1
TEGAL JADIN ….SELAMAT TINGGAL
Semilir angin sore menjamah
daduan kering seperti halnya dia menjamah wajahku ; meriap-riapkan ujung-ujung rambutku.
Detik –detik ini aku hanya bisa berbicara
dalam diam, merangkai kata dalam lisan yang bisu. Kulirik wajah kiai sepuluh
yang juga diam dan hanya berjalan mensejajari langkah-langkah kaki ku.Aisah
juga diam. Dan Ihsan pun lidahnya kelu.
Tapak kakiku telah mengijak tanah diluar pagar pesantren. Kubalikan
badan. Kuberdiri termanggu. Kuberdiri
termangu. Kutatap tulisan yang dulu menyambutku: Tegakan tauhid, timbankan
sirik. Kuhela nafas. Kupejamkan mata. Dan kuucapkan selamat tinggal kepada
tulisan sacral penyejuk jiwa. Inilah dimana
aku harus segera berpisah.Demikian berat aku meninggalkan pesantren ini.
Sungguh kalau boleh berharap, aku tidak ingin meninggalkan pesantren tercinta
ini dengan membawa perbedaan dengan membentangkan buhul pertentangan. Aku ingin pergi seperti orang
yang sudah benar-benar lulus dari pesantren dan menyandang gelar santri. Tetapi
apa hendak kita , takdirku ternyarta berbuah perbedaan , dan perbedaanku dengan
para sahabat dipesantren ini tidak mengijinkanku untuk lebih lama tinggal di
sini. Aku pun harus segera pergi .
Anakku kini saatnya kita harus
berpisah, demikian rata-rata yang terlontar dari kiai sepuh terdengar dari
telinggaku. Hatiku miris ketika beliau memangilku dengan kata anakku. Beliau
menghentikan langkah. Aku pun juga berhenti. Perjumpaan kita Cuma sampai disini.
Jangan lupa itu ! hari ini, tiga tahun
lagi, cintamu menungumu disini !
Tak terasa air mataku menetes kembali. Kuraih tanggan kiai sepuh. Kumohon
doa restunya. Kumohon beliau mau mendoakan agar allah berkenan menjaga hatiku.
Kiai sepuh menepuk –nepuk punggungku .
Lalu setelah itu, kurangkul ikhsan sahabatku. Dia pemuda yang baikh.
Semogga allah selalu menunjuk kannya jalan yang lurus. Dia ingin ikut denganku,
sedangkan aku tidak tahu akan melangkah ke mana dan dengan tujuan apa. Aku
senang dia ingin ikut denganku, tetapi aku tidak bisa mengijinkannya sebab
tidak mungkin mengajarkannya dalam langkah-langkahnya yang sulit diraba ke mana
hendak ditinjau .
Lalu terhadap aisyah, kuucapkan kata-kataberpisah. Kukatakan kepadanya,
jarak bukanlah alasan untuk kita saling melupakan,adikku. Namun akan selalu
kujaga hati. Aku mohon, namaku jangan pernah kamu sirnakan dari hatimu, semoga
pernikahan kalian nanti mendapatkan berkah dan diberkahi. Karena demikianlah
doa yang diajarkan nabi .1 “
Aisyah menangis.
Tiba-tiba dia menyergapku dalam pelukanya. Dia merangkulku erat-erat.
Untuk sesaat jiwaku melayang. Jiwaku melayang bukan karena pelukan itu.
Jiwaku melayag karena disini ada ihsan dan, utamanya, ada kiai sepuh. Jiwa –
jiwaku tidak bisa menghentikan sergapan kedua tangannya. Aku berdiri diatas
kedua kaki yang kaku.
Kiai sepuh diam saja. Ihsan hanya memalingkan muka. Aisyah masih menangis
sesengukan. Kupengang kedua pundaknya dan kudarong pelan agar tidak menyakitkan
perasaannya. Aduhai, sungguh berat hati
ini menyaksikan tumpahnya air mata; air mata gadis yang memiliki hati
permata. Kukatakan, kamu jangan seperti anak kecil. Dia menjawab , biarin aja.
Kukatakan lagi, jangan begitu. Dia masih menjawab, biarin aja. Kubilang, tidak
enak dengan kiai sepuh, dan nanti menimbulkan fitnah. Dan dia mengerti. Dan dia
menyeka air matanya.
Kang, jangan lupa kabari aku,’’ pinta ihsan.
Insyaallah,’’jawabku.’’assalamu’alaikum…’’
‘’wa’alaikum salam…’’jawab kiai sepuh, aisyah, dan ihsan.’’allah
ma’ak,’’imbuh kiai sepuh.
***
Tegal jadin, selamat tinggal….
Selamat tinggal jeringen-jeringenku. Kalian telah menjadi bagian dari
masa laluku, masa dimana aku selama lebih
dari dua bulan selalu memikul dirimu dari telaga ke pesantrenan dan dari
pesantren ke telaga. Selamat tinggal telagaku. Engkau juga telah menjadi bagian
dari masa laluku. Airmu yang jernih telah menjadi jernihkan hatiku. Lempengan
batu yang ada di dekatmu juga menjadi saksi akan mulai bersemiya cintaku kepada
Rabbmu, Rabb kita. Kalian sama-sama makhluk Allah, seperti halnya diriku. Islammu2yang
telah mengajariku makna kepasrahan total kepada kehendak Allah SWT , Tuhanku
dan Tuhanmu. Dan kehendak allah lah yang aku sakaikan hari ini, aku alami hari
ini. Aku langkahkan kedua kaki dari
pesantren ini. Selamat tinggal daun perduku. Masih terbayang putaran dan
pilinmu diterpa angin dan menyentuh ujung kaki kananku. Disaat itu , aku
terlempar dalam keluh kesah. Engkau juga telah menjadi bagian dari masa laluku.
Selamat tinggal pesantrenku .
Dan … selamat tinggal cintaku.
Cintaku yang masih menggantung di antara langit hati zaenab,priscillia,dan
khaura. Cintaku yang belum aku tahu akan berlabuh di hati yang mana dari ketiga
gadis yang diberikan itu. Cintaku yang harus berjuang melawan waktu, selama
tiga tahun mendatang, hingga dating takdir apakah Allah SWT akan mengijinkan
aku untuk menjemput cintaku atau tidakl.
Ketika aku disergap gelisah apakah nilai cintaku tidak berat
sebelah,sungguh , kata-kata kiai sepuh tasi demikian menenangkanku. Beliau
mengatakan bahwa zaenab dan pricillia akan menerima cintaku. Tetapi apakah
cintaku nanti akan terbelah ? bagaimana dengan khaura? Oh, gadis itu, apa kabar
dia? Dia tentu tidak tahu tentang semua yang telah terjadi padaku. Dia ingin dating
ke pesantren Tegal Jadin , dan itu bisa berarti karena aku atau karena ingin
lari dari paksaan orang tuanya. Jika nanti, sepeningalku, dia memang benar-
benar dating ke pesantren, dan cintaku tidak menyapanya, maka telah zalimkah
aku kepadanya?
Duh, gusti…
Zalimkah aku sebab terus memikirkan tentang cintaku kepada wanita?
Benarkah yang disebut penggoda itu berarti jahat dengan sendirinya? Aduhai ,
tidak mungkin. Wanita dilahirkan untuk pria dan pria ada untuk wanita. Cinta
pastilah mengikatkan hati wanita dan pria.
Kujejakan langkah kembali , menyusuri jalan berbatu ini. Oh, tegal jadin,
kini aku pergi meninggalkanmu. Aku pergi menjauhimu. Harapanku hanya satu; hari
ini ,tiga tahun yang akan datang , aku akan menapaki jalan ini kembali,
menujumu, duhai Tegal Jadinku. Aku akan menjemput cintaku. Aku akan melihat
lagi gadis berkerudung biru itu. Mungkin puluhan syair akan kudendangkan
untuknya. Dan aku akan sampai kepada wakah pricillia penjelma syahadat cintaku,
dan mungkin simfoni jiwaku bisa menghibur kepedihannya(laa hawla wa laa quwwata
illa billah, aku pergi tanpa bisa berpamitan dengan lia,tanpa bisa menghibur
kehancuran hatinya. Ya, allah , aku titip lia kepada kedua tangan-mu!). dan
akan kuserakan kepada allah nasib cinta khaura, apakah dia akan mencintaiku
atau tidak. Kalai toh allah menghendaki, kusapa pula dirinya dengan cintaku..
Dan jalan berbatu ini..
Telah tiga kali aku menapakinya. Di kali pertma, kutapaki jalan
berbatu-berdebu ini ketika aku mau nyantri di pesantren tegal jading. Kala itu
aku datang dalam dergapan kekhawatiran, kecemadam, dan ketakutan, sebab aku belum pernah pergi ke pesantren
dan kali pertama pergi aku hanya membawa kebutaan diri terhadap agama
yang telah aku peluk sejak kecil ini. Di
kali kedua, kutapaki jalan berbatu –berdebu ini ketika aku melarikan diri dari
pesantren layaknya pengkhianat- pengecut
yang lari meninggalkan medan laga. Dan kali ini adalah kali ketiga di mana aku harus pergi intuk waktu yang
lama. Aku pergi hanya untuk berharap akan bisa kembali menjemput cintaku yang
tertinggal di pesantren ini.
Aku terus melangkah. Menyusuri jalan setapak menuju sungai.
Tak berapa lama kemudian , gemericik air sungai terdengar. Aku segera
mempercepat langkah. Aku berlomba dengan waktu. Aku tidak mau ditelan senja di tengajh
perjalanan yang masih jauh dari jalan raya.
Kuseberagi sungai dengan pikiran yang melayang-layang. Sepi mencekam.
Langit sore mulai membentang. Seekor wallet melintas di atas punggung sungai,
berputar0-putar, dan melayang pada sebuah titik di ujung sana. Pikiranku
semakin melayang-layang. Sebuah pertanyaan yang sejak tadi menggelisahkanku kembali menyerang; Hendak ke
manakah aku sekarang?
***
Pukul 16;20 WIB.
Aku tiba di jalan desa Bandung. Tetapi sejauh ini, aku juga belum
berhasil menemukan jawaban dari pertanyaan yang memang harus bisa aku jawab
sendiri itu. Dalam keadaan normal , dan andaikan saja aku berada di wilayah
Jakarta sebelah mana saja, tentu akan medah bagiku untuk menjawab pertanyaan itu. Jika aku bingung
hendak kemana , aku bisa pulang saat itu juga.
Tetapi, akankah sekarang ini aku kembali saja? Akankah aku pulang ke
Jakarta? Siapakah aku ini, pabila pergi meninggalkan rumah untuk belajar agama
di pesantren , tetapi belum genap setahun telah kembali kerumah lagi? Bagai
mana aku bisa dibandigkan dengan ihsan, kang rusli , Amin , atau bahkan kang
Rahmat?Lima tahun , tujuh tahun, sepuluh tahun , bahkan lima belas tahun adalah
waktu rata-rata yang dimiliki para sahabat untuk nyantri. Sedangkan aku ?
siapakah aku? Pantaskah aku disebut sebagai hamba –Mu, ya Allah ? bagai mana
aku bisa mendapat predikat ‘santri’ pabila hanya seumur jagung tinggal di
pesantren?
Tetapi pabila aku tidak pulang , aku hendak kemana?
Akankah aku pergi lagi ke rumah Bu Jamilah dan kembali tinggal
disana?tetapi apakah hal itu mungkin?mungkinkah aku tinggal terus menerus di
rumah orang yang nyata nyata bukan muhrimku?
Lalu, pabila aku kembali kesana, bukankah itu berarti aku ingin
mengulang cerita hidup yang sama? Dan jika demikian , lalu di mana
perubahanku?!
Atau ,ke solo-kah ? bagaimana nanti kalau kakek ku bertanya – Tanya dan
tak satu pun aku mampu menjawab pertanyaanya? Bagaimana jika kakekku menguji
pengetahuanku tentang agama yang aku dapat di Tegal Jadin ? dan bagaimana
sendainya kakekku tidak bisa memahami perbedaanku?
Ya,Allah …..
Kenapa?
Kenapa aku selaliu disergap gelisah seperti ini?
Inikah wujud hukuman –Mu kepada seorng anak manusia yang berani berbeda?
Ya,Allah , bagaimana aku harus menentukan langkah ? kemana aku hendak mengadu?
Kepada-Mu?!
Kepada-Mu?!!
Masyaallah…
Bukankah aku belum mengerjakan sholat ashar?
Bukankah menghadap Allah adalah
saat yang tepat untuk kulakukan dalam situasi seperti sekarang ?
Dari arah kanan, seorang gadis kecil melintas di depanku. Kepadanya aku
bertanya , “dik , masjid di mana?”
‘’ masjid?”
“ho-oh.”
“o, di sana kak…..” gadis kecil
itu menunjuk suatu arah. Kuikuti telujuknya. Dan benar , kubah masjid terlihat
disana.
“terimakasih ya.”
“memang untuk apa nanya masjid,kak?”
Aku , tersenyum. Aku pikir, bagaimana bisa gadis kecil ini bertanya
begitu. Umurnya saja kira-kira 6-7 tahun, kok masih bertanya seperti itu. Apa
orang tuanya tidak mengajari sholat? Tetapi aku tetap menjawabnya,” kakak mau
sholat ashar.”
“emang jam berapa sekarang?”
“jam 16;30.’
“jam 16;30 kok baru sholat ashar?”
Dug!!!!
Gadis itu berlalu begitu saja. Jadi itu maksudnya? Masyaallah, begitu
terlambatkah aku untuk sholat asar di waktu sekaranhg untuk ukuran gadis kecil
di sini? Tetapi sungguh , aku senag mendengar perkataany. Aku senanhg. Dan aku sangat senang. Inilah mungkin hakikat
agama di desa bandung ini, atau di desa-desa manapun juga. Sebuah hakikat yang
ditampakkan oleh seorang anak semacanm dia.
Hatiku menjadi agak tenang. Kata-kata gadis itu sedikit bayak mampu memecah
kebingumganku. Benar, tiada tempat sebaik-baiknya mengadu , kecuali masjid. Dan
tiada sebaik-baiknya tujuan mengadu , kecuali mengadu kepada allah swt.
Aku melangkah kemasjid itu. Satu dua orang penduduk berpapasabn denganku.
Kuanggukkamn kepala. Kutebarkan senyum. Kusapa dengan baik-baiknya.
Seampainya dimasjid , aku duduk sebentar. Kuturunkan tas punggungku.
Kutaruh disebelah kananku. Lalu kulepas sepatuku. Segera setelah itu, aku
mengambil air wudhu.
***
Inilah aku yang telah mendirikan sembahyang asar. Inilah aku, ya rabb,
yang tengah mengadu kembali kepadamu. Tidak banyak doa berbahasa arab yang aku
hafal. Tetapi apa arti bahasa bagimu ? engkau adalah dzat yang maha berfirman.
Berfirman itu sendiri adalah dirimu, sebab dzatmu adalah sifatmu itu sendiri.
Aku inget, melalui lidah suci nabimu engkau telah berfirman melalui bahasa.
Maka lidahku yang hanya bisa berbahasa Indonesia ini saja yang mewakili
pengaduanku kepadamu
Berilah petunjuk kepadakku , aku harus kemana, duh ilahi? Kan kuukir
waktuku dengan apa?
Aku bersujud.
Tiba-tiba, aku teringat sebuah buku yang telah aku baca, tentang bagai
mana memohon petunjuk kepada allah melalui jalan istikharah. Aku lupa ulama
yang menulis buku itu, tetapi aku masih ingat cara-cara berisstikharah dengan
ayat- ayat al-qur’an. Adakah mushaf al-qur’an di masjid ini?
Kuberdiri. Kutoleh kekanan dan kekiri.
Di pojok kiri serambi, kutemukan mushaf-mushaf al-qur’an. Ku berjalan
kesana. Kuambil salah satu musaf yang ada disitu. Dan aku pun bingung.
Aku bingung sebab aku tidak bisa memahami arti ayat al-qur’an yang nanti
menjadi hasil istikharahku. Aku bisa membaca ayat itu, tetepi aku tidak tahu
arti nya, dan itu berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Kuraih musaf lagi.
Kubalik-balikkan tumpukan mushaf itu. Dan alhamdulilah , aku menemukan
al-qur’an dan terjemahannya keluaran departemen agama.
Ku berjalan ke tempat sujudku kembali.
Lalu aku duduk. Dengan mengucap basmallah dan shalawat kepada nabi yang
ummi sebanyak tiga kali, kubuka al-qur’an yang ada di tangganku ini. Telunjuk
ku bergerak ke halaman sekian baris sekian. Di situ aku menemukan ayat al quran yang
menfirmankan…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Ayat itu mengisahkan tentang perkataan Musa as kepada muridnya. Aku tidak
akan berhenti (berjalan)…’ darahku berdesir. Kata-kata Musa ini berpengaruh
kuat dalam jiwa. Aku tidak akan berhenti berjalan. Apakah ini jawaban Allah
kepadaku? Apakah aku harus terus berjalan melakahkan kaki?
Aku menelan ludah. Aku belum yakin dengan hasil istikharahku ini.
Alangkah baijknya pabila aku mengulangi lagi. Dengan mengucap basmalah
dan
shalawat kepada nabi yang ada yang ummi sebanyak tiga kali, kubuka
al-quran
yang ada di tangganku lagi. Telunjuku bergerak ke halaman sekian baris.
Disitu
aku menujukan ayat al-qurabn yang
memfirmankan;,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Dan kuulangi lagi. Kutemukan ayat al-quran yang
memfirmankan;,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Demi allah, aku yakin sekarang. Aku benar-benar yakin. Inilah jawaban
allah kepadaku. Dengan kitab nya aku beristikharah dan dengan ayatnya aku
memperoleh keputusan bahwa aku harus terus berjalan. Berjalan memtafsirkan diri
dan semesta ciptaannya. Ini berarti aku tidak boleh memilih untuk pulang ke
ibundaku. Juga aku berarti tidak boleh pergi ke wajah kakekku, atau pergi ke
rumah bu jamilah. Aku harus berjalan. Berjalan seperti air tenag. Berjalan
mengikuti tanda-tanda allah di atas bumi nya. Aku harus menjadi seorang
musafir. Seorang musafir yang merindukan dua cinta; cinta tuhannya dan cinta
kekasih hatinya. Kurang dari satu tahun, takdirku menghendakiku bercengkerama
dengan pesantren dan para sahabat disana, dan barang kali kurang lebih selama
tiga tahun nanti pesantren sejatiku bukanlah sebuah pondok lainya tegal jadin,
memba’ul ‘ ulum, gontor, dan lain sebagainya. Bisa jadi takdir menghendaki
bahwa pesantren sejatiku adalah pesantren jalanan.
Dan aku siap, ya, allah. Aku siap mengencap takdirmu ini, jika ini adalah
sebaik-baik takdir yang berlaku atas diriku. Aku siap menjadi seorang musafir.
Aku siap untuk semakin berusaha mendekatimu. Aku siap menjadi seorang musafir
cinta.
Aku berdiri. Berjalan. Memakai sepatu. Menangkat tas. Bismillah.
Melangkah pergi.
2
Sepenggal cerita cinta dalam bus
antar kota
Ketika
aku sampai disruwen tadi, putaran waktu telah menunjuk angka setengah tujuh.
Langit malam telah terbang. Hawa dingin mulai menyerang . kuseberangi jalan dan
kuberdiri menunggu bus yang lewat. Apa
hendak kukata, belasan bus telah hilir mudik didepanku, dan belasan kali pula
aku masih tetap menunggu.
Menunggu siapakah aku ini? Menungguh apakah ? tanda-tanda allah manakah
yang harus aku ikuti ini?
Sebuah bus melaju pelan dari arah
solo, dari arah kananku. Mungkin ini,pikirku, bus yang harus aku tumpangi. Ya,
mungkin disemaranglah aku akan mendapatkan tanda-tanda ilahi!
Aku segera menyetop bus itu. Kulambai-lambaikan tangan kananku. Masih
sepuluh meter di sebelah kananku. Kulambaikan lagi. Bus semakin mendekat. Tidak ada tanda-tanda berhenti. Aku bertanya?
Kemana sopir bus itu?! Aku jengkel, kulambaikan kedua tangaku seperti seorang
pramuka melambaikan bendera sandi. Dan bus itu ternyata tidak mau berhentu. Ia
melintas pelan bagaikan ular yang tak peduli. Aku mangsanya, tetepi ular itu
mencuek.
“sialan ….!
‘sialan’kataku?
Bukankah kata ‘sialan’ adalah umpatan? Astaghfirullah. Kenapa aku harus
mengumpat seperti ini? Baru saja meninggalkan pesantren, kenapa lidahku sudah
mengumpat seperti ini?kenapa, iqbal?kenapa??! dimana kelembutan hatimu, bal
?dimana kau buang hatimu? Layaknya kamu mengumpat bus yang tidak berhenti sebab
lambaian tanganmu? Layakkah kamu mengata-ngatai dengan kalimat ‘kemana mata
sopir itu’, bal? bagaimana kamu akan mampu membaca ayat-ayat illahi jika
lidahmu busuk dan pikiranmu buruk seperti ini, bal?
Jawab, iqbal!!!!!
Jawab!
Jangan diam saja. Jangan pura-pura memejamkan mata. Jangan mendesah.
Munafik kamu! Kamu tidak pantas menyandang gelar santri kiai subadar. Kamu
tidak pantas mendapatkan doa dari kiai abdulah sidiq. Kamu tidak ada bedanya
dengan berdebah tengik yang hanya bisa mengumpat-umpat.
Kamu…..
Kamu bedebah , bal!
Oke, oke. Aku salah, jawab hatiku. Aku menyesal. Tidak sepantasnya
seorang iqbal yang seorang muslim seperti itu. Aku salah. Aku menyesal. Aku
tidak akan mengulangi lagi. Aku janji. Langit malam menjadi saksi . gemerlap
bintang pun menjadi saksi. Aku tidak akan mengulanginya lagi.
Tetapi aku hendak kemana? Bukankah aku tidak bisa terus menerus disini,
di pinggir jalan ini? Jika perjalanaku hanya berhenti disini, lalu apa yang
bisa aku lakukan dengan hanya duduk dan berdiri di pinggir jalan seperti ini,
di antara bus-bus yang hilir mudik jurusan solo-semarang ini?
Aku beringsut mundur. Kuhempaskan pantatku di emperan took yang sudah tutup. Ketika kutoleh arah sebelah
kiri, dari jauh aku melihat bus besar datang –bus dari semarang. Ahaaa…! Ini
mungkin yang harus aku lakukan.
Aku berdiri. Aku berlari. Aku
menyeberangi jalan. Tepat di seberang jalan, aku terlambat melambaikan tangan.
Bus melaju sangat kencang. Nafsu membisikiku agar aku mengumpat lagi, tetapi
hatiku meminta mulut ini untuk tersenyum saja. Nafsuku kalah. Aku pun
tersenyum. Allah tidak mentakdirkanku menaiki bus jurusan solo itu. Selamat
jalan, bus! Maaf nafsu, aku tidak sudi melayanimu!
Aku kembali menyebrang. Kembali menghempaskan pantat di tempat semula.
Kuselonjorkan kedua kakiku. Lalu kutekuk kedua lututku. Kuletakan tas disamping
kiriku. Semenit telah berlalu. Dan menit pun terus berlalu. Dan lima belas
menit telah berlalu.
Dan aku mulai ragu untuk kemudian
mulai membuat kesimpulan; mungkin titik berhentiku ada di sini. Di tempat ini. Di pertigaan ini.
Di sruweng ini. Aku mulai menyimpulkan, barng kali disinilah – diantara kota
salatiga, boyolali, dan tegal jadin – aku harus tinggal dan manafakkuri
hidupku.
Maka., ketika sebuah bus jurusan
semarang melintas kembali, aku tidak bergerak untuk melambaikan tangan
menghentikanya. Aku biarkan saja dia berjalan, berjalan pelan, menuju semarang.
Biarkan saja. Mungkin inilah pilihan terbaikku.
Beberapa saat setelah bus semarang itu melintas, ku lihat lagi meluncur
dari arah solo. Semakin mendekat di pertigaan ini, bus itu semakin pelan jalannya.
Dan tepat ketika bus itu ada didepan mataku, bus itu berhenti. Seorang
penumpang turun. Seorang ibu berbaju kebaya berwarna biru. Biru lagi, biru
lagi, setiap warna biru melintas dibenakku, zaenab seakan melintas didepan
wajahku. Zaenab lagi, zaenab lagi! Aku tersenyum sendiri.
“Purwokerto…..purwokerto…..”teriak kondektur. Teriakan itu ditujukan
kepadaku.
Entah mengapa, aku teriak dengan teriakan itu. Segera aku menyambar
tasku. Bismillah ar-rahman ar-rahim. Aku menaiki bus jurusan solo-purwokerto
itu.
Tidak kubayangkan sebelumya bahwa bus ini sesak dengan penumpang. Mumgkin
karena mala m ini malam sabtu sehingga banyank orang mudik ke rumahnya
masing-masing. Aku kesulitan untuk menyibak para penumpang. Semua kursi sudah
diduduki. Orang-orang bergelayutan dalam kantuk yang sudah menyerang mata. Bau
keringat berpadu dengan hawa panas dan bersatu menusuk hidungku. Inilah kali
pertama aku naik bus antar kota(dan non ac lagi!) dalam cendawan hawa yang
memusingkan kepala.
Kepalakku mulai pening, berputar-putar, berpusing-pusing. Aku benar-benar
tidak tahan dengan bau keringat para penumpang yang menyesakiku ini. Bau
keringat yang paling menyengat datang dari depanku, dari seorang laki-laki
separuh baya memakai kaos warna merah(untung dia tidak memakai warna biru!)
keringatnya meleleh membasahi punggungnya. Sesaat aku ingat bagaimana dulu di
Jakarta, aku terjatuh tersungkur karena mabuk vodka atau marijuana. Sekarang
ini, aku benar-benar bisa mabuk karena ”vodka-marijuna” keringat bapak itu!
Perutku mual. Aku ingin muntah. Keringat dingin membasahi tengkukku.
Kuraba tengkuku, dan rasanya dingin sekali. Jika aku masih berada di tengah-
tengah sini, sebentar lagi bisa muntah aku ini. Maka, dengan sekuat tenaga, aku
menerobos disela-sela penumpang , mencari tempat berdiri yang dekat dengan jendela. Ya, hanya jendela itu yang mungkin bisa
menghentikan kepusingan kepalaku.
Dengan susah payah, aku berhasil mencapai tempat di dekat jendela,
disebelah kanan. Kepada seorang pemuda yang duduk di kursi dekat jendela, aku
memohon, “bang maaf, bisakah jendela itu dibuka sedikit? Maaf bang, panas
nich.”
Dia bersedia membukakan jendela.
Kurasakan angin masuk dari luar
bus. Angin dingin. Angin segar. Angin itu membelai wajahku, melewati daun
telingaku. Pelan-pelan, rasa pusingku mulai hilang. Mual-mual di perutku pun
mulai hilang. Alhamdulillah.
“mas,tolong dong tutup jendelanya!”
Seorang ibu berteriak dari belakangku. Dia meminta pemuda yang tadi
membukakan jendela untukku, menutup jendela lagi. Sungguh, keinginannya itu
berarti membuat kepalaku pening kembali. Dan aku tidak ingin kepalaku penig
kembali. Aku pun tidak ingin muntah-muntah disini.
Kutoleh ibu itu.
Tetapi,setelah kutoleh dia,aku tertegun. Seorang bayi dipangkuanya
menkerut kedinginan. Oleh ibu itu, yang barang kali dia adalah ibu bayi itu,
sang bayi diselimuti oleh kain selendang, kain selendang yang sudah basah.
Keringatlah yang pasti membasahi kain itu.
Sang bayi mulai menagis. Si ibu itu berteriak sekali lagi, meminta tolong
agar jendela itu ditutup kembali.
Dan aku mulai menyadari bahwa
angin dingin yang segar yang menerpa wajahku dari luar jendela bus teryata
membuat sang bayi itu kedinginan. Kupinta pemuda tadi untuk menutup jendelanya.
Tetapi bayi itu kadung menagis.
Tangisan kedinginan. Barang kali juga kegerahan. Barangkali entah.mungkin dia
merasa sesak juga.
Sang ibu mulai tidak sabar. Mulai mengerutu. Cup..cup..cup, jangan
menagis katanya. Tetapi bayi itu masih menagis. Cup..cup..cup,katanya lagi.
Tetapi tangisan bayi itu malah kian menjadi-jadi. Ibu itu mulai berteriak
kasar. Wajahnya berpeluh-peluh. Hawa dalam bus dapat membuat siapa saja
meluapkan amarah. Dan ibu itu marah kepada bayinya. Semakin keras bayi itu
menangis, semakin marah si ibu tadi.
Ketatap wajah ibu itu dalam-dalam. Kulihat pancaran wajahnya yang
menujukkan rasa takut luar biasa. Demi allah, dia takut bukan kepada
siapa-siapa, dia takut kepad ibunya sendiri.
Dan ibu itu mulai geram, dan aku mulai khawatir. Tidak sepantasnya
seorang ibu mulai geram dan marah kepada anaknya sendiri, apalagi anaknya itu
masih bayi. Tetapi apa yang mesti kuperbuat? Haruskah aku mengingatkan ibu itu
supaya tidak marah-marah dan geram seperti itu? Tetapi , apa hakku? Bukankah
aku laki-laki dan bukan seorang perasa seperti ini? Apakah aku punya hak untuk
mengigatkanyaa?
ingin kukatakan kepada si ibu tadi bahwa bayi akan itu takut kepadanya.
Bagaimana mungkin seorang bayi akan berhenti menangis pabila dia merasa takut?
ya allah, bagaimana ini? Tolonglah bayi itu, duh illhi. Tolonglah. Aku tidak
tahan melihat wajah ketakutannya. Aku tidak sanggup mendengar jerit
tangisannya. Duh, allah-ku, bisikan kesabaran pada si ibu itu. Hasratkan cinta
dan kasih saying dalam dadadnya. Lambungkan jiwanya dengan kelembutan murni
seorang ibu kepada balitanya. Bukan teriakan, amarah, dan rasa geram yang bisa
menghentikan tangisan bayi itu, tetapi belaian lembut telapak tangan seorang ibu yang dibutuhkan
oleh bayi itu. Aduhai, seandainya aku adalah ibunya, kubelai wajahnyaa dengan
kedua tanganku. Kutimang-timang dia diatas dadaku. Ku peluk dan kucium dia
dengan berjuta cinta. Dan kutenagkan dia dari keadaan yang menyesakkan ini.
Telah kubaca al-qur’ an
memfirmankan;………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
“Bu, coba deh , selimutnya dilepas,” kata seorang penumpang
disebelahnya.” Dia tadi kedinginan. Mungkin
sekarang kepanasan.
Sambil masih mengerutu, si ibu itu menuruti saran penumpang disebelahnya.
Dan benar saja, sang bayi berhenti menangis. Tangan mungilnya meraih-raih dada
ibunya. Aku ingin menangis melihat pemandangan itu. Tetapi aku bersyukur
kepadamu, ya allah, sebab engkau telah membisikan kata-kata ajaib pada
penumpang disebelah ibu tadi.
@@@
Bus terus melaju.kota salatiga telah terelewati. Kota yang penuh kenangan
itu telah jauh di belakang sana. Kini, aku tidak tahu bus ini sampai dikota
apa. Kedua mataku tidak bisa menembus
gulita malam. Tidak bisa kubaca tulisan apa pun yang ada di pinggir-pinggir
jalan. Aku hanya mampu melihat kegelapan.
Dan bus ini masih penuh dengan
penumpang. Memang, tidak sepenuh hati sih, tetapi aku sendiri masih belum bisa
duduk dan hanya tegak berdiri. Kulihat jam yang melingkar dilengan tanggan
kananku. Jarum menunjuk angka setengah Sembilan. Masyaallah, aku belum
sembahyang! Aku mendirikan shalat
magrib, apalagi shalat isya. Bagaimana ini, ya allah ? bolehkah aku shalat
dengan hanya berdiri di antara para penumpang seperti in? tetapi aku belum mempunyai wudhu, ya allah?
Kenapa ketika tadi aku disruweng tidak mencari air untuk wudhu dulu?
Kenapa? Kenapa aku tidak shalat tadi sebelum naik bus ini? Kenapa? Bagaimana
ini, ya allah?
Bus berhenti.
Bus menurunkan penumpang. Kulihat
ada beberapa orang yang turun. Sesak menghilang. Sekarang, hanya beberapa orang
saja yang masih berdiri. Beberapa orang itu termasuk aku didalamya. Kersi masih
penuh. ‘ sejak kenaikan hingga keturunan, akankah aku tidak memperoleh
kedudukan?’ aku tersenyum sendiri ketika pikiranku bertanya begitu. Aku ingat
kata-kata canda itu dari seorang kawan di Jakarta. Kalimat itu adalah kalimat
canda, sebab dia salah bila dibaca dari bibir logika bahasa Indonesia. ‘sejak
kenaikan hingga keturunan, akankah aku
tidak memperoleh kedudukan?’
Bus berjalan kemali.
Ketika melewati jalanan yang terang dengan cahaya lampu, aku berhasil
membaca sebuah tulisan dari sebuah papan diseberang jalan. Kabupaten
temanggung. Yah, pastilah bus ini sampai di kabupaten temanggung.
Dan benar.
Beberapa saat kemudian, bus melewati tugu perbatasan kota temanggung.
Saat itu, seorang penumpang yang duduk dibarisan kursi sebelah kanan berdiri.
Dia tampaknya siap-siap untuk turun. Aduh, ingin aku merangsek mendekati jok yang
tadi didudukinya, tetapi aku terhalang oleh pemuda yang sedari tadi berada
didepanku. Dia tampaknya juga tahu bahwa penumpang itu akan segera turun.
Karena itu, dia membentangkan kedua tangganya, menghalang-halangiku untuk maju.
Aku tidak ingin maju, sebab aku tahu dia sudah berdiri lama. Ketika aku naik
tadi di sruweng, dia sudah berdiri ditempatnya. Dia lebih berhak untuk
dudukdijok yang telah ditinggalkan penumpang itu daripada aku.
Seorang pemuda, dengan tas punggung seperti tasku. Tingginya kurang lebih
satu senti lebih tinggi dari tinggiku. Rambutnya ikal dan agak panjang.
Tampaknya pemuda itu memiliki selera dalam
penampilan. Dan ketika udara berhembus
dari depan melewati pemuda itu, tercium dihidungku bau parfum khas
seorang anak muda. Dan aku kenal jenis parfum itu. Aku kenal, itu parfum
tergolong berkelas. Ketika penumpang
tadi sudah benar-benar berdiri dan mulai berjalan ke arah pintu, dengan serta
merta pemuda itu langsung menduduki bangku. Aku yakin, rasanya pasti sangat
lega. Rasanya sangat lega sebab pantat bisa didudukkan.
Kugeser badanku. Kusandarkan bagian punggungku pada pinggang jok yang
tadi digunakan oleh pemuda itu. Kondektur melintas didepanku.memegang gumpalan
uang di tanggan kanannya, dan segulung tiket di tangan kirinya.
“sudah bayar ongkos?” Tanya kepadaku.
“belum,” jawabku.
“mau turun mana?”
Aduuh.
Aku mulai sadar bahwa aku sedang naik bus dan pasti akan ditanya begitu.
Aku ini hendak turun di man?
“mas…kok malah ngelamun? Mau turun mana?”
“aduh, di mana ya?”
“ lohh … mas ini mau ke mana?”
“memang bus ini mau ke mana?”
“lohh…mas ini gila apa?”
“aduh, jangan bilang begitu, bang. Saya benar-benar tidah tahu hendak
turun di mana. Saya juga tidak tahu mau ke mana. Saya hanya mau naik bus ini
saja.”
“gila, ente benar-benar gila.”
“Sudah, sudah. Malah gila beneran nanti saya, bang. Gini saja. Bus ini
berhenti di mana? Maksud saya, tujuan terakhirnya mana?”
“Oh, iya. Saya ke Purwokerto saja. Berapa?”
“Naik dari mana?”
“Sruweng.”
“25.000.”
Kuambil dompetku. Kuberi dia uang lima puluh ribu.
“Jika aku mau, mas, udah kutipu kamu itu!”
“Alhamdililah, bang, abang tidak menipuku.”
“Nih kembalinya.”
“Trims, bang.’
Dia segera melintas, kembali meminta ongkos pada penumpang yang lain di
belakagku.
Aku menghembuskan nafas. Kedua mataku tertuju kembali pada pemuda yang
mendapatkan ‘tempat kedudukan’ tadi.
Dan kini aku tahu. Yah , aku tahu. Aku benar-benar tahu. Pemuda itu
sekarang duduk disamping gadis cantik berjilbab putih. Sesaat kuperhatikan
wajahnya. Wajah itu mengigatkanku pada Khaura!
Aduh, Khaura…………
Kenapa gadis itu mengigatkanku pada dirinya? Sungguh, Allah itu Maha
Indah. Kenindahannya di tampakkan pada wajah berjilbab putih itu. Dilihat dari
gerak-gerak, dia kemungkinan besar seorang mahasiswi. Wajah yang masih padat itu
pastilah khas wajah mahasiswi tingkat satu.
Dan aduhai betapa beruntungnya pemuda yang duduk di sebelahnya itu. Kini
aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Wajahnya mengigatkanku pada wajah Brad
Pitt, suami Angelina Jolie itu. Oh, aku
bisa menebak sekarang; duduk di samping
bidadari adalah harapan semua orang!
“Turun di mana?”
Aku dengar pemuda itu bertanya kepada sang gadis berjilbab putih.
“Di Purwokerto. Mas sendiri?” binar-binar mata gadis itu menunjukan bahwa
dia senang ditanya. Bagaimana tidak senang pabila yang bertanya bak malaikat
seperti itu?
“Aku mau ke Purbalingga. Kulilah? Kerja?
“Kuliah.”
“Kuliah di mana?”
“Di UMS.”
“Fakultas?”
“Psikologi.”
“Wah, keren dong!”
Gadis itu tersenyum. “Mas sendiri?”
“aku di UNS. Fakultas Hukum semester akhir.”
“Wah, keren juga dong!”
Dan beruntung aku tidak duduk disebelah gadis itu!!
Aku bukan anak kuliah. Aku pun
bukan seorng karyawan. Andai saja kursi
yang diduduki pemuda itu adalah aku, entah apa jadinya jika pembicaraan
berkisar tentang kuliah dan fakultas
seperti yang kudengar ini.
“ Boleh kenalan nggak ?” Tanya pemuda itu. Dia mengulurkan
tanganya.
Sang gadis tersenyum. Aduhai, senyuman itu mengigatkan aku pada senyuman Zaenab! Gadis itu memberikan senyuman kepada
pemuda itu. Dia menyambut uluran tangannya.”aku Ida, Mustamiroh. Mas sendiri?”
“Yoga, yoga Alfiano. Ngomong-ngomon, sering pulang malam begini?”
“Ah, nggak juga. Kebetulan tadi ada tugas kampus yang harus kuselesaikan.
Jadi yaaah…telat pulang deh…”
“Barapa bulan sekali pulang sich?”
“Nggak tentu sih. Kadang sebulan, kadang dua bulan. Pernah juga sebulan
dua kali.”
“Ngomong-ngomong, ehm….em,apa ya….?”
Mulai dech! Teriaku dalam hati. Mulai deh dia akan berkata seperti
umumnya perkataan laki-laki. Aku tahu apa yang akan dikatakannya itu. Ya, aku
tahu, sebab aku laki-laki!
“Apa …..?” Tanya gadis yang mengaku bernama Ida itu.
“Ah, nggak..”
“Loh…apaan sih?”
Mulai deh si gadis itu penasaran. Reaksi yang khas dari seorang perempuan
yang mulai tertarik berbicang dengan seorang laki-laki.
“Nggak….”
“Apa?”
Astagfirullah, pemandangan apa yang mulai kusaksikan ini? Ketika gadis
itu berkata ‘apa’, kulihat tinju kanannya mulai berani memukul pinggang pemuda
yang mengaku bernama Yoga tadi. Si Yoga mengaduh pura-pura. Pura-pura kesaktian
dia, pada hal, aku yakin, batinnya berteriak, “ teruskan….teruskan….!”
Aduhai, malam……
Malam di dalam bus antar kota. Yang hanya diterangi nyala lampu redup
memikat jiwa. Dua insan tengah meniti jalan memintal benang-benang asmara. Si
perempuan bernama Ida, dan si laki-laki bernama Yoga.
“Boleh nanya nggak?”
Kudengar Yoga kembali bertanya.
“Iya, nanya apa?”
“Ehm, sudah…..sudah punya pacar belum?”
“Apaaahh………….?”
“Iya, pacar. Laki-laki yang menyapa hatimu dan kamu menyambut sapaannya?”
“Emang kenapa?”
“Emang nggak boleh bertanya?”
“Yaaa, boleh sih.”
“Yaaa, jawab dong!”
“kamu sendiri?”
“Belum………..”
“Ah, gombal. Laki-laki sering begitu!”
“Bisa berkata begitu berarti udah pengalamankan?”
“Pengalaman apa?”
“Apa lagi kalau bukan cinta.”
“Emang cinta itu apa sih?”
“Pengin tau cinta?”
“He-eh.”
“Sini, tanganmu……..”
Tak bisa dibiarkan! Pekik hatiku. Dasar laki-laki bangsat keparat. Dengan
seenak sendiri dia meraih tangan kiri gadis berjilbab itu. Astagfirullah,
dengan mudahnya pula gadis itu menyerahkan tangannya. Menyerahkan tangannya
untuk diremas-remas kedua tangan laki-laki ini.
Oh, dunia, dunia. Dunia apa yang sedang aku saksikan ini? Inilah dunia
cinta? Jika cinta telah menyapa, akankah bus umum dianggap milik berdua?!
“Iihh…jangan begitu ah,” lirih gadis itu berkata.”nggak enak dilihat
orang…..”
Ketika kutahu pemuda itu akan menoleh kearahku, aku memutar kepalaku,
pura-pura tidak memergoki buncahan nafsu itu.
“Kamu cantik ….”lirih si Yoga itu berkata, tetapi cukup terdengar di
telingaku.” Betapa bahagianya cowok yang menjadi cowokmu….”
Hatiku berteriak, lepaskan! Lepaskan tangan harammu itu, si keparat Yoga!
Tidak sepantasnya engkau berlaku begitu. Aku tidak tahu apa agamamu dan apa
ajaran yang kau pegang tentang pegangmemegang tangan seperti itu. Tetapi, plis
hormati dong gadis itu ! jangan jerat dia dengan nafsumu. Belalakan kedua
matamu; dia gadis berjilbab. Jilbabnya menujukan bahwa dia itu gadis muslimah.
Malu sedikitlah kamu kepada Tuhanmu, duhai anak muda!
“Mas, sudah punya pacar belum ?”
“Dibilangin belum ya belum.”
“Sungguh ?”
“He-eh. Sueer……! Aku marah. Aku benar-benar marah. Kusumpahi kesambar
petir beneran beru tahu rasa!
Aku terus berusaha mencuri pandang kepada mereka berdua. Dan terus sambil
mengerutu. Pada babak selanjutnya, aku akhirnya hanya bisa mengelus dada.
Kulihat dengan kedua mata kepalaku sendiri, gadis berjilbab putih bernama Ida
itu mulai merebahkan kepalanya di pundak pemuda bernama Yoga. Begitu mesra.
Nyala redup lampu bus tentu semakin memikat hati keduanya!
Innalilahi wa innalilahi raaji’un.
Dunia, dunia…!
Aku benar-benar tidak habis mengerti. Sesungguhnya, apa arti kemuliaan
seorang laki-laki? Apa pula arti kemuliaan seorang wanita? Apa yang kusaksikan
malam ini adalah kenyataan tentang begitu mudahnya seorang wanita terjerat
rayuan cinta sederhana dari seorang laki-laki. Umumnya hal ini terjadi? Belum
ada setengah jam mereka berdua saling berkenalan. Tidak banyak percakapan yang
mereka lakukan sebelumnya, tetapi begitu mudahnya mereka bermesraan seperti
itu. Bisakah gadis itu disebut sebagai wanita mulia dalam hal cinta?
Aku menjadi teringat dengan sebuah ayat al-Qur’an yang telah
kuhafalkan;…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Sungguh, apa yang kusaksikan dalam bus ini adalah sepenggal kisah cinta
dari dua sejoli yang keji. Maha Benar Allah ketika dia mengatakan bahwa si keji
untuk sikeji. Kini, aku tahu kenapa seorang penjahat itu suka berkawan dengan
penjahat. Tidak lain dan tidak bukan karena watak penjahat cenderung mudah
diterima oleh watak penjahat yang lain.
Tetapi, apakah aku ini bukan seorang penjahat?
Masyaallah, sedari tadi aku telah memperhatikan mereka berdua. Apa hakku
untuk melihat mereka berdua. ? bukankah ini namanya zalim? Tak peduli apakah
perbuatan mereka itu benar atau salah, bukankah aku tidak bisa dibenarkan dan
patut untuk disalahkan sebab telah sekian lama mercuri pandang pada mereka
berdua?
Ya allah, ya tuhanku..
Jangan-jangan aku ini sedang iri sekaligus cemburu. Jangan-jangan
kemarahanku kepada mereka itu disebabkan karena aku bukan pemuda itu terhadap
gadis berjilbab putih bernama Ida itu. Jangan –jangan aku telah berubah seupama
orang yang berteriak-teriak anti korupsi ; dia berteriak sebab dia tidak memiliki
kesempatan untuk berbuat korupsi.
Apa salah mereka berdua kepadaku? Tidak adakan? Kenapa aku meneriaki
mereka keras-keras dalam hatiku? Kanapa aku harus marah melihat peerbuatan
mereka berdua? Pantaskah seorang Iqbal marah kepada dua orang yang tidak
menyakaiti perasaannya sendiri? Jika pun
mereka telah berbuat dosa --- dan memang perbuatan itu adalah dosa--- maka
bukan dosa itu adalah dosa terhadap Tuhan? Dan bukan terhadapku.
Aku mendesah. Kehembusan nafas kuat-kuat. Kudingakkan kepal. Kukerjapkan
matak. Lalu aku menatap lurus kedepan. Cahaya lampu bus hanya bisa menerangi
jalan beberapa meter saja. Garis –garis
putih tampak berjalan terbalik, walau aku tahu buslah yang berjalan
kedepan dan mencipta gambaran seakan-akan garis-garis putih itu yang berjalan
ke arahku dan menabrakku.
Pada detik yang sulit terduga, tiba-tiba aku ingat Aisyah. Aku teringat
tudingan para sahabat bahwa aku telah
berkhalawat dengan Aisyah, tudingan yang menjadi bagian hujjah yang mengadiliku sehingga aku harus
pergi meninggalkan tegal jadin.
Aduhai sendainya saja kang Rahmat, Rusli, Amin, Ihsan, dan para sahabat
yang lain sekarang ini ada dalam bus ini, akan kukatakan kepada meraka semua;
inilah sejati-jatinya khalawat itu. Inilah yang disebut khalawat itu. Ialah dua
insan ---laki-laki dan perempuan -------- yang berasyik-masyuk seperti
Yoga dan Ida itu. Inilah makna
“berdua-duaan yang diharamkan” itu, sehingga berdua-duaan yang diharamkan itu
tidak selalu harus berdua tanpa orang lain melihat mereka. Berdua-duan yang diharamkan
adalah berdua-duaan yang dimulai dari kata ” mau kemana “, “kuliah atau kerja” , “namanya
siapa” , “sudah punya pacar belum”,”inilah cinta”; lalu setelah itu
“tinju memukul pinggang”, kata “aduh” pura-pura, lalu “tangan berpegangan”, dan
akhirnya”kepala disandarkan”.
Apakah cinta harus seperti itu? Aduhai, betapa tipisnya hijab antara
cinta dan nafsu. Demi Allah, cinta yang terbesit di hatiku kepada Zaenab dan
Pricillia adalah cinta yang tidak dinodai nafsu. Aku mencintai mereka karena
cinta itu sendiri, bukan karena nafsu. Aku tidak bisa mejelaskan hakikat
cintaku, dan aku hanya bisa merasakan bahwa cintaku kepada mereka tumbuh
seiring dengan cintaku kepada Tuhanku.
Kepada-Mu, ya Allah, aku selalu memohon agar aku Engkau lindungi dari jeratan cinta
seperti Ida dan Yoga itu.
Bus terus berjalan. Kusapu sekeliling dan kutemukan para penumpang sudah
banyak yang tertidur. Sekali lagi, keperhatikan Ida dan Yoga dan ketemukan
mereka semakin rapat saja. Sungguh kasihan jilbab yang dikenakan gadis itu. Sungguh
kasihan.
Tanpa kusadari, mataku mulai menghangat basah oleh air mata. Aku menjadi
teringat kepada cintaku yang bernam Pricillia. Demi kehormatan jilbabnya, dia
rela untuk mendapatkan amuk dan siksa. Demi kehormatan jilbabnya, dia pergi
meninggalkan kedua orang tuanya. Demi kemuliaan jilbabnya, dia berlari
menyelamatkan diri ke pesantren.
Tetapi lihatlah gadis yang bernama Ida itu? Lihatlah dia. Betapa tidak
berharganya kain kerudung yang menutupi rambutnya itu. Malam ini aku menjadi
saksi betapa jilbab sama sekali tidak memiliki ruh bagi pemakainya. Malam ini
menjadi saksi betapa hinanya seorang yang bernama Ida. Ya Allah, seandainya
saja engkau akan menakdirkanku bersanding dengan Pricillia, bagiku itu
merupakan takdir yang seindah-indahnya. Semoga engkau menjauhkanku dari seorang
gadis yang tidak menghormati hak-Mu
seperti gadis bernama Ida!
3
Kasidah lisan
Kudengarkan tadi kondektur menyebut nama parakan. Dia memperingatkan
penumpang yang ingin turun di parakan untuk segera bersiap-siap, segera mendekati
pintu. Lampu neon yang sedari tadi dimatikan, sekarang dihidupkan oleh sopir
dan menganti nyala lampu bus yang redup. Kulihat jarum jam ditanganku menunjuk
angka setengah sepuluh.
Seorang penumpang yang duduk di bangku sebelah
kiri, yang sejajar dengan jok yang diduduki Ida dan Yoga, bersiap-siap untuk
turun. Kini saatnya telah tiba bagiku untuk bisa menghempaskan pantat. Jok itu
akan kosong dan penumpang yang lain tak ada yang mendudukkinya, sebab beberapa
penumpang yang tadi berdiri sepertiku tampak ingin turun di Parakan juga.
Ketika sampai dipertigaan parakan, bus berehenti
menurunkan penumpang. Dan alhamdulilah, kini aku bisa duduk. Aku baru berfikir
bahwa seharusnya dari tadi aku letakkan tas punggungku di atas situ. Tapi, tak
apalah. Kuletakan saja tas sekarang, di sana.
Berbarengan dengan aku duduk, kuberikan seulas
senyum kepada penumpang di sebelahku. Dia juga seorang pemuda sepertiku. Dia
membalas semyumku dan sedikit mengeser duduknya kearah jendela. Dia tampak
ramah, dan aku tidak bisa diam melihat pemuda yang ramah. Maka, kusapa dia,
“Mau kemana, bang?”
“Pulang ke Purwokerto. Mas sendiri?”
“Kenalkan,”kuulurkan tanganku,”saya Iqbal.”
Dia lalu menyebut namanya, Anton. “Mas ini dari
mana dan mau kemana?”
Aku diam. Aku tertegun. Aku baru ingat bahwa aku
seorang musafir yang berasal dari tempat yang jelas dan menuju ke tempat yang
tidak jelas. Mudah bagiku untuk menjawab dari mana aku, tetapi aku tidak bisa
menjawab mau kemana aku. Maka aku diam untuk beberapa lama.
“Mas, kok ngelamun? Ada yang dipikirkan?”
“Ah, nggak. Aku dari Sruweng, bang. Dan aku tidak
tahu mau kemana.”
Sesaat Anton memperhatikanku. Dia pasti
bertanya-tanya kenapa aku menjawab demikian itu.
“Memang
tujuan mas Iqbal ke mana?”
“Aku tidak bisa menjawab, bang…………”
“Bolehkah aku mengerjakan sembahyang dulu, bang.
Maaf, aku belum shalat.”
“Oouw, silahkan, silahkan………”
Bila taka da air untuk berwudlu, maka penganti
air adalah debu. Adakah debu disini? Bagaimana cara mendapatkan debu?
“Bang, menurut abang, kira-kira jok ini ada debunya
nggak ya?” aku menunjuk punggung jok yang ada didepanku.
“Yaahh, mungkin ada, mungkin tidak ada.”
“Maksud abang?”
“Ada dan tiada, apa bedanya sih?”
“Abang ini sedang berbicara apa?”
“Aku sedang merasa heran saja, heran dengan
anda.”
“Bisa dijelaskan?”
“Anda mau shalatkan? Berarti anda seorang muslim.
Anda tidak bisa mendapatkan air wudlu kan? Berarti harus tayamum. Anda tidak
tahu apakah jok ini berdebu atau tidak kan? Berarti anda ragu. Pertanyaanku,
bagaimana anda akan menghadap Tuhan dengan keadaan yang meragukan?”
Sejenak, kerenungkan kata-katanya.
Kutimang-timang dalam benakku. Dan aku memang mendapati diriku mulai merasa
ragu. Pertanyaan-pertanyaan pemuda itu benar. Artinya juga benar. Tidak mungkin
aku akan menghadap Allah dalam keadaan ragu. Dan aku benar-benar ragu. Ragu
untuk mendapatkan maghrib dan isyakku.
“Bagaimana menurut anda?” Anton bertanya kembali.
“Aku belum pernah berpikir seperti itu.” Jawabku
polos.
“lalu, akankah anda sembahyang?”
“Abang sendiri? Maaf, agama abang apa?” Anton tersenyum.
Dia tidak menjawab pertanyaanku.
“Abang sudah sembahyang, maaf?” kuulangi
pertanyaanku.
“Agamaku agama cinta, mas,”jawab Anton.
Aku bingung. Aku tidak mengerti. Dia menyebut
agamanya agama cinta. Apa maksudnya? Bila dipikir-pikir, pemuda ini sangat terpelajar. Dia mungkin seorag sarjana sehingga
kata-katanya membingungkan seperti ini.
Akhirnya aku bertanya, “Agama cinta itu agama
apa, bang?”
“Yang jelas, aku bukan seorang muslim. Aku bukan
seorang Kristen. Aku bukan seorang hindu. Aku bukan seorang budha. Memang, dulu
aku seorang muslim seperti mas Iqbal ini. Tetapi itu dulu. Sekarang agamaku
melampaui semua batasan itu. Agamaku adalah agama cinta.”
Melihat aku kaya kerbau yang hanya bisa melongo-longo, Anton kemudian
mengemukakan pendapat-pendapatnya. Katanya, seperti yang dikatakan oleh John D. Caputo, agama itu
‘ terlalu banyak makna dan terlalu majemuk. Caputro tidak sedang berkeluh –
kesah ketika ia mengatakan bahwa terlalu banyak yang perlu disebut dari agama
-----agama-agama Barat, agama-agama Timur, agama-agama Purba, agama-agama
Moderen, monoteistik,politeistik,dan malahan agama-agama yang sedikit atistik.
“Tetapi aku memang tengah dan telah berkeluh-kesah
karena agama. Kenapa ? sebab aku bukanlah Caputro, aku menyarankan anda membaca
bukunya juga, kalau anda mau. Karena itulah , agamaku-----kalau boleh juga
disebut agama------adalah agama cinta,”demikian Anton mengatakan kepadaku.
“Bagaimana pendapat anda?” Tanya kembali.
“Apa yang mesti aku katakana tentang pendapat abang?” tanyaku.
“Ya………pendapat anda tentang pendapatku?”
“Apakah abang sedang berpendapat atau sedang
berprinsip?”
“Itulah pendapat yang menjadi prinsipku.”
“Jadi agama abang adalah agama cinta?”
“Iya.”
“Jadi agama cinta yang mana?” tanyaku.
“Anda tidak bida berkata begitu. Agamaku bukan
agama apa pun yang telah aku katakan tadi. Agamaku diluar itu semua.agamaku
adalah agama cinta.”
“Jadi abang memiliki agama yang seperti itu sebab
keluh-kesah abang tentang agama-agama yang ada?”
“Yapp!”
“Dengan demikian, cinta sebagai agama abang itu
adalah cinta yang diluar semua cinta yang diajarkan oleh agama apa pun?”
“Harus memang demikian kan ?”
“Kalau begitu, cinta sebagai agama abang peluk
itu adalah cinta yang diluar agama? Kalau begitu, dasar cinta abang adalah
cinta yang bukan ajaran agama mana pun ? lalu cinta abang kepada siapa?”
“Tentu
saja kepada Tuhan yang aku pahami.”
“Kalau begituTuhan abang itu bukan Tuhan yang
dipahami oleh agama mana pun? Tuhan yang seperti apakah itu? Tuhan seperti
apakah yang mengajarkan ajaran di luar ajaran agama apa pun, sebab abang
menolak semua agama?”
Beruntung sekali aku sudah berkenalan dengan
Socrates, walaupun perkenalanku denganya merupakan perkenalan yang tidak
sengaja. Sengguh, aku tidak tahu sama sekali pikiran-pikiran Socrates. Tetapi
aku tahu satu hal tentangnya: dia selalu berhasil membungkam lawan-lawan
diskusinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan kepada lawan diskusinya
itu. Dia sendiri tidak membuta kesimpulan untuk lawan diskusinya. Yang dia
lakukan hanyalah membuatkan kesimpulan dari cara pandang lawan diskusinya
sendiri, lalu menunjukan dimana letak kekeliruannya.
Dan aku, untuk detik ini, bisa membungkam
perkataan pemuda yan duduk disebelahku. Aku senang. Aku merasa berhasil. Tadi
dia sempat membungkam melutku dengan perkataan-perkataannya. Sekarang, aku
bungkam mulutnya dengan lidahku.
Sejenak, kami diam dalam tafakur masing-masing.
Sejenak, kulirik kembali pemuda yang bernama Yoga dan gadis yang bernama Ida
tadi. Sejenak, mataku masih melihat kemesraan mereka berdua. Kedengar
bisik-bisik mereka berdua.
Bus melaju menderu-deru. Jalanan semakin lama
semakin menaik. Udara yang masuk di celah-celah kaca jendela terasa sangat
dingin.
“Giman
pendapat abang ?” giliran aku yang bertanya demikian.
“Pernahkah anda mendengar perkataan Shunryu
Suzuki?” dia justru balik bertanya.
“Siapa, bang? Saya baru mendengar namanya dari
abang. Setahu saya, Suzuki ya………..merk mobil dan sepeda motor……….”selorohku.
“Dia adalah seorang guru sejati. Penutur
kejernihan dan pelaku kebeningan. Dalam zen mind:beginner’s mind, ia pernah
berpetuah, when your practice is calm and ordinary, everyday life is
enlightrnment. Agamaku adalah agama yang memberikan ketenangan dan pencerahan
seperti itu. Sekarang, menurut anda, adakah perasaan tentang dan tercerahkan
pada diri anda pabila anda akan menyembah tuhan anda dalam keadaan rasa
ragu-ragu?”
“Bang , jika abang berada dalam situasi seperti
saya, akankah abang tidak merasa ragu?”
“Ooo, tentu………..”
“Aku kagum terhadap anda…..”
“Tetapi itu tidak menjawab pertanyaanku.”
“Mas Iqbal , sesungguhnya aku percaya bahwa
setiap agama itu baik dan benar. Hanya saja, walaupun setiap agama itu
demikian, belum tentu pemeluk –pemeluknya demikian. Apa yang aku lihat, apa
yang aku amati, dan yang aku dapatkan dari para pemeluk agama adalh fakta yang
sebaliknya dari ideal agama. Agama hanya di jadikan topeng, dijadikan alat,
dijadikan kendaraan untuk memenuhi nafsu-nafsu para pemeluknya.”
“Lantas, apakah karena hal yang demikian itu abang memilih agama cinta?”
“Apalagi? Dalam pandanganku, agama-agama yang
baik-baik dan benar-benar tersebut pada akhirnya menjadi kotor penuh debu dan
lumpur. Aku tidak mungkin beragama yang dipenuhi oleh hal yang demikian itu.
Jadi, seandainya saja agama-agama apa pun di dunia Ini tidak dikotori oleh
hal-hal yang demikian itu, tentu
kedamaian , keselamatan , kesdilan ,
kebaikan , dan kebenaran akan tegak terpancang di muka bumi ini. Tetapi
apa faktanya? Apa kenyataannya? Aku tidak berhasil menjumpai jejak-jejak makna
dalam agama-agama tersebut. Sebaliknya,yang
aku lihat dari banyak pemeluk agama adalah kebiasaan ketika hari yang
baru telah datang, yang mereka ingat hanya membangunkan badan, dan sedikit yang
ingat membangunkan jiwa. Setiap bulan baru berkunjung, banyak yang memegang kantong,
sedikit yang ingat memegang nurani. Setiap tahun baru datang, banyak yang bertanya,’ berapa umur saya
sekarang?’ sedikit yang bertanya,’ seberapa bijaksana saya sekarang?’ sungguh,
aku capek mas Iqbal, melihat fakta keberagamaan yang seperti ini. Tidak hanya
di Islamsaja---seperti agama mas----tetapi juga pada agama-agama yang lain. Aku
capek. Aku lelah. Aku ingin terbebas dari belenggu-belenggu agama yang telah
dinodai dan di kotori tersebut. Dan aku hanya menemukan satu hal, satu makna,
yakni cinta. Itulah agamaku.”
“Untuk hal-hal yang abang katakan tadi,” demikian
kataku,” banyak yang aku sepakati, bang. Sesungguhnya aku menjadi seperti
sekarang ini, bertemu dengan abang dalam bus pengap dan tua seperti ini, itu
karena cinta juga, bang. Hanya saja, aku sungguh tidak tahu, apakah cinta yang
aku rasakan adalah seperti cinta yang abang rasakan. Cinta yang bagaimanakah
yang abang ‘ peluk ‘ sebagai agama itu, bang?”
“cinta yang bagaimana? Tetu saja cinta yang tidak
dipenuhi nafsu-nafsu kotor!”
Seperti aku memahami ke mana arah bicara Anton
ini.
“Ya, nafsu………”demikian timpalku sembari setengah
berteriak. Aku yakin, kata-kataku-----dan juga kata-kata Anton yang
terakhir----cukup terdengar oleh banyak
penumpang, tak terkecuali dua sejoli tadi.
“jadi anda juga memperhatikan dua pasangan haram
itu?” Tanya Anton.”Itu tuch!”
“sebentar, mari kita luruskan bahwa abang tengah
mengunakan term agama ( Islam) ketika
menyebut kata’haram’ tadi……”
“Baik, aku akui.”
“Ya, sudah sedari tadi aku memperhatikanya.”
“Dan apakah hal tersebut dibenarkan oleh Islam?”
“Tidak. Tetapi abang tentu tahu bahwa abang tidak
bisa menyalahkan Islam akibat kesalahan pemeluknya.”
“Anda benar.”
“Dan bukankah dengan demikian abang pun tidak
bisa menyalahkan semua agama dengan mengatakan bahwa agama telah dinodai,
dikotori, dilumpuri, padahal yang mengotori , menodai, dan melumpuri itu
orang-orang yang beragama, lebih tepatnya sebagian kaum agama?”
“Iya.”
“Nah, bukankah ketenangan dan pencerahan seperti
yang dikatakan oleh Suzuki yang abang kutip tadi tidak harus kemudian ‘lari’
dan ‘meninggalkan’ agama untuk kemudian ‘mencipta’ agama baru?”
“Sekali lagi, anda juga benar.”
“Lalu kenapa abang memililki agama beru bernama
agama cinta?”
Anton diam. Tampaknya dia merenugi apa yang aku
katakana tadi.
Aku berkata, “Menurut buku yang pernah aku beli
dan aku baca nih bang, wayne dyr dalam your sacred self memiliki sebuah
‘mantra’ yang akan membuat manusia memasuki alam kebahagiiam secara lebih lama.
Mantra itu berbunyi,’ nothing ever goes wrong’:tidak ada satupun yang berjalan
keliru. Beda bunga teratai dengan rumput liar hanya dalam pikiran belaka. Tanpa
pemerkosaan pikiran menusia, semuanya sama baik, sama berguna, sama tingginya.
Apakah abang marah melihat sejoli di samping kita yang bermesraan ini?”
“O, iya. Apalagi anda sebagai sesama muslim kayak
perempuan itu. Anda seharusnya marah!”
“Kalau begitu, berarti pikiran abang masih
dipenuhi oleh belengu baik dan buruk. Lalu bagaimana abang akan merasa tenang
dan tercerahkan, walau abang tadi memeluk agama cinta? Maaf bang. Beberapa
menit yang lalu, ketika aku perhatikan mereka berdua, aku memiliki perasaan
seperti abang. Sekarang ini, aku menjadi sadar bahwa dua sejoli itu merupakan
tanda-tanga Allah yang diberikan kepadaku. Ada makna yang bisa aku ambil. Dosa
tidaknya mereka, bukan urusanku. Aku hanya melihat bahwa mereka adalah
insan-insan yang patut untuk disedihkan
dan didoakan, bukan dimarahi atau dicaci maki. Aku kira, abang dan aku
sama-sama sepekat bahwa cinta memberikan kelembutan pada hati pecinta. Dalam
kelembutan tiada kemarahan dan kejengkelan. Yang ada hanyalah cahaya kasih yang
menerangi hati. Cahaya kasih inilah yang akan memberikan kejernihan dalam kita melangkah.”
Aku berkata demikian itu kepada Anton sebab aku
berfikir bahwa dalam terang cahaya kejernihan, sebenarnya tidak ada
baik-buruk,benar-salah. Diatas keduanya, tersisa sebuah cahaya
mengagumkan;makna. Yang mengagumkan, makna tersembunyi di balik hal-hal yang
disebut manusia baik sekaligus buruk, benar sekaligus salah. Sehingga dibandingkan
sibuk memberikan judul baik buruk dan kemudian terperangkap didalamnya, mungkin
layak direnungkan untuk terfokus pada cahaya-cahaya makna.
Yang baik memberikan makna. Yang buruk memberikan
makna. Yang kejipun memberikan makna. Memberi energi negatif. Memberi
kegelapan. Memberi buta. Buta jiwanya. Jiwanya hanya terkotori oleh nafsu.
Pemuda yang duduk disampingku ini semakin diam.
Entahlah, apa yang sekarang ini ada dalam pikirannya.
“ Bang, bolehkah aku shalat sekarang?”
“Oh, apa? Oh iya, silahkan. Aku doakan anda tidak
mengalami keraguan.’
Apa yang dapat mengusir keraguan ? inilah hal
yang pertama yang harus aku jawab sebelum aku menyentuhkan kedua telapak
tanganku ke punggung jok didepanku. Jika hatiku telah meragu, bagaimana hati
akan mendapatkan keyakinan?
Aku tidak ingin mendapatkan jawaban dari
pertanyaan tersebut dari Anton. Setelah pembicaraan terakhir tadi, anton tampak
hanya diam saja. Diam saja. Diam saja. Aku tidak ingin menggangu keheningan
yang sedang dilewatinya itu. Mungkin dia sedang mentasbihkan agama cintanya.
Atau, barangkali dia sedang mentafakuri kata-kataku, kasidah lisanku.
Kupejamkan mata mencari kekuatan dan ketenangan
diri. Kuajak hati dan pikiranku untuk membantu mengusir keraguan ini. Sungguh,
adalah tidak mungkin aku akan menghadap Allah dalam keadaan yang ragu.
Tiba-tiba, kurasakan ada secercah cahaya yang
melintas dibenakku. Aku menjadi ingat dengan buku karangan Ibn Qayyim
al-Jauhziah (semoga buku itu dan
buku-buku yang lain bermanfaat berada di pesantren Tegal Jadin). Dikatakan oleh
Ibn Qayyim bahwa setiap penyakit itu ada obatnya. Perkataan yang sama juga aku
dapatkan dari Ibn Miskawaih dan Imam al-Ghazali. Obat dari penyakit itu adalah
lawan dari penyakit itu.
Dan kini aku menjadi sadar dan tercerahkan!
Obat keragu-raguan hanya satu, yakni keyakinan,
sebab yang namanya ragu selalu berlawanan dengan yakin. Jika aku ingin
keragu-raguan ini sirna, aku harus menyambut keyakina dalam hati dan pikiranku.
“Bang, maaf, sudah tidur ya?” terpaksa Anton aku
sapa kembali.
Dia menoleh.
Dia tersenyum. ‘Belum……..”jawabnya.
“Bolehkah aku menjawab pertanyaan abang tadi?”
“Pertanyaan yang mana?”
“Apakah aku ragu atau tidak untuk menghadap
Ilahi….”
“Apa jawaban anda?”
“Keraguanku sudah hilang, dan sekarang aku
memperoleh keyakinan. Obat ragu adalah yakin, bang!”
Sejenak, dalam temaram lampu bus ini, kulihat
Anton mengangguk-anggukkan kepala. Sejurus kemudian, dia pun bertanya,”Dari
mana datangnya keyakinan anda yang mengalahkan keraguan anda? Seberapa yakin
anda terhadap keyakinan tersebut?”
Aduuh, pemuda apa yang tengah duduk disampingku
ini? Pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan selalu berat untuk kujawab. Akhirnya,
terpaksa aku bertanya begini,”Maaf, bang. Abang ini seorang mahasiswa, pemikir,
atau apa?”
Anton tersenyum. Dia menjawab, “aku pernah kuliah, mas. Tapi tidak selesai.
Aku anggota MDO.”
“MDO itu apa?”
“Mahasiswa Drop Out……..”
Aku tertawa lirih.”kalau begitu, nasib kita sama,
bang. Aku men-drop out-kan diri aku sendiri. He……. He…..he.”
“aku kagum terhadap mas, sebab mas memiliki
pikiran-pikian yang jernih.”
“aku juga mengagumi abang sebab abang
memiliki prinsip yang bening.”
“lalu, dari mana datangnya keyakinan anda yag
mengalahkan keraguan anda? Seberapa yakin anda terhadap keyakinan tersebut?”
“subhanallah, aku tidak tahu, bang. Aku hanya
tahu bahwa Allah itu maha bijaksana. Dengan kebijaksanaannya, dia tentu akan
memaafkanku pabila aku mengerjakan shalat dengan penyucian diri berupa tayamum
yang tidak jelas, apakah aku benar-benar menggunakan debu atau tidak. Emang bus
ini sampai Purwokerto jam berapa, bang?”
“Emang kenapa?”
“Iya……….siapa tahu aku bisa menjalankan
sembahyang maghrib dan isya disana……”
“Anda terlambat pabila menunggu sampai
Purwokerto. Bus ini, dengan jalannya yang lenggak-lenggok kayak perempuan tua
ini, bisa jadi baru akan sampai di Purwokerto pukul tiga nanti. Apakah shalat
maghrib dan isya bisa dilakukan pada pukul tiga dini hari? Aku kira tidak,
mas.”
“Nah, itulah. Aku yakin Allah akan memaafkanku
pabila aku keliru menjalankan shalat maghrib dan isya di bus ini dengan
penyucian diri berupa tayamum. Sekarang, aku tambah tidak ragu lagi, bang. Aku
yakin aku harus segera shalat!”
Kulipat lengan baju panjangku sampai di atas
siku. Kuucapkan basmalah. Kuucapkan niat menyucikan diri dengan tayamum; nawaitu
at-tayamumma li rafi al-hadatsi al-asyghari qurbatab ila Allah. Aku jejakkan
kedua telapak tanganku di atas punggung jok. Lalu kuusap wajahku dengan kudua
telapak tanganku. Setelah itu, kuusap kedua lenganku……..Allahu ya,rabbi,
ijinkan aku menghadap-mu.
Kuucapkan niat mengerjakan shalat maghrib secara
qadha. Kuhadapkan diriku seluruhnya dan seutuh-utuhnya kepada illahi.
Kupasrahkan nasibku kepadanya. Ku mohon kepadanya. Kuberzikir kepadanya.
Dan kudapati bahwa jasadkku ada di dalam bus ini,
tetapi ruhku terbang melayang-layang menembus cakrawala, melintasi bintang,
meteor dan galaksi. Keterus terbang tinggi, menembus langit kesatu, melesat
langit ketujuh. Sekarang, aku hanya mendapati diriku dalam keheningan yang
sunyi. Aku mendengar detak-detak jantungku sendiri. Aku mendengar hembusan
nafasku sendiri. Aku mendengar suara-suara yang dinyanyikan oleh hatiku
sendiri. Dan aku bahkan dapat melihat diriku sendiri.
Aku melihat diriku hanyalah seorang manusia yang
penuh dengan dosa dan kesalahan. Dosa dan kesalahan tersebut menjelema menjadi
rupa-rupa buruk dan mengerikan. Rupa buruk itu adalah aku. Aku menangis. Aku
merintih. Aku terisak. Aku pedih.
Aku memohon kepada raab-ku di keheningan dan
dalam busana kesunyian agar dia berkenan menghapus dosa dan kesalahanku. Selama
ini aku sudah banyak terlena dengan menisnya kehidupan, hingga lupa akan
lezatnya hidangan akhirat. Kupejamkan mata saat ini. Kudapati air mataku
mengalir dikedua pipikku.
Aku teringat akan kedua orang tuaku. Dan aku
lebih teringat akan dosa dan kesalahan yang telah kuperbuat kepada kedua orang
tuaku. Kedua tanganku ini, tangan ini……….innalillah wa inna ilaihi
raaji’un………..telah demikian kejam mendorong tubuh ibuku, dan menyebabkan ia
jatuh dan terbentur kepalanya. Kedua
tangan ini telah berlumuran darah, duh tuhanku. Kedua tangan ini telah melukai
tubuh ibu, melukai hati dan perasaan ibu. Aduhai, Allahku, kumohon kepadamu
ampunilah dosa dan kesalahanku kepada ibu. Dan ampunilah dosa dan kesalahan ibu
sebagaimana aku juga memohon kepadamu agar engkau sudi mengampuni dosa dan
kesalahan ayaku. Juga dosa dan kesalahan para penempuh jalan mendekatimu,
melaksanakan kebenaranmu.
Aku teringat waktu, waktu yang telah kulewati
dengan sepenuh kesia-siaan. Waktu yang telah kumiliki tanpa cukup memberi arti bagi
kehidupan. Waktu di man dia menjadi saksi akan nestapa hati yang kumiliki.
Aku menyesal kepadamu, duh Ilahi………
Aku tidak ingin turun ke bumi-Mu, sebab aku takut
bumi-Mu akan menelanku dalam dosa dan kesalahan yang sama. Aku ingin disini,
bersama-Mu, walau aku tidak bias melihat diri-Mu. Setiap kali aku berjumpa
dengan Mu, aku hanya yakin bahwa engkau ada, engkau melihatku, engkau mengerti
gerak-gerikku, engkau mengerti bisikan-bisikan lembut dan halus dalam dadaku.
Engkau maha hebat, dan kehebatan Mu diatas segala
kehebatan makhluk-Mu. Engkau maha
perkasa, dan kepekasaan-Mu melampaui batas-batas keperkasaan makhluk-Mu. Di
hadapan Mu, engkau tinggikan derajat para hamba-hamba Mu.
Tinggikan derajatku, ya Allah. Jadikan aku
sebagai bagian dari hamba-hamba yang mencintai Mu. Jadikan cintaku kepadamu
sebaik-baiknya cinta. Jadikan rindukku kepada Mu seindah-indahnya rindu.
Jadikan cinta dan rinduku kepada Mu sebagai kelezatan dalam hidupku.
4
Nyanyian-nyanyian
cinta
Entah untuk waktu yang berapa lama aku tenggelam dalam
shalatku. Kalau bukan karena suara-suara penumpang yang rebut, di antara mereka
ada yang betuk-betuk bertalu-talu, dan kalau bukan karena bau bensin terbakar
dan bau mesin yang menusuk hidungku, mungkin aku akan menghabiskan waktu tanpa
menyadari di mana sekarang ini aku tengah duduk.
“Mas, mari kita turun,”ajak Anton.
“ada apa, bang?”
“mobilnya mogok.”
“mogok?
“mobil tua. Ayo turun!”
Anton dan aku serta para penumpang yang lain pun
turun.
“kita di mana, bang?” tanyaku setelah berada
diluar bus.
“Di Banjarnegara.”
“Banjarnegara?”
“Ooooh………
“Ayo kita duduk-duduk dulu sambil menunggu bus
yang akan segera diperbaiki.”
“Mari, bang.”
Aku dan Anton melihat sekeliling. Kudapati para
penumpang yang lain bergerombol. Ketika aku dan Anton melewati mereka,
kudengarkan kata-kata cemas dan syukur yang dilontarkan mereka. Katanya, untung mereka bias segera
keluar. Kalau tidak, entahlah, mungkin bus bias meledak.
“Memang separah itu, bang?” tanyaku kepada Anton,
tepat ketika kami sampai di tempat duduk yang kami tuju.
“Iya, mas,” jawab Anton. Ia duduk di sebelah
kananku.”Bolehkah aku Tanya sesuatu kepadamu, mas?
“Apa?”
“Emang mas Iqbal tadi tidak menyadari apa yang
telah terjadi?”
Anton kemudian cerita, “ sejak keluar dari kota
Wonosobo tadi, tanda-tanda bus akan mogok telah terlihat. Bau bensin yang
terbakar, bau gesekan ban bus, dan bau bensin yang masuk ke dalam bus membuat
kami merasa cemas. Aku sendiri merasa khawatir jangan-jangan mesin bus terlalu
panas dan bus akan terbakar. Tepat ketika bus tadi melintasi lampu merah di
dekat terminal, mesin mati.”
“Jadi begitu….” Kataku.
“Makanya aku heran kenapa mas Iqbal tidak
menyadari hal ini. Aku benar-benar heran. Mas membuat aku terlalu kagum kepada
mas. Hampir satu jam lebih mas tegelam dalam shalat yang mas kerjakan. Sungguh,
demi Tuhan, aku baru melihat seorang muslim seperti mas. Aku menjadi teringat
kisah tetang bagaimana sahabat dan menantu Rasulullah Muhammad saw, Ali bin Abi
Thalib, yang tidak merasakan perihnya tusukan pedang Abdullah bin Muljam di
saat Ali bersembahyang. Sungguh, aku kagum kepada mas.”
“Jangan berkata begitu, ya akhi. Akupun mengagumi
abang dengan sepenuh hati. Atas dasar makrifat abang terhadap cara keberagamaan
manusia yang abang lihat, abang menemukan betapa agama telah dikotori dan
dilumuri oleh perilaku beragama yang justru menunjukan anti cinta. Karena hal
itu, abang memilih agama cinta. Sangat penting bagiku untuk belajar tentang
cinta kepada abang.”
“Apakah mas Iqbal ini selalu demikian rendah
hati?”
Aku tersenyum.”Jangan begitu……..”kataku.
“Oh, iya, sejak kita berkenalan, aku belum tahu
siapa sesungguhnya mas Iqbal ini. Ke mana dan untuk apa mas Iqbal mengadakan
perjalanan di malamini?”
Aku mendesah. Kutatap sekeliling. Kudapati para
penumpang masih bergerombol-gerombol. Di sana, di bawah pohon beringin, yang
namanya Ida dan Yoga duduk berdua-duaan.
“Bang, lihat Ida dan Yoga itu,”kataku.
“Mana?”
“Itu tuch, du bawah beringin.”
Anton tersenyum. Senyum getir. Senyum sedih.
“Begitulah dunia cinta,mas,”kata Anton
kemudian.”cinta dapat membuat para pecinta dimabuk kepayang. Cinta dapat
membuat pecinta lupa diri dan lupa daratan. Cinta telah mengaburkan batas-batas
etika,moralitas, dan norma-norma agama. Benarkah apa yang aku katakan ini,
mas?”
“Yaahh, mungkin saja.”
“Mas Iqbal pernah jatuh cinta.”
Dan aku tersenyum mendengar perkataanya. Sesaat,
pikiranku melayang ke Tegal Jadin dan mendarat di wajah Zaenab dan Pricillia.
Kalau kemudian, “Abang sendiri?”
“aku tidak menolak cinta. Aku hanya tidak tahu
kapan akan merangkai benag-benang cinta.”
“Di dunia ini,”kataku,” ada dua gadis yang sedang
aku cintai, bang.”
“Dua gadis?”
“Ya.”
“Dua gadis menjadi pacar Iqbal?”
“Bukan pacar. Apa sich pacar itu? Tidak ada dalam
kamus hidupku. Aku mencintai mereka karena cinta itu sendiri.”
“Maksud mas?”
“Cinta telah meminta hati, pikiran, dan
perasaanku. Cinta memintaku untuk sesaat, maksudku selama tiga tahun,
meninggalkan kekasih. Cinta memintaku untuk mengadakan perjalanan seperti ini.
Cintaku kepada mereka, mudah-mudahan, tidak seperti cinta dua sejoli itu.”
“Apakah mas Iqbal menjalin cinta untuk
menikahinya?”
“Insyaallah, jika Allah SWT mengijinkan tidak?”
“Wallahu a’lam….”
“Mas mau mempraktikkan poligami?”
“Wallahu a’lam ………. Aku hanya menjalani takdirku
aja, bang. Cintaku mungkin terlalu aneh bagi pikiran – pikiran modern. Aku
mencintai dua gadis, tetapi aku tidak tahu persis apakah dua gadis itu juga
mencintaiku. Dan seandainya saja mereka tidak mencintaiku, aku tetap akan
mencintai mereka sebab mereka pantas untuk dicintai. Cintaku tumbuh seiring niat
dan kehendakku untuk menjadi orang yang baik, bang. Aku memiliki masa lalu yang
kelam. Masa lalu yang penuh kengerian.”
Akhirnya, mau tidak mau, aku pun berkisah tentang
siapakah aku. Aku berkisah bagaimana masa-masa kecilku, masa-masa ketika aku
masih tenggelam dalam lumpur dosa dan kemaksiatan. Aku berkisah tentang
kesenanganku terhadap bunga-bunga. Aku berkisah tentang kejahatanku kepada
ibunda. Aku berkisah tentang keinginanku untuk menimba ilmu di pesantren. Aku
berkisah bahwa selama dua bulan di pesntren aku tidak menimba ilmu, tetapi
justru menimba air. Aku berkisah bahwa aku sebelumnya tidak bisa membaca
al-Qur’an, tidak bisa wudlu, tidak bisa shalat. Aku berkisah bagaimana aku
terus-menerus belajar agama, dan waktu belajar tersebut justru tidak berada di
pesantren, melainkan berada digubuk tua milik janda miskin. Aku berkisah
tentang Bu Jamilah beserta putra-putrinya di mana mereka hidup dalam kemiskinan
harta, tetapi memiliki kekayaan hati. Aku berkisah tentang kesukaanku terhadap
buku-buku yang telah aku baca itu. Dan aku berkisah bagaimana aku bisa ‘diusir’
dari pesantren oleh sebab perbedaan pemahamanku terhadap agama yang aku peluk
ini dibandingkan dengan pemahaman sahabat-sahabat santri.
Dan alhamdulilah, aku berkisah bahwa Allah telah
memberikan hidayah kepadaku. Akhirnya, aku berharap bahwa dia akan menunjukan
jalan yang lurus yang bisa aku tempuh; sebuah jalan yang akan mengantarkan
kepadaNya.
“Luar biasa, mas Iqbal ini! Sunggguh, belum
pernah aku menemukan pemuda seperti mas. Aduhai, seandainya saja para pemeluk
agama memiliki kepribadian seperti mas, betapa indahnya agama-agama itu. Betapa
indahnya keragaman agama. Menurutku, mas adalah contoh bagaimana seorang
pemeluk agama yang baik!”
“Aku juga berharap, andaikan pemeluk-pemeluk
agama memiliki nalar kritis seperti abang, tentu energi dan kekuatan agama
benar-benar tampak di muka bumi ini.”
Sejenak, kami terdiam. Angina malam berhembus
agak kencang. Di atas sana, langit demikian cerah. Bulan bersinar demikian
indah. Bintang-gemintang berkelap-kelip laksana kerdipan mata bidadari.
Awan-awan putih berarak-arak seumpama lembut dan menari-nari.
Aku melihat, empat orang pemuda berjalan dari
arah barat. Dua diantaranya membawa gitar. Mereka mendendangkan lagu-lagu yang,
ah……….tidak jelas aku dengar. Sesaat kemudian, mereka berjalan melintas di
depan aku dan Anton duduk. Dua orang melirik kami. Yang dua orang lagi
menghisap rokok. Mereka berjalan.
Mereka mendekati Ida dan Yoga. Lalu mereka
duduk di sebelah Ida dan Yoga.
Mereka tampak bertanya jawab dengan dua sejoli
itu. Aku dan Anton terus memperhatikan. Aku membaca wajah Ida tampak ketakutan;
wajah Yoga tampak cemas. Walaupun aku tidak mengenal Ida dan Yoga, dan walupun
mereka telah berasyik-masyuk dalam cinta yang rendah seperti yang tadi telah
aku saksikan, aku tidak bisa menerima andaikam saja keempat pemuda itu
mengganggu mereka. Aku bersiap-siap.
Kutunggu semenit, dua menit, lima menit……..
Tetapi tidak terjadi apa-apa.
Akhirnya,dengan alas an entah, Ida dan Yoga pergi
menjauh dari keempat pemuda itu. Aku bersyukur bahwa aku tidak perlu
bersiap-siap.
***
“mas Iqbal suka music?” Anton bertanya.
“Ya, sedikit-sedikit.”
“Jenis music apa yang mas sukai? Rock? Pop?campur
sari?keroncong?seriosa?kasidah padang pasir?”
“Insyaallah aku belum terlalu tua untuk mencintai
keroncong atau seriosa, bang. Kasidah padang pasir jarang aku dengarkan. Paling-paling, aku suka
pop atau rock.”
“Ada penyanyi yang mas sukai?”
“biasa aja, mas. Aku suka kelompok music dewa,
peterpen,dan ungu. Lagu andai kutahunya ungu demikian memikat. Laskar cintanya
dewa juga asyik untuk didengarkan.”
“Menurut mas, mendengarkan music itu haram
tidak?”
“Aduh bagaimana ya? Setahuku, dalam Islam ada
persengketaan mengenai masalah ini dan aku tidak ingin terlibat dalam
persengketaan itu. Aku justru bertanya, apa salah music sehingga dia
diharamkan? Kalau ada musik yang diharamkan, lalu dengan alasan apa ada music
yang dihalalkan?”
“Mas lebih tahu dariku.”
“Aku mendengarkan music jika memang music
itu layak dan enak untuk didengarkan.
Aku kira aneh pabila membayangkan kita akan menyalahkan jenis music tertentu
dan membenarkan jenis yang lain”
“tetapi karena musiklah terjadi
kekacauan-kekacauan, mas? Coba bayangkan, berapa ABG yang mati gara-gara
menonton dan mendengarkan konser music. Yang begini ini, apakah tidak haram
tuch?”
“Aku kira, ada dua hal yang berbeda di sini,
bang. Satu, music; yang satunya, penikmat music. Jika ada yang berkelahi atau
ada yang tewas karena musik, berarti ini berkaitan dengan penikmat music, bukan
musiknya itu sendiri. Jadi, yang salah adalah cara menikmati musiknya itu,
bukan musiknya.”
“Tetapi, bukankah karena adanya music tadilah
yang menyebabkan adanya kekacauan?”
“Adanya manusia juga menimbulkan adanya kekacauan, konflik, perang. Lalu
salahkah Tuhan menciptakan manusia,bang? Apakah abang akan berpikir bahwa
supaya tidak terjadi kekacauan, konflik, dan perang, maka lebih baik manusia
ditiadakan saja, sebagai lawan dari keadaanya?”
***
Sejam telah berlalu. Dan taka da tanda-tandanya
bus bisa diperbaiki. Kulihat kondektur sejak beberapa menit yang lalu sudah
menggerundel terus, memaki-maki dirinya sendiri yang tidak sanggup memperbaiki
mesin bus. Sopir pun demikian. Dari tadi dia hanya lebih banyak merokok dan
diam saja. Dan keneknya pun hanya bisa bersumpah-serapah saja.
Para penumpang sudah mulai cemas. Kuhitung berapa
jumlah penumpang yang masih tersisa. Ada 13 orang. Enam perempuan. Tujuh
laki-laki. Dua diantaranya aku dan anton. Dua diantaranya lagi Ida dan Yoga.
“kalau begini terus, bisa-bisa kita nunggu bus
berikutnya, mas,” kata Anton memecah kebisuan.
“Ya bagaimana lagi bang,”timpalku.”jam berapa
lagi bus akan lewat?”
Anton melihat jam. Aku pun melihat arlojiku. Jarum jam menunjuk angka setengah
satu pagi;
“Mungkin setengah jam lagi.”
“Bukan waktu yang lama.”
“Mas tidak mengantuk/”
“Tidak.”
“Aku juga tidak.”
“Tetapi lihat beberapa penumpang itu. Kasihan
sekali ibu-ibu itu. Dari tadi aku perhatikan dia tertidur dalam duduknya.”
Yang dikatakan Anton ternyata benar. Kondektur
dan kenek menyerah. Sopir pun menyerah. Mereka meminta maaf kepada kami, para
penumpang, bahwa bus tidak bisa dijalankan. Mesin rusak. Para penumpang di
mohon sabar untuk menunggu kedatangan bus lainnya.
“Tidak memakan waktu yang lama. Bus akan segera
lewat. Tenag saja. Sabar saja sedikit yang ngantuk bisa tidur sebentar. Yang
tidak ngantuk bisa bercakap-cakap dulu.
Yang mendapatkan pacar baru silahkan saja nikmati malam di alun-alun
Banjarnegara sambil menunggu bus selanjutnya. Yanh mau beli kopi, itu ada
penjual kopi. Yang mau gorengan juga ada. Yang mau merokok, ke sini, mendekat,
tetapi bawa rokok sendiri-sendiri,”
demikian kata-kata sopir kepada kami. Ucapannya ramah. Nadanya santun. Mau
tidak mau, para pemupang sedikit terobati rasa gelisahnya. Minimal, aku sendiri
merasa terhibur karenanya.
***
Tidak ada yang bisa kami, para penumpang,
lakukan, kecuali menunggu waktu, yakni waktu kedatangan bus yang akan membawa
kami ke Purwokerto. Para penjual gorengan dan minuman, satu per satu segera
menutup dagangannya. Waktu sudah terlalu malam untuk terus menerus menjajakan
gorengan. Lagi pula, tampaknya sia-sia belaka pabila terus menjajakan gorengn
sedangkan orang-orang kota sudah pada tidur. Kota Banjar ini, aku pikir adalah kota kecil. Kota yang harus
terlelap ketika larut mulai menyelinap.
Terlihat, tinggal satu pedagang yang masi membuka
dagangannya. Dia berada di pojok alun-alun barat. Kulihat dia telah menguap
terus. Di depannya seorang tukang becak mengecap kopi dengan begitu nikmatnya,
membuatku tergoda pula untuk meneguknya. Pedagang dan tukang becak itu
kedua-duanya telah uzur. Waktu melibas umur. Tentu,demi bisa mencukupi
kebutuhan keluargalah pabila mereka rela sedikit tidur.
Ya, Allah……….
Andaikan engkau menerangi setiap hati manusia
akan kebijakan dan ilmu, tentu kesulitan hidup tidak akan berubah kerusakan
kalbu. Andaikan para pengusaha, pejabat, orang-orang kaya, dan konglomerat sudi
berjalan-jalan di alun-alun ini, dan mereka sudi membuka hati untuk melihat
jerih-payah para pedagang dalam mempertahankan kehidupannya dan kehidupan
keluarganya, tentu mereka akamn merasakan betapa wajah hidup itu tidaklah sama.
Betapa orang-orang miskin dan serba kekurangan tidak dicipta untuk menjadi lebih
miskin dan lebih kurang lagi. Andaikan orang-orang kaya suka bershodaqoh suka
berderma, tentu mereka akan semakun kaya2 dan tentu derma atau shodaqohnya
sangat bermanfaat bagi kehidupan kaum miskin dan papa. Tentu ragam wajah
kehidupan justru menjadi pesona bagi kehidupan itu sendiri. Yang kaya tidak
akan merasa dirinya kaya sehingga mereka dijauhkan dari kesombongan,
keserakahan, dan kerakusan; sedang yang miskin tidak tenggelam dalam duka
nertapa.
Oh,
dunia……….
Aku melihat
simfonimu……..
Astagfirullah
Rabb
al-barayaa
Astaghfirullah
Minal-khotoyaa
Rabbi
zidniy
‘ilm
an-naafi’aa
Wa wafiqniy
‘amalan
shaliha
Ya, Allah
Gusti
Nyuwun
pangapunten
Dosane
kawulo
Dalu lan
rinten……….
Kudengar dendang mengiris kalbu seperti itu. Kudengar gitar yang
dipetik dengan baik dan lisan-lisan yang menyanyikan lagi istighfar itu.
Kudengar dengan hati, pikiran, dan perasaanku.
Bergetarlah hatiku. Merindinglah kulit-kulitki.
Kumendengar senandung itu dinyanyikan oleh para pemuda yang tadi duduk di dekat
Ida dan Yoga. Kulihat mereka. Kunikmati alunan musik meraka.
Tepat setengah jam baru lebih sedikit, bus yang
ditunggu-tunggu pun dating jua. Anton segera berdiri.
“Ayo, mas, tuh bus telah dating………”
Tetapi aku berat untuk berdiri.
“Mas…”panggil Anton lagi.
Dan aku masih berat untuk berdiri.
“Mas………, mas Iqbal!”
Tetapi
hatiku tengah terpaut pada nyanyian cinta yang didendangkan oleh para
pemuda itu. Akhirnya aku berkata kepada Anton,”abang berangkat duli aja.”
“Looohhhh……..”
“Saya mau disini aja.”
“Di sini?”
“Iya.”
Kondektur bus yang baru tiba memanggil-manggil
para penumpang.
Anton gelisah. Katanya,” aduh, gimana ya?
Sungguh, bertemu dan berbincang-bincang dengan mas adalah nikmat yang indah.
Dengan sepenuh hati aku katakana bahwa aku harus banyak belajar dari mas Iqbal.
Tetapi, mau bagaimana lagi? Bolehkah aku minta nomor mas?”
“081327694333. Nomor abang sendiri?”
“08179408708. Baiklah, mas. Insyaallah, aku akan
menghubungi mas. Tolong beri aku kabar yang indah tentang mas, minimal SMS
–lah.”
“Insyaallah.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Sejenak aku tertegun.
Tadi, di sepanjang perjalanan, ketika aku
berbincang-bincang dengan Anton, dia menyatakan bahwa agamanya adalah agama
cinta. Agama cinta menurutnya adalah agama yang bukan agama Islam, bukan agama
Kristen, bukan agama hindu, bukan agama budha. Tapi, kenapa dia berucap dengan simbol-simbol
Islam seperti itu ya? Kenapa ya?
Ah, sudahlah………
Semoga saja dia memiliki heti bersih. Semoga
ucapan Islaminya itu tidak hanya keluar dari lidahnya saja. Semoga Allah
menujukkannya jalan yang benar dan lurus.
***
Lalu istigfar kudengar lagi. Dinyanyikan dengan
suara yang lebih merdu lagi. Bus telah berangkat. Satu pun pedagang sudah tidak
ada lagi. Kini, yang ada hanyalah malam yang sunyi, angin yang berhembus, alun-alunan yang sepi, aku, dan keempat
pemudi tadi. Rembulan telah bergeser ke ufuk barat. Bintang-bintang masih indah
bertaburan.
Tiba-tiba, sebuah kekuatan menarikku untuk
mendekati keempat pemuda itu. Aku pun melangkah pelan menuju mereka. Kutenteng
tas dengan tangan kananku.
Setelah dekat dengan mereka, kusapa mereka dengan
ramah,”assalamu’alaikum”
Di antara mereka ada yang menjawab, walau bukan
jawaban yang sempurna,”Aliykumsalam..”
“Bolehkah saya duduk di sini, bang?”
“Oh, boleh. Ini alun-alun, santai saja.”
Aku pun duduk. Segera kuperkenalkan diri. Dibalas
dengan perkenalan mereka.
“Aku Parno,” kata pemuda yang duduk persis di
sampingku.
“kenalin,surya,” kata pemuda di sebelahnya.
“Hek…….hek…..aku firman,” kata pemuda yang
ketiga.
“Aku Patmo,”kata pemuda yang terakhir.
Sungguh, demi Allah, aku mencium bau minuman
keras. Tampaknya, para pemuda itu habis menenguk minuman keras. Lihatlah Firman
itu, bahkan dia masih teler begitu. Aku tahu bahwa ini bau minuman keras, sebab
aku punya pengalaman mabuk, dulu.
Dan ketika kucecap bau rokok yang dihisap mereka,
aku tahu bahwa mereka menghisap linthingan ganja. Aku juga tahu bahwa bau asap
rokok ini adalah ganja, sebab aku biasa juga menghisapnya, dulu.
“Mas Iqbal ini mau ke mana?” Tanya Parno.
Sejenak keberpikir. Secepat kilat kumenjawab,
“saya tidak kemana-mana. Saya tengah mengadakan perjalanan tanpa tujuan dan
kejelasan.”
“kok bisa begitu?” firman bertanya dalam
nada-nada