalankku, sebab aku khawatir berlalunya waktu dapat meluluhkan hafalanku.
Firman belum juga pulang. Tadi dia akan mengajakku untuk melakukan pesta, tetapi sampai detik ini tidak ada tanda-tanda kemunculannya. Dia dan para sahabatnya mau pesta di mana ya?
Aku jadi ingin tahu, apakah cara berpesta narkoba para pemuda di kota kecil seperti Banjarnegara ini laiknya pestaku dan kawan-kawanku dulu di kota besar seperti Jakarta? Aku dan kawann-kawan dulu, biasanya melakukan pesta kayak gituan di hotel berbintang. Kalau tidak demikian, kami menyewa villa di daerah  puncak. Aku tidak tahu, apakah Firman  dan para sahabat akan berpesta di hotel mana. Apakah di sini ada villa?
Ah narkoba..
Beruntung sekali  aku telah menjadikanmu sebagai musuhku. Sungguh beruntung kamu tidak membuatku mencanduimu. Amat beruntung  aku dapat mengenyahkan engkau dari ketergantungan diri.
Waktu terus bergulir. Jarum jam menunjuk angka setengah satu. Tatkala aku hendak masuk ke dalam rumah, terlihat firman, surya, parno,patmo berjalan dari arah kiri. Di belakang mereka, dua gadis mengikuti. Aku kenal gadis yang satu, sebab dia adalah Indri. Gadis yang satunya aku tidak kenal. Dia tampak lebih muda dari Indri. Wajahnya juga ayu seperti wajah Indri.
Segera aku bukakan pintu gerbang.
Firman terkejut mendapatiju yang membukakan pintu.
“Belum tidur, mas?”tanyanya.
“Belum,”jawabku.
Sesaat, Firman mengenalkanku kembali dengan Indri. Dan gadis yang satunya itu ternyata namnya Oktaniani.
Firman lalu mangajak kawan-kawan itu masuk ke dalam rumahnya. Pelan-pelan. Berjingkat-jingkat. Agar tidak membangunkan kedua orang tuanya. Firman dan para sahabat tidak tahu bahwa kedua orang tuanya belum tidur dan memperhatikan mereka dari ruang tersembunyi. Aku tahu sebab tadi Bu Laela dan Pak Burhan mengatakannya kepadaku.
Seperti halnya Firman mengajak para sahabat untuk memasuki kamarnya, dia pun mengajakku untuk memasuki kamarnya. Aku ikut saja.
“Jadi pesta tadi, bang?”tanyaku lirih.
“Ssst…….belum,”jawabnya. “Pesta akan diadakan di kamarku. Santai saja. Walaupun pesta kecil-kecilan.”
Sesampainya di dalam kamar. Firman, Parno, Patmo, dan surya meletakkan gitar-gitar yang dibawa mereka di sudut kamar. Indri dan Okta duduk di atas tempat tidur. Firman duduk di atas lantai dilingkari surya, parno, patmo. Aku duduk di atas kursi yang ada di kamar ini.
Firman segera mengeluarkan bungkusan yang tadi dia simpan di balik bajunya. Sebuah kantong plastic berwarna hitam. Dari dalam kantong itu, sebuah bungkusan kertas berwarna putih dikeluarkan. Lalu diletakkan di atas lantai.
“Inilah bubuk surgawi…..!” kata surya dengan kepuasan yang berlebih.
Ya, apa yang disebut’bubuk surgawi’ oleh surya tadi sebenarnya adalah marijuana. Itulah bubuk yang dulu sering aku konsumsi bersama teman-teman di Jakarta. Sudah sekian bulan aku tidak melihatnya lagi. Dan kini, aku kembali melihatnya.
“Hidupkan music!”teriak Firman pada Okta.
Okta turun dari tempat tidur. Sesaat kemudian, lagu berjudul wind will yang dibawakan oleh Hlloween terdengar. Tidak terlalu keras. Sebenarnya dapat membuat kantuk, sebab lagu itu bernada melo. Aku ingin tertawa sebanarnya, bagaimana sebuah pesta diiringi dengan music sendiri ala wind will. Tawaku mau terpingkal-pingkal sebenarnya sebab aku bayangkan para sahabat ini sebenarnya tidak mengerti Helloween sedang berdendang tentang apa!
Sebuah alat dikeluarkan. Bong. Itulah namanya. Jumlah ada tiga. Tiga korek api juga dikeluarkan.
Lalu, tanpa menungguggu waktu lagi, firman segera mengisap bubuk itu. Ujung bong disulut korek api. Dihirup bubuk itu dengan lubang hidung kanannya. Ditutup lubang hidung kirinya dengan tangan kiri.
Semua yang ada di kamar memperhatikan Firman dengan wajah ceria. Mereka tidak sabar untuk menghisap bubuk durjana itu.
Surya segera mendahului teman-temannya yang lain. Diikuti dengan Parno. Lalu Patmo. Lalu Indri dan Okta. Mereka beramai-ramai menghisab marijuana. Menikmatinya hingga sedotan yang terakhir.
Aku tak dihiraukan oleh mereka seakan-akan aku bukanlah manusia di kamar ini. Seakan –akan aku  tidak ada di antara mereka. Ini menguntungkan bagiku, sebab akan sulit bagiju menjelaskan pada mereka bagaimana aku tidak ingin lagi menghisap bedebah tengik itu.
Apa yang terjadi kemudian sungguh malu untuk kulukiskan. Demi Allah, aku malu terhadap diriku sendiri. Seiring hilangnya kesadaran para sahabat, terjadilah apa yang akan terjadi. Adalah Indri dan Okta, sati persatu, segera melepaskan pakaian mereka. Sebelum mereka benar-benar bugil, aku keluar kamar. Aku tak perlu menebak apa yang akan mereka lakukan. Semuanya sudah jelas. Pesta narkoba memang sering berjalan beriringan dengan pesta seks.
9
Gone With the Wind
Mendung mulai bergulung-gulung. Musim kemarau telah hengkang, berganti dengan musim  penghujan. Cerahnya mentari semakin sulit untuk dilihat. Hari berbalutkan kemuraman. Dan langit berselimutkan awan. Tetes-tets air hujan telah sekian lama basah. Demikian pula jalam, genting, pepohonan, mobil-mobil, burung-burung.
Inilah bulan-bulan yang penuh dengan tumpahan hujan. Inilah saat-saat penghujan di mana aku melihat dan merasakannya setelah sekian lama keluar dari kota Jakarta dan merantau di tanah jawa. Dulu, ketika mula pertama aku menapakan kaki di tanah tegal jading, aku disambut oleh panasnya udara, angina kering, dan kemarau. Kulalaui hari-hari di tegal jading dalam kemarau yang mengeringkan. Ketapaki jalan-jalan di kota salatiga dalam debu dan kotoran.
Dan hamper lima bulan waktu kuhabiskan di Banjarnegara. Dua bulan pertama kemarau masih menemaniku. Tiga bulan terkhir, penghujan masih menjemputku. Curah hujan demikian tinggi. Mungkin, baru di tahun inilah curah hujan demikian tinggi.
Kabar-kabar bencana masuk ke telingaku. Cerita masa lalu yang mengerikan dan terjadi di kota ini kembali terdengar. Dulu, aku hanya mendengarnya dari surat kabar. Di kota Banjarnegara ini, di sebuah tempat bernama sijeruk, masyarakat ditelan tanah longsor. Ratusan orang tewas ditelan bumi. Orang-orang Banjarnegara menyebutnya dengan’tragedi subuh’, sebab tragedi itu terjadi ketika subuh. Ibu-ibu, gadis-gadis, dan anak-anak menjerit tak tertolong. Para laki-laki sibuk menyelamatkan ini-itu sehingga mereka lupa menyelamatkan diri mereka sendiri. Ratusan tewas. Sijeruk menjadi cerita mengerikan dan memilukan.
Kini, tidak hanya sijeruk yang kembali menyita perhatian. Bencana atau musibah hamper menyerang di penjuru negeri. Dalam catatanku, bencana-bencana ini seakan-akan ditumpahkan semuanya dinegeri ini. Mulai dari bencana moral hingga bencana alam di berbagai kawasa, berita tentang buruh-buruh perempuan dan pelajar-pelajar putri yang kemasukan makhluk halus bergema. Tanah negeri  ini di sebut  sebagi ini pertiwi. Ibu sedang menangis. Anak-anak perempuan menjadi korban. Beberapa waktu yang silam, bencana lumpur tengah melanda sidoarjo. Lapindo penyebabnya. Rumah, pekarangan, dan tanah-tanah menjadi mati. Tanah subur berganti tanag yang mati. Berhektar-hektar lahan tengelam dalam lumpur. Kerugian sudah tak terbilangkan lagi. Para penduduk kehilangan tempat tinggal dan tongkat pekerjaan. Nasib mereka masih tidak jelas hingga sekarang ini. Dan sudah seminggu Pak Burhan dan Bu Laela pergi ke Jawa Timur. Menjenguk saudara mereka yang ikut menjadi korban.
Pesawat adam air hilang. Penumpangnya tewas tak ditemukan. Kapal senopati karam. Bangkainya juga tak ditemukan. Yang tewas juga tak ditemukan. Yang selamat hanya dapar mensyukuri diri. Rel kereta api anjlok di mana-mana. Bus tabrakan sering terjadi. Negeri ini tengah diamuk musibah.
Pada keadaan yang demikia itu, petinggi-petinggi negeri hanya terus berpesan kosong. Tebar pesona. Cari simpati. Bikin pernyataan palsu. Tak berdaya! Para politisi rebut sendiri-sendiri, memperebutkan gaji, dan mendapatkan tunjangan yang lebih gede lagi. Timnas sepakbola hanya mendemonstrasikan keluncuan dan kegelian belaka. Para pemainnya nggak bisa lari. Sok ingin menunjukkan kualitas dirinya sendiri. Malas untuk mengejar bola. Sok ingin memasukkan bola ke gawang lawan sendiri-sendiri.
Ah, dunia-dunia.
Dunia negeri ini.
Dunia yang banyak diisi oleh orang-orang yang memuakkan dan menjengkelkan. Dunia yang sulit di cari siaipa sesungguhnya manusia, sebab yang ada, kebanyakan, adalah binatang bertopengkan wajah manusia. Kepalsuan-kepalsuan ditampakkan. Citra-citra semu diagung-agungkan.
Ah, ngapain juga aku ngurus negeri yang tak terurus ini?!”
Buang-buang waktu saja.
Membuncahkan dosa saja.
Memang apa yang telah bisa aku perbuat, di kota ini, di Banjarnegara ini?
Sudah lima bulan berlalu. Dan aku hanya bisa tenggelam dalam hafalan al-Quranku. Aku sudah hafal sepuluh juz. Hafal di luar kepala. Untuk hal ini, aku sungguh berbahagia.
Tetapi apa yang tela bisa kuperbuat demi kemuliaan para sahabatku?
Apa?!
Tidak ada!
Tidak banyak yang bisa kuperbuat demi kebaikan dan kemuliaan para sahabatku. Jika yang dimaksud adalah Firman, surya, parno da patmo telah meninggalkan dunia jalananya, dunia mabuk-mabukkannya, dunia seks bebasnya, dunia narkobanya, maka omong kosong pabila kukatakan bahwa mereka telah berubah. Sebaliknya, mereka tetap berada dalam dunianya yang seperti itu.
Sungguh, aku tidak mengerti lewat saluran mana aku bisa mengubah mereka. Ah, sombong sekali aku ini sebab seakan-akan aku bisa mengubahnya dan akan mengubahnya. Memang, apa hakku untuk mengeluarkan meeka dari dunia seperti itu?
Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan terhadap mereka adalah aku secara menyakinkan bisa diterima sebagi sebenar-benarnya sahabat mereka. Kukatakan ini dengan sepenuuh hati. Dan mereka pun tahu bahwa aku tidak mungkin melakukan kebiasaan mereka yang mabuk-mabukan itu. Tidak mungkin bagi mereka untuk mengajak aku meninggalkan shalatku, meninggalkan dunia al-Quranku.
Sebagai seorang muslim, mereka menghormatiku. Menghormati aku yang tidak pernag meninggalkan shalat. Menghormati aku yang sering mengaji al-Quran dan bahkan menghafalkannya. Menghormati aku yang tidak menyentuh narkoba atau minuman  keras. Mereka tahu hal itu. Dan mereka tidak memaksaku untuk mengikuti mereka.
Oleh karena itu, haruskah aku memaksa mereka untuk mengikutiku?
Apakah kebenaran itu bisa dipaksakan untuk di terima oleh orang yang tidak benar? Memaksa adalah suatu perbuatan yang tidak  bisa dibenarkan. Kebenaran adalah kebenaran, dan memaksa kebenaran sama dengan ketidakbenaran itu sendiei. Dan aku tidak pernah memaksa FIrman, parno, patmo dan surya untuk mengikutiku. Mereka memang muslim juga. Tetapi masalah seorang muslim apakah mau menjalankan shalat atau mengaji al-Quran  adalah masalah dia dengan Allah SWT. Ini masalah petunjuk. Masalah hidayah. Anih pabila aku membayankan memaksa seorang untuk masuk ke dalam hidayah Allah. Hidayah hanya didapat melalui jalan kesadaran. Jalan ketercerahan diri. Dan kesadaran  dan ketercerahan diri selalu berbanding terbalik dengan keterpaksaan.
Tetapi, seteka aku mengerti dan paham bahwa keburuka adalah keburukan , kejahatan adalah kejahatan, amoralitas adalah amoralitas, yang kesemuanya ini di mata agama merupakan dosa, maksiat, dan kesalahan, di mana setiap muslim akan dihisab oleh Allah SWT di pengadilanNya nanti di akhirat, sedangkan para sahabat juga seorang muslim, maka haruskah aku diam saja seperti ini? Haruskah aku laksana seongggok daging dan tulang yang lalu bersama angina begitu saja?
Haruskah aku puas dengan pencapaianku di dalam menghafal al-Quran saja, dan terus-menerus melakukan pembiaran pada para sahabat? Kul al-haq walan kaanamurran, demikian kata-kata para sahabat di pesantren masih jelas tergiang-giang di telingaku. Maka, haruskah aku menelankan pil pahit kebenaran pada mulut para sahabat itu?
@@@
Karena aku benar-benar sudah diterima sebagai bagian dari mereka, aku sering ikut kegiatan-kegiatan mereka. Dan jika di pikir-pikir dan direnung-renungkan, kegiatan mereka itu tak lebih dari hal-hal seperti ini:
Kumpul-kumpul
Bicara ngalor-ngidul
Gitaran
Ngamen
Tidak lebih. Tidak pula kurang.
Jika dipikir-pikir dan direnung-renungkan, waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal seperti itu. Hanya untuk kumpul-kumpul, bicara tak karuan, gitaran, ngamen, dan diselingi dengan mabuk-mabukan dan pesta narkoba. Tidak lebih. Tidak kurang. Membayangkan saja kegiatan yang seperti itu bisa membuat pikiran bosan, apalagi menjalankannya.
Tetapi anehnya, para sahabat tidak bosan-bosan jua. Bayangkan saja, ketika mereka ngantuk-------dan  biasanya kantuk menyerang ketika menjelang subuh----mereka kemudian tergelapar bagitu saja untuk tidur, entah di dalam kamar Firman, entah di alun-alun, atau entah di sembarang tempat. Mereka akan tidur hingga sekitar jam Sembilan atau sepuluh. Terkadang, mereka baru bangun menjelang dzuhur.
Setelah bangun, mereka mandi. Kamar Firman benar-benar di pakai sebagai pusat kegiatan. Pera sahabat hanya pulang untuk bersalain, ganti pakaian. Setelah itu, mereka langsung pergi begitu saja, berkumpul lagi. Sehabis mandi, mereka ngobrol lagi, lalu pergi ngamen, duduk-duduk, mabuk, ngobrol, dan menunggu kedua mata ngantuk kembali. Begitu seterusnya. Setiap hari. Selama aku bersama mereka selama lima bulan ini. Tak bosan-bosankah mereka?ternyata tidak. Sebab kalau bosan, mereka akan menhentikan kegiatan-kegiatan yang hanya seperti itu saja.
Sesungguhnya, apa yang dicari oleh mereka?
Aku pernah membaca bahwwa anak-anak jalanan, oleh sebagian ahli pikir, dianggap sebagai anak-anak yang melarian diri dari rumah. Mereka tidak memiliki kebahagiaan di dalam rumah. Mereka mengalami konflik dengan orang tua. Mereka pergi dari rumah untuk mencari dan mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Benarkah pendapat yang seperti ini?
Jika pendapat seperti itu dipakai untuk menilai Firman, aku pikir pendapat itu tidak benar. Mungkin akan benar jika dipakai untuk membaca surya, parno, dan patmo. Sampai detik ini, aku tidak tahu di mana rumah mereka dan terlibat masalah apa mereka itu dengan orang tua. Yang aku tahu, Firman tidak terlibat konflik dengan kedua orang tuanya. Jika pun ada konflik, tak lain dan tak bukan konflik tersebut hanyalah antara Firman dengan dirinya sendiri. Kenyataan membuktikan bahwa Pak Burhan dan Bu Laela tidak pernah terlibat dalam pertengkaran dengan Firman, apalagi terlibat permusuhan. Tetapi toh ternyata Firman tampak lebih  asyik berada di jalan dari pada di rumah. Dia hanya akan kembali ke rumah tatkala pagi akan menjelang, tatkala kantuk mulai menyerang. Selebihnya, dia sering berada di jalan.
Malam ini adalah malam ketiga belas di bulan kelima aku berada di rumah ini. Di luar, hujan masihlah ders mengucur membasahi apa saja. Sudah sekian menit aku menutup mushaf al-Quranku. Dan sudah sekian menit aku duduk sendiri di ruang bawah ini.
Bu Laela dan Pak Burhan belum jua pulang dari jawa timur. Entahlah, kapan mereka akan pulang. Mungkin, mereka masih kebingungan mengurus sanak-saudara mereka di sana, yang rumahnya, pekarangannya, ladangnya, dan sebagainya diamuk lumpur lapindo.
Akhir-akhir ini, firman hanya banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Para sahabat yang lain jarang datang ke sini. Alasannya hanya satu; hujan. Hujan menghalangi mereka untuk keluyuran di jalanan. Entahlah, di mana keberadaan patmo, parno,surya, indri, dan Okta. Mungkin mereka seperti Firman, menghabiskan sian dan malam hanya di dalam kamar.
Aku membuka pintu, dan aku disambut oleh hujan demikian deras. Angina berhembus demikian kencang membawa Kristal-kristal air membasahi sebagian tubuhku. Kilat menyambar-nyambar.udara dingin menusuk kulitku. Oh, kejadian alam apalagi yang akan terjadi ini?
Aku tidak kuat untuk berlama-lama di luar.
Segera aku masuk kembali. Kututup pintu kukunci.
Aku melangkah menuju kamar Firman. Aku ingin tahu, apakah yang tengah dilakukan oleh Firman di malam-malam yang seperti ini.
@@@
Demi Allah, demi dia yang jiwaku ada dalam genggaman tanganNya, langkahku terhenti dengan tiba-tiba di depan pintu kamar Firman, tatkala aku mendengar tangisan yang menyayat hati. Jiwaku berguncang hebat tatkala aku menyadari siapa yang tengah menangis ini; Firman.
Firman sedang menangis?
Keajaiban apa yang tengah ia alami sehingga  pemuda keras kepala dan berkepala baru seperti dia terisak-isak dalam tangisan?
Kuketuk pintu, sebab aku tidak ingin masuk begitu saja dalam keadaan seperti ini. Siapa tahu, aku akan menggangunnya. Kuketuk pintu lagi. Dan lagi. Dan sekali lagi.
“Masuk”terdengar suara serak Firman menyuruhku masuk.
Kubuka pintu.
Dan aku kembali terhenyak beberapa saat. Lalu aku berlari ke arah firman.
“astagfirullah, apa yang tengah kemu lakukan ini, bang?” bulu kuduku merinding. Kedua mataku melihat darah yang mengucur deras dari pergelangan tangan kiri Firman.
Kutoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari kain untuk menutup lukanya. Tetapi aku tak menemukannya. Kusobek saja baju yang kukenakan. Dan tanpa menghiraukan Firman, kubalut luka di pergelangan tangannya dengan sobekan bajuku.
“Biarin aja, mas! Biarin!”
“Nggak bisa. Kamu mau bunuh diri, bang?!” seruku marah.
“Biarin aja! Biarin!”
Ucapan Firman demikian menyayat. Demikian menyentuuh.
Ada apa sebenarnya ini? Ada masalah apa dengannya?
“Aku sudah bosan hidup begini. Aku bosan. Aku muak!” firman memukul-mukul kepalanya dengan tinju kananya.
Aku menjadi geram. Kataku kemudian,”daripada kamu mau bunuh diri dengan sia-sia begini, lebih baik kamu mati di tanganku. Ayo kita berkelahi saja hingga satu di antara kita ada yang tewas terkapar. Jangan jadi cengeng loe! Preman kok cengeng!”
Ternyata, kata-kataku mampu membuat Firman marah kepadaku. Lalu dengan tiba-tiba, dia menendang-nendang. Ilmu berkelahi telah mengajariku bahwa  orang yang mudah untuk dirobohkan adalah orang yang tengah kalap. Orang yang kalap mudah sekali dipatahkan oleh orang yang mampu menahan emosi.
Dan aku mampu menahan emosi. Taka da satu pun tinjunnya dan tendangan kakinya mengenai tubuhku. Aku hanya memutar tubuhku ke kiri dan ke kanan, merunduk dan melompat. Akhirnya, firman kehabisan energi sendiri. Dia roboh kelelahan.
Kuangkat tubuhnya ke atas kasur. Kubaringkan. Dan kubersihkan darah yang keluar dari kain pembalutnya.
“kenapa, mas? Kenapa hidupku begini?” tanyanya.
Dan pertanyaan ini mempu membungkam mulutku. Mulutku terkaup rapat-rapat. Secerah pertanyaan yang sudah sekian lama terpendam dalam dadaku tiba-tiba muncul kembali; inikah saatnya firman menyesali diri?
“ceritakanlah, duh sahabatku. Apa yang sesungguhnya terjadi padamu ini? Kenapa kamu tak lukai tanganmu sendiri seakan-akan kamu tak mengharapkan tanganmu itu adalah tanganmu? Ke mana firman yang aku kenal selama ini? Yang terdengar laksana batu karang tak tergoyahkan diterjang ombak? Kenapa mala mini kusaksikan seorang Firman seumpama perempuan kecil yang menangis memilukan?”
“Begitu kejamkah Allah itu, mas?”
“Apa?”
“Begitu mengerikankah wajah Ilahi itu?”
“Kejam tidaknya dia, tergantung bagaimana kita menyangkakanNya, bang?”
“Mengapa dia membuat hidupku porak-poranda seperti ini, mas? Mengapa? Di mana kasih sayangNYa yang sering kita sebut-sebut itu? Di mana?”
Aku diam. Aku tidak mengerti apa yang harus aku jawab.
“Bertahun-tahun yang lalu, yakinah mas Iqbal, aku bukanlah seorang pemuda seperti ini. Hidupku terasa sangat bahagia, sebab Tuhan telah menciptakan orang tua seperti kedua orang tuaku. Dan dia telah memberikan kepadaku seorang adik seperti adikku. Percayalah, aku dulu seperti mas Iqbap; rajin bersembahyang. Rajin mengaji al-Quran. Salah bila kamu menganggapku selama ini tidak pernah sembahyang sebab aku tidak bisa sembahyang. Salah pula bila kamu menganggapkku selama ini tidak pernah mengaji al-Quran karena aku tidak bisa membaca tulisan –tulisan arab. Aku bisa, mas. Sumpah mati aku bisa. Aku hanya tidak ingin melakukannya. Benar-benar tidak ingin. Demi Allah, demi malaikat, demi iblis, aku tidak ingin melakukannya.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Kenapa? Mas Iqba Tanya kenapa?! Seandainya mas adalah Tuhan, aku bertanya kepadamu; kenapa kamu biarkan adikku tenggelam dalam pergaulan bebas? Dan Tuhan sendiri tahu bahwa karena kematian adikkulah aku menjadi orang seperti ini. Apa dosa dan salahku? Apa dosa dan salah kedua  orang tuaku telah menunikan rukun Islam yang kelima. Dua kali lagi!  Dan Tuhan pun tahu bagaimana aku memiliki orang tua yang taat dan tekun dalam menjalankan agama. Lalu kanapa Tuhan biarkan adiku tenggelam  dalam pergaulan bebas itu? Lalu dia biarkan adikku diperkosa ramai-ramai. Lalu setelah itu dia biarkan  adikku dibunuh. Dan tidak hanya cukup di sini, dia biarkan orang-orang yang memperkosannya dan membunuhnya hidup berkeliaran sampai hari ini. Dia biarkan polisi  tidak berhasil menangkap mereka, mengadili mereka. Bajingan para polisi di negeri ini. Bajingan Tuhan itu!!”
Laa hawla wa laa quwata illa billh. Kutarik napas dalam-dalam. Kuhembuskan kuat-kuat.
Dialah Allah SWT. Dzat yang menciptakan langit dan bumi dan apa-apa yang ada di dalamnya, dan apa-apa yang ada diantaranya;
Dan dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataanNya di  waktu dia mengatakan;”jadilah, lalu terjadilah”,dan di tanganNyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang Nampak. Dan dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Dialah yang Esa. Yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Yang tidak ada seorang pun yang setara denganNya. Di membiarkan sesat orang-orang yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan tidak ada yang mengetahui tantara Tuhanmu melainkan dia sendiri. Dan saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.
Dialah yang telah mengharamkan api neraka terhadap orang-orang yang bertauhid. Dialah yang telah berfirman;
“….sesungguhnya orang yang mempersekutukan ( sesuatu dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan surge, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim  itu seorang peolong pun.”
Malam  ini, aku menjadi saksi betapa Tuhan yang demikian ini tengah dihujat dan di caci-maki oleh sahabat muslimku sendiri. Malam ini sifar Rahim dan rahmanNya dipertanyakan. Malam ini kesdilaNya di sangsikan.
“kenapa, mas? Kenapa membisu?!”
Apa yang mesti aku katakana? Apa yang mesti aku ucapkan kepada dia yang telah meragu-ragukan Tuhan yang telah menciptakanku? Jika dia saja telah diragu-ragukan, maka bagaimana akuakan dapat memberikan keyakinan kepada orang sepertimu?
“Aku tidak butuh, mas. Aku tidak perku kamu beri keyakinan. Aku hanya bertanya, kenapa? Kenapa Tuhan demikian kejam kepadaku? Kepada keluargaku ini?”
“Jika aku katakana bahwa ini adalah bentuk-kasih sayang Allah, kamu pastilah akan menertawakanku.”
Dan benar, firman tertawa terbahak-bahak. Demi Allah, di balik bahak-bahak tawanya itu, tersimpan kegetiran dan kengiluan hati yang dapat kurasakan.
“Dan jika kukatakan bahwa ini adalah ujian bagimu dan bagi keluargamu, kamu akan menganggap Allah demikian kejam memberikan ujian yang seperti ini.”
“Omong kosong! Akankah kamu menganggap bahwa aku tidak pernag membaca ayat al-Qur’an yang mengatakn bahwa Tuhan tidak akan memberikan beban yang tidak sanggup dipikul hambaNya? Aku sudah hafal ayat itu, mas. Hafal fi luar kepala. Mas hafal al-Quran kan? Mas tentu tahu QS al-Baqarah ayat 286 kan?”
Demi Allah, aku telah hafal surah al-Baqarah. Tetapi aku tidak tahu ayat yang bagaimana dari surah al Baqarah ayat 286 itu. Ah, ini kelemahanku, kelemahan seorang penghafal al-Quran. Aku hafal ayatnya, tetapi aku tidak tahu ayat keberapa.
“Kenapa mas diam saja? Tuhan berkata bahwa. Dia tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Tapi, mana buktinya? Kisahkan kepadaku tentang seseorang yang sanggup menelan beban seperti bebanku; seorang pemuda yang ingin menjadi baik, dari keluarga baik-baik, memiliki adik yang baik-baik, lalu tiba-tiba mendengar kabar adikku terjebak pergaulan bebas, lalu diiperkosa, dan kemudian dibunuh? Haruskah pula kukatakan kepadamu, mas, bahwa sebagimana al-Quran mengajarkan akku untuk berdoa, ‘ya Allah, janganlah engkau bebankan kami beban yang berat, aku pun berdoa seperti  itu hingga berbusa-busa, tetapi ternyata dia memberikan jawaban yang sebalikNYa? Sekarang, sebut di mana letak dosa dan kesalahanku kepadaNya, mas?”
Aku masih diam. Aku binggung. Maka aku diam.
Firman melanjutakn pemberontakan pikirannya, “kuberi tahu sebuah rahasia, mas agar kamu menjadi tahu bukan hanya Allah Mu  itu saja yang tahu bahwa aku menjadi gila seperti ini---meninggalkan shalat, meninggalkan puasa, mabuk-mabukan, mengkonsumsi narkoba, dan lain segala perbuatan yang jahat-jahat dan buruk-buruk ini---setelah aku percaya dan yakin kepada sifat rahman dan Rahim Nya; setelah aku yakin dan percaya terhadap kebenaran dan keadilanNya. Tetapi ternyata, keyakinan dan kepercayaanku kepadaNya di balasNya dengan menimpa keluargaku. Mas tahu kan kenapa ayah dan ibuku pergi ke sidoarjo? Tidak lain, bagiku, karena mereka ingin menyaksikan kekejaman Tuhan dengan kedua mata mereka sendiri terhadap kerabatku. Jadi jangan pernah salahkan aku pabila berbuat hal yang busuk-busuk seperti sekarang ini. Jangan salahkan aku, sebab Tuahan sendiri yang telah membuatku melakukannya.”
“Cukup, bang. Cukup!” kataku kemudian. “jangan kemu teruskan, sebab semakin kemu teruskan ucapan-ucapanmu, kamu semakin membuatku bingung. Sungguh banyak pertanyaan yang kamu tujukkan kepadaku, tapi tak satu pun jawaban yang bisa kuberikan dari masing-masing pertanyaanmu. Cukup-cukup.”
Firman tertawa terbahak lagi. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku tidak ingin mempengaruhimu untuk meninggalkan sembahyang. Aku pun tidak ingin mempengaruhimu untuk menjauhi dari al-Quran. Sebagai pemuda yang baik, mas  adalah orang yang hebat. Akan lebih hebat pabila mas bisa menjawab seluruh pertanyaanku. Tetapi bagaimana mungkin? Tuhan saja tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku, apalagi mas? Apalagi manusia? Apalagi kiai atau ustadz? Apa lagi mereka yang berpura-pura yakin dan percaya kepada Tuhan  sedangkan mereka sendiri tidak sanggup menunjukan alas an keyakinan dan kepercayaannya itu. Ah, tai orang yang mengatakan Tuhanlah yang menciptakan langit dan bumi. Mana buktinya bahwa dia menciptakan langit dan bumi, juga manusia, juga asu………..! pakek dalil keteraturan?  Pakek kausa lintas? Pakai dalil al-Quran dn hadist  nabi? Siapa yang mempu membuktikan dengan bahwa al-Quran itu kalam Tuhan ? mau di buktikan dengan apa?dengan ayat-ayat al-Quran sendiri? Ah, omong kosong! Bagaimana sebuah bukti akan dihadirkan sesuatu yang perlu bukti itu sendiri?”
“Dan kenapa kamu mau bunuh diri?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba dan di luar persoalan yang tengah ia ajukan, firman terdiam dengan tiba-tiba. Mungkin dia tak menyangka aku akan bertanya masalah ini di luar masalah yang dipersoalkannya itu.
“kenapa kamu mau bunuh diri ?” kuulangi lagi pertanyaanku.
“Untuk apa aku hidup? Hanya untuk menyaksikan adikku menjadi korban  kekejaman Tuhan ? hanya untuk menjalani hidup yang seperti ini?”
“Jadi apa alas an utamamu hingga kamu ingin membunuh dirimu sendiri?”
“Aku ingin bunuh diri supaya aku dapat segera bertemu dengan Tuhan supaya aku bisa melabrakNya.”
Jadi untuk bertanya langsung kenapa dia memberikan kekejaman-----dalam bahasamu--------kepadamu?”
“Iya! Di dalam hidup ini , sayang sekali, aku tidak dapat menemukan Nya. Jika aku bertemu denganNya, itu lebih baik bagiku sehingga aku tidak perlu bunuh diri.”
“Coba renungkan, bang. Kamu mau bunuh diri sebab kamu ingin bertemu dengan Tuhan. Ingin bertanya langsung kepadaNya. Ingin melabrakNya. Kamu lakukan ini sebab kamu tidak berhasil bertemu denganNya dalam hidup ini. Dengan alas an yang seperti itu, adalah aneh melihat kamu menangis sesenggukan ketika tadi kulihat pergelangan tanganmu berdarah-darah. Kenapa kamu menangis jika keinginanmu untuk  bunuh diri adalah pilihan bagimu agar kamu segera bertemu dengan Tuhan!?”
“Kenapa aku menangis, mas? Itukah pertanyaanmu? Seandainya kamu duduk di hatiku, kamu tidak akan bisa mengajukan pertanyaan yang seperti itu.”
“Aku tahu, bang. Aku tahu. Seandainya aku duduk di hatimu, aku bisa menyaksikan bahwa kamu sesungguhnya tengah putus asa. Ada ruang hampa di dalam dirimu. Ada kekosongan. Ada kegelisahan. Kamu meresa bahwa semua yang telah kamu lakukan hanyalah kesia-siaan. Kamu lari dari kenyataan dan mecipta kenyataan palsu; mengamen, mabuk, mengkonsumsi narkoba, free sex. Dan semakin dalam kemu berada dalam kenyataan palsu yang kamu ciptakan sendiri, maka semakin hampa, semakin kosong, semakin gelisah dirimu. Akhirnya kamu menjadi putus asa. Semakin menjerit batinmu. Semakin marah kamu kepada Tuhan. Itulah alasan kamu menangis. Benar kan ?”
Firman diam. Membisu. Lidahnya kelu. Dia salah jika mengira aku tidak tahu apa yang tengah bergejolak dalam hatinya.
Terdengar Guntur mengelegar. Tampaknya hujan semakin deras saja di luar. Kullihat jam di dinding. Sekarang sudah hamper setengah satu.
“Bang, percayalah kepadaku. Dengan cara lari dari kenyataan, kamu semakin akan menjauh dari dirimu sendiri. Sekarang coba pikir bang, buah apa yang dapat kamu petik dari pohon kenyataan palsu seperti ini ? bukankah kehampaan? Bukankan kekosongan jiwamu? Bukankah kamu semakin tergerus dalam putusnya asa yang semakin  menjerat  batang lehermu? Jika pun kamu tidak lagi percaya Tuhan , setidak-tidaknya kamu harus percaya kepada dirimu sendiri! Tetapi  bagaimaba mungkin kamu akan percaya kepada dirimu sendiri, sedangkan kulihat kamu akan mengakhiri hidupnya seperti ini? Aduhai, bang. Jangan manganggpku sebagai orang yang banyak mulut. Kuhormati sikapmu yang meragu-ragukan kebenaran, cintakasih, dan keadilan Tuhan. Kuhormati itu. Tetapi, tolong hormatilah dirimu sendiri. Jika pun kamu telah merusak citra Tuhan, setidak-tidaknya kamu tida merusak masa depanmu sendiri. Sekarang, istirahatlah. Aku tidak ingin mengganggumu lagi. Tetapi tolong sebelum kamu buang kata-kataku ke dalam tong sampah kehidupanmu, pikirkan dan renungkanlah terlebih dahulu. Demi Allah, sesunggunya aku kagum kepadamu, bang. Aku kagum. Kamu memiliki pikiran-pikiran yang tercerahkan. Dari pertanyaan-pertanyaan yang telah kamu ajukan kepadaku, sesunggunnya kamu lebih cerdas dariku.”
10
Cermin Retak
Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata. Aku diamuk gelisah, digulung resah. Mellihat kejadian yang menimpa firman, dan mendengar keluhan –keluhannya kepada Allah SWT, sekarang apa yang ada dalam pikiranku  bercampur aduk jadi satu. Tadinya, ingin kuulangi lagi hafalan al-Quran ku tetapi lidahku sering salah-salah melulu.
Yang pertama harus kukatakan adalah aku kersyukur kepada Allah SWT sebab sekarang aku tahu alasa apa yang telah menjadika firman menjalankan hidupu dalam dunia yang gelap seperti itu. Aku bersyukur  bahwa ternyata dia memiliki prinsip, dan prinsipnya benar-benar mempu menggetarkanku sebagai seorang muslim. Prinsipnya itu benar-benar berbeda dengan prinsipku. Barangkali, juga berbeda dengan prinsip-prinsip banyak orang yang terjebak dalam cara hidup yang sama seperti firman.
Dulu, ketika aku masih seperti firman, prinsipku adalah tidak berprinsiip. Kumasuki dunia hitam hanya karena satu alasan ; aku anak tunggal dari orang tua yang kaya raya. Aku adalah anak tunggal Daeng Abdillah, seorang pengusaha minyak yang kaya raya, yang lebih banyak menghabiskan umur di antara minyak-minyaknya dari pada aku dan ibu. Apa yang mesti dilakukan oleh seorang anak tunggal dari keluarga yang kaya raya?pertanyaan ini sering ditanyakan. Klise. Tetapi, memang benar jika diajukan kepadaku. Aku adalah anak tunggal daeng abdillah pengusaha  minyak yang kaya raya, maka aku bisa melakukan semuanya. Dan semau-maunya. Segala yang aku inginkan pasti dituruti. Segala yang aku minta pasti dipenuhi. Aku mabuk,kluyuran, aku suka berkelahi, dan aku hamper-hampir membunuh seeorang dengan sepucuk pistol yang kumiliki, itu semua kulakukan senan aku adalah anak orang kaya raya. Yang banyak harta. Banyak fulus. Aduhai, bagaimana aku bisa dibandingkan dengan firman yang memasuki dunia yang pernah aku masuki dulu, tetapi itu ia lakukan karena Tuhan ;karena ingin membuktikan cinra kasih, kebenara dan keadilan Tuhan.
Bagaimana firman bisa dibandingkan dengan para beradalan lain, yang mereka menjadi berandalan karena mereka lari dari rumah, merasa rumah adalah  penjara bagi kebebasan mereka, dan meresa di jalanlah kebebasan akan didapatkan oleh mereka?
Bagaimana bisa firman dibandingkan dengan para pengamen, yang hanya mengumpulkan receh dari satu bus ke bus yang lain, dari satu terminal ke terminal lain, sedangkan setelah receh terkumpul, mereka habiskan receh itu untuk membeli minuman keras?
Dan bagaimana bisa firman akan dibandingkan dengan mereka yang menghabiskan waktu di jalan , hanya karena ikut-ikutan saja, menuruti selera teman yang mengajaknya saja?
In sepereti membandingkan antara langit dan sumur. Firman menjadi buruk perngai dan kelakuannya sebab dia memberontak kepada Tuhan. Dan Nida, almarhumah adiknya, dijadikan pintu pemberontakan tersebut. Melalui nasib buruk yang dialami adiknya. Firman sesungguhnya memasuki pintu Tuhan yang berseberangan dengan pintu yang dimasuki oleh orang-orang shalih. Orang-orang shalih memasuki pintu Tuhan dari arah kanan, sedangkan firman memasuki dari arah kiri. Tujuannya sama’ Tuhan ! orang-orang shalih berhasil menemukanNya, sedangkan firman berhasil meragukanNya.
Firman berkata,”jadi , jangan pernah salahkan aku pabila berbuat hal yang busuk-busuk seperti sekarang ini. Jangan salahkan aku, sebab Tuhan sendiri yang telah membuatku melakukannya.” Kupahami perkataannya ini sebagai perkataan yang tidak bisa diartikan bahwa dia menganggap kelakua buruknya sebagai takdir tuhan. Firman sedang tidak memerangakan diri sebagai hamba Allah yang menganggap bahwa Allahlah yang menjadikan manusia berbuat buruk. Firman sedang tidak menunjukkan diri sebagai orang yang ingin mengatakan’Baik buruk itu dari Allah’. Allah tidak ada urusan dengan baik dan buruk perbuatan yang dilakukan hambaNya. Allah hanyalah menunjukan; ini loh jalan yang baik itu, dan ini loh jalan yang buruk itu. Kamu mau pilih mana, terserah kepadamu!  Untuk itu, sebagaimana yang pernah aku dengar dari kang rakhmat , firman , oleh karenanya, tidak bisa dibandingkan dengan Mu’awiyah bin abu sofyan.
Setelah meracuni al- hasan bin alli bin abi thalib da melilhat situasi politik yang tepat, Mu’awiyah bin abu sofyan berusaha menobatkan putranya, yazid, sebagai khalilfah setelahnya, dan ketika Abdullah bin umar menyangkalnya, Mu’awuyah berkaata kepadanya,”Aku peringatkan kamu untuk tidak merusak tongkat kaum muslim dan memecah-belah mereka, dan menumpahkan darah mereka dan sesungguhnya urusan yasid—yakni penobatannya sebagai khalifah—merupakan salah satu dari qadha dan tiada pilihan bagi para hamba dalam urusan mereka.
Demi Allah , aku melihat ada alasan berbeda antara firman dan mu’awiyah. Beda firman dengan muawiyah adalah muawiayah telah memahami takdir Tuhan dengan cara yang zalim dan mengesahkan kezaliman dengan nisbat perbuatan Tuhan, sedangkan firman melakukan kezaliman sebagai wujud protes terhadap takdirNYa.
Sekarang, aku menjadi mengerti. Aku benar-benar mengerti. Pak Burhan dan Bu Laela harus tahu masalah ini. Mereka seharusnya berbahagia dengan firman bukan menyedihkan dan mengeluh-kesahkannya. Firman adalah pemuda yang hebat, yang tidak bisa dibandingkan dengan muawiyah dalam sejarah.
Memang, mabuk, judi, mengkonsumsi narkoba, atau melakukan hubungan seksual secara bebas merupakan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan. Aku tahu hal ini. Tetapi tunggu dulu. Tetapi cermati dulu alasan yang digunakannya untuk itu. Firman melakukan ini semata-mata karena dia memberontak kepada Tuhan setelah sekian lama ia mempercayai dan meyakiniNYa’setelah sekian lama melaksanakan kebanaranNya.
Tetapi, apa yang telah diberikan Tuhan kepada firman?
Kebahagiaankah?
Kesenagankah?
Kegembiraankah?
Tidak.
Sekali-kali tidak.
 Tuhan Justru mentakdirkan adiknya terjerat dalam pergaulan bebas. Lalu diperkosa ramai-ramai. Lalu dibunuh. Lalu para pemerkosa dan pembunuhnya tidak berhasil dibekuk oleh polisi dan dibiarkan berkeluyuran ke sana ke mari dengan bebas. Inikah balasan Tuhan terhadap kepercayaan dan keyakinan firman kepadaNya?
@@@
Ya Allah, kenapa aku justru membela firman dari kejahatan dan keburukan perangai yang selama ini telah ia lakukan? Demi engkau yang jiwaku ada didalam genggaman tanganMu, kejahatan adalah kejahatan dan keburukan adalah keburukan. Selamanya, kejahatan dan keburukan tidak bisa berdamai dengan Mu. Aku tidak mengingkari hal yang demikian ini, duh Ilahi. Sungguh, aku tidak mengingkarinya.
Akan tetapi, mendengat apa yang telah diutarakan firman dan menimbang perjalanan hidup yang telah ia alami selama ini, sekarang aku ibarat sebuah cermin yang retak di hadapanMu. Kulihat bayangMu demikian samar sekarang. Dan aku mulai ragu. Setalah apa yang selama ini berhasil aku capai, kini aku tahu bahwa aku mulai ragu.
Aku ragu terhadapMu, ya Allah………..
Aku kembali teringat masa laluku. Kala aku berada di keramaian kota. Di bawah soratan lampu-lampu diskotik. Aku mulai berpikir bahwa di situ, ditempat itu, Allah tidak ada, sebab jika Allah ada, tentu diskotik tidak ada. Kenyataannya, diskotik ada( maka Tuhan pun tidak ada). Aku menjadi jahat karena aku sendiri yang membuat ibuku terbentur kepalanya didinding. Dan aku sendiri yang mengambil keputusan untuk merubah hidupkku.
Langkah-langkah kakiku menuntunku pergi ke pesantren. Tujuan  hatiku hanya satu; ingin menjadi orang yang baik setelah sekian lama menjadi orang yang buruk. Perubahan yang terjadi pada diriku adalah karena aku sendidri yang merubahnya. Bukan sipa-siapa. Bukan paksaan siapa. Dan bukan dorongan siapa. Dan bukan anjuran siapa. Dan bukan petunjuk siapa.
petunjukMu, ya Allah?
Tetapi apa buktinya?!
Apa bukti bahawa perubahan yang terjadi pada diriku adalah bukti adanya hidayah dariMu? Berfirmanlh engkau dalam al-Quran Mu bahwa engkau memberi petunjuk kepada siapa yang engkau kehendaki. Engaku beri ampun kepada siapa yang engkau kehendaki.
firmanMu yang demikian itu tetap tidak sanggup membuktikan bahwa sesat tidaknya seseorang bergantung kepada diri Mu. Sungguh, aku tidak menolak seseorang yang mendapatkan hidayah kebaikan; aku pun tidak menolak kenyataan tentang seseorang yang tadinya baik-baik berubah menjadi buruk. Faktanya, ada orang baik-baik, pun ada orang buruk. Tetapi yang dapat menjelaskan bahwa orang yang baik-baik itu menjadi baik karena hidayahMu, sedang orang yang buruk-buruk menjadi buruk karena engkau sesatkan .
mana buktinya? Mana?
Apakah aku harus menunggu ajal untuk memperoleh keyakinan bahwa apa yang engkau katakana dalam kitab Mu itu benar? Kalau demikian, tentunya sahabatku firman berhak untuk bunuh diri sebab dia ingin bunuh diri karena ingin membuktikan keberadaanMu kan/ kalau kematian adalah jalan satu-satunya untuk meyakinimu dangan sebenar-benarnya keyakinan, lalu apa artinya engkau hidupkan aku di dunia ini?
kataMu, dunia ini lading untuk beramal. kataMu, akhirat itu tempat memetik hasil. Kata-kataMu yang demikian itu hanya bisa diyakini oleh orang-orang yang mempercayai adanya kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat, akan mudah menyanggahMu. Siksa dan pahala hanya berlaku pada orang yang percaya, maka bukanlah bagi orang-orang yang tidak percaya tentu tidak ada neraka dan tidak pula ada surge?
Kalau demikian, benarkah apa yang dikeluhkan oleh firman? Benarkah prinsip yang diyakini oleh firman?
Aduhai diri….
Diriku benar-benar laksana cermin yang retak. Aku tidak bisa bercermin tentang diriku sendiri sehingga aku tidak bisa bercermin tentang Allah ku. Sia-siakah perjalanan hidupku sekarang ini? Telah sia-siakah aku meninggalkan kedua orang tuaku, menjadi seorang musafir hingga terdampar di kota iini
?
@@@
Dan waktu terus berlalu. Hari berganti hari, dan minggu pun berbilang. Telah hamper dua bulan sejak aku mendengar keluh-kesah ketuhanan firman, aku terserang ragu yang demikian mencekik batang leherku.
Aku tidal lagi menyentuh mushaf al-Quran pemberian Bu Laela. Kugelarkan saja mushaf itu di dalam kamar bawah. Dan aku mulai jarang menjalankan shalat fardlu, apalagi shalat sunnah. Aku merasa bahwa amalan-amalan selama ini kulakukan hanyalah kesia-sian belaka. Shalat adalah cara kita berdialog intim dengan Allah, tetapi aku mulai menyadari  bahwa aku tidak bisa berpura-pura seakan-akan melihat Allah dalam shalatku. Ah, konsep ihsan……..ihsan apa?! Bukanlah berpura-pura melihat Alla dalam sembahyang yang sama saja dengan menjadi penipu? Allah melihat kita? Mana buktinya bahwa dia melihatku?
Pak Burhan dan Bu Laela tidak tahu tentang apa yang kurasakan sekarang ini. Mereka masih saja percaya bahwa aku seorang muslim yang baik. Mereka masih percaya bahwa aku masih khusyuk menjalankan shalat. Masih khusyuk menghafal al-Quran.  Mereka tridak tahu bahwa aku telah meninggalkan shalat dan al-Quran , walaupun aku tidak memasuki dunia firman dan para sahabat.
Aduhai, sungguh kasihan Pak Burhan dan Bu Laela. Sungguh kasiha.mereka percaya kepadaku bahwa aku akan dapat mengubah cara hidup firman. Padahal, aku sekarang justru meyakinii bahwa cara hidup firman adalah cara benar. Maka, bagaimana mungkin aku akan merubah cara hiduipu yang benar kepada cara hidup yang jahat?
Dan firman……….
Seprti halnya Pak Burhan da Bu Laela, firman juga tidak tahu tentang perubahan yang tengah melandaku ini. Dia tidak tahu sebab dia tidak pedulikan aku.dia hanya mempedulikan dirinya sendiri. Dan dia hanya mempedilikan dunianya bersama parno ,patmo, surya, indri, dan Okta.
Oh, nasib, nasib.
Kenapa nasibku menjadi aneh begini? Kenapa aku terombang-ambing dalam ketidakpastian dan keraguan yang seperti ini?
@@@
Sore ini, kala hujan masih menguyur bumi, aku berlari dan terus berlari. Aku berlari mencari gereja. Aku ingin ke gereja, sebab siapa tahu Tuhan tengah ada di sana. Tuhan telah tidak ada di kamar tempatku menghafal al-Quran dan menjalankan sambahyang. Tuhan telah pergi dari san. Tuhan telah meninggalkanku.
Kubiarkan tubuhku dihajar hujan. Kilat menyambar-nyambar. Guntur mengelegar. Orang-orang hanya duduk-duduk di emperan toko, mencari tempat berteduh. Mata-mata memandangku, memandang dengan kerdipan heran.
Kubuka pintu gereja. Di sambut oleh bangku-bangku kosong, tempat jemaat bersembahyang. Kuingin mengadu sebagaimana seorang Kristen melakukan pengakuan.
“Duh, bapa …….maafkan aku,”suaraku lirih dan putus asa.
“Ada apa anakku?”seorang  pendeta berkata dari balik kelambu.
“Maafkan aku, sebab aku tela mengunjungi rumah tuhan yang bukan tuhanku. Aku seorang muslim, bapa. Seorang muslim. Aku seorang muslim yang tidak senggup menemukan tuhanku. Mungkin, engkau akan menolongku menemukan tuhan melalui pintu rumahMu ini.”
“Ceritakan, apa yang tengah menimpamu, anakku. Barangkali, aku dapat membantumu menemukan tuhan yang kamu cari.”
Lalu kuceritakan kepadanya ceritaku yang sedetail-detailnya. Sejanak masa kecilku. Sejenak ku habiskn masa remajaku di Jakarta. Hingga ke pesantren. Hingga sampai di sini. Kukisahkan pula, keluh-kesah firman. Dan akhirnya kukisahkan kebingungan, kebimbangan, dan keraguanku.
“Aduhai, anakku. Semoha tuhan Allah mengampunimu. Kamu tengah putus asa, anakku. Kemu tengah putus asa. Dan putus  asa adalah jalan setan. Jalan yang terkutuk. Putus asa hanya akan semakin menjauhkanmu dari kasih tuhan.”
“Tetapi aku harus bagaimana, bapa? Akhir-akhir ini, aku benar-benar tidak lagi sanggup menikmati hubunganku dengan Allahku. Aku benar-benar tidak sanggup. Aku ragu kepadaNya. Aku meragukanNya. Yang kubutuhkan sekarang adalah bukti, bapa. Bukti adanya dia. Tetapi, semakin kucari bukti itu semakin tidak aku dapatkan.”
“Anakku, kamu tadi berkata bahwa dirimu adalah seorang muslim. Pernahkah kamu mendengar kisah pedih yang menimpa cucu  rasul saw, anakku?”
“Apakah itu, Bapa?”
Lalu aku dengarkan pendeta gereja ini menceritakan suatu tragedy kemanusiaan yang , kata beliau merupakan tragedy terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah masa lalu. Adalah padang karbala tempat terjadinya tragedy itu. 10 Muharam waktu terjadinnya tragedy itu. Imam Husain dan keluarga nabi serta beberapa sahabatnya dibantai oleh prajurit yang mengatasnamakan kaum muslimin.
“Ajy sudah tahu cerita itu, Bapa. Aku sudah tahu. Aku sudah tahu apa yang menimpa Husain . apa yang menimpa zaenab dan sukayanah. Tetapi apa hubungan cerita itu dengan certai hidupku?”
“Anakku, menurutmu mengapa imam Husain dan para sahabat rela mengorbankan nyawannya di tengah ratusan ribu prajurit yang mengeroyoknya? Apakah imam Husain ingin menunjukkan kepada sejarah bahwa beliau adalah orang yang hebat? Orang yang tidak takut terhadap maut? Orang yang tidak takut terhadap tikaman belati dan tebasan pedang? Demi  yesus kritus, imam Husain tidak demikian itu, duh anakku. Syahidnya imam Husain adalah demi mempertahankan kebenaran. Demi menegakkan kemuliaan tuhan. Demi menggapai kasih Tuhan. Sekarang, renungkanlah ;dzat yang bagaimana lagi yang melebihi kehebatanNya, ketika dia memiliki hamba seperti laiknya imam Husain?”
Aku diam, aku tersudut.
“Anakku, hanya karena masalah kecil seperti yang kamu ceritakan tadi, kamu telah berputus asa. Seharusnya kamu malu kepada imam Husain, padahal kitab sucimu telah menjaminnya sebagai orang yang suci, sedangkan taka da jaminan dariNya dan dari siapia pun juga bahwa kamu adalah manusia suci.”
“Anakku,mengapa kemu ingin seperetei manusia pada umumnya yang hanya bersyukur ketika diberi nikmat, dan berubah menjadi resah-gelisah nan putus asa ketika tengah di beri coba? Mohon ampunlah kepada Tuhanmu, anakku. Mohon ampunlah, sebelum terlambat!”
Aku menagis. Aku bingung. Aku merana.
Aku tidak menyangka ada seorang pendeta yang demikian bijak bestari, luas wawasannya, dan melintas batas keyakinannya. Inikah bukti kemuliaan Allah sesungguhnya?
Kata-kat pendeta ini, sungguh mengingatkanku kepada Pricillia. Dia dulu seorang Kristen yang baik. Dan dia masih tetap baik ketika melintas Kristen dan memeluk agamaku.
“Anakku, apakah kamu masih di situ?”
“Iya, bapa. Aku masih di sini.”
“Pergilah. Tebarkan kasih Tuhan. Damaikan orag-orang yang ada di sekitarmu dengan damai Tuhan. Tuhan tidak pernah berbuat zalim kepada hamba-hambaNya, anakku. Tuhan Maha Adil, dan keadilan Nya akan dapat kamu saksikan pabila kamu mengikuti tanda-tandaNya.”
Siapakah pendeta itu? Kata-katanya telah mengingatkanku pada awal perjalananku ketika meninggalkan tegal jading. Bagaimana mungkin seorang pendeta yang seperti itu diklim dengan sesat dan akan dibalas neraka?!
Kini, aku berlari kembali. Aku berlari meninggalkan gereja.
Aku ingin sekali-kali pergi ke masjid agung di kota ini, tetapi aku mengigil kedinginan. Baju dan celana yang kukenakan basah kuyup. Mataku berkunag-kunang. Aku harus segera sampai rumah. Berganti baju dan celana. Bersembahyang asar di masjid agung. Siapa tahu, di sana nanti aku baru akan kembali menemukan diriku sendiri, sehingga aku tidak lagi seumpama cermin yang retak.
@@@
“Nak mas darimana? Kok basah kuyup begini?” seru Bu Laela yang membukakan pintu untukku. Wajahnya sangat cemas, khas wajah seorang ibu. “Cepat ganti pakaian. Nanti sakit.”
Aku segera ke kamar atas. Membuka pintu. Masuk ke dalam kamar Firman.
Firman tak jua aku temukan di kamar ini. Sejak dia kutemukan akan bunuh diri di malam itu, firman tidak pernah pulang. Para sahabat pun tidak pernah datang. Hanya sekali Indri dan okta datang kemari mencari firman. Ke mana perginya?
Kuambil handuk. Kukucek-kucek rambutku. Kulepas baju dan celanaku yang basah. Kuletakkan di kamar mandi. Kupakai baju dan celana yang kering. Sepereti rencanaku semula, aku ingin pergi ke masjid agung yang terletak di barat alun-alun. Tiba-tiba, aku merasa sungguh berdosa kepada rabbku. Aku berdosa sebab sudah beberapa hari ini aku tinggalkan shalat, kutinggalkan pula mushaf al-Quranku.
Ya Allah.
Apakah dengan cara meragukanMu maka aku adan mendapatkan kebahagiaan yang lebih jika dibandingkan dengan saat ketika aku meyakiniMu? Ternyata tidak, ya Allah. Ternyata tidak. Ajy tudak merasakan kebahagiaan itu. Aku justru merasa diriku semakin jauh dari diriku sendiri. Aku merasa anih ketika telah meninggalkan kewajibanku sebagai seorang muslim untuk menghadapMu. Jiwaku kosong. Pikiranku hampa. Hatiku resah. Aku merasa hidupku tidak tenang, tidak nikmat. menjauhiMu, duh Allahku, ternyata sungguh tidak membahagiakanku.
Ampunilah aku, ya Allah. Ampunilah aku.
Ampunilah aku yang telah melalaikanMu akhir-akhir ini. Ampunilah wajahku, rambutkum telingaku, lenganku, dan kakiku yang akhir-akhir ini tidak lagi menyentuh air wudhu. Ampunilah lisanku yang telah meragukan keberadaanMU, ampunilah hatiku yang telah melemparkan namaMU dari sana. Dan ampunilah diriku seutuh utuhnya.
Sesunggunya, bukan hidup yang resah dan gelisah seperti ini yang kucita-citakan. Tetapi aku mendamba hidup yang bahagia dan tercerahkan. Dan ternyata, kebahagiaan dan ketercerahan ini raib seiring dengan nafsuku yang menjauhiMu.
Kudengarkan pintu diketuk dari luar.
“Nak mas, bolehkah saya masuk?” terdengar suara Bu Laela.
Aku segera bangun.
Kuusap kedua mataku yang basah.
“Nak………”
“Iya, ya , bu. Silahkan masuk.”
Dan aku tidak bisa mengelak ketika Bu Laela mendapatiku dengan kedua mata yang masih basah. Dan mungkin merah.
“Apakah nak mas  sakit?” cemas Bu Laela bertanya.
Aku mengelenggkan kepala.
“Ada apa, nak? Apakah ada masalah? Apakah firman membuat masalah denganmu?”
Aku menggelengkan kepala lagi.
“Telah kuanggap kamu sepereti anakku sendiri. Ceritakan kepada ibu, apa yang tengah menimpamu.”
Aku tidak bisa, aku tidak  bisa. Jerit batinku. Aku tidak bisa dan tidak ingin melukai perasaan Bu Laela dengan cara menceritak apa yang tengah melandaku, apa yang telah menimpaku. Aku tidak ingin membuat dia cemas, takut, kalang-kabut.
Atas nama kepercayaan. Ya, atas nama kepercayaan, Bu Laela telah mempercayaiku dapat menarik firman dari duniannya yang rusuh dak lusuh, dan seandainya Bu Laela tahu dosa-dosaku akhir-akhir ini, tentu kepercayaan itu menjadi sirna. Kepercayaan akan berganti kedukaan. Aku tidak ingin membuat Bu Laela berduka.
“Berapa hari ini, sejak kami pulang dari jawa timur, saya tidak mendengar suara ayat-ayat Allah memenuhii rumah ini, nak. Ke mana suara itu? Kenapa nak mas tidak melanjutkannya kembali?”
Aku ingin menangis. Tetapi dengan sekuat tenaga, aku menahan agar air mataku tidak jatuh.
Kulihat kedua mata Bu Laela menerawang. Katanya kemudian,”aduhai rasanya ada yang hilang…….ada yang hampa. Setelah sekian lama rumah ini dipenuhi dengan lantunan ayat-ayat suci, kini rumah ini kembali pada keadaan yang memprihatinkan. Sebagai orang tua, dan sebagai seorang muslim, sungguh indah pabila dalam sebuah rumah, terdengar bacaan-bacaan ayat suci al-Quran. Saya dan suami memang biasa membacanya. Tetapi, kekuatan kami dalam membaca al-Quran akan semakin bertambah jika nak mas membaca al-Quran lagi, menghafal al –Quran lagi? Sudah bosankah, nak?”
“Demi Allah, ibu. Saya tidak bosan membaca al-Quran. Hanya saja, akhir-akhir ini, saya….saya tengah mengalami, yah…..mengalami sedikit masalah. Tetapi, alhmdulilah, masalah saya sudah selesai. Saya akan membaca al-Quran lagi, akan menghafal al –Quran lagi. Sayang sekali pabila saya tidak melanjutkan hafalan al-Quran saya. Sudah sepuluh juz, bu. Sepuluh juz. Doakan saya segera hafal yang dua puluh juznya.”
“Harus. Memang harus saya doakan.”
“Firaman ke mana, bu?”
“Itulah nak. Sejak kepulangan kami dari jawa timur, kami hanya bertemu dengannya dua kali. Sesungguhnya, apa yang tengah terjadi dengannya, nak? Aku lihat, wajahnya demikian murung. Ah, semoga jerih payah nak mas untuk membangunkan hati firman segera tampak hasilnya. Semoga kemurungan wajahnya itu tidak lagi teriringi dengan kemurungan hatinya. Semoga. Ya Allah, aku berharap kepadaMU.”
“Insyaallah, ibu. Insyaallah. Saya yakin itu. Saya benar-benar yakin. Firman orang yang luar biasa sesungguhnya. Dia tampak seperti itu, tetapi sebenarnya dia sangat luar biasa.”
11
Ujian Cinta
Aku telah menemukan diriku kembali. Seorang Iqbal Maulana, yang terus berikhtiar untuk menjadi orang yang lebih baik di hari ini dari pada hari sebelumnya. Yang terus menerus berikhtiar dan berharap bahwa esok hari dia akan lebih baik dari hari ini. Tak seharusnya aku meratapi kemarin dan puas dengan menatap hari ini. Esok harus kulalui cara yang lebih baik.
Aku telah menemukan diriku kembali. Seorang Iqbal yang lebih menemukan kesejatian diri ketika berusaha untuk melintasi jalan untuk mendekati Ilahi dari pada terlempar dari jalan dan menjauhiNya. Ketika aku mencoba mendekatiNya, kurasakan betapa jiwaku cerah dan bahagia, tetapi tatkala menjauhiNya, jiwaku terasa begitu hampa.
Dan aku telah menemukan diriku kembali seorang Iqbal yang sedang mengarungi lautan al-Quran, mengeja, membaca, dan menghafalkan ayat-ayat al-Quran. Bahkan, aku merasa bahwa tidak seharusnya aku menghafalkan ayat-ayat al-Quran saja melainkan juga mengerti dan memahami maknanya.
Untuk itu, aku telah menemukan diriku kembali, seorang Iqbal yang akan mencari kitab al-Quran  dan terjemahannya, karena dangan membaca terjemahannya, aku dapat memahami ayat-ayat al-Quran yang kuhafalkan dan kubaca.
Aku telah menemukan diriku sendiri, dan aku merasa nyaman sekarang. Rumah Bu Laela terlihat tampak lebih indah di mataku. Ada pelangi di sana.  Pelangi itu akan tampak jauh lebaih indah seandainya saja firman telah menemukan dirinya sendiri sebagai mana aku telah menemukan dirinya sendiri. Kini entahlah apa yang dia kerjakan. Satu bulan terakhir ini aku hanya bisa bertemu dengannya dua kali. Kali ipertama, ketika dia pulang sekitar pukul dua malam, ketika aku tengah tiduran mendengarkan music dari taperecordernyal. Kala itu, kuputar andai kutahunya band ungu. Lagu itu sangat enak terdengar di telinga. Syairnya memikat. Melodinya memikat. Lagu menjelang akhir tatkala firman masuk.
Wajahnya kusut. Bajunya lusuh. Ada bekas-bekas hujan yang masih menempel di baju yang dia kenakan. Dengan tanpa banyak berkata, dia langsung melempar tubuhnya, dan berbaring di sampingku. Dia mendesah. Resah. Kuperhatikan, kedua metanya menerawang menembus langit-langit kamar.
“Di mana-man, Tuhan memang tidak ada.” Dia mulai mengawali pembicaraan. Lebih tepat, pembicaraan antara dia dengan dirinya sendiri.
Aku menjawab. “tuhan itu ada di mana-mana.”
Dia menoleh ke arahku. Sanggahnya,”Berarti benar pabila dia berada di mana-mana, maka kejahatan pun ada di mana-mana.”
“Maksudmu?”
“Yang kudapatkan, di mana-mana ada banyak kekejaman. Kekejaman atas nama agamaNya. Pembunuhan , pemerkosaan, bencana, musibah, ah…..Tuhan yang sejati memang tidak ada. Yang ada tuhan –tuhan palsu. Tuhan yang di mana-mana itu pasti tuhan palsu. Aku yakin itu!”
Tanpa menunggu komentarku, firman beranjak dari pembaringan. Aku diam saja. Kulihat dia berganti pakaian. Aku hanya melihatnya saja. Ketika kudapati dia mau keluar, aku bertanya, mau ke mana. Dia menjawab, mau menemukan Tuhan yang sebenar-benarnya.
“Tetapi aku sudah menemukan Nya,” seruku.
“Aku tidak mau mempunyai Tuhan seperti Tuhanmu.”
“Terserah saja, “aku agak jengkel juga mendengarnya.
Pada pertemuan yang kedua, dua hari yang lalu, tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya. Dia pulang. Dia mandi. Dia berganti pakaian. Dan dia pergi. Sesaat ketika dia mau melewati pintu kamar aku sempat berkata,”semoga kamu sudah menemukan Tuhanmu.”
“Belum!!” serunya.
Sejak saat itu, firman tidak pulang. Firman raib, entah ke mana. Entah di mana. Surya, parno, dan patmo berkali-kali datang ke rumah. Mereka ternyata juga mengalami kebingungan. Firman tidak bersama mereka. Firman hilang entah di mana.
Dan kemarin, kala Bu Laela berada di butiknya dan Pak Burhan berada di kantornya, kala aku duduk sendiri di ruang tamu, indri datang sendirian. Wajahnya tampka sedih. Dan benar saja, seperti halnya para sahabat yang lain, dia juga mempertanyakan keberadaan firman.
“Aku nggak tahu.”
“Masak sih nggak tahu? Kamu kan satu rumah?
“Aku benar-benar tidak tahu.”
“Lalu apa yang kamu tahu?”
“Aku hanya tahu dia sedang mengembara.”
“Heh, mengembara…….mengembara apa? Di mana? Ke mana?”
“Mengembarai hatinya sendiri.”
“Apakah dia sudah tidak mencintaiku lagi?”
“Memang kenapa?”
“Kalau dia mencintaiku, tentu dia akan pamit padaku.”
“Indri, benarkah kamu mencintai firman?”
“Maksuh mas?”
“Bukan. Tidak, jangan salah mengerti. Maksudku, seberapa dalam cintamu kepada bang firman?”
“Akankah mas Iqbal mengukur kedalaman cintaku kepadanya?”
“In, cintakah kamu terhadap dirimu sendiri?”
“Ma……..maksud mas?”
“Tanyailah dirimu sendiri, apakah kamu mencintai dirimu sendiri atau tidak. Lihatlah , bagaimana seseorang itu mencintai dirinya sendiri. Dia tidak akan menyakiti dirinya sendiri. Sebab, jika dia menyakiti dirinya sendiri, dia pastilah tidak memiliki cinta pada dirinya sendiri.”
Kukatakan demikian pada indri, sebab aku ingat sebuah kisah tentang seseorang yang menulis surat kepada sahabat ahu dzaral ghifari. Ternyata surat itu datang dari jauh, dari seorang yang mengenal dirinya, mengenal kedudukannya di mata rasululullah saw, dan mengenal pengetahuannya yang luas terhadap hadist-hadist dan hikmah rasulullah saw. Orang tersebut meminta nasihat kepada abu dzar. Abu dzar lalu memberikan jawaban. Di dalam suratnya, dia mengatakan, “jangan engkau memusuhi dan menyakiti orang yang palilng engkau cintai.”
Laki-laki pengirim surat itu menerima surat jawaban tersebut. Ia pun membacanya, namun tidak memahami sama sekali. Laki-laki itu bertanya –tanya sendiri,”apa yang dimaksud abu dzar dengan jangan memusuhi orang yang paling engkeu cintai?” apakah masuk akal, ada orang yang memusuhi dan menyakiti orang yang paling dicintainya? Yang aku tahu, orang  tidak adan menyakiti orang yang paling dicintainya, malah akan membelanya dengan harta dan nyawanya.”
Akhirnya, laki-laki itu menulis lagi kepada abu dzar , yang berisi tentang permintaan  agar abu dzar menjelaskan  apa yang dimaksud dengan ucapan nya itu.
Dalam surat jawabannya abu dzar barkata;
SSSSSSSSSSSSSS
Ingin kukatakan perkataan abu dzar seperti dia kepada indri , tetapi aku takut  melukai, pikiran dan perasaannya. Akhirnya, aku hanya bisa berkata demikian tadi. Aku tidak ingin melihat seorang indri yang cantik nan ayu wajahnya ini, akan terus-menerus melukai jiwanya sendiri dengan cara membelenggukan diri dalam dunia hitam seperti itu. Ayu wajahnya akan lebih indah lagi ketika ayu pula spiritualitasnya. Tetapi bagaimana aku dapat menjelaskan hal yang demikian ini pada orang  seperti indri?
@@@
Tiga hari kemudian, indri datang lagi ke rumah.
Kulihat wajahnya masih sedih waktu kemarin dia bersua denganku di rumah ini. Yang membuatku heran, dia tidak bertanya tentang firman. Dia bertanya jawab tentang aku dan tentang dirinya.
Katanya, mas, sumpah……..sampai detik ini aku tidak mengerti apa maksud perkataanmu kemarin itu. Jadi , plis, jelaskan apa maksudmu?”
“jadi kamu tega memikirkannya?”
“heh, tega? Kok tega sih ? yang disebut tega adalah ketika mas Iqbal berkata-kata aneh terhadap diriku sendiri. Emang siapa orangnya sih di dunia ini yan tidak mencintai dirinya sendiri? Tetapi, aku yakin, mohon  jelaskan . saat ini juga.”
“Kamu cantik, in.”
“Emang.”
“Pernahkah kamu menyadari bahwa kamu adalah gadis yang cantik.”
“Mau ngerayu nih? Nggaku dirayu, aku juga mau kalau mas mau.”
“Bukan begitu…….”
“Lalu?”
“Kecantikanmu akan bertambah pabila kamu tidak hanya merawat tubuh dan wajahmu.”
“Emang mas pernah ngeliatin tubuhku? Baguskan tubuhku?”
Aku tersenyum . getir rasanya. Aku mesti harus bersabar( maaf kugunakan kata-kata yang menyimpang dari kaidah berbahasa ini) menghasapinya. Barangkali, memberikan, nasihat yang baik pada indri lebih mudah dari pada memberikan masukan kepada firman. Dari indri, mungkin firman bisa berubah.
“Maksudku, kecantikanmu akan bertambah pabila kamu tidak hanya merawat tubuh dan wajahmu, tetapi juga merawat hati, pikiran, dan perasaanmu.”
Indri menatapku tajam. Bibirnya berkaup rapat.
“Ah, betapa bodohnya aku ini, kataku. “sori banget ya, aku ngomong begitu. Aku pasti telah melukai hatimu.”
Indri menggeleng-gelengkan kepala. Menggelengkan kepala. Dan terus menggelengkan kepala.
Aku jadi merasa bersalah. Aku telah melukai hatinya, menusuk jantungnya,dan perasaannya.
“Ah, sudahlah. Jangan dipikirkan. Indri sudah demikian canti kok. Sumpah. Demi Allah. Indri gadis yang baik. Luar biasa. Canti dan ayu. Pantas untuk mendapatkan firman. Aku doakan.”
Tiba-tiba indri menutup mukannya dengan kedua telapak tangannya.
Dia menangis.
Dia berdiri. Lalu pergi. Lari.
@@@
Telah begitu sombongkah aku ini, sehingga tega-teganya menyakiti perasaan seorang wanita? Oh, iqbal…iqbal. Siapa dirimu ini sehingga kamu berhak memberikan nasihat kepada orang lain?
Tetapi, tidak. Bukan demikian maksudku. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti seorang gadis muslimah yang baik, minimal jika dibandingkan seorang gadis muslimah terjebak dalam pergaulan bebas seperti itu, ikut mabuk-mabukan, mengkonsumsi naskoba, dan melakukan hubungan seksual secara tidak sah dan tidak halal. Aku tidak ingin melihat dirinya lebih hancur dari kehancuran sebagai seorang gadis muslimah  seperti sekarang ini, maka aku beri nasihat yang  seperetei itu.
Tetapi, pabila aku menginginkan dia menjadi seorang gadis muslimah yang baik, jangan-jangan dia sendiri tidak menginginkannya? Lalu, apa artinya keinginanku pada dirinya? Bukankah hal yang demikian ini disebut sebagai egoku tentang egonya?
Ah, wallahu a’lam. Yang pentin, aku telah memberi dia masukan yang berarti, setidak-tidaknya menurut agamaku sendiri. Saling nasihat-menasehati dalam hal kebaikan adalah kebaikan dan keutamaan, dan aku, minimal, sekali telah melakukannya kepada seorang Indri. Lebih baik aku tidak lagi memberikan nasihat kepadanya, sebab  aku khawatir dia mendengarku bukan dengan hatinya, tetapi dengan perasaannya yang terluka.
Beberapa hari kemudian, di kala jam telah menunjuk angka setengah delapan, indri datang kembali ke rumah. Seperti biasanya, bu laela dan pak burhan tidak mau menerimanya. Kebetulan aku tengah duduk diteras rumah. Langit sedang cerah. Hujan yang akhir – akhir  ini sering tertumpah, mala mini tidak berani memunculkan dirinya.
Tetapi seperti wajahnya yang kemarin, kulihat wajah indri agak cerah sepereti langit yang sedang merekah. Aku berharap, dia tidak terluka perasaannya di mala mini oleh sebab kata-kataku beberapa hari yang lalu.
“Mas, ayo dong kita cari firman,”pintanya kepadaku. Dia berdiri di depanku, seperti seorang adik kepada kakaknya.
“Mau cari di mana?” tanyaku.
“Yaaah……di mana sajalah. Mungkin dia sedang di alun-alun. Aku takut jalan sendiri.”
“Sahabat-sahabat yang lain pada ke mana?”
“Tau, mereka rasanya tidak peduli terhadap firman. Mereka mungkin modar!”
“Jangan berkata begitu.”
“Ya, ayo, bantuin aku!”
Mau bagaimana lagi, akhirnya aku berdiri.
Kami akhirnya menyusuri jalan. Menyisir jalan di sekeliling terminal. Sungguh, aku tidak akrab dengan siapa pun orang yang ada di sekelilling terminal ini, tetapi lain halnya dengan indri. Hampir sepanjang jalan, ada aja orang yang menyapanya dan berbasa-basi dengannya. Di sini, di sekitar terminal ini, indri seumpama artis yang dikenal banyak orang. Kepada mereka indri bertanya kalau-kalau mereka tahu di mana firman. Mereka menjawab tidak tahu. Hebat juga firman itu, sebab---- sebagaimana indri----dia juga sangat terkenal di kalangan orang-orang ini.
Kami terus melangkah, di basahi cahaya lampu dan bulan yang tersenyum di angkasa. Kami menuju arah pasar. Indri sibuk bertanya lagi. Dan dijawab dengan jawaban yang sama; tidak tahu di mana keberadaan firman.
Lalu, kami menuju perempatan lampu merah di mana kami mendapati sekelompok pemuda sedang duduk-duduk mengobrol bersama tukang becak. Lagi-lagi indri mengenal mereka. Lagi-lagi bertanya tentang firman pada mereka. Dan lagi-lagi dijawab dengan jawaban yang sama.
Dan kami terus berputar-putar. Berputar-putar tak menentu. Kulihat jam di tangankku. Waktu menunjuk angka setengah sepuluh. Dan aku sudah demikian letih berjalan. Berjalan seperti iini benar-benar meletihkanku. Oh, seandainya saja firman dapat kami temukan, tentu keletihanku akan berkurang.
“Berhenti dulu, in. capek nih.”Aku duduk begitu saja di atas trotoar.
“Masak gini aja capek sih?”
“Iya, kamu nggak capek. Aku yang capek.”
“Iya, tahu. Anak Jakarta nggak pernah jalan kaki sejauh ini.”
“Duduk dululah.”
“Jangan di sini ah, nggak enak. Lebih baik di alun-alun aja. Siapa tahu firman mendarat di sana.”
Bener juga, batinku.
Aku pun segera berdiri. Mensejajari langkah-langkah kaki indri. Hebat nian indri ini, walau dia seorang perempuan, dia memiliki langkah-langkah yang cepat melebihi langkah-langkah kakiku.
Kami telah sampai di alun-alun.
Kusapu sekeliling dengan mataku. Kulihat alun-alun ini demikian sepi. Hanya ada beberapa pedagang kecil yang jualan nasi kucing, wedang ronde, tempe goreng, dan kopi. Dua orang tukang becak duduk mengantuk di atas becaknya masing-masing. Sepasang muda-mudi melintasi menuju arah selatan.
Kami duduk di atas rumput di dekat pohon beringin. Kedua kakiku kuselonjprkan untuk merenggangkan otot-otot yang terasa kaku. Indri duduk di samping kiriku, juga denga menselonjorkan kedua kakinya.
Aku putus asa. Aku tidak melihat kelebatan bayangan firman, apalagi firman yang sebenarnya. Aku capek. Aku lelah. Aku baringkan begitu saja punggungku di atas rerumputan alun-alun.
Tanpa kuduga, indri melakukan hal yang sama dengan apa yang aku lakukan. Dia juga  berbaring. Bahkan, dia berbaring miring ke arahku. Da aku terkejut. Aku benar-benar terkejut. Melihat wajahnya, aku sadar bahwa wajah yang demikian itu wajah yang sedang mengoda.
Akhirnya aku duduk kembali.
“Kenapa, mas? Takut pada indei?”
“Ah, nggak. Bukan kamu yang kutakutkan. Aku takut terhadap diriku sendiri.”
“Emang kenapa?”indri kembali duduk di sampingku.”Apa indri terlalu buruk di mata mas sehingga mas merasa takut?”
“Justru karena kamu tidak buruk itulah yanga membuatku takut.”
“Apkah mas sudah punya pacar?”
“Ah, itu lagi yang kamu tanyakan.”
“Sungguh, beruntung sekali kekasih mas itu. Bolehkah aku rebahan di paha mas?”
Tak kuduga, indri mulai menurunkan kepalanya ke atas pahaku. Dengan pelan-pelan, aku mendorong kepalanya itu. Kuminta dengan halus agar dia tidak melakukan hal yang demikian itu.
“Memang aku sungguh tidak berharga di mata mas Iqbal.”
“Bukan begitu, in.”
“Lalu kenapa? Salahkah aku rebahan di pahamu? Terlalu sucikah kedua pahamu terhadap kepalaku, mas?”
“Kamu jangan salah paham. Pertama, kamu telah punya fireman. Coba bayangkan, seandainya saja firman tahu kamu sedang rebahan di pangkuanku, lalu apa jadinya?”
“firman nggak ada mas. Lagian, kita sudah cari kesana-kemari tidak kita temukan.”
“Kedua, aku sudah memiliki gadis yang  aku cintai.”
“Di mana?”
“Jauh dari kota ini.”
“Jauh kan? Apa salahnya kalau kita menjalain cinta di kota ini, lalu cinta bisa kita pisahkan ketika mas pergi dari kota ini, dan aku akan kembali kepada firmanku.”
“Tak terlalu berhargakah cinta di matamu, in? percayalah kepadaku, orang yang mudah menjalin cinta, mudah pula memutuskannya.”
“Sungguh demi Tuhan, indri belum pernah bercinta dengan laki-laki seperti mas?”
“Kemana arah kata-katamu ini, in? begitu sempitkah kamu mengartikan cinta sebagai hubungan seksual? Cinta bukan itu, in. itu terlalu rendah untuk mengukur cinta.”
“Cinta memang bukan hal yang demikian itu, aku tahu mas. Tetapi aku memang belum pernah bermain cinta dengan orang baik kayak mas.”
“Kenapa kamu selalu berbicara tentang nafsu, in?”
“Karena mas membuatku bernafsu!”
“Astagfirullah, in. sadarkah dengan apa yang kamu ucapkan ini? Kemu seorang gadis muslimah, in. ingat itu.”
“Walau aku muslimah, aku bukan muslimah yang baik. Aku sadar itu. Sebagi orang yang buruk, salahkah aku berkata tentang cinta dan nafsu?”
“Kuhormati sikapmu itu. Tetapi, plis, hormati juga diriku.”
“Mas, bukankah aku hanya meminta kepadamu agar kamu mengijinkanku merebahkan kepalaku di pangkuanmu? Marilah kita akhiri saja bicara soal cinta dan nafsu, walau sangat menyenagkan bagikku berbicara hal yang demikian itu. Marilah kita hanya berbicara tentang boleh tidaknya aku merebahkan diri di pangkuanmu.”
“Sekali tidak boleh, tetap tidak boleh.”
“Kalau memaksa?’
“Aku terpaksa akan meninggalkanmu.”
“Kalau aku berteriak keras bahwa kamu akan memperkosaku? Dan orang-orang akan mendatangi  kita dan memukulimu?”
“Itu lebih baik dari pada kemu merebahkan diri dipangkuanku.”
“Setegar itukah kamu ini, mas? Sehebat itukah dirimu?”
“Sekali lagi, kuhormati sikapmu dan tolong hargai pula sikapku. Sekarang, ayo aku antar kamu pulang. Kalau kemu tidak mau, aku akan pulang sendiri sekarang!”
@@@
Dunia, dunia…
Inilah dunia nyata.
Sebuah pembicaraan cinta yang demikian singkat antara aku dan indri. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa indri demikian blak-blakan berbicara tentang cinta dan demikian fasih mengartikan cinta hanya sebatas nafsu. Indri, sebegitu parahkah dirimu? Sebegitu bejatkah moralmu?!
Astagfirullah al adzim……..
Dalam hidupku dan dalam pergaulanku selama ini, aku belum pernah menjumpai seorang gadis seperti indri. Di Jakarta itu, aku banyak mengenal gadis, tetapi lebih banyak lagi aku mengenal sahabat-sahabat laki-laki. Dari semua gadis yang aku kenal, dari semua gadis yang dekat denganku, tak satu pun ada pembicaraan indri. Maka,salahkah jika kukatakan bahwa indri terlalu bejat  moralnya?
Siapakah yang telah membejatkan moral gadis itu?
Aduhai menyedihkan sekali. Pabila seorang indri yang canti jelita seperti itu berbusana muslimah dan bertutupkan jilbab, lalu dari lidahnya tak ada ucapan lain kecuali kebenaran dan tak  ada dzikir yang lain kucuali ayat-ayat suci al-Quran, tentu keindahan wajahnya berbanding lurus dengan keindahan jiwanya. Aduhai, sayang sekali indri hanya memiliki keindahan wajah, sedangkan jiwanya dipenuhi nafsu seperti itu.
Ya Allah, apa yang  mesti aku doakan kepadaMu tentang gadis seperti indri? Firman  saja belum bisa kuajak menapaki jalanMU kembali, tetapi engkau telah hadirkan indri dengan jiwa yang dipenuhi nafsu seperti itu di hadapanku.
Alangkah malangnya nasibku………
Jangan-jangan, aku menolak indri karena aku sudah tahu bahwa dia moral bejat seperti itu. Tetapi, seandainya saja dia memiliki moral yang cantik secank parasnya, aku tidak bisa lagi menolak dia yang ingin rebahan di pangkuanku, ya Allah? Jangan-jangan, begitukah aku ini, duh, Tuhanku? Pembimbingku?
Jangan-jangan , aku seumpama lelaki biadab bangsat buaya darat yang menolak  seorang wanita buruk karena keburukannya, sehingga ketika ada wanita baik, maka aku mengejar-ngejar dan merayunya!
Masyaallah, laa hawla walaa quwata illa billah.
Benarkah aku menolak kemauan indri kemarin karena aku takut kepadaMu? Aku berlindung kepadaMU dari tarian nafsuku, ya Allah? Aku benar-benar berlindung kepadaMu. Kau telah selamatkan aku dari ujian cinta yang sepereti itu.
Oh, zaenab. Sekian lama aku tidak menyebut namamu. Ijinkan aku meminta maaf kepadamu sebab baru kali ini lagi aku ingat dirimu. Kamu adalah cinta sejatiku. Kamu adalah gadis yang menambat hati dan jiwaku. Jilbab birumu selalu saja terbayang  di pelupuk mataku. Lihatlah! Ujian cinta baru saja menghampiriku. Dan lihatlah, atas karunia Allah aku dapat lulus darinya. Dan doakan aku dengan munajatmu, agar ujian seperti ini tidak lagi menggulungku sehingga mempu menutup cintaku kepadamu.
12
Tuhan Benar-benar
Maha Aneh
Sudah sekian lama indri tidak datang ke rumah. Kuharap dia sekarang benar-benar mengerti bahwa tidak semua laki-laki memiliki cara pandang yang sama terhadap wanita, dan bahwa tidak semua laki-laki memiliki tatapan mata yang sama ketika melihat wajah seorang gadis. Jika pun bukan karena alasan itu, aku senang dia tidak bertemu dengan firmab, sebab jika dia bertemu dengannya, bisa-bisa dia dan firman lebih seru berenang dalam dunia hitam.
Dan tidak hanya aku saja yang merasa senag bu laela dan pak burhan pun merasakan hal yang sama. Indri—sebagimana juga okta—adakah dua gadis yang paling sering datang ke rumah ini. Mereka membawa sikap yang tidak selayaknya untuk ukutan seorang gadis. Bergaul dengan mereka, demikian bu laela sering berkata, tidak lebih selamat daripada menjauhi mereka.
Bu laela dan pak burhan pun merasa senang sebab teman-teman firman yang lain juga telah jarang datang ke sini. Surya, patmo, dan parno tidak lebih baik dari pada firman dan bersahabat dengan mereka justru  semakin menerjunkan diri dalam jurang kenistaan.
“Setidak-tidaknya,”demikian kata bu laela, “rumah ini terbebas dari pemuda-pemudi dan gadis-gadis yang nista. Saya benar-benar tidak habis mengerti mengapa anak-anak sepereti itu bisa dibiarkan oleh orang tuanya.”
“Lagi pula, “imbuh pak burhan,”mengapa rumah ini di jadikan markas mereka?walau mereka bersahabat dengan firman dengan cara seperti itu, setidak-tidaknya mereka menghormati kami sebagai orang tua dan sebagai pemilik rumah ini. Jika mereka datang bersama firman, mereka ngeloyor begitu saja, atau mereka nyelonong begitu saja ke kamar firman. Ah, apakah anak-anak sekarang tidak diajari sopan-santun oleh orang tuanya?”
Sebagai orang tua dan juga sebagai pemillik rumah ini, wajar jika mereka berkata seperti itu. Rumah ini bukan markas orang-orang nista. Tidak ada tullisan di depan rumah yang mengatakan.”rumah ini milik umum!” apalagi digunakan sebagai tempat untuk minum-minuman keras, pesta narkoba dan seks bebas.wajar jika pak burhan dan bu laela berekata begitu. Jika aku menjadi orang tua , tentu aku akan berpendapat yang sama sepereti mereka.
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi anak yang shalih, menginginkan  anaknya bergaul dan bersahabat dengan anak-anak yang shalih pula. Tidak ada manusia waras di dunia ini yang mengharapkan anaknya menjadi penjahat dan memilliki teman-teman jahat. Bahkan para penjahat sendiri, jika mereka masih menggunakan otaknya sedikit, tidak mengharap punya keturunan pembunuh , pemabuk , atau pemerkosa.
Kulihat bu laela dan pak burhan merasa sedikit lebih tenag, walau firman sampai detik ini belum juga pulang. Doa bu laela dan pak burahn , semog firman di luar sana  tidak berkumpul-kumpul dengan pera sahabatnya itu. Semoga firman terbebas dari orang-orang seperti itu?
@@@
Tetapi doa adalah doa. Doa adalah permohonan. Terkadang, orang yang berdoa lupa bahwa dia tidak sedang berdoa, melainkan sedang memaksa. “Berilah aku kebahagiaan, ya Tuhan!” bagaimana Tuhan bisa diperintah-perintah seperti ini? “Berilah aku panjang umur!” berikan aku surge dan jauhkan aku dari neraka!” al-Quran berfirman;
Doa mereka di dalamnya ialah;”subhanakallahumma” dan salam penghormatan mereka ialah;”salam”. Dan penutuup doa mereka ialah;”alhmdulilaahi rabbil’alamin”
Subhanakallahumma; maha suci engaku,duh Allah…..doa seharusnya dimulai dengan pujian-pujian kepada Allah. Allah adalah dzat yang pantas untuk dipuji. Dia pantas untuk dipuji sebab dialah dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Disembah. memujiNya berarti mengakui dan meyakini keagunganNya. Meka, setelah mengakui dan meyakini kengunganNya, si pendoa baru berdoa kepada Allah SWT tentang hajat-hajat yang diharapakannya. Dan si pendoa seharusnya mengakhiri doa dengan pujiaan-pujian lagi kepadanya’”alhamdulillahi rabbil’aalamin”
Ya, Allah…….
Tetapi walaupun demikian, aku percaya bahwa engaku memang adalah Dzat Yang Maha Mengabulkan doa. Sebagaimana bu laela dan pak burhan berharap firman di luar sana—entah di mana dan sedang apa—dapat selamat dari kejahatan dan kemaksiata, aku pun mengharap padaMu akan hal yang sama.
Aku tidak memaksa Mu, ya Allah. Aku hanya memohon kepadaMu, sebab engaku lah sebaik-baiknya tujuan memohon. Berilah petunjuk kepadaNya sebagaimana engaku telah memberi petunjuk orang-orang yang shalih. Kuatkan hati da jiwanya sebagai mana engkau telah menguatkan hati dan jiwa orang-orang merdeka.
Sementara aku terus memiliki pengaharapan seperti itu, aku pun terus-menerus mengahafalkan ayat-ayat al-Quran selanjutnya. Dan alhamdulilah, terhitung sejak sore  itu di hari pertama aku menghafalkan surat al-Baqarah, sekarang aku sudah sampai pada surat Ibrahim. Alhamdullilah. Tidak akan lama lagi, aku akan segera mengkhatamkan hafalanku.
Tetapi, bagaimana cara aku menguji hafalanku?
Oh, iya. K.H.Ilyas    Bahesti al Hafid di parakan canggah!
Aku jadi ingat, aku harus pergi setoran al-quran kepada beliau. Ya aku harus segera pergi ke beliau untuk mempertanggungjawabkan hafalankuk.
@@@
Sore nanti atau kalau tidak malam nanti, aku berencana akan pergi ke Parakancanggah. Aku akan setoran al-Quran. Ya Allah, bagaimana yan rasanya setoran hafala al-Quran di hadapan seorang kiai  yan hafal al-Quran?
Tiba-tiba darahku berderis. Aku terkisap. Aku merasa takut. K.H.Ilyas Bahesty al-Hafid aku belum prnah bertemu dengannya, tetapi menyebut nama beliau saja tubuhku bergetar kayak begini. Maha Besar Allah ketika Dia telah menjadikan hamba-hambaNya penghafal al-QuraN. Bangun berdekatan dengan al-Quran. Berdiri dimanja al-Quran. Dan berjalan diiringi al-Quran. Maha Besar Allah yang telah membersihkan lidah para hambaNya yang hafal al-Quran dari ucapan-ucapan kotor dan buruk. Maha Mulila wauah Allah SWT.!
Jam menunjuk angka setengah tiga. Seperti biasa, bu laela dan pak burhan belum pulang. Seperti biasa, pembantu rumah tangga menyibukkan diri di dalam sana. Dan aku hanya duduk di ruang  tamu ini, denga mushaf al-Quran di tangan kananku.
Bel berbunyi.
Aku menuju pintu
Kubuka pintu.
Dan kulihat, surya, parno , dan patmo berdiri di depanku
Kupersilahkan mereka masuk.
Mereka pun masuk.
Kepersilahkan mereka duduk.
Mereka pun duduk.
Kok mereka mau-maunya duduk di sana ya? Padahal biasanya mereka akan nyelonong begitu saja ke kamar firman?
“Apa yang kamu pegang, mas?” Tanya Parno.
“mushaf al-Quran,”jawabku.
“Nah, benarkan…..apa aku bilang?” berseru tiba-tiba surya.”Gara-gara ini firman jadi begitu!”
“Sebentar, sebentar,”aku terkejut. Tampaknya ada satu peristiwa yang tidak aku ketahui tentang firman dan para sahabat ini.”kok  aku merasa jadi tertuduh seperti ini, para sahabat?”
“Mas sedang menghafal al-Qurankan?”
“Iya.”
“Dan rajin membaca al-Qurankan?”Tanya surya.
“Kamu itu guoblokkk!”cercaa patmo.”sudah tahu sedang mengahafal al-Quran secara otomatis rajin membaca al-Quran to?”
“Belum tentu, mo. Kamu itu yang guoblokk! Sebagai pengamen, memalukan sekali kemu tidak bisa membedakan antara membaca dan menghafal. Tanya tuch mas Iqbal, apa beda membaca dan menghafal.”
“Alaaaah, kalau kamu tahu, kenapa harus minta mas Iqbal untuk memberi tahu. Bilang saja kamu guoblokkk sepertiku!!”
“Biar kalian nggak sama-sama goblok,”menimbrunglah parno,”kita dengarkan saja apa kata mas iqbal tentang perbedaan membaca dan menghafal.”
“Membaca itu kedua matanya memelototi apa yang dibaca. Kalau menghafal matanya bisa merem melek. Benar kan kata saya, mas?”
Aku tersenyum.”kira-kira, begitulah perbedaannya,”kataku.
“Nah, apa aku bilang?” berseru surya dengan bangga.” Aku kan sudah bilang banyak menghafal itu belum tentu banyak membaca. Sebaliknya, banyak membaca belum tentu pula banyak menghafal.”
“Gitu aja bangga,” patmo belum mau mangalah,” kamu memang tahu beda membaca dan menghafal al-Quran. Tapi, mbok ya ngaca kamu ini. Membaca al-Quran, tidak. Menghafal juga tidak. Gitu aja bangga.”
“modar kamu!!” terik parno pada patmo, kegirangan.”kena kamu……….!”’
“tapi setidakp-tidaknya aku tidak pernah mengaji juga kan, No?”
“sudah, sudah. Apa hubungan antara mushaf ini dengan firman? Ada kejadian apa yang tidak aku ketahui tentang kalian dan firman?
Mendengar perkataanku, mereka tertunduk lesu. Mereka jadi ragu. Mereka kelihatan sedih. Mereka bungkam membisu. Mereka ragu untuk berkat-kata kepadaku.
Aku terus mendesak mereka.
Akhirnya mereka pun angkat bicara.
Pertama-tama, yang berbicara adalah surya. Katanya,”mas, maafkan kami jika kami harus berkata bahwa firman telah berubah.”
“telah berubah? Maksudmu? Berubah bagaiman?”
“maksud surya, “menambah patmo dengan kata-katanya,”firman telah berubah menjadi orang yang aneh.”
“aduh, tolong yang jelas dong kalau ngomong,”seruku.
“dan kami curiga, perubaha ini gara-gara mas, maaf, mas.”
“cepet ngomong!!” perintah parno pada surya. “diantara kita, kamu yang pandai ngomong.”
“Gini mas. Sebagaimana mas, indri, dan okta yang mencari-cari firman, kami pun mencari firman ke sana ke mari. Kami mencarinya sebab kami takut kehilangannya. Sekian lama kami mencari firman. Di sungai, di lautan, di gunung, di mana-mana.”
“Alaah, tai, jangan sok puitis loe ! to the point aja…? Patmo meneriaki surya.
“kamu seringya sirik sih sama aku? Apa kamu nggak suka kalau aku ngomong baek-baek!” membantah surya kepada patmo.
“Iya nich, mas. Mereka ini suka berkelahi. Tidak hanya adu jotos. Dalam hal bicara pun mereka sering berkelahi, mas. Maafkan mereka, “ berkata parno. Kalau di pikir – pikir , parno ini adalah sahabat yang palling sopan sikapnya terhadapku, sejak aku mengenal mereka.
“lebih baik kamu lanjutkan ceritamu, pintaku  kepada surya.
“di sungai, di lautan , digunung-gunung, kami telah mencari firman. Tetapi, kami tidak menemukan tapak-tapak kakinya.”
Kini, meledaklah tawa patmo. Katanya, “memang aneh mempunyai sahabat aneh sepertimu, ya. Kalau kamu cari dilautam, sampai ubun-ubunmu pecah pun kamu tidak akan melihat tapak-tapak kaki; baik dari golongan jin, setan, maupun manusia. Huah…..ha…..ha…..!!!
Parno yang baru menyadari kesalahan bicara surya ikut-ikutan tertawa.
Aku menikmati saja perbincangan mereka.
Seterusnya, surya kembali bercerita.
“kami bertanya kepada sahabat-sahabat pengamen yang lain, mereka ternyata juga tidak mengetahui di mana keberadaan firman. Firman sepereti raib begitu saja tertelan bumi. Tempat-tempat yang biasa kami gunakan mangkal juga telah kami datangi, kami sisiri. Tetapi kembali kami tidak menemukan firman.”
“Akhirnya kami merasa khawatir firman terjerat dalam”lingkaran lima”.lingkaran lima adalah gang yang ada di kota ini di mana hubungan antara firman, kami dan mereka adalah hubungan antara penjual dan pembeli. Beguk---nama julukan pimpinan gang itu---adalah partner narkoba firman. Dari dia firman mendapatkan narkoba. Jumlah mereka memang hanya lima orang, tetapi pengaruh mereka lumayan besar. Rata- rata, teman-teman di jalanan takut terhadap gang itu. Hanya kami saya yang tidak takut. Mereka juga tampak segan terhadap kami. Ini karena kami tidak pernah berurusan ributh dengan mereka, dan firman selalu memberi tips yang lebig ketika belli narkoba pada mereka.”
“Usut punya usut, kami akhirnya bertemu beguk. Dia bilang bahwa beberapa hari sebelumnya dia memang bertemu dengan firman di seruling mas. Tapi tidak banyak ngobrol. Firman kelihatan lesu. Kusut. Semrawut. Beguk sempat menawari sabu-sabu,tetapi firman menolak. Padahal beguk menawari gratis, tetapi firman tetap menolak. Beguk merasa tersingung. Hamper-hampir terjadi perkelahian antara mereka, tetapi banyak aparat di situ. Perkelahian urung terjadi.”
“Hingga malam itu, selepas isya……”surya menelan ludah .”ketika kami baru saja mengamen dan berjalan di depan gereja dalam guyuran hujan dan gulita malam, sesosok bayangan yang kemi yakini sebagai  bayangan firman terlihat di depan gereja. Kami saling berbisik. Betulkan dia firman? Kami yakin, dia memang firman. Dia membuka pintu gereja. Tepatnya, berusaha membuka. Tetapi tampaknya pintu itu terkunci. Firman memutar. Mau masuk lewat pintu samping. Dia mendorong pintu. Dan pintu pun terbuka.”
“Kami terus mengikuti dalam rasa penasaran yang mencekik leher kami. Apa yan dilakukan firman di gereja itu?”
“Sebentar gereja mana?”
“Itu tuch, yang dekat makam arah purbalingga?”
Aku menelan ludah. Aku tahu, itu gereja yang aku masuki dulu dan bertemu dengan pendeta yang bijaksana. “lalu?”tanyaku.
“Dengan pelan, kami membuka pintu geeja juga. Dan di dalam kami disambut gelap. Kami tidak bisa melihat, bahkan melihat tubuh kami sendiri. Tetapi, kami mendengarkan suara firman yang berteriak. Ohhh, suara itu---sumpah mati---baru pertama kali kami dengar keluar dari mulutnya. Aku tidak ingat persis apa yang diucapkan firman, tetapi sahabat kita yang satu ini----saudara parno yang terhormat---diberkahi dengan ingatan yang kuat. Coba, katakana pada mas Iqbal, apa yang diucapkan firman kala itu.”
Parno berdehem. Menata duduknya. Memejamkan mata. Dan berucap seru menirukan firman;
Oh, gereja……
Dimana kau sembunyikan Tuhan dari kedua mataku
Telah kubuka pintu hatiku untuk memasukimu
Tetapi kenapa kau tutup pintumu sehingga
                                                Menghalangiku bertemu denga Tuhanku
Aduhai isa al masih putra Maryam
Beginikah engaku memderita dalam perjalanan mencari
                                                Tuhan
Engaku menusia suci
Sedang aku?
Aku laksana selembar bulu kering
Mudah tertirp angin
Mudah pula terbakar
Ke mana kaki hendak melangkah
Jika yang tinggal hanya gelisah?!
“kami terus berada  di situ. Dan kami hanya mendengar firman mengucapkan kalimat-kalimat itu berkali-kali. Hingga serak suaranya. Hingga lirih. Hingga yang kami dengar kemudian hanyalah isak tangis.”
“Dua hari kemudian, kami mengikuti Firman kembali. Seperti tebakan kami, dia berjalan menuju klenteng yang ada di Pasar Wage. Keadaan sudah sepi. Malam gelap-gullita. Mas masih iingat malam itu listrik mati? Ada gardu yang rusak karena tersambar petir? Kami berada di balik rerimbunan pohon. Baju dan celana kami basah kuyup. Kami saksikan, kami lihat……Firman duduk tertelungkup di halaman klenteng. Dia pun berteriak;
Pabila malam gelap gulita
Dan hujan mengguyur bumi
Semesta menari dalam tarian kilat dan sambaran petir
Kafan kegelapan menyelimuti
Tetapi pabila hati gelap gulita
Bintang pun tak kuat sinarnya
Tubuh lusuh
Jiwa remuk
Hati hancur
Perasaan terluka
Oh,. Tuhan
Ampunilah aku
Sampai hari ini, tak jua aku menemukan Mu
“Dan lima hari kemudian, hamper terjadi geger di mushola dekan bank mandiri. Kami menemukan firman rebahan di tempat imam dalam  mushola tersebut. Sore itu di situ banyak orang yang mau bersesmbahyang. Mereka, duuh nasib……, mereka menganggap firman sebagai orang gila. Kami lihat firamn di gelandang keluar seperti orang yang gila.”
“kami marah. Kami berteriak. Kami memaki orang- orang itu. Seandainya jumlah kami banyak, sudah kami pukuli mereka rame-rame. Kami habisi. Kami bunuh sekalian!!”
“kami tidak tahan melihat keadaan firman yang memilukan. Dia mengis seumpama anak kecil yang ditinggal mati indungnya. Yang lebih memedihkan hati kami, dia meminta kami untuk menjauhinya, pergi dari hadapannya. Kami terenyuh. Kami pun pergi dalam nestapa yang tak terperi.”
“Itulah yang membawa kami ke sini, mas. Bertemu denganmu. Kami ingin bertanya, kenapa firman bisa berubah seperti itu. Tidak biasanya dalam sejarah pergaulan kami dan firman, kami mendengar dia menyebut nama Tuhan dengan mata berlinangan seperti itu. Selama ini, ketika Tuhan kami sebut, Tuhan hanya disebut untuk dimain-mainkan saja. Dan, maaf, kami curiga mas Iqbal lah yangh menyebabkan dia demikian.”
Demi dzat yang jiwaku ada dalam gengganman tanganNya, seandainya saja aku tidak malu terhadap para sahabat ini, sudah kukuras air mataku mendengar nasib yang di alami firman. Di balilk kebejatan moral dan perbuatannya, ternyata firman masyaallah, memendam rindu yang demikian dalam akan pertemuannya dengan Allah. Di balik sikap-sikapnya yang demikian itu, ternyata dia memiliki segumpal hati yang ingat kepada Allah SWT.
“Gimana, mas. Kamu kok dia,?”Tanya parno.
“Bersyukurlah, kalau begitu,” bersyukur bagaimana?” surya bertanya.
“Firman sedang berusaha mendekati Allah, “jawabku.
“Nah, benar kan? Benar kana pa kataku!”kata parno.
“Apa pun katamu itu, berdoalah kepada Allah agar Firman segera sampai di wajah Allah.”
“Tak masuk akal. Benar-benar. Ah, kami sudah merasa aneh melihat Firman seperti itu. Dan berbicara dengamu, kami semakin merasa aneh saja, seru parno.
“Lagi pula, bagaimana mungkin Firman seperti itu kamu katakana sedang……..sedang apa tadi?”Tanya parno.
“Mendekati Allah, “jawab surya.
“Allah yang mana sich?”Tanya parno.
“Allah benar-benar akan Maha aneh ketika sedang menunjuki jalan orang yang aneh seperti Firman,”celetuk surya.
Aku hanya tersenyum.
Pelan-pelan namun pasti , aku merasa bahagia. Jiwaku membisikku bahwa para sahabat ini sebentar lagi akan berubah. Ya, berubah.
Aku yakin itu!!
13
Butakan Kedua Mataku,
Ya Illahi
Hari itu, kamis pahing tanggal 25 Januari adalah hari dimana aku kembali mendapatkan berkah dari Allah SWT. Setelah aku sempat diselimuti keraguan akan DiriNya, kini keyakinanku kepada Allah SWT semakin bertambah. Keyakinan kepadaNya sekarang melebihi keyakinanku sebelum keraguan. Ternyata, atas berkahNya, aku tidak perlu mengalami kebingungan untuk dapat menarik surya, parno dan patmo dari lembah hitam kehidupuan. Tidak perlu kubuka mulut untuk membuncahkan nasihat dan petuah, kritik dan masukan. Aku tidak perlu mendatangi mereka, menanyai mereka dan menunjukan di mana letak kemaksiatan mereka. Mereka mendatangiku, ke rumah ini, menawarkan anggur jiwa yang mulai menemukan titik kehausan dalam perjalanan menuju Tuhanku.
Bagi para sahabat I ni, apa yang terjadi pada  Firman benar-benar membuat mereka terguncang, seakan-akan aku melihat tiga orang yang lebih membutuhkan kehadiran seorang Firman dari pada kehadiran Tuhan. Sekarang aku sadar betapa berharganya Firman bagi para sahabatku ini. Aku pun sadar, kenapa mereka sering mengikuti Firman dan bahkan sering pula menginap di sini. Mereka merasa Firman melebihi Tuhan. Maka tatkala Firman bermain-main dengan Tuhan, mereka pun mempermainkan Tuhan.
Tetapi kini, ketika kubukakan pintu hati mereka akan kehadiran Tuhan yang sesungguhnya melalui perejalanan ruhaniah Firman, mereka pun coba untuk mengikuti jejak-jejak Firman.
Ya Allah…
Aku tidak peduli apakah alasan yang mereka gunakan untuk  mulai mencintaiMu. Memang, aku thu bahwa mereka ikut apa yang diikuti Firman. Oleh sebab Firman mulai mencariMu, mereka pun mulai ikut mencariMu.
Mereka sesungguhnya orang-orang baik, ya Allh. Mereka hanya sedikit terlambat untuk memperoleh kebaikan itu. Kini, dengan kemuliaan wajahMu, aku memohon semoga engkau berkenan memberikan hidayah kepada para sahabatku itu.
Ketika kutanyakan pada mereka apakah mereka bisa shalat, mereka sesungguhnya bisa shalat, ya Allah. Hanya, hari mereka saja selama ini……..ya, hati mereka sedikit tertutup untuk  mengingatMu. Mereka pun sesungguhnya bisa mengaji al-Quran, hanya saja nafsu membelenggu mereka untuk menjauhi kitab suciMu. Kini, aku benar-benar memohon kepadaMu, demi kemuliaan Muhammad dan keluarga Muhammad, tunjukkanlah mereka jalan yang lurus, sebagaimana engkau telah menunjuki orang-orang yang telah kau beri nikmat sebelumnya; Ihdinassirathal mustaqim. Sirathalladhina an’amta’alihim.
Mereka  telah berjanji kepada diri mereka sendiri-sendiri, mulai detik ini mereka tidak akan meninggalkan sembahyang dan mengaji. Pada saat yang sama, mereka akan mencoba, dengan sekuat tenaga, untuk meninggalkan perilaku seks bebas. Mereka ingin kembali kepada jalanMu , ya rabb al’alamiin.
Maka, berkah apalagi yang lebih dahsyat kesaksikan dari pada berkah adanya hidayah? Hidayah yang telah kau tampakkan di kedua mataku?  Ini benar-benar agung kepada hamba-hambaMu ini. Ya Allah, ijinkan  kami menjadi hamba-hambaMu. Amin ya rabb al’alamin.
Kini, masih ada satu lagi harapanku kepadaMu, ialah nasib yang tengah dialami saudaraku yang satunya; firman. Betapa berat beban yang harus ia sandang untuk menujuMu, jika dibandingkan dengan beban yang pernah aku sandang. Seumur hidup, aku tidak memeiliki adik kandung, minimal sampai detik ini. Aku tidak memiliki perasaan seorang kakak kandung terhadap adik kandungnya sendiri, sehingga sulit bagiku mengukur kekuatan cinta seorang kakak kepada adiknya. Di pondok dulu, aku memang telah menganggap Aisyah laiknya adik kandungku sendiri. Tetapi aku yakin, sepenuh-penuhnya yakin bahwa perasaan kakak kandung terhadap adiknya jauh lebih misterius daripada perasaan seorang kakak yang menganggap seseorang seperti adiknya.
Karena perasaan itulah, firman meresa benar-benar kehilangan adinya, Nida. Perasaannya kian hancur ketika mengetahui adiknya diperkosa sebelum dia dibunuh. Dan perasaan hancura itu semakin lebur ketika si pemerkosah dan si pembunuh tidak juga berhasil ditangkap.
Dengan perasaan yang luka sepereti itu, firman mencoba bertahan untuk selalu memuji kebesaranMu. Hanya saja jiwanya tidak kuat. Jiwanya runtuh. Jiwanya rapuh. Dan itulah, aku yakin, jiwa seorang anak manusia. Firman bukanlah malaikat yang selalu haus dalam kepatuhan dan ketundukkan kepadaMu. Dia bukan setan yang selalu gelisah dalam pembangkangan dan pengingkaran terhadapMu. Aku yakin, firman bukanlah jenis orang yang dikatakan oleh ayat al-Quran;
Dan diantara manusia ada orang yang berkata;”kami beriman kepada Allah,” maka apabila ia disakiti ( karena ia beriman) kepada Allah. Ia menganggap fitnah manusai itu sebagi azab Allah. Dan sungguh jika jatang pertolongan dari  Tuhanmu, mereka pasti akan berkata;”sesungguhnya kami adalah besertamu.”bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?
Firman bukanlah seorang muslim yang lemah imannya. Sebaliknya, imannya demikian kuat kepada Allh. Aku yakin itu. Hanya saja, kekuatan iman tersebut tidak  dibarengi dengan kekuatan jiwanya, sehingga jiwanya memberontak terhadap ujian yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.
Dengan qadhaMu, engaku tetapkan langakah-langkah firman seperti itu. Berdosakah firman kepadaMu, sebab dia ingin menuju Mu dengan cara yang seperti itu, ya Allah? Sungguh, dimi diriMu aku bersumpah bahwa dosatidaknya seorang anak manusia, maka satu-satunya pihak yang berhak menentukan adalah diriMu. Lagi pula, aku ingat sabda rasulMU yang mengatakan;
Demi dzat yang jiwaku ada dalam genggamanNya, seandainya kamu sekalian tidak berbuat dosa kepada Allah, niscaya Allah Ta’ala akan mengambil kamu sekalian dan mendatangkan kaum yang berbuat dosa, kemudian mereka memohon ampun kepada Allah maka Allah pun berkenan mengampuninya.
Dan kini, menurut para sahabat, firman sedang mencari Tuhan kembali. Dia telah pergi ke gereja, tempat di mana aku dulu pergi ke sana, dengan tujuan yang sama. Dia pun telah pergi ke klenteng. Dia pun pergi ke mushola, bahkan harus digelandang keluar seumpama dia adalah orang gila. Hari ini, besok, atau lusa, dia pergi ke wihara, pergi ke pura, pergi ke lautan, pergi ke puncak gunung, dan lain sebaginya, semata-mata ingin berjumpa denganMu.
Maka, dengan keagungan wajahMu, ya rabb aku memohon sudilah kiranya engkau membimbingnya ke arahMu.
@@@
Hatiku mulai terbangun dalam nafas cinta yang menyeluruh kepada Allah SWT, tatkala ujian cinta kembalil menggerayangi jiwaku. Ujian citan yang beberapa waktu silam telah berhasil kulewati dengan selamat, kini datang lagi.
Adalah okta, dengan cara yang hampir sama dan sebanding dengan indri, mendatangiku dalam rahyuan nafsu. Okta, pemilik wajah ayu, berkulit lebih bersih dari kulit indri, dengan rambut panjang tergerai dan dengan pipi kemerah-merahan laksana merahnya bintang di ufuk timur. Jika indri berbicara dengan blak-blakan dan tampak seperti seorang gadis yang kurang pendidikan, maka okta berbicara dengan nada yang lembut, santun, dan lebih menyentuh kalbu.
Berawal dari saat ketika aku tengah berputar-putar keliling pasar, mencari al-Quran dan terjemahannya, juga mencari buku-buku agama atau umum yang  dijual di sana, aku bertemu dengan okata dan ibunya yang sedang berbelanya. Aku benar-benar rindu membaca buku di kota ini, dan rinduku yang membawa aku berkelililng di tempat yang tidak pernah aku datangi seperti ini.
Kepada ibunyya, okata memperkenalkanku. Kepada ibunya, okta meminta ijin untuk menemaniku. haruskah aku tolak? haruskah aku katakana kepadanya bahwa aku ingin sendiri dan takut berdekatan dengan seorang wanita? Atau, haruskah  aku berkata bahwa kamu jangan dekat-dekat denganku sebab kamu gadis yang tidak baik sedang aku laki-laki baik?
Tidak.
Tidak boleh begitu.
Aku tidak mau menjadi manusia yang sepereti itu.
Mau tidak mau, aku menerima okta di sampingku, ikut mambalik-balik buku yang using yang dijual asongan dipojok  gelap dalam pasar kota.
“mau cari buku apa sih mas?”
“apa saja dech. Asal bisa dibaca.”
“tapi ini buku-buku lama, mas? Tak ada buku-buku baru kelihatannya. Ah, masak mas mau cari mujarobat sih? Atau , ini, buku kumpulan doa? Atau juz amma?
Kami terus memballik-balik buku.
“kalau mas mau mendapatkan buku-buku terbaru, mas  bisa pergi ke purwokerto. Di kota kecil kayak sini, jangan harap mas akan menemukan buku baru, bagus dan mahal. Di sini, di kota ini, bukan tempat para mahasiswa-mahasisiwi, mas.”
“jadi harus ke purwokerto ya?”
“iya. Aku mau kok nganterin?”
“bener nich?”
“asal diongkosin aja.”
“loh, kok diongkosin sih?”
“kan nganterin.
Akhirnya, aku tidak menemukan  buku yang aku cari, buku apa pun itu, yang penting bukan mujarobat,bukan jus amma, bukan kumpulan huruf hijayah , bukan komik, bukan buku gambar, dan lain sebagainya yang hanya ada di sini.
Beberapa hari kemudian, demi memenuhi kehausanku akam membaca berbagai buku, aku  pun berangkata ke purwokerto dengan diantar okta. Kami berangkat pukul delapan pagi.
Kami sampai di purwokerto pukul sepuluh. Dan kami habiskan waktu di purwokerto untuk berputar-putar mencari buku hingga pukul satu. Jelang pukul setengah dua, tas punggungku sudah dipenuhi buku. Jelang jam dua kurang seperempat aku ajak okta ke mushola terdekat untuk menjalankan shalar duhur.
Dan ternyata ini di luar dugaanku okta shalat juga. Dia shalat berjamaah denganku. Aku imamnya. Dia makmumnya. Sungguh, demi Allah, hanya ada tiga perempuan yang pernah menjadi makmumku. Bu jamilah, Fatimah, dan okta.
Dan apa yang kusaksikan selanjutaya, sungguh di luar dugaanku pula. Ketika selesai shalat dhuhur dan berdiri dasi dudukku, okta masih duduk menunduk dalam doa-doanya. Ini serius, atau ini main-main? Pikirku sejenak. Dan aku tidak mau berburuk sangka tentangnya. Kuperhatikan dia dari belakang. Dia memang benar-benar tunduk dalam duduknya. Dan aku hanya berdoa semoga  hatinya benar-benar tengah terbuka dalam menghadap Ilahi, walau mungkin untuk kali ini saja.
Usai menjalankan shalat, kami pun mencari restoran. Perun belum kami diisi sejak pagi. Panggilan perut harus segera kami penuhi.
Ternyata tidak sulit bagi kami mencari restoran yang enak. Okta  telah hafal restoran dengan sajian yangenak, harga miring, dan halal masakannya. Ketika aku berseloroh, demikian hafalkah okta terhadap tempat-temkpat di purwokerto Ini, baru aku tahu dan sadari bahwa dia ternyata pernah tinggal agak lami di sini. Sekitar dua setengah tahun. Ternyata, baru kuketahui bahwa okta pernah kuliah du kampus negeri di kota ini.
Maka, di sepanjang perjalanan pulang ke banjarnegara, di dalam bus antar kota, kuhabiskan waktu untuk berbincang-bincang dengan okta. Disinilah aku dapati performa okta yang mantan mahasiswi, dengan bahasa-bahasa cerdasnya, menggelitik, dan menarik. Kami berbincang ke sana ke mari, hingga perbincangan kami menjurus pada soal cinta dan hati.
“dulu, aku dikeluarkan dari kampusku sebab au dituduh sebagai pergedar  narkoba, mas. Padahal, sumpah, yang menjadi pengedar itu pacarku. Dengan kejamnya, pacarku menyeretku dalam jeretan hukum, padahal aku dama sekali tidak mengedarkan narkoba. Pacarku di penjara, dan aku tidak terbukti kampus mengeluarkanku. Aku sakit hati, mas. Benar-benar sakit hati. Kulampiaskan saja rasa sakit. Kulampiaskan saja rasa sakit di hatiku dengan benar-benar mengkonsumsi narkoba.”
“kenapa pilihanmu melampiaskan diri, okta? Kenapa, misalnya, kamu tidak lampiaskan dengan cara yang baik, cerdas, dan terpuji?”
“seperti apa, mas?”
“seperti misalnya kamu membuktikan bahwa kampus adalah sekumpulan tikus-tikus mahasiswa dan dosen, di mana tinggi rendahannya kualitas ilmu dan pengetahuan seorang manusia tidak ditentukan apakah dia pernah atauhanya mondok di perkampungan yang terpencil. Kenapa, misalnya, kamu tidak membuktikan diri sebagai orang yang tidak lulus kuliah, tetapi ilmu dan keterampilanmu jauh melebihi seorang dosen?”
“Ah, seandainya aku tidak sakit hati kala itu.”
“Dan kamu merasa sudah terlambat?”
“Masih adakah waktu untukku, mas? Aku sudah merasa terlalu tua untuk belajar kembali? Lagi pula, tak kutemukan pembimbing yang tepat bagiku.ah, seandainya saja ada kamu di sisiku.”
Mulai.
Mulai…..!
Mulailah pembicaraan kami tersebut seputar masalah cinta dari masalah hati. Mulailah okta mengungkapkan perasaan-perasaannya yang terdalam. Terntang sosok seorang pemuda yang ideal, menurutnya, yang tidak hanya menjadi laki-laki dan menjadi pacarnya saja, melainkan juga bisa berperan sebagai kakak yang baik, ayah yang baik, saudara yang baik, pokoknya yang serba baik.
“Dan tampaknya itu akan temukan dalam dirimu, mas. Maaf pabila aku berkata demikian. Menurutku, mas ini hanya tampan wajahnya, tetapi tampan pula hatinya.”
“Dan jika kamu sungguh-sungguh dengan harapanmu, suatu ketika kamu pasti akan bertemu malaikatmu.”
“Malaikatku telah ada di sampingku. Walau, sungguh, aku tidak tahu apakah dia akan memandangku sebagai bidadari atau sebagi pesakitannya.”
Aku tatap wajah okta.
Dia membalas tatapan wajahku.
Dan bibirnya itu.
Masyaallah, imanku bisa hancur pabila dia terus memandangku dengan bibir seperti itu !!
@@@
Sekali lagi, nasib manusia apa yang tahu, kecuali Allah SWT. Manusia hanya mengenakan selendang nasib, sedangkan pemilik selendang itu hanyalah Allah SWT. Bicara soal takdir sesungguhnya adalah bicara soal masa depan. Takdir selalu  berkaitan dengan masa depan. Dan masa depan setiap insane hanya ada di dalam gengagman Tuhan.
Beberapa hari setelah aku dan okta kembali dari belanja buku di purwokerto, benang-benang  takdir  terpintal kembali. Ketika aku mencemaskan diriku sendiri terhadap okta, jangan-jangan godaan cinta mulai mendekatiku, maka justru problema cinta terjadi antara okta dan indri. Aku tahu hal itu ketika para sahabat mencertikan hal tersebut kemarin sore. Surya, parno, dan patmo datang ke rumah, dan memberiku kabar buruk tentang okta dan indri.
“Mereka bertengkar, mas,”kata surya.
“Tidak hanya itu, mereka berkelahi,”imbuh patmo.
“Mereka memperebutkan mas Iqbal,”imbuh parno.
“Masyaalah , laa hawla wa laa quwata illa billah. Mereka memperebutkan aku? Apa hubungan antara aku dan mereka?”
“Justru kami bertanya kepada mas? Mohon maaf, jika terhadap okta mas Iqbal ini memiliki persaan cinta, bumi dan langit dan Allah menjadi saksi bahwa kami mendukung perasaan seperti itu. Lagi pula, setelah pacarnya dipenjara, kami tahu okta belum memiliki pacar lagi. Okta itu anaknya baik mas. Dia memang peminum, pakai narkoba, dan pernah berhubungan seks dengan…….entah, tetapi sejatinya dia  memiliki hati yang baik. Bukankah mas pernah mengatakan kepada kami  bahwa tempat cinta itu ada di hati? Alasan kita mecintai adalah hati, bukannya wajah, tangan, atau kaki?”
“Ya, aku memang pernah mengatakan hal yang demikian itu.”
“Dan apakah mas punya perasaan kepada okta? Mohon maaf,mas.”
“Tidak, jika yang kalian maksud adalah perasaan cinta seorang laki-laki kepada seorang gadis.”
“Jadi mas terlibat asmara dengan Indri?” seru Patmo.”Wah, bahaya nih! Bahaya. Bisa-bisa terjadi perang kemerdekaan antara kamu dengan Firman nih. Bahaya. Pokoknya bahaya! Aku lepas tangan. Nggak, aku lepas tangan dan kakilah untuk masalah yang satu ini!”
Aku tersenyum. Kataku, “Aku juga tidak puunya perasaan kepada Indri.”
“Ah, yang betul?”
“Demi Allah, bumi dan langit menjadi saksi.”
“Tetapi mengapa mereka sampai cakar-cakaran begitu? Kami dengar nama mas disebut-sebut mereka. Indri mengatakan bahwa dirinya yang berhak lebih dekat dengan mas, sebab dirinya yang lebih sering datang ke rumah ini, berbincang-bincang dengan mas, dan menyusuri bibir malam bersama mas,” kata Surya lagi.
Menambahkan Parno dengan ucapannya,”Okta juga merasa lebih dekat dengan mas ketimbang Indri. Okta mengatakan kepada Indri bahwa Indri belum pernah diajak mas pergi ke luar kota, sedang Okta sudah diajak mas ke Purwokerto, berdua-duaan.”
“Bermesra-mesraan lagi katanya,”tambah Patmo.
“Yang penting, kalian sudah tahu bahwa aku tidak ada perasaan cinta kepada Okta maupun Indri. Terhadap Okta, aku bisa menjelaskan masalah ini. Dan terhadap Indri, aku minta kalian membantuku untuk berbicara jujur dan dari hati ke hati dengan Okta ketimbang Indri. Sedangkan kalian juga tahu bahwa Indri itu pacar Firman.”
“Memang benar sih apa yang dikatakan Okta maupun Indri. Sebagai laki-laki saja, aku melihat wajah mas demikian bercahaya. Tatapan mata mas demikian jernih, bijak, dan luar biasa. Rahang mas demikian kokoh. Otot-otao mas demikian  kekar.”
“Huss, kami itu sedang ngapain sih? Menjijikan sekali bicara begitu tentang laki-laki padahal dirimu sendiri laki-laki!”pekik Patmo.
“Tapi benar kan apa yang kukatakan?”
“Benar sih benar, tapi jangan menjijikkan sepereti itu dong!”
“Jika karena wajahku ini, Indri dan Okta bertengkar dan berkelahi,” kataku kemudian,”lebih baik aku memohon kepada Allah agar Dia memburukkan wajahku. Jika kedua mata ini yang telah menjadikan Indri dan Okta terpikat denganku, lebih baik aku berdoa kepada Allah semoga Dian berkenan membutakan kedua mataku.”
“Mas, jangan berkata begitu. Aku takut mendengarnya,” ucap Surya.
“Iya, mas. Sungguh mengerikan jika doa mas dikabulkan oleh Allh,”tambah Patmo.
“Ah,tak bisa dibiarkan jika mas berdoa seperti itu. Aku akan membalas doa mas dengan cara yang sebaliknya,”imbuh Parno.
“Sahabat-sahabtku, pernahkah kalian mendengar al-Quran yang memfirmankan;
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading. Itulah kesenagan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik(surga)?
Oleh Allah, kecintaan kepada wanita ditempatkan pertama kali sebelum kecintaan terhadap anak-anak dan harta. Ini berarti godaan terbesar dalam hidup ini adalah godaan terhadap wanita.”
                “Jadi, wanita itu makhluk penggoda, mas? Ah, pantas saja kami mudah sekali tergoda,”kata surya.
“Jangan  bawa-bawa aku, ya. Kamu aja yang suka tergoda perempuan. Perempuan buruk aja kamu tergoda. Dasar lelaki buaya darat!” vonis Patmo.
“Mas, semoga aku salah. Kenapa wanita, mas? Kenapa al-Quran menyebut kata’wanita’sebagai kecintaan anak dan harta? Ah, jangan-jangan Allah keliru nich ketika menyebut kata’wanita’dalam ayat tersebut. Di dalam pikiran seorang pengamen seperti ku, ayat ini kok kelihatan sangat merendahkan wanita gitu, mas, “kata Parno. “Jangan-jangan benar yang dikatakan sebagian orang yang berpendidikan itu, jenis kelamian Allah itu laki-laki.”
“Huss,  kusumpahin terlaknat oleh Allah baru tahu rasa kamu!” seru Surya.
“Maaf, mas. Saya benar-benar bingung. Di dalam pikiran sederhana seorang pengamen sepertiku, laki-laki dan perempuan itu sama-sama makhluk pengoda. Benar kan mas? Aku tidak terlaknat ketika bicara begitu to?”
“Adalah kebiasaan bagi al-Quran dan hadits-hadits nabi,”jawabku,”untuk mewakilkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus dalam satu istilah, entah itu memakai kata’wanita’, atau memakai kata ‘pria’.menurutku, ayat yang kubacakan tadi mengandung maksduh bahwa kecintaan kepada wanita berarti kecintaan kerhadap lawan jenis.”
“Nah, kalau begitu kan kesnnya nggak ngerendahin satu jenis  kelamin terhadap jenis kelamin yang satunya to mas?”
“Ya, semoga demikian.,”
“Lohh…kok semoga demikian sih?”
“walahu a’lam bimuradih.”
“Maksudmu?’
“Dan Allah lebih tahu terhadap apa yang dimaksudkanNya itu.”
“Kembali pada soal tadi,mas. Lalu gimana nich sikap mas? Kami harus melakukan apa terhadap Indri dan Okta?”
“Kalian adalah sahabat-sahabat mereka yang sudah lama. Kalian lebih mengenal watak mereka ketimbang aku. Terlebih Indri. Tolong bicaralah kepadanya dari hati ke hati, tentang cintanya kepada Firman dan cinta Firman kepadanya. Jangan karena aku Indri menjadi begitu.”
“Bolehkah kami mendoakan mas mencintai Okta?”
“Jangan.”
“Kenapa?”Tanya Parno.
“Karena cintaku telah menanti. Telah ada gadis yang menambat hatiku. Aku mengadakan perjalanan ini, juga disebabkan karena gadis yang berjilbab biru itu. Bolehkah aku mendoakan kalian mencintai Okta?”
“Jangan!!!”teriak mereka bebarengan.
“kenapa?”tanyaku.”
“sebab kami tidak ingin melukai jalainan persahabatan kami dengan mencintai Okta.”
14
Kutunggu Kamu
Di Alun-alun
Indri dan Okta bertengkar dan berkelahi gara-gara aku?  Masyaallah, sejauh itukah? Kenapa? Kenapa mereka bertengkar dan berkelahi gara-gara aku? Bukankah aku sudah bilang pada mereka bahwa aku tidak bisa mencintai mereka, sebab sudah ada cinta yang menunggu cintaku?kenapa mereka bisa berbuat begitu?
Apakah aku pernah memberikan sedikit harapan kepada mereka? Adakah kata-kataku,sikap-sikapku, atau perilaki yang dinilai dan dirasakan oleh mereka sebagai kata-kata, sikakp, dan perilaku seorang laki-laki yang sedang kasmaran kepada mereka? Atau, jangan-jangan aku ini sudah berubah menjadi laki-laki penggoda?!
Aku tidak habis mengerti. Di sini, di kota ini, ada dua gadis memperebutkan seorang laki-laki seperti aku. Dalam tradisi cinta, hanya laki-lakilah yang berebutan dan berkejaran untuk memiliki seorang wanita. Memang, aku pernah membaca berita tentang tiga orang pelajar SMU di Amerika yang berkelahi cakar-cakaran dan jambak-jambakan gara-gara memperebutkan seorang pria. Tetapi, bukankah di sini bukan Amerika? Di sini hanyalah sebuah kota kecil pegunungan di Indonesia?
Aku tidak bisa mengatakan bahwa para gadis di sini sudah demikian parah. Tidak pula aku bisa mengatakan bahwa para gadis di sini sudah demikian murah menawarkan cintanya. Indri dan Okta hanlah contoh kecil dari orang yang tidak bisa menahan emosi cintanya kepada lawan jenis. Kehidupan mereka hingga menguat, sehingga sisi feminimnya. Aku yakin itu. Mereka memang wanita, tetapi dalam hal cinta mereka sudah berubah laiknya pria!
Dan akulah penyebabnya.
Jika bukan karena aku, Indri dan Okta tentu tidak akan bertengakar dan berkelahi. Jika bukan karena aku dekat dengan mereka, tentu mereka tidak akan berbuat sesadis itu. Kukatakan sadis karena, menurutku, budaya Timur2 tidak mengijinkan dua orang gadis untuk bertengkar dan berkelahi gara-gara seorang laki-laki. Sungguh memalukan bagi budaya Timur jika ada gadis yang seperti itu.
Tetapi, kenapa mereka tidak memiliki malu seperti itu?
Ah, kenapa aku harus mempersoalkannya? Jangan-jangan, persoalannya tidak terletak pada diri mereka. Jangan-jangan akulah yang menjadi biang masalah bagi mereka. Kahadiranku di sini, mungkin tidak tepat untuk perjalanan cinta mereka. Kahadiranku di sini ternyata dapat melukai perasaan mereka.
Oh, Allah….
Betulkah aku ini seorang laki-laki yang  baik? Dan apakah karena hal ini yang kemudian merangsang Okta dan Indri untuk mananamkan  benih-benih cinta ke dalam lading hatiku? Namun, seandainya aku berubah menjadi orang yang tidak baik, bukankah justru jerat cinta akan manarukku untuk  memeluk dan mencium mereka? Ya Allah, jika karena aku dianggap sebagai orang yang baik oleh mereka, lebih baik engkau limpahkan kebaikan yang berlipata pada diriku, sehingga dengan kebaikan itu Indri dan Okta akan menjauhkan diri mereka untuk mencintaiku. Semoga dengan kebaikan itu, mereka menjadi sadar dan tercerahkan bahwa cinta itu tidak bisa dipaksa-paksa dan jalan untuk menuju cinta yang sejati tidak seperti jalan yang ditempuh Okta dan Indri.
Ya Allah, senadainya saja mereka bertengkar dan berkelahi karenaku bukan karena alasan kebaikan sikap, ucapan, dan perilakuku yang tampak pada mereka, lalu apakah alasan yang mereka gunakan adalah seperti yang dikatakan oleh para sahabatku itu?
Wajah ini.
Tubuh ini.
Kedua mata ini.
Seorang yang tampankah seorang Iqbal Maulana? Apakah arti ketampanan bagi cinta seorang gadis? Aku telah membaca maqalah yang mengatakan,”jika seorang laki-laki mengawini seorang wanita karena kecantikannya atau hartanya, ia hanya akan mendapatkan hal itu, jika ia mengawininya karena agamanya, niscaya Allah akan memberinya pula harta dan kecantikan.
Ketampanan dan kecantikan seringkali dijadikan alasan pilihan pertama untuk menanamkan cinta pada lawan jenis. Yang pertma dilihat orang kebanyakan orang ketika ia mencintai lawan jenis, biasanya adalah wajahnya. Bagi pria, dia akan melihat apakah wajah kekasih nya itu canti atau tidak. Demikian pula bagi wanita.
Maka, apakah karena wajahku ini telah menarik minat cinta Okta dan Indri untuk mencintaiku?
Apakah karena kedua mataku ini, sebagaimana dikatakan oleh para sahabat?
Aduhai, Allahku………
Aku tidak ingin terjerumus dalam belenggu syahwat kepada gadis sebelum engkau takdirkan aku merengkuh perkawinan yang suci. Hari ini aku bisa menahan syahwatku, tetapi aku tidak tahu nasib di keesokan hari. Hari ini aku bisa menahan pandangan mataku dari perasaan syahwat kepada Indri dan Okta, tetapi bisa jadi setan besok akan lebih dahsyat lagi menggodaku;
Penglihatan adalah salah satu anak panah iblis. Barang siapa meninggalkannya karena Allah ‘Azza wa Jalla, dan bukan karena selainNya, niscaya Allah akan menyeretkan keamanan dan keimanan kepadanya, dan ia akan mendapatkan rasanya.
Pandangan demi pandangan akan menanam syahwat di dalam hati, dan cukuplah bagi orang yang melakukannya untuk mendapatkan fitnah.
Barangsiapa memandang seorang wanita, kemudian mengalihkan pandangannya ke langit atau memejamkan matanya, niscaya matanya tidak akan berkedip sampai Allah mengawinkannya dengan bidadari.
Ya Allah, Engkau tahu siapa gadis yang aku cintai Engkau pun menjadi saksi sehingga kapan aku akan menjemput tambatan hati. Sebentar lagi, ya Allah, kala Engkau tiupkan takdirMu kepadaku agar aku bisa menjemput pujaanku. Tetapi waktu selalu merantai misteri, dan dalam rahasia waktu segalan sesuatu bisa terjadi.
Aku takut kepadaMu dari godaan setan yang berupa syahwatku, maka lebih baik Engkau cabut syahwat itu dari kedua mataku. Butakan kedua mataku, ya Illahi, sebab,”tiada ibadah yang lebih baik dari pada kesucian perut dan kemaluan”. Aku takut kedua mata ini menjeratku untuk mendekati zina. Dan aku takut aku tidak bisa menghentikannya. Selamatkan diriku dari syahwat terhadap wanita, duh, entah kepada Indri, kepada Okta, atau kepada gadis siapa pun juga. Sampai datang waktu bagiku untuk pergi ke tegal jading, dan menjemput belahan jiwaku di sana.
Ya Allah, berikan kepadaku hati yang merendah lidah yang memujiMu, badan yang dapat memikul pernderitaan, dan istri yang beriman, yang member suaminya kesenangan bila si suami melihat kepadanya serta menjaga dirinya dan harta suaminya ketika si suami tidak hadir.
@@@
Kubuka sebuah buku yang sudah aku beli. Buku ini berjudul Gulistan merupakan karyanya yang palling popular di Persia di samping karya yang satunya, bustan. Sa’di hidup  sejaman dengan jalaludin Rummi(1207-1273M). periode itu merupakan periode yang penuh dengan bencana politik. Namun, dalam situasi yang demikian ini maraklah kegiatan spiritual yang entah apa penyebabnya. Nama sejumlah penyair, sarjana, seniman kalilgarafi terkemuka muncul, namun abad itu merupakan zaman pemuka tasawuf.
Mungkin agak mengherankan di tengah krisis besar yang dihadapai masyarakat, sa’di member judul yang romantic bagi bukunya, Gulistan yang artinya; Taman Bunga. Namun, mungkin dalam situasi yang sangat tidak terkendali, penuh dengan intrik-intrik politik, keserakahan, nafsu, dan kejahatan, jiwa-jiwa manusia sangat membutuhkan kedamaian spiritual, sehingga apa yang dapat menyejukkan jiwa itulah yang akan dapat menyelamatkan manusia dari berbagai bencana. Maka, dalam situasi yang seperti inilah, barangkali, yang dijadikan alasan sa’di untuk member judul bukunya.
Kuniatkan untuk membaca habis buku yang lumayan tebal ini. Tetapi sekarang, aku ingin menjelajahi dulu secara acak, menemukan aggur kenikmatan dalam kalimat-kalimat. Maka, ketemukan sebuah kisah yang menulis begini.
Meskipun Sheikh Abdul Faraj bin Juzi yang tersohor keshalihannya membekaliku berbagai nasihat agar aku menjauhi hiburan music, dengan memperbanyak doa dan dzikir, kenakalan masa muda masih menguasaiku. Sebuah keinginan kuata selalu muncul sementara aku tidak bisa mengendalikannya. Aku melupakan nasihat Sheikh itu dan terlena menikmati hiburan music dalam sebuah pesta meriah……
Belum lagi aku meneruskan bacaanku, tiba-tiba kantuk menyerang kedua mataku. Ini tidak biasanya terjadi pada diriku di saat aku kerjakan, lalu baru pula aku selesai menambah hafalan al-Quranku. Tetapi kenapa kantuk bisa menyerangku secara dahsyat seperti ini?
Ah, barangkali hawa dingin yang dibawa hujan yang deras malam inilah yang telah membuat kedua mataku mengantuk. Atau, barangkali aku teerlalu lelah sesudah tadi hampir seharian aku berkeliling di seputar kota. Jarum jam didinding menunjukkan angka setengah delapan, sedangkan kedua mataku mulai terpejam.
Hampir saja aku terlelap, tatkala aku mendengarkan ada orang mengetuk pintu kamar. Mungkin Bu Laela, atau Pak Burhan, atau malah Firman ya? Aku persilahkan saja orang yang mengetuk pintu kamar itu masuk. Kukatakan pintu tidak dikunci.
Dan, masyallah, betapa terkejutnya aku setelah tahu siapa yang berdiri di ambang pintu. Aku tersentak kaget dan bangun dari tidurku. Tak salahkah aku melihatnya ini. Dia yang berdiri di ambang pintu itu adalah Indri!
“Bolehkah aku masuk?” tanyanya.
Aku tidak bisa menyebunyikan kekagetan dan keherananku, yang membuat bibirku gemetaran dan membuat mulutku berkata,”kamu sudah minta ijin tuan rumah?”
“sudah. Tadi aku bertemu Bu Laela. Bolehkah aku masuk?”
Apa yang hendak kukatakan , kecuali mempersilahkannya masuk. Jika tuan rumah sudah mengijinkan dan jika Indri sudah berdiri di situ dengan basah kuyup, apa yang mesti kulakukan.
Kuambilkan handuk dan kusuruh dia mengeringkan rambutnya. Aku kasihan melihat baju yang dikenakannya itu basah kuyup dan aku ingin berbaik hati untuk mengganti bajunya yang basah itu, tetapi dengan baju siapa?dengan kaos? Dengan kaos Firman? Ah, tidak mungkin kulakukan, sebab Firman tidak ada dan aku tidak bisa mengambilkan kaos milliknya tanpa seijinnya.
Bagaimana dengan kaosku? Aduh, aku khawatir dia akan salan aggap. Dalam situasi hati yang diiipenuhi  gejolak emasi, aku khawatir dia akan menilai lain pabila aku beri dia pinjaman kaos  untuk di pakainya. Walhasil, aku hanya mengambilkannya handuk saja dan menyuruhnya untuk mengeringkan rambutnya yang basah.
“Firman belum pulang , In,”kataku.
Indri masih megeringkan rambutnya. Jika dipikir-pikir, rambutnya itu demikian indah.
Innalillah, kenapa aku memuji rambutnya?
“Aku kesini bukan untuk ketemu Firman,mas,”katanya. Dia sudah selesai mengeringkan rambutnya. Dia gantungkan handuk di kaun pintu.
“Lalu, kenapa malam-malam begini kamu datang kemari?”
“Aku ingin bertemu denganmu.”
“Kalau begitu, ayo kita turun. Tidak enak jika kita berbicara di sini, berdua-duaan di kamar ini.”
“Aku  nggak mau turun. Aku maunya di sini. Aku maunya kamu temani.”
“Astagfirullah, apakah kamu belum sadar juga, In?”
“Bahwa aku tidak boleh mencintaimu?”
“Ya!”
“Mas, coba kamu pikir;setelah aku renung-renungkan, betapa benarnya perkataanmu. Setelah aku bertanya kepada diriku sendiri, aku akhirnya sadar betapa besar maksiat yang telah aku lakukan selama ini. Kamu benar ketika mengatakan bahwa aku haruslah mencintai diriku sendiri, dan ternyata selama ini aku memang membenci diriku sendiri. Aku menyakiti diriku sendiri. Bolehkah aku duduk di sini, mas?’
Indri duduk di kasur di sampingku. Kini, aku benar-benar merasa cemas, khawatir, dan takut kepadanya. Naluriku mengatakan bahwa Indri malam ini menjadi sosok yang tidak peduli apa pun dan siapa pun juga.
“Seharusnya kamu tidak kemari, In. ini nggak baik, bagimu maupun bagiku.”
Tanpa menghiraukan perkataanku, Indri bertanya, “kenapa kamu pergi ke Purwokerto bersama Okta, mas?”
“Loh, memang kenapa? Aku pergi bersama siapa toh itu urusanku, In?”
“Tetapi mas nggak punya perasaan.”
“Aku, aku nggak punya perasaan?”
“Mas menghancurkan perasaanku.”
“kok bisa?’
“sebab mas tidak mengajakku malah mengajak Okta. Pertama, sebelum mas mengenal Okta, mas sudah mengenalku. Kedua, sebelum mas berbicara dengan Okta, mas sudah sering mengobrol denganku. Ketiga, sebelum Okta menyatakan perasaannya kepada mas, aku sudah menyatakan perasaanku terlebih dahulu.”
“jadi itu alasannya?”
“Mas memang benar-benar tidak memiliki perasaan.”
“Aku akan lebih tidak memiliki perasaan ketika aku memiliki perasaan cinta kepadamu, In.”
“kenapa mas? Kenapa?”
“Sebab berarti aku menghancurkan perasaan Firman. Pertama, sebelum aku mengenalmu, aku sudah mengenal Firman. Kedua, sebelum aku berbicara denganmu, aku sedah sering mengobrol dengan Firman. Ketiga, seblum aku menyatakan perasaanku kepadamu, kamu dan dia telah menjalain cinta. Maka bagaimana bisa kamu berkata bahwa aku tidak punya perasaan?!”
“Aku memang hanya gadis yang bodoh. Yang bejat akhlaknya, mas. Aku tidak pandai berkata-kata seperti mas. Tetapi, tolong beri aku sedikit cinta sehingga aku tidak terbakar seperti ini?’
“In, lebih baik kamu segera kuantar pulang sebelum aku  menjadi marah kepadamu. Telah kukatakan berkali-kali kepadamu, bukan sikap yang seperti ini yang akan menambah kecantikan wajahmu. Telah kukatakan kepadamu bahwa menjadi seorang gadis muslimah itu seharusnya lebih berharga dan bernilai daripada menjadi gadis biasa. Tidak ada orang yang tidak pernah melakukan dosa dan kemaksiatan, In, tetapi percayalah kepada Allah bahwa sebaik-baiknya manusia adalah orang yang bertobat dan memohon ampun terhadap dosa dan kemaksiatan yang telah ia lakukan.”
“Mas, demi Allah, aku akan bertobat dan memohon ampun kepadaNya. Kedatanganku ke sini justru  dalam proses pertobatan dan permohonan ampun itu. Aku ingin mencinati Allah SWT dengan cara mencintaimu, aku membayangkan bisa bercinta denganmu seakan-akan aku bercinta dengan Allah.”
“Jangan pernah kamu bicara sepereti itu lagi, In?”
“Mas marah?”
“Kunasehati baik-baik kamu tidak mendengarnya juga. Apakah aku harus menggunakan kekerasaan agar kamu keluar dari kamar ini?!”
“Mas, sebelum aku keluar dengan baik-baik atau kamu lempar aku dari kamar ini, berilah sedikit seindahan pada wajahku. Ciumlah wajahku, ma. Ciumlah.”
Jika indri seorang laki-laki, sudah aku remukkan tulang-tulangnya. Jika  dia laki-laki, sudah aku tantang dia untuk berkelahi!
Aku mundur beringsut.
Indri menyorongkan wajahnya.
Kudorong pundaknya.
Indri menggila.
Dia melompat ke atas tubuhkku. Aku mencoba untuk melemparnya.
“Indri!” terdengar suara lantang seorang laki-laki.
Indri terhenyak.
Aku pun kaget sekali.
Di sana, di ambang pintu, Firman berdiri dengan gagahnya.
Indri merapikan pakaiannya.
Kedua mata Firman melotot memerah.
“Bang,”kataku kemudian,”jangan salah sangka dulu.”
“Mas Iqbal!” firman memotong kata-kataku.”Apa pun yang ingin kamu katakan, kamu bisa mengatakannya di luar. Sekarang, benagi pakaianmu. Masukkan ke dalam tasmu. Aku tunggu kamu di alum-alun!”
Firman membanting pintu keras-keras.
Dan tak ada yang bisa kuperbuat, selain mengikuti perintahnya.
Haruskah aku menyalahkan Indri? Haruskah aku meneriaki dan mencaci makinya? Haruskah aku gampar wajahnya dengan telapak tanganku?
Aduhai, malam………
Jika karena kejadian ini aku harus  diusir oleh Firman dari rumah ini, aku akan menerimanya. Dia memintaku untuk membenahi pakaian-pakaianku. Dia memintaku untuk memasukkan pakaian-pakaianku ke dalam tasku. Itu berarti, tak ada lagi pintu rumah ini yang terbuka untukku. Aku harus pergi dari rumah ini.
“Mas, maafkan aku………maafkan aku,”isak tangis Indri mulai kudengar.
“Sudahlah, In. ini bukan salahmu.”
“Gara-gara aku, mas harus pergi dari rumah ini. Maafkan aku, mas…….”
“Aku akan memaafkan pabila kamu meminta maaf kepada Allah atas perbuatanmu yang seperti itu. Ketahuilah, ada lima perkara yang dikandung dalam zina; menghilangkan kehormatan, mewariskan kefakiran, mengurangi umur, memurkakan ar Rahman, dan mengekalkan di neraka.” Hari ini aku masih bisa bertemu denganmu, mungkin besok atau lusa kita tidak lagi bisa bertemu. Maka dengarkan kata-kata seorang sahabt ini; berjanjilah kamu untuk menjadi gadis yang baik hati.
Suara ribut-ribut  di kamar ini ternyata terdengar hingga ke telinga Bu Laela dan Pak Burhan. Mereka pun berdiri di ambang pintu.
Ya Allah……
Betapa memalukannya aku ini. Betapa memalukan aku dilihat  Bu Laela dan Pak Burhan  berdua –duaan di kamar ini. Betapa menyakitkan aku harus pergi dari rumah  ini dengan cara seperti ini.
“Nak mas mau kemana?”Tanya Bu Laela lembut.
“Saya harus pergi bu.”
“Pergi ke mana? Malam-malam begini?” Tanya Pak Burhan. “Maaf, kami tadi mendengar suara rebut-ribut dari kamar ini. Kami seharusnya tidak mendengarkannya. Tetapi, nak mas……….apa pun yang tengah terjadi antara nak mas dengan Firmman dan Indri, tolong jangan pergi dulu. Tunggulah besok. Malam sudah larut. Nak mas tidak punya siapa-siapa di sini. Hujan deras. Kilat menyambar-nyambar. Jangan pergi dulu.”
“Maafkan saya, pak ini salah saya. Salah saya terhadap Firman. Saya harus meminta maaf kepadanya. Saya harus menyelesaikan masalah ini dengannya. Firman telah menunggu saya di alun-alun.”
‘”Pak, Bu……..” indri ikut berkata,” mas Iqbal nggak salah. Ini salah saya. Saya telah menggoda mas Iqbal. Saya……..masyaallah…maafkan saya, Bu. Maafkan saya, Pak!”
Indri berlari sambil menagis. Rasa malu memang sedang dialaminya.
Ya Allah, jika memang harus dengan cara demikian Indri bertobat dan memohon ampun Mu, maka aku terima apa yang akan terjadi denganku. Aku terima, ya Allah.
“Pak maafkan saya pabila selama ini telah merepotkan bapak dan ibu. Bapak dan ibu sudah saya anggap seperti orang tua saya sendiri. Betapa memalukannya saya harus  meninggalkan rumah ini dengan cara seperti ini. Tetapi, saya berharap mungkin dengan cara inilah Firman akan berubah. Jadi, ijinkan saya untuk pergi dari rumah ini.”
Bu Laela dan Pak Burhan tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Bu Laela hanya menagis, menagisi kepergianku.
Pak Burhan memelukku.
Tak terasa, air mataku pun meleleh.
@@@
Hujan masih deras mengucur. Berkali-kali, langit diterangi kilat,dan malam di pecah dengan suara Guntur. Aku berjalan dipayungi hujan, menjejakkan langkah menuju alau-alun.
Sepi mencekam. Angin bertiup sangat kencang. Terkadang, air hujan masuk ke dalam bola mataku. Lelerannya masuk ke dalam mulutku. Aku mempercepat langkahkuke alun-alun, menemui Firman, dan segera menjelaskan apa yang mesti aku jelaskan padanya. Aku tidak ingin dirinya termakan asumsi, kemudian salah mengerti, dan kemudian menjauhkan aku darinya. Aku tidak ingin melukai persahabatan dengan fitnag.
Sesampainya di alun-alun, kutoleh ke kiri dan kekanan mancari-cari keberadaan Firman. Malam yang hujan begini menjadikan alun-alun sepi dari orang-orang. Hanya terlihat satu orang pedagang bakso yang sepi dari pembeli di depan sana. Tiga orang tukang becak duduk kedinginan di dalam becaknya. Aku melangkah mendekati penjual bakso tersebut.
Dan benar saja………
Firman berada di dekat tukang bakso itu. Duduk bersamanya para sahabat yang lain; Surya, Patmo, dan Parno. Aku melangkah mendekati mereka. Tas punggungku yang memang berat semakin terasa berat  oleh air yang meresap. Isi tasku pastikah telah basah semuanya. Aduh, buku-buku yang barusan aku beli pasti basah juga.
Tetapi biarlah.
Bersama dengan Firman, para sahabat yang lain ternyata juga menungguku. Mereka semua menungguku dalam lidah yang bisu. Entah apa yang telah dikatkan Firman kepada mereka, tampak sekali di  mataku mereka memendam kebencian.
“Mas, kamu ini manusia atau bukan?! Kkamu seharusnya sadar siaipa Indri itu dan apa hubungan antara Indri denganku. Sungguh, selama ini aku percaya kepadamu. Kata-katamu begitu mempengaruhi jiwaku. Selam ini aku pergi untuk menemukan diriku kembali. Dan ketika pulang, masyaallah…….kamu…..kamu  kayak disebut binatang!”
“Apa pun yang ingin kamu sebut tentang aku, percayalah bahwa aku dan Indri tidak melakukan apa pun. Jika kamu tuduh aku dan dia berselingkuh, demi Allah, aku tidak demikian. Aku juga tidak berbuat zina dengannya.”
“Tetapi apa yang aku lihat tadi?”
“Abang bisa bertanya kepada Indri?”
“Itu akan aku lakukan, mas. Pasti aku lakukan. Aku hanya ingin bertanya kepadamu; apakah layak bagi seorang muslim seperti kamu, yang berusaha menjalankan ajaran-ajaran agama, yang setiap hari waktu kamu habiskan untuk mengaji dan menghafalkan isi kitab suci, yang setip lima kali dalam sehari kamu rajin menghadap Tuhanmu, membiarkan seorang perempuan menggumulimu seperti itu?! Layakkah kamu ini disebut mausia muslim?!”
“Aku tidak memungkiri Indri menggumuliku seperti itu. Tetapi aku menolak tuduhanmu bahwa aku dan dia ingin melakukan kemaksiatan. Sebaliknya, aku mencoba untuk melempar pacarmu itu dari tubuhku!”
“Apa pun yang ingin kamu katakan untuk membela diri, hal itu tidak bisa menutup fakta bahwa Indri dan kamu berada dalam satu kamar dan kutemukan tengah beradegan seperti itu. Luar biasa..dia yang memiliku mulut manis berkunyahkan pengetahuan dan wawasan agama, ternyata selama ini hanya pura- pura belaka! Kamu ternyata lebih bejat dari orang yang bejat sepertiku. Aku menjadi bejat dan aku bertanggung jawab dengan kebejatanku. Tetapi kamu? Kamu berpenampilan agama tetapi nafsu busuk membara di dadamu.”
“Sungguh, kamu telah memfitnahku, bang. Kamu telah menyakiti perasaanku. Kuyakinkan abang sekali lagi, aku tidak seperti yang abang tuduhkan.”
“Aku tidak percaya.”
“Terserh. Sekarang, apa yang abang inginkan dariku.”
“Kamu menantangku? Menantangku setelah apa yang baru kusaksikan tadi?”
“Aku tidak menantang abang. Aku hanya sekedar mengingatkan abang agar abang tidak menurutiu kata hati abang sendiri.”
“Indri memng permpuan yang tidak baik, aku tahu. Dan aku pun laki-laki yang tidak baik. Tetapi apa salah kami sehingga kamu memasuki cinta di antara aku dan dia?”
“Aku tidak mencitainya. Dan aku tahu dia itu pacarmu.”
“Jadi, apa? Jadi alasan apa yang dapat aku terima darimu, mas?!”
Habislah kesabaran Firman kepadaku. Dan pabila aku menuruti hawa nafsuku, akan kuhabiskan pula kesabaran. Tetapi, ya, Allah…….ini adalah ujian kecil yang engkau berikan kepadaku. Jika dengan ujian kecil saja aku tidak mampu mengalahkannya, bagimana bisa aku akan engkau masukkan ke dalam golongan hamba-hambaMu?!”
Maka, apa yang terjadi haruslah terjadi. Untaian kata tidak lagi berarti pada diri orang yang tengah diamuk emosi. Semakin banyak berkata-kata, semakin naik emosinya.
Tanpa ampun lagi, aku menjadi sasaran empuk tinju dan tendangan  Firman. Kemaluanku ditendangnya habis-habisan. Perutku dipukuli berkali-kali. Tak puas dengan itu, tiba-tiba Firman meraih mangkok berisi sambal di atas meja.
Aku tidak tahu apa yag akan dia lakukan. Dan aku tidak sempat lagi menghindar ketika sambal dalam mangkok itu dihambur-hamburkan ke wajahku. Kedua tinju, silih berganti, menghajar wajahku.
Kepalaku pening. Kedua mataku sakit. Bumi berputar pelan. Dadaku sesak. Kepalaku semakin penig. Mataku semakin sakit. Akhirnya aku ambruk tak sadarkan diri.
15
Di Lian ini
Aku Menunggu Mu
Bau obat-obatan menyerang perutku terasa mual-mual. Aku menggeliat bangun. Tetapi, seluruh tubuhku terasa nyerti. Dan……masyaallah, kenapa dunia menjadi gelap gulita seperti ini?
Aku ingin membuka kedua mataku.
Tetapi….
Astagfirullah al’adzim……
Aku tidak bisa membuka kedua mataku. Ada perban yang menempel di sana. Ya Allah, apakah aku telah menjadi buta?!
“Alhamdulillah, kamu sadar,” terdengar suara permpuan yang berucap hamdalah di dekatku.
“kamu siapia?”tanyaku.
“aku Okta.”
“Okta?”
“Iya, mas. Sebenta, aku panggil kawan-kawan dulu.”
Tak lama kemudian, suara gaduh memenuhi ruangan ini. Di manakah aku ini?
Satu persatu, kurasakan ada orang yang memegang lengan tangan kananku. Satu per satu mereka mengatakan siapa dirinya;Indri, Patmo, Parno dan Surya.
“Dimanakah aku?”tanyaku kepada mereka.
“Kamu sedang dirawat di rumah sakit Banjarnegara, mas,”jawab Okta.
“Mas Iqbal lama sekali tak sadarkan diri,”ucap Surya.
“Iya, tiga hari tiga malam, mas. Mas lapar nggak?”tanya Patmo.
“Huss, kamu itu mesti begitu, mo, mo. Sudah tahu tak sadarkan diri selam tiga hari, masih bertanya lapar nggak. Lebaih baik kamu beli makanan yang paling enak sana untuk mas Iqbal!”
“Uangnya mana?!”
“Ya pakek uang hasil ngamen tadi, guoblok!”
“Astagfirullah, kamu sudah janji kepadaku untuk tidak ngomong jorok seperti itu.”
“Oh, iya, sori, lupa banget.”
“sora-sori sora-sori. Percayalah, menjadi orang baik sepertimu akan lebih sulit daripada aku!”
“firman …….dia ke mana? Apa dia baik-baik saja?ah, aku bersalah kepadanya. Ke mana dia?” tanyaku kepada orang-orang ini.
“Sungguh mulia hatimu, mas,”kata Parno.”kami saja sudah membencinya, kok kamu yang tega-tega disakiti olehnya masih menanyakannya.”
“Dia ke mana?”
“Bukan urusanku!”
“Apakah kalian membencinya?!”
“Bagaimana tidak membencinya, lha wong dia yang salah. Bukan mas yang salah?!”
“Apakah kamu juga membencinya, Indri?”
“Ah, entahlah, mas.”
“Jangan, In. jangan kamu benci dia. Aku takut pabila kamu dan para sahabat membencinya, dia semakin jauh dari dirinya sendiri. Yang dia butuhkan sekarang ini pastilah bukan kebencian, tetapi ketulusan hati untuk mencintainya.”
“Mas Iqbal, maafkanlah aku ya? Aku benar-benar meminta maaf. Gara-gara aku, mas menjadi begini. Dokter mengatakan mas Iqbal akan….akan…….”
“Akan apa?”
“Mas tidak akan bisa melihat untuk waktu yang lama.”
Aku menghembuskan nafas. Tetapi kemudian, aku tersenyum. Inilah takdirku, takdir seorang Iqbal. Aku sendiriyang telah berdoa kepada Allah untuk membutakan kedua mataku. Hanya saja, aku tidak tahu ternyata aku menjadi tidak melihat begini dengan cara dihajar habis-habisan Oleh Firman.
“Aku nggak pa-pa kok, In,”kataku kemudian. “Aku hanya senang, kamu telah berubah.”
“Iya, mas,”kata Surya dengan nada yang riang.”Indri dan Okta bahkan sekarang ini sedang belajar memakai jilbab.”
“Ah, jangan ngomong gitu dong, jadi malu nich,”kata Okta.
“Alhamdulillah. Kallian memang akan semakin cantik pabila mengenakan jilbab.”
“Mas, apakah kira-kira Allah akan mengampuni dosa dan kesalahan kami?”
“Insyaallah, insyaallah. Dia telah berfirman; dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah(pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun. Bertobatlah, dan meminta ampunlah kalian kepada Allah, niscaya Allah akan memberi kalian surga dan kebahagiaan.”
“Assalamu’alaikum………”terdengar orang mengucapkan salam.
Kami  yang berada dalam ruangan ini pun membalas ucapan salamnya.
“Nak mas……..”katanya.
“Pak  Burhanka ini?” aku ingin bangun, tetapi aku tidak kuat. Tubuhku terasa lemas sekali.
“Iya, nak. Bapak ke sini bersama ibu.”
Bu Laela menubrukku. Dia terisak –isak. Katanya, “Maafkan anakku, nak. Maafkan Firman………”
“Nggak apa-apa kok. Di mana sekarang Firman?”
“Dia di rumah. Dia mengunci dirinya di kamar. Maafkan dia,nak. Karena dia, nak mas menjadi seperti ini.”
“Sudah takdir Allah, bu. Tidak perlu disesali.”
Lalu kami berbicang-bincang. Ke sana ke mari. Bersenda gurau. Tertawa-tawa. Aduhai, seandainya aku bisa berharap, kebahagiaan ini akan semakin lengkap pabila Firman ada di sini.
@@@
Sepuluh hari sudah aku menginap di rumah sakit. Sungguh, aku merasa sudah sehat kembali. Sudah benar-benar sehat. Hanya saja, dokter belum mengijinkanku untuk meninggalkan rumah sakit. Aku masih harus menunggu kesembuhan kedua mataku. Perban ini belum boleh dibuka. Sebagaimana dokter, aku sendiri ingin sekali segera membuka mataku dan mendapati apakah aku masih bisa melihat atau tidak.
Selama di rumah sakit ini, silih berganti para sahabat menjengukku. Hampir setip hari Bu Laela dan  Pak Burhan menjengukku. Demikian halnya Indri dan Okta. Bahkan, kalau malam, surya, Parno dan Patmo menemaniku tidur di rumah persakitan ini.
Kepada para sahabat laki-lakiku itu, aku selalu meminta agar mereka mengajak Firman datang kemari. Awalnya mzzzereka nggak mau. Mereka masih jengkel kepada Firman. Mereka membenci Firman. Mereka telah tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Mereka menanyakan masalah ini kepada Indri sebagai orang yang bersangkutan. Mereka memaki-maki Indri, memaki sejadi-jadinya, membuat Indri dua hari dua malam menangis dan tidak bisa tidur. Indri menyesali perbuatannya. Bahkan, Indri menyesali hidupnya selama ini.
Setelah mendapatkan kejalasan dari Indri, para sahabat pun mendatangi Firman. Memaki-maki Firman, memaki sejadi-jadinya. Dikatakan oleh mereka bahwa Firman adalah manusia  terbodoh di dunia ini. Manusia terkutuk. Manusia terlaknat. Manusia yang tidak memiliki hati, otak, dan perasaan. Manusia yang sudah dibutakan hatinya untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Manusai yang tidak tahu diri. Manusia bejat. Manusia biadab!
“Jika kamu tidak terima, ayo kita berkelahi saja, hingga ada di antara kita yang tewas, dan cepat dimasukkan Allah ke dala neraka!” demikian kata Patmo kepada Firman.
Bungkam mulut firman. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Jika para sahabatnya saja sudah memendam kebencian kepadanya seperti itu, maka kepada siapa lagi Firman akan menunjukan dirinya.
Akhirnya kunasehati para sahabat untuk meminta maaf kepada Firman. Kukatakan kepada mereka, Firman lebih butuh cinta dan kasih sayang serta perhatiaan dari pada aku yang mengalami pesakitan begini. Dan ternyata, para sahabat pun mau mengikuti nasihatku. Mereka meminta maaf kepada Firman, dan mereka mengajak Firman untuk menjengukku.
Akan tetapi, entah karena merasa bersalah kepadaku atau karena malu, Firman tak jua datang ke sini. Aku hanya berdoa kepada Allah SWT, semoga dengan masalah yang terjadi antaranya denganku tidak membuat dirinya semakin jauh dari Allah SWT.
Ah, rumah sakit……….
Kurang lebih dua setengah tahun yang silam, ibu pernah dirawat di rumah sakit seperti ini di Jakarta. Dan sekarang, aku pun dirawat di rumah sakit pula. Para sahabat, mengatakan bahwa Pak Burhanlah yang menanggung seluruh biaya selama aku dirawat di sana, sebagai wujud pertanggungjawaban. Mereka terhadap perbuatan putra mereka. Betapa baik Pak Burhan dan istrinya itu. Kuharap, dengan kejadian ini mereka tidak membenci Firman.
Jam berapa sekarang? Hari sudah malam atau belum ya?
Aku mendesah. Baginilah rasanya orang yang tidak bisa melihat itu? Dunia hanyalah lingkaran hitam nangelap. Terkadang, aku seakan-akan melihat butiran-butiran atom bertebaran di sekelilingku. Terkadang, ada garis-garis hitam yang melintas di depan mataku.
Apa yang bisa kulakukan sekarang?
Oh iya, daripada bingung-bingung begini, bukankah lebih baik aku mengulangi hafalan al-Quran yang telah kuhafal? Aduh, sudah beberabpa hari aku tidak menghafalkannya. Masih hafalkah aku terhadap ayat-ayat yang telah kuhafalkan?
Kumulai membaca al-Fatihah. Setelah itu, kumulai mambaca surat al-Baqarah, lalu surat Ali Imran, lalu suat an Nisa dan seterusnya. Dan ketika aku sampai di pertengahan  surah al Maidah, terdengar suara langkah-langkah kaki menuju ke sini.
Aku pun berhenti membaca surah al Maidah. Aku hanya menunggu siapa yang datang.
“Assalamu’alikum,”katanya.
“Wa’alaikumsalam,”jawabku.”Parno kah?”
“Iya, mas. Gawat, mas. Bahaya. Sungguh bahaya!”
“Ada apa lagi, Parno?”
“Firaman, mas. Firman membuat kegemparan di penjuru kota. Mas Iqbal harus segera ke sana.”
“Ke sana? Ke sana ke mana?”
“Ke kuburan.”
“Apa?? Ke kuburan?”
“Maaf, mas. Hanya mas mungkin yang bisa menolong Firman.”
Aku menjadi cemas. Cemas sekali. Ada apa lagi dengan Firman?
“Nanti kalau ketahuan perawat gimana?”
“Ah, itu mudah. Ayo kutuntun keluar.”
Aku pun dituntun Parno. Kuucapkan basmalah, shalawat kepada nabi dan keluarganya. Parno menarikku dalam langkah-langkah yang dipercepat.
Alhamdulillah, aku dapat keluar tanpa dipergoki dokter atau perawat. Aku sudah sampai di luar rumah sakit. Dan………masyaallah, kenapa hujan demikian deras begini?
“Tidak ada waktu untuk mencari payung, mas. Mohon maaf pabila aku mengajak mas Iqbal untuk berhujan-hujanan begini.”
“Ayolah, nggak apa-apa.”
@@@
Telah aku aniaya diriku
Dan telah berani aku melanggar karena kebodohanku
Tetapi, kusandarkan diri pada ingatan dan karuniaMu
                        Yang kekal atasku
Ya, Allah pelindungku
Betapa banyak kejelekan yang engaku tutupi
Betapa banyak melapetaka yang telah engaku
                        Hindarkan
Betapa banyak rintangan yang telah engkau singkirkan
Betapa banyak bencana yang telah engkau gagalkan
Betapa banyak pujian yang baik yang tidak layak bagiku
                        Telah engkau sebarkan
Ya, Allah, besar sudah bencanaku
Berlebihan sudah kejekekan keadaanku
Sedikit sekali amal-amalku
Berat benar belengguku
Angan-angan panjang telah menahan manfaaf dariku
Dunia telah memperdayaiku dengan tipuannya
Dan jiwaku telah terpedaya oleh pengkhianatan
                        Serta kelalaian
Wahai jujunganku, kumohon kepadaMu
Dengan kemuliaan Mu
Jangan kau halangi doaku kepadaMu
Oleh karena kejelekan amal dan perangaiku
Janganlah engkau ungkap dengan pantauanmu
                        Rahasia yang tersembunyi
Janganlah engkau segerakan siksa atas perbuatanku
                        Dalam kesendirianku
Dari jeleknya perbuatanku dan kejelekanku
Dari kekalnya aku dalam dosa dan kebodohan
Dan banyak nafsu dari kelalaian
Bola mataku menghangat. Kurasakan air mata mengalir di sana. Kuberdiri dengan tubuh gemetaran. Suara gaduh orang-orang terdengar di sekitarku. Aku tidak bisa melihat apa yang tengah terjadi. Kegelapan menghampiriku. Hanya untaian doa dari mulut Firman itulah yang sekarang ini aku dengar.
“Dimana bang Firman?”
“Firman di sana, mas. Di liang itu.”
“Di liang?”
“Iya, aku tidak tahu kapan dia menggali kuburan . tiba-tiba ketika tadi aku, Surya, dan Patmo berada di alun-alun, kami melihat Firman berlari. Kami pun mengejarnya, mengikutinya. Dia berlari ke sini. Dia berteriak-teriak begitu sejak tadi.”
“Lalu mana sahabat yang lain?”
“Sebentar, aku carikan.”
Duhai kau yang di sana!
Di sinilah aku menunggu Mu
Setelah sekian lama aku meyakiniMu
Dan kemudian meninggalkanMu
Ke mana lagi hendak kuhentikan langkah?
Ketika aku hanya menemukan jiwa gelisah
Tak kuasa menerima takdirMu
Tak berdaya menghadapi kebesaranMu
Dalam kesendirian kudekati engkau
Tetapi semakin ternggelam aku dalam jalan ini,
Tidak begitu berhargakah diriku di mataMu
Duhai, Tuhan yang Kuasa?!
Akankah aku harus mengharap MU melalui kematian
Agar akku dapat menyaksikan wajah Mu?!
“Mas, tolonglah, Firman. Tolonglah……..”orang yang berkata ini menubrukku.
“Kamu siapa?”
“Aku Indri, mas. Tolonglah dia. Aku mencintainya. Aku mencinatinya.”
“Besabarlah, saudariku. Biarlah Firman menumpahkan segala perasaannya kepada Allah dulu.”
“Hai, gila! Keluar dari kubur!” terdengar seseorang berseru.
“Iya, kau mau mati?” sambutan kata orang yang lain.
Sejurus kemudian, orang-orang meneriaki Firman. Mencaci makinya.
Hatiku pedih. Hatiku pilu. Seandainya saja orang-orang ini mengetahui apa yang ada di balik dari apa yang terlihat dari diri Firman, mereka akan jatuh tersungkur tak berdaya.
Sungguh bodoh orang-orang ini. Mereka telah tergelapkan hati, pikiran, dan perasaannya. Dunia telah memalingkan mereka. Bukan Firman yang sesungguhnya gila, melainkan merekalah yang sesungguhnya kurang sehat akalnya.
Jika aku harus mati untuk bisa menemuiMu
Sudah kugali liang kubur ini sebagai pintu untuk
                        Bertemu denganmu
Saksikanlah
Asyhadu an laa ilaha illallah
Wa asyhahhu anna muhammadar rasulullah
“Firman tunggu…jangan kamu lakukan itu!”
Entah apa yang akan dilakukan Firman. Parno berteriak sekencang-kencangnya. Sejurus kemudian terdengar gedebuk suara orang jatuh. Indri menjerit. Dan orang-orang menjerit.
“Lepaskan pisaumu. Lepaskan!”
“Lepaskan aku! Lepaskan aku!” teriak Firman.
Aku pun berteriak keras-keras membaca sebuah ayat dalam al-Quran al karim.
Alif, laam raa. (Ini adalah)kitab yang kami turunkan kepadamu supaya cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, yaitu menuju jalan Tuhan yang maha perkasa lagi maha terpuji.
Juga firmanNya;
Ibrahim berkata; tidak ada orang yang berputus asa daari rahmat TuhanNya, kecuali orang-orang yang sesat.
Dan firmanNya;
Dan demikian kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan(kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata;”inilah Tuhanku,”tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata.”saya tidak suka kekpada yang tenggelam.’kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata; “Inilah Tuhanku.”tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata;”sesungguhnya jika Tuhanku tidak member petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.”kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata;”Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.”maka tatkala matahari terbenam, dia berkata;”Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Raab yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Lalu kuberteiak kepada Firman;”Bang, Firman. Kamu sudah sampai di penghujung perjalananmu. Dalam gelapnya malam dan butanya mata, aku menjadi saksi atas perderitaan dan kerinduanmu kepada Ilahi. Aku , Iqbal Maulana, sahabatmu sebagai manusia dan sebagai seorang muslim, menawarkan diri untuk memelukmu. Kemarilah, bang Firman. Kemarilah.”
Sejurus kemudian, kumerasakan kepala Firman bersujud di kakiku. Dia berkata,”Ampunilah aku, mas. Ampunilah aku.”
“Bangunlah!”
“Maafkan segala kesalahanku. Kamu benar, mas. Kamu benar. Betapa besar dosa dan kesalahanku. Betapa bodohnya diriku. Betapa lalainya aku. Orang yang kukira hanya berpura-pura, ternyata memiliki hati lebih berkilau dari mutiara.”
“Dan pemuda yang kukita bermain-main saja dengan waktu, ternyata menapaki waktu untuk menuju Tuhannya,”sahutku.
“Apakah Allah akan mengampuniku?’
“Allah akan mengampuni orang yang bersungguh-sungguh memohon ampun dan bertobat kepada Nya.”
“Bimbinglah aku, bimbinglah aku………..”
“Alhamdulillah. Allahu akbar. Allahu akbar.”
Sejurus kemudian, kudengar gemuruh takbir memecah kubur dan sunyinya malam. Dia dalam hatiku, kumelihat para malaikat turun dari langit dan menjadi saksi atas apa yang telah terjadi di mala mini.
16
Berkah langit
Apa artinya kedua mata yang buta, jika hati dapat melihat? Di dunia ini, banyak orang yang kedua matanya dapat melihat, tetapi hatinyalah yang buta. Mungkin , sebaik-baik manusia adalah manusia yang kedua matanya dapat melihat dan hatinya pun dapat melihat. Hanya saja, terkadang kebijaksanaan Ilahi menghendaki hati baru akan terbuka ketika mata telah menjadi buta.
Telah tiga hari ini aku keluar dari rumah sakit. Aku meminta maaf kepada pihak rumah sakit sebab malam itu aku pergi tanpa permisi. Malam itu aku harus pergi. Baru keesokan harinya, dengan diantar oleh Pak Burhan, Bu Laela, Indri, Okta, Parno, Patmo, dan Surya, kudatangi rumah sakit sekaligus meminta maaf. Pak Burhan menyelesaikan biaya administrasi pada pihak rumah sakit. Dia berjanji, nanti ketika sudah tiba waktunya, akan membawaku ke sini untuk membuka perban yang menutupi kedua mataku dan melihat bagaimana perkembangannya.
Dan kini, aku kembali ke rumah Pak Burhan dan Bu Laela.
Aku kembali dengan jiwa yang baru, segar, indah, dan tercerahkan. Di sini, selam tiga hari ini, tak kucium lagi bau alcohol, kepulan ganja yang dihisap, atau pun suara derai Indri dan Okta yang penuh dengan gejolak nafsu. Kini, yang kudengar adalah lantunan suara ayat-ayat suci, yang memenuhi berbagai ruangan di rumah ini.
Memang, setelah kejadian malam itu, Firman benar-benar telah terbuka hatinya. Menurut para sahabat, tak henti-hentinya dia bersujud kepada  kedua orang tuanya, memohon maafnya, dan memohon  ridho meraka. Tak henti-hentinya Bu Laela menangis. Pak Burhan pun demikian. Tangisan haru dan bahagia.
“sudahlah, anakku. Yang lalu, biarlah berlalu. Betapa bodohnya ayahmu ini, sebab aku hanya melihat perangimu saja yang buruk, padahal di balik perangaimu itu, tersimpan kerinduanmu  yang dalam kepada Raabmu. Maafkanlah aku, anakku,”kata Pak Burhan.
“Ibu juga meminta maaf. Dulu ibu menyayangimu. Ketika ibu melihat perangaimu yang buruk, ibu tetap menyayangimu. Dan ketika ibu sadar apa yang sekarang ini tengah terjadi padamu, ibumu lebih menyayangimu. Maafkanlah ibu, sebab sebagaimana ayahmu ibu hanya melihat apa yang tampak saja pada dirimu, dan tidak sanggup mengerti rahasia tersembunyi dalam hatimu.”
“sekarang, marilah kita iklaskan kepergian adikmu yang sudah sekian lama. Semoga Allah menempatkannya di dalam surgaNya.
“amin ya, rabb al’alamin.”
Memang, semua kejadian yang menimpa Firman, semua peristiwa yang ada hubungannya antara aku, para sahabat, dan Firman, semua bermula dari pemberontakan Firman terhadap peristiwa kematian adiknya yang sudah bertahun-tahun itu. Firman tidak siap menerima takdir Allah yang seperti itu. Takdir telah membawanya ke dunia hitam, dan takdir pula yang telah mengangkatnya dari lembah hitam.
Bahkan, tidak hanya itu. Takdir jualah yang telah merubah arah hidup para sahabat yang kukenal selama ini. Indri, menurut para sahabat juga , sudah tidak mau lagi melepas jilbabnya, menanggalkan al-Qurannya, dan meninggalkan shalatnya. Dia habiskan siang untuk membantu ibunya, dan dia habiskan malam untuk beribadah kepada Allah SWT.
“Mas,ijinkan aku untuk segera menikahi Indri,”kata Firman.
“Emang kenapa?”
“sebab dengan cara cepat menikah dengannya, aku dan dia akan segera terbebaskan dari belenggu dosa dan kemaksiatan yang selama ini telah kami lakukan.”
“Ah, jangan-jangan kamu dan dia nanti akan dituduh menikah hanya demi menghalalkan perbuatan zina,”seloroku.
“Biarin aja, mas. Aku lebih percaya pada mas daripada pada semua orang di dunia ini.”
Aku berkata bagitu sebab aku penah membaca sebuah buku yang konon bestseller, ditulis oleh seorang muslim yang masih muda di negeri ini, terbitan Jakarta atau Banduang kalau gak salah,  di mana dalam buku itu sang penulis mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang berpacaran, lalu melakukan hubungan seks di masa pacarannya itu, dan kemudian menikah, maka  pernikahannya itu hanyalah melegalisasi zina yang telah dilakukannya.
Aku dibuat terkekeh-kekeh ketika membaca buku yang aneh dan menggelikan seperti itu. Bagaimana cara berpikir sang penulis kita itu?
Pabila dua insane sudah sekian lam amenjalin hubungan kasih, sehingga mereka melakukan hubungan yang diharamkan oleh agama, maka aku sepakat dengan dua alternative penyelesaian seperti yang ditunjukkan oleh Murtadha Muthahhari;
Pertama, kita bisa saja membiarkan para remaja itu dan tidak memusingkan dengan apa yang mereka perbuat. Kita biarkan saja seorang remaja pria melakukan hubungan seks yang haram dengan ratusan gadis remaja, dan membiarkan gadis remaja melakukan hubungan seks yang haram dengan puluhan remaja pria serta melakukan penggunguran berkali-kali.
Kedua, kita harus “memaksa” para remaja untuk menyegerakan pernikahan di awal-awal pertumbuhan pubernya. Atau, remaja itu sendiri yang harus segera sadar untuk segera menikah.
Maka, pabila dua insane segera menikah karena mereka telah lama terjebak dalam hal yang diharamkan, tetapi kemudian pernikannya diangganp sebagai pelarian belaka, lalu apakah kita akan membiarkan dua insane tersebut untuk tidak segera menikah dan terus-menerus tenggelam dalam syahwatnya?
Ah, ada-ada saja sahabat penulis itu, semoga Allah menunjukkannya pikiran yang logis dan lurus!
@@@
Yang benar-benar membuatku merasa bahagia, lebih dari ukuran kebahagiaan itu sendiri, dan bahkan membuat mulutku tak henti-hentinya memuji dan mengucap syukur kepad Allah SWT adalah pilihan hidup yang telah diipilih oleh Okta.
Peristiwa Firman yang menggali liang kubur, berbaring di sana, dan berteriak-teriak mencari Tuhannya, benar-benar mengguncangkan batin Okta. Apa lagi yang bisa disombongkan oleh manusia ketika dia sudah menjadi mayat dan menguni alam kubur? Berkali-kali Okta digetarkan oleh pertanyaan yang demikian ini, hingga berdirilah bulu kuduknya. Merindinglah kulit-kulitnya. Pabila kematian sudah mendatangi anak manusia, maka apa yang tersisa kecuali seonggok tulang-belulang yang dimakan rengat? Harta, kedudukann, kekuasaan, paras wajah, kekayaan, rumah, mobil, anak, istri, sahabat, dan semua akan ditinggalkan. Semua tidak turut serta. Semua akan sirna. Pada ketika itu, manusia hanya tinggal menunggu waktu, apakah dia akan dimasukkan Tuhan ke dalam surge kebahagiaan ataukah dia justru terlempar ke dalam neraka kesengsaraan.
Satu hari setelah peristiwa yang mengguncangkan nuraninya itu dan aku yakin hal ini menjadi bagian dari hidayah Allah yang didapatkan Okta menemukan sebuah buku yang di dalamnya dikutip sebuah hadits yang panjang, tentang keadaan manusia ketika baru mengalami kematian di dalam kubur.
Al-Barra’ bin Azid ra berkata; pada suatu saat, kami menggiring jenazah seorang sahabt dari kaum Anshor, kemudian Rasulullah duduk di atas kuburnya dengan menundukkan kepala, lalu bersabda;”Ya, Allah, aku berlilndung kepada Mu dari siksa kubur.”
Lalu beliau bersabda;
Sesunggunya, seorang mukmin jika berada dalam permulaan dari akhirat, maka Allah mengutus malaikat-malaikat yang seakan-akan wjah mereka tidak rusak kafannya, lalu mereka duduk sejauh mata memandang. Lalu jika nyawanya keluar, maka setiap malaikat yang ada di langit menshaltinya dan beberapa pintu –pintu  itu kecuali ia suka jika dia di masukan nyawanya melaluinya. Jika dia naik dengan nyawanya, maka dikatakan;”wahai, Tuhanku. Hamba Mu fulan.”lalu dia berfirman,”kembalikanlah dia. Lalu perlihatkanlah kepadanya apa yang aku sediakan waktunya dari kemuliaan. Sebab, sesunggunya aku berjanji kepadanya,’dari bumi(tanah)itulah kami menjadikan kamu dan kepadanya kami akan kembalikan kamu dan  daripadanya kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.’
Dan sesungguhnya dia mendengarkan bunyi sandal-sandal mereka ketika mereka berpaling membelakangki, sehingga dikatakan,”hai Fulan, siapa tuhanmu? Apa agamamu? Dan siapa nabimu?” lalu dia menjawab,”Tuhanku adalah Allah. Agamaku adalah Islam. Dan nabiku adalah Muhamad saw.”
Lalu keduanya membentaknya dengan bentakan yang sangat. Itu adalah akhir kesempatan yang di perlihatkan kepada orang yang mati.
Lalu dia mengatakan ucapan itu, maka penyeru menyeru;”Engkau sungguh benar.”Itulah  makna firman Allah ta’ala;”Allah meneguhkan(iman)orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu.”
Kemudian datanglah kepadanya seseorang yang tampan wajahnya, wangi aromanya, dan bagus pakaiannya, lalu berkat,”Bergembiralah dengan rahmat Tuhanmu dan beberapa surge yang di dalamnya terdapat nikmat yang tepat.”dia lalu berkata.”dan engkau, maka semoga Allah memberikan kabar gembira kepadamu dengan kebaikan. Siapakah engkau?” maka orang itu berkata,” aku adalah amalmu yang shalilh. Demi Allah, aku tidak tahu sesungguhnya engkau benar-benar cepatt taat kepada Allah, jauh dari maksiat kepada Allah. Maka semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
Lalu pernyeru berseru;”Bentanglah untuknya beberapka permadani surge dan bukalah untuknya pintu ke surge.” Maka dibentangkan untuknya dari beberapa permadani surge dan dibuka bagianya pintu ke surge. Lalu dia berkata,”Ya Allah, segerakanlah berdirinya kiamat, sehingga aku kembali ke keluargaku dan hartaku.”
Ada pun kafir, maka sesungguhnya dia juga berada dalal permulaan dari akhirat dan terputus dari dunia. Maka, turun kepadanya beberapa malaikat yang keras dan kasar. Bersama mereka ada beberapa pakaian dari api, dan beberapa jubah dari tir, lalu meeka  mengepungnya. Lalu jika nyawanya keluar, maka dia dilaknat oleh setiap malaikat di langit, dan pintu-pintu langit ditutup. Maka tidak ada di antara pintu kecuali benci jika nyawanya dimasukan melaluinya. Lalu jika nyawanya naik, maka dibuang dan dikatakan,”wahai Tuhanku, hambaMu si fulan tidak diterima oleh langit dan bumi.” Maka Allah berfirman;”kembalikanlah dia, lalu perlihatkanlah kepadanya apa yang aku sediakan baginya dari kejelekan . sesungguhnya aku berjanji kepadanya. Dari  bumi itulah kami menjadikan kamu dan kepadanya kami akan mengembalikan kamu dan dari padanya kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.”
Dan sesungguhnya dia mendengar suara sandal-sandal mereka ketika mereka berpaling membelakangi, sehingga dikatakan kepadanya,”hai fulan, siapa Tuhanmu, siapa nabimu, dan apa agamamu?” lalu dia menjawab,” aku tidak tahu.’ Kemudaian dia didatangi oleh seseorang yang buruk wajahnya, busuk baunya, dan buruk beberapa pakaiannya, lalu berkata, “bergembiralah dengan murka Allah dan  siksa yang menyakitkan dan tetap.” Dia lalu berkata,”semoga Allah memberikan kabar gembira kepadamu dengan kejelekan, siapa engkau adanya?”siburuk ruupa mejawab,”aku adalah amalmu yang buruk. Demi Allh, sesungguhnya engkau benar-benar cepat dalam maksiat kepada Allah dan jauh dari taat kepadaNya. Maka semoga Allh membalasmu dengan kejelekan.”maka dia berkata,”dan engkau, semoga Allah membalasmu dengan kejelekan.”
Lalu ditakdirkan baginya sosok yang buta, tuli, dan bisu. Bersamanya ada tongkat kecil dari  besi yang andaikata manusia dan jin berkumpul untuk mengangkatnya, maka mereka tidak mampu mengankatnya. Andaikata gunung diipukul dengannya, niscaya menjadi debu. Sosok itu lalu memukulnya dengan satu pukulan, kemudian menjadi debu. Lalu  ruh kembali di dalamnya, kemudian diipukulnya dengan tongkat tersebut di antara kedua matanya dengan satu pukulan yang didengar oleh makhluk yang dia di atas bumi, bukan manusia dan jin.
“Jadi, pilihanmu sudah mantap, saudariku?” tanyaku kepadanya.
“Insyaallah, mas. Kumohon doa restumu.”
“Tetapi pilihanmu adalah pilihan yang berat. Ibarat bunga, kamu baru saja mekar dan kelopakmu menebarkan wewangian yang menyebar ke mana-mana. Harummu sanggup menghentikan langkah dan nafas terhirup menikmati keharuman itu. Yang aku tahu, uhkti, menjadi lajang seumur hidup di dalam Islam merupakan  sebentuk pillihan yang amat sulait ketika Rasulullah saw bersabda bahwa termasuk dalam sunnahnya adalah menikah.”
“Jadi, kalau aku tidak menikah, maka berarti aku melanggar sunnahnya?’
“wallahu a’lam. Aku hanya tahu bahwa rasul juga bersabda,”orang meninggal di antara kalian yang berada dalam kehinaan adalah bujangan. Beliau juga bersabda, ‘sebagian besar penghuni neraka adalah orang-orang bujangan.
“sudah bertahun-tahun aku meninggalkan kewajibanku sebagi wanita muslimah. Aku tinggalkan sembahyang. Aku tinggalkan jilbab. Aku tinggalkan amalan-amalan ibadah di malam hari. Aku tinggalkan al-Quran. Aku tinggalkan kebaikan. Pada saat yang sama, aku terjerumus dalam lembah hitam. Sebagai mana sahabat laki-lakiku yang mabuk, aku ikut-ikutan mabuk,ikut-ikutan mengkonsumsi narkoba, dan bahkan….astagfirulah al’adzim, aku..aku lakukan hubungan seksual secara haram. Mas, aku merasa bahwa dosaku lebih luas dari samudra, lebih tinggi dari gunung yang menjulang, lebih dalam dari jurang yang paling dalam. Sesalku sekarang tidak pernah berakhir. Aku ingin bertobat dengan sebenar-benarnya bertobat. Aku ingin memohon ampun Allah. Dan aku merasa bahwa aku harus meninggalkan semua cinta, selain hanya mencintai Allah SWT. Kupilih mencintai Allah, dan kutinggalkan cintaku kepada lawan jenisku. Jika pun ada yang ingin mencintaiku, maka aku katakan kepadanya bahwa cintaku hanya akan habis untuk mencintaiNya. Aku khawatir bahwa ketika aku membina rumah tangga, kesibukan dunia membuat cintaku kepada Allah berkurang, padahal dosa, kesalahan, dan kemaksiatran yang telah kuperbuat selama ini rasa-rasanya tidak bisa terhapuskan, kecuali jika aku menyerahkan sepenuh diriku dalam cinta kepadaNya. Cintaku  kepadaNYa tidak ingin kubagi. Oleh karena itu, apakah pilihan seperti  ini sama dengan melanggar sunnah nabi?”
“semoga tidak,”jawabku pendek.
“aku ingin menjadi wanita kedua di dalam islam yang tidak menikah, setelah Rabi’ah al adawiah.
“kamu kenal dia?”
“sudah lama kumembaca dia. Hanya saja, baru kali ini aku menetapkan pilihan seperti dia.
Apa hendak kukatakan kepada Okta. Pilihannya adalah prinsipnya. Prinsipnya adalah mencintai Allah secara total, sehingga dia tidak ingin membagi-bagikan cintanya kepada makhlukNya. Dia memilih prinsip yang seperti itu dengan memiliki alasan yang jelas, kuat, dan dapat dipertanggungjawabkaan. Dan semoga, prinsip yang seperti ini tidak melanggar sunnah nabi.
@@@
Berkah yang lain, yang telah aku terima sekarang adalah kenyataan bahwa surya, parno, dan patmo sekarang ini adalah orang-orang yang paling dicari oleh para kuli tinta. Mereka adalah para pemuda pengamen yang tetap menekuni dunia agamanya, tetapi dengan jiwa yang baru.
Peristiwa yang dialami Firman di malam itu, ternyata banyak pula disaksikan oleh para wartawan, media cetak maupun elektronik, sebagaimana aku, firman menolak untuk diwawancarai. Tetapi, melalui lidah surya, patmo dan parno, para wartawan dapat mengorek berbagai informasi mengenai awalmula perjalanan spiritual firman yang seperti itu. Mau tidak mau, namaku disangkut pautkan, mau tidak mau namaku menjadi terkenal lagi.
Maka, selama tiga hari ini, Koran-koran menurunkan laporannya tentang kisah perjalanan spiritual firman. Ada yang menullis esai dibawah judul dengan huruf dan tebal ; SEORANG PENGAMEN YANG BERHASIL MENEMUKAN TUHAN. Koran yang lain menulis esai; KISAH PENGAMEN MELEWATI TAKDIR. Dan Koran yang lain menulis; SEMUA IN BERAWAL DARI SEORANG IQBAL.
Sebuah surat kabar harian bahkan ingin memuat secara berseri kisah seputar pengalaman spiritual ini, baik dari sisi aku, firman, indri, okta, surya, patmo dan parno, maupun kedua orang tuan firman. Ini berarti, kisah tersebut akan demikian panjang, lebih panjang dari kenyataannya itu sendiri.
Para sahabat meminta ijin kepadaku, apakh keinginan dari surat kabar tersebut dapat kami penuhi atau tidak. Aku bilang, kenapa tidak? Siapa tahu, ketika banyak orang  membaca kisah tersebut, sebanyak itu pula hidayah dan inayah Allah akan turun. Berkah langit akan menyebar ke penjuru bumi. Minimal bumi jawa tengah, atau bumi yang terjangkau oleh perdaran surat kabar tersebut.
Dua stasiun radio di kota ini, mengundang surya, parno ,dan patmo untuk acara talk show. Lalu, dari lidah-lildah mereka, orang-orang di Banjarnegara mulai  mendatangi rumah firman; mereka ingin tahu dan melihat kayak apa sih firman itu? Mereka ingin dapat berbincang-bincang  dengan firman. Firman tiba-tiba berubah menjadi orang yang paling terkenal di kota ini, melebihi bupati dan wakil bupati.
Dan ketika hanya Firman yang mereka uber-uber.
Mereka juga menguber-uber aku.
Apalagi, selidik punya selidik sebuah harian di Jawa Tengah berhasil menemukan bahwa Iqbal Maulana yang disebut-sebut oleh banyak orang itu adalah Iqbal Maulana yang dulu pernah ditahan di kepolisian resort salatiga atas tuduhan sebagai bagian dari teroris. Tak hayal, aku pun menjadi orang yang paling dicari pula orang-orang.
Pada keadaan yang demikian inilah, telah tiga kali aku menerima kiriman SMS dari sahabatku ini bernama Anton. Dia adalah sahabat bicara dan diskusi yang indah dan menarik selama aku naik bus dari arah sragen sampai di kota ini. Sahabatku itulah yang telah memilih agama cinta sebagai agamanya.
SMS pertama berbunyi;
Betulkah berita yang aku dengar dan aku baca ini adalah berita tentangmu, sobat. Sungguh, kamu seorang muslim yang luar biasa.
SMS kedua berbunyi;
Karena aku pernah berbincang-bincang dan berdiskusi denganmu dalam bus itu, kini aku pun tengah menapaki hidayah Allah kembali. Sekarang, aku bangga menjadi seorang muslim.
SMS ketiga berbunyi;
Jika Allah mengijinkah, aku ingin bertemu denganmu.
Memsan secangkir kopi di alun-alun dan menikmati malam yang dibentang oleh Allah. Bisakah
Kita bertemu?
Ketiga SMS Anton itu pun aku balas. Balasan untuk SMS yang ketiga berbunyi;
Kutunggu kamu segera. Sudah kupesankan secangkir kopi dan tinggal kita nikmati.
Semua SMS yang masuk ke dalam HP ku dibaca kan oleh Parno. Tentu kamu tahu alasannya, kenapa. Kamu benar. Aku tidak bisa membaca, sebab kedua mataku masih buta. Aku juga meminta parno untuk membalas SMS itu.
@@@
Duh, Allh, kurasakan semua itu merupakan berkah yang Engkau turunkan dari langit. Engkau bentangkan berkah hidayah dan inayahmu kepada mereka yang memang membutuhkan. Engkau telah tunjuki jalan-jalan para sahabat, sehingga mereka menapaki jalan-jalanMu.
17
Musafir cinta
Liima belas hari aku mendapatkan perawatan di rumah sakit, tiba waktunya perban yang menbalut kedua mataku dibuka. Aku terserang H2C----- meminjam istilah sebuah tayangan di tv---; harap-harap cemas. Sebuah pertanyaan mucul di benakku; aku benar-benar sembuhkah kedua mataku? Kalau sembuh, alhamdulilah. Tetapi, kalau tidak sembuh, haruskah kuucapkan innalilah?!
“sudah mas tenag ajalah,”hibur parno.
“pasti kedua mata mas akan sembuh,”imbuh Patmo.
“Huss, kamu jangan ngomong begitu, Mo. Kamu ngomong kepastian, sedangkan kamu tahu kamu ini seorang muslim. Ngomong insyaallah,kek. Berani-beraninya ucapkan kata ‘pasti’!”seru surya.
“Aku benar-benar heran kepadamu, ya. Kamu ini tidak pernah ridho dengan ucapan-ucapanku. Selalu saja di otakmu ucapanku itu yang keliru. Kapan sih kamu akan memberikan perkataan yang indah untuk memuji kata-kataku?!”
“Memang kenyataanya kamu salah, kok, minta dipuji-puji segala. Benerin dulu ucapanmu, baru aku puji.”
“Mas insyaallah pasti sembuh!” ucap Patmo.
“Kalau pake kata’insyaallah’,jangan ngomong ‘pasti’dong!”
“salah lagi, salah lagi.”
“Memang kenyataannya begitu!”
“Insyaallah itu artinya apa sih? Kamu tau nggak? Tanya tuch mas Iqbal. Bukankah artinya;’jika Allah menghendaki”. Maka, jika Allah menghendaki kedua mata mas Iqbal sembuh, bukankah pasti akan sembuh?!”
“Bener juga ya?”
“Makanya! Peliharalah mulutmu dan mulut keluargamu dari siksa api neraka!”
Kami tertawa mendengar banyolan Patmo tersebut.
Aku tersenyum.
Keinginan agar kedua mataku buta adalah keinginanku. Aku pernah berdoa kepada Allah untuk hal yang demikian itu. Aku berkeinginan seperti itu sebab aku ingin terhindar dari maksiat mata, terutama maksiat terhadap lawan jenis. Aku tidak bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa aku, pabila masih dapat melihat, akan mampu tidak tergoda oleh rayuan dan lirikan mata seorang gadis, apalagi itu gadis yang cantik. Aku tidak ingin menggejolakkan nafsu, mengerakkan syahwatku. Godaan terhadap lawan jenis, menurut al-Ouran, adalah godaan yang paling tinggi. Faktanya, banyak orang tidak mampu untuk menghindari godaan yang seperti itu. Maka, dengan cara aku tidak bisa melihat, dengan sendirinya aku tidak bisa melihat maksiat. Dengan demikian, aku terhindar dari kemaksiatan. Aku yakin akan hal ini.
Namun, dengan pilihan keinginan seperti itu, bagaimana nanti seandainya zaenab dan Pricillia mendapati diriku sebagai orang yang buta kedua matanya?! Nah, inilah masalah baru akan aku hadapi.
Duh, Illahi……
Selama ini, dalam perjalanaku menujuMU, engkau telah member aku berkah, rahmah, dan hidayah yang tak ternilai harganya. Harapan-harapan ku engkau penuhi. Doa-doaku engkau kabulkan. Keinginan-keinginanku terwujud. Saksikanlah bahwa aku sekarang ini lebih merasa bahagia dan senang karena engkau telah tunjuki para sahabatku di kota ini dengan hidayah yang lurus. Engkau telah angkat mereka dari lembah nista. Engkau telah tempatkan mereka dalam maqam untuk menujuMu. Kebahagiaan dan kesenangan yang bagaimana lagi yang melebihi ketika engkau telah tunjukkan orang-orang yang memang pantas untuk mendapatkan petunjuk!
Illahi……..
Aku memang merasa bahagia terhadap semua itu.
Tetapi, sebagimana engkau titahkan garis kehidupan di mana tak satu pun manusia yang mengetahui akhir dari masa depannya, aku pun tidak tahu akhir dari masa depanku. Aku tidak tahu takdir apa yang akan engkau berikan di hari esok dan di masa depan. Aku tidak tahu, apakah engkau akan selalu memberikan hidayah, rahmah, dan inayah kepadaku dan kepada kaum muslimin.
Dan, sungguh, demi kemuliaan wajahMu, aku pun tidak tahu apakah zaenab dan Pricillia akan menerima keadaanku yang buta kedua matanya pabila memang engkau telah mentakdirkan kedua mataku menjadi buta. Jika pun aku berhak untuk berharap, berdoa, dan bermunajat kepadaMu, maka aku memohon, dengan kesucian Mu dan dengan kemulliaanMu, agar zaenab dan Pricillia menerima keadaanku apa adanya. Aku berharap mereka tidak akan melihat seorang Iqbal dari wajahnya, dari tubuhnya, dari penampilan fisiknya, atau dari kedua matanya. Aku berharap mereka akan melihat apa yang ada dihatiku, walau aku tahu bahwa tak satu pun manusia yang tahu isi hati orang lain.
Akan tetapi, pabila ternyata Zaenab dan Pricillia memng lebih melihat penampilan fisikku, melihat tubuhku, melihat wajahku, atau melihat kedua mataku, dan engkau takdirkan kedua mataku buta, maka apa hendak kukata? Kau tidak mungin menolak keadailanMu. Pabila kebutaan merupakan cara yang tepat untuk dapat memperoleh kemulliaan di sisiMu, dan kemuliaan itu engkau berikan dengan syarat aku tidak engkau takdirkan untuk bersanding hidupu dengan zaenab atau dengan Pricillia, maka takdir yang demikian itu akan aku terima dengan lapang dada.
Sekarang, ijinkan aku untuk menapaki takdir itu, ya Allah. Ijinkan aku untuk melihat kedua mataku sendiri.
Semua sahabat yang kukenal sudah hadir. Indri duduk dekat dengan Okta, sedangkan surya, patmo, parno dan firman duduk didepan mereka. Di sebelah kiri firman, duduk Bu Laela. Mereka semua diam. Aku juga diam. Aku berdoa. Mereka pun mungkin juga berdoa. Aku berdoa, apa pun hasilnya nanti akan aku terima dengan kerelaan hati. Dan mungkin, semua yang hadir di sini mendoakan semoga kedua mataku sembuh seratus persen.
Wallahu a’lam…..doa siapakah di antara kami yang akan diterimaNya.
Pak Burhan melangkah dari dalam ruang menuju tempat kami duduk di bangku tunggu di bangsal 16 di rumah sakit ini.
“Nak Iqbal, sudah waktunya…..” kata dokter lembut.
Pak Burhan menghela nafas.
Bu Laela menghela nafas.
Para sahabat menarik nafas.
Aku sendiri  menata nafas.
Aku akan segera tahu, takdir yang bagaimanakah yang akan diberikan Allah kepadaku tentang kedua mataku.
@@@
Aku berbaring.
Aku menarik nafas.
Degup jantungku terasa sekali.
Seorang dokter ditemani dengan seorang perawat berada di dekatku. Berkalai-kali dokter itu memintaku untuk tenang. Perawatnya juga demikian.
“Semoga sembuh ya, mas,”kata dokter itu.
Aku hanya bisa mengangguk.
“Maaf…..”kata dokter itu.
Dia kemudian membuka perban yang menutupi kedua mataku. Dibuka pelan-pelan. Di sebelah kanan dulu. Lalu beralih ke sebelah mata kiriku.
Dan, masyaallah, aku tidak berani membuka kedua mataku. Sungguh aku tidak berani.
“Sekarang mas bisa membuka mata, mas,” kata dokter itu lagi.
“Aku takut dokter?”
“Looh, kenapa? Nggak usak takut dong.”
“Demi Allah aku sangat takut,”jawabku.
“Cara untuk mengalahkan ketakutan adalah dengan melakukan apa yang kamu takuti.”kata dokter itu lagi.
Dan memang, sekarang ini, apa lagi yang akan kuperbuat kecuali membuka kedua mataku? Detik ini atau menit ini aku bisa menutup kedua kelopak mataku, tetapi aku sendiri tahu  bahwa pada detik atau pada menit selanjutnya, tak kuasa bagiku untuk menutup mata.
Maka dengan mengucap basmalah, dengan perlahan, kubuka mataku. Kukerjap-kejapkan. Dan….
Dunia kembali terbuka.
Walau agak samar.
Aku bisa melihat kembali.
Walau belum sepenuhnya normal.
Kulihat wajah dokter dan perawat. Mereka tersenyum kepadaku. Kubalas senyum mereka dengan senyuman yang paling iklas yang pernah aku miliki. Memang, sekali lagi aku belumlah begitu jelas melihat. Masih banyak’semut’ yang kulihat. Masih ada butiran-butiran rupia sehingga menghalang-halangi pandangan mataku.
Dan inilah takdir Allah yang berlaku atas kedua mataku. Dia telah mentakdirkan aku tidak menjadi orang yang buta, walaupun dia juga menakdirkan kedua mataku tidak berfungsi sepenuhnya normal.
Tetapi dokter berkata,”Jika kedua mata mas terus mendapatkan perawatan yang insentif, insyaallah, mas Iqbal akan kembali melihat dengan sempurna.”
“Saya akan membuatkan resep untuk mata mas. Mas nanti bisa mengambilnya di bagian obat.”
“Ok, dok. Terima kasih.”
“Sama-sama, mas.”
Dokter dan perawat itu segera keluar.
Sebentar kemudian, Bu Laela, Pak Burhan, dan semua sahabatku berusara satu persatu. Sejurus kemudian, ucap syukur dan puji-pujian memenuhi ruangan ini. Dan tanpa kuketahui sebelumnya, di sini hadir pula dua orang wartawan yang sejak tadi berkali-kali mengambil gambarku.
@@@
“IQBAL MAULANA TELAH SEMBUH KEDUA MATANYA”
Kubaca judul berita tentangku itu di sebuah Koran. Tadi pagi, Parno mengantar Koran tersebut ke rumah ini, dan menunjukkan tulisan tersebut kepadaku:
Setelah selama 15 hari mendapatkan perawatan yan intensif dari dokter, kini kedua mata Iqbal Maulana telah sembuh. Dia telah melihat kembali, walaupun belum seratus persen. Tentunya kabar ini merupakan kabar yang menyenangkan berbagai pihak. Ketika kemarin ditemui di rumah sakit, tampak hadir Bu Laela, Pak Burhan, Firman, Indri, Okta, Surya,Parno, dan Patmo. Orang-orang yang selama ini dikenal dekat dengan Iqbal pun tampak berbahagia dan berucap syukur kepada Allah SWT.
Yang paling bahagia adalah Firman. Sudah menjadi rahasia umum Firmanlah yang menyebabkan luka di kedua mata Iqbal dalam sebuah peristiwa salah paham beberapa waktu sebelumnya…..
Siang harinya, para tetangga pun datang ke rumah. Mereka mengucapkan selamat kepadaku atas kesembuhan kedua mata ini. Memang, sudah beberapa hari ini, rumah Pak Burhan kedatangan banyak tamu. Bahkan, para tamu ini, konon, tidak hanya berasal dari seputar wilayah Banjarnegara. Ada yang dari Wonosobo. Ada pula yang  datang dari Purbalingga.
Sehabis Dhuhur, para sahabat pun pada datang. Tetapi mereka datang bersama sahabat-sahabat lain termasuk Surya, Parno, Patmo. Kepada mereka, pada sahabatku ini memperkenalkan.
“Mas, mereka semua adalah sahabat-sahabat jalanan. Mereka datang ke sini, selain untuk berilaturahmi dengan mas Iqbal, mereka juga membawa misi khusus, “ kata Parno.
“Ya, misi. Sebuah pilihan kata yang menarik,” sambung Surya.
“Mereka ingin mengikuti jejak kita, mas.”
“Maksudmu?”tanyaku.
“Mereka ingin menjadi pengamen yang baik. Minimal kayak kami. Maksimal melebihi kami.”
“Betulkah?”
“Iya, mas.”
“Lalu bagaimana caranya?”
“Mereka ingin belajar agama dari mas.”
“Tetapi aku bukan ahli agama, kalian tahu itu.”
“Bagi kami, para sahabatmu ini, kamu lebih ahli daripada ahli agama.”
“Benar, bang,”kata salah seorang di antara mereka yang memperkenalkan dirinya bernama Amir.”membaca berita tentang abang, tentang Firman, dan tentang para sahabat  ini dikoran-koran, mendengarkan diskusi di radio-radio, kami ingin sekali menjadi bagian dari kehiduuipan abang dan para sahabat semuanya. Kami menjadi malu dengan kemusliman kami ini setelah selama ini kami meninggalkan ajaran-ajaran islam dalam kehidupan kami. Untuk itu, mohon kiranya bang Iqbal mau menunjuki kami jalan yang lurus.”
Lalu, setelah peristiwa tersebut, para pengamen jalanan ini pun bersepakat untuk membentuk sebuah kelompok yang, atas usul dan saranku, dinamakan kelompok Ashabul Khafi. Aku memilih nama ini, sebab selain nama ini diabadikan oleh al-Quran yang suci, nama ini kiranya tepat untuk menjadi tadzkir bagi mereka sendiri khususnya dan bagi orang-orang yang ingin mengikuti jalan hidup seperti mereka. Tersusunlah pengurus Ashabul Kahfi sebagai berikut:
Pelindung            : Allah SWT
Pembimbing      : Iqbal Maulana
Ketua                    : Firman Ardiansyah
Wakil ketua        : Surya Purnama
Sekretaris            : Parno Atmojo
Wk sek                 : Patmo Prastowo
Bendahara          : Okta
Wk ben.               : indri
Dalam susunan kepengurusan ini, ada beberapa seksi, yakni seksi pengumpulan dana, seksi acara, seksi hubungan masyarakat, dan seksi logistic.
Kelompok Ashabul Kahfi inilah yang mempelopori kegiatan-kegiatan keagamaan Islam bagi, khususnya, orang-orang  yang hidup di jalanan. Salah satu hal yang paling menyolok adalah kegiatan mengamen di terminal-terminal dan dalam bus-bus kota, di mana angggota dari Ashabul khafi mewajibkan dirinya sendiri untuk membawakan lagu-lagu yang indah dan religi, dan menggantikan lagu-lagu yang selama ini sering dinyanyikan semacam”cucak rowo”,sms, teman tapi mesra, kucing garong dan lain sebaginya.
Dan lama kelamaan, jumlah anggota Ashabul kahfi semakin bertambah, apalagi ketika kegiatan-kegiatannya semisal pengajian rutin yang diadakan di malam jumat di alun-alun, pengumpulan dana untuk membantu anak-anak yatim piatu dan orang-orang terlantar, simakan al-Quran yang diadakan tiap habis shalat maghrin di rumah Firman, dan lain-lain, didukung para wartawan.
Dan ketika kegiatan-kegiatan Ashabul Kahfi ini sudah sekian lama berjalan, oleh sebuah harian aku diminta kesediaanku untuk diangkat kisah perjalananku selama ini, sehingga membuahkan kenyataan seperti itu. Dengan niat bahwa semoga Allah SWT semakin  menujuki orang-orang ke dalam jalan kebenaran dan Islam, aku pun bersedia perjalananku kersebut dikisahkan ini akan ditullis secara bersambung di bawah judul; MUSAFIR CINTA_SEBUAH PERJALANAN HATI SEORANG IQBAL MAULANA.
Dan karena kesepakatan itulah, setiap hari di setiap sore sehabis sembahyang Ashar, aku pun diwawancarai untuk tulisan esok harinya.
Dan kini, tiga tahun hampir berlalu. Tiga tahun aku memendam kerinduan terhadap orang-orang yang aku cintai. Tiga tahun aku tidak  menghubungi diriku. Tiga tahun aku tidak pernah tahu bagaimana kabar pesantrenku. Tiga tahun aku tidak pernah mengirim sms kepadaku.
Tiga tahun aku berada di Banjarnegara. Tiga tahun aku menghuni rumah Pak Burhan dan Bu Laela. Tiga tahun aku bersahabat dengan para sahabat di Ashabul Khafi.
Dan yang paling membuatku bahagia, hampir tiga tahun ini aku menghafalkan al-Quranku. Kini, kurang tiga juz lagi aku akan mengkhatamkan hafalan itu. Aku akan segera mengebut saja menghafalkannya. Tidak perlu menunggu lama-lama. Sebab aku ingin segera setoran hafalanku kepada KH. Bahesty. Sudah lama aku I ngin bersua dengan beliau, tetapi waktu selalu tidak mengijinkankku.
Indri dan Firman sudah menikah. Bu Laela dan Pak Burhan benar-benar menerima Indri sebagai menantunya, sebaik-baiknya menantu. Seperti apa yang kurasakan, Bu Laela dan Pak Burhan merasa bahwa seorang yang awalnya terlantar dalam ketidakbaikan sikap dan perilaku, maka ketika dia telah bertobat dan memohon ampun Allah, dia akan menjadi orang yang lebih baik daripada orang yang sejak awal baik-baik saja. Dan memang, keadaan yang demikian itu benar-benar ditunjukkan oleh Indri. Bahkan, sebagaimana keinginan Firman, Indri pun ingin segera menyusulku untuk menghafal al-Quran.
Waktu terus saja berjalan.
Saat untuk setoran al-Quran telah tiba. Dengan diantar oleh para sahabat, aku pun pergi ke Parakancanggah. Sesampainya di sana, aku langsung diterima oleh kiai. Ternyata beliau sudah mengenalku melalui tulisan  di berbagai surat kabar. Beliau juga telah tahu bahwa aku menghafal al-Quran. Pun beliau sangat ingin menyimak hafalan al-Quranku.
Dan saat itu juga, dengan disimak oleh para sahabat dan para santri di Parakancanggah, di dalam serambi masjid pesantren Parakancanggah, aku pun mulai menunjukkan hafalanku. Awalnya aku merasa grogi, sering menelan ludah, dan keringat dingin membasahi tengkukku. Tak terbayangkah bahwa aku disimak oleh banyak orang begini.
Tetapi, semakin lama memasuki samudra al Baqarah, semakin lancer hafalanku. Dan semakin kebelakang, semakin cepatlah bacaanku. Dan menjelang waktu maghrib, aku telah selesai setoran al-Quranku pada kiai. Aku melakukan sujud syukur. Aku ucapkan puhi-pujian kepada Allah SWt. Air mataku meleleh. Telah kuarungi samudera al-Quran tanpa banyak kendala dan rintangan.
Berkali-kali,sang kiai memuji bacaanku dan hafalanku yang demikian lancer. Untuk ukuran seorang yang kurang dari empat bulan pernah hidup dan tinggal di pesantren, aku termasuk memiliki keistimewaan yang lura biasa, demikian puji sang kiai.
Tetapi bagiku, aku selalu yakin bahwa pabila kita benar-benar memiliki niatan yang tulus dan iklas, semata-mata karena Allah SWT, untuk merubah diri dari keadaan yang buruk atau tidak baik, menuju cahaya kebaikan dan kebenaran, maka Allah SWT akan memberikan hidayah dan inayahNya yang tiada terkira. Muhammad Rasulullah saw menjadi seorang nabi dan rasul bukan karena Allah memilih beliau dan mengesampingkan orang-orang lain; bukan berarti Allah pilih kasih. Tetapi Allah SWT memilih beliau karena beliau sendiri telah berusaha menapaki jalan spiritual, mendekati dan berada dekan denganNya.
“Aku harap, kamu mau untuk menjadi ustadz di pesantren ini,”pinta kiai.
“saya , kiai?”
“Ajari anak-anak disini menghafal al-Quran dan cepat mengkhatamkan al-Quran sepertimu. Ajari mereka kitab kuning.”
“saya tidak bisa membaca kitab kuning. Kiai. Terhadap bahasa Arab , saya baru sedikit belajar nahwushorof. Jadi mohon maaf, saya tidak bisa. Tentang menghafal al-Quran, insyaallah saya bisa membagi-bagikan pengalaman saya pada para sahabay. Tetapi saya tidak mau disebut ustadz, kiai. Maaf.”
“Aku mengharap yang lebih dari dirimu terhadap anak-anak santri di sini. Kamu memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh anak-anak santri, yakni ilmu  tentang keiklasan dan ketulusan hati. Demi Allah, aku sendiri tidak bisa memastikan apakah diriku punya ilmu tersebut atau tidak. Aku hara, kamu mau membagi-bagikan ilmu tersebut kepada para santri. Aku pun akan belajar dari kamu juga.”
“Jangan berkata begitu, kiai,”kucium tangan kiai sebagai tanda penghoramatanku kepada beliau. Beliau begitu merendah. Beliau begitu iklas dan tulus.
Akhirnya, aku tidak bisa berjanji kepada beliau apakah aku bisa melaksanakn amanahnya atau tidak. Kukatakan kepada beliau bahwa masih ada tanggung jawab yang harus segera aku laksanakan, yakni tanggungjawabku sebagai seorkang laki-laki terhadap perempuan. Aku harus segera menjemput cintaku.
“Insyaallh, jika Allah menghendaki, saya akan kembali ke pesantren ini dan melaksanakan amanah kiai.”
@@@
Tanpa sepengetahuanku dan hal di luar rencanaku, ternyata pengurus Ashabul kahfi telah menyediakan dua buah minibus ditambah dengan mobil millik Pak Burhan. Minibus itu diparkir di depan rumah Pak Burhan. Di kepala minibus itu dipasang sebuah tulisan: ROMBONGAN ASHABUL KAHFI.
Mobil Pak Burhan pun sendiri sudah dipersiapkan.
Kulihat, para sahabat telah mempersiapkan dirinya masing-masing. Mereka membawa perbekalan. Dengan memakai baju lengan panjang, celana panjang, dan peci, mereka menaiki minibus itu satu per satu. Mobil Pak Burhan sendiri dipersiapkan untuk kunaiki bersama keluarga Pak Burhan dan menantu.
Hatiku berdebar-debar. Jantungku  berdegup sangat kencang. Rombongann Ashabul kahfi ini akan  mengantarku menuju Pesantren Tegal Jadin untuk menjemput cintaku.
Entahlah, jangan ditanya ide siapakah ini, sebab tak satu pun para sahabt yang mengaku. Ketika mereka kutanya, mereka semua menjawab  bahwa ini ide bersama. Aku pantas untuk mendapatkan kehormatan dan kemuliaan sepereti ini. Apalagi, banyak sahabat yang ingin menetap di Tegal Jadin, belajar agama kepada kiai sepuh dan kiai subadar.
Kurang lebih, jam setengah Sembilan kami meluncur meninggalkan kota Banjarnegara. Dan semakin detik berlalu, semakin cepat degup jantungku. Semakin gelisah aku. Semakin grogi. Tidak berapa lama lagi aku akan segera sampai di wajah kekasihku.
Selamat tinggal Banjarnegara. Selamat tinggal kenangan. Semoga Allah SWT menjadikan Banjarnegara kota yang indah dan diberkahi.
Amin
SELESAI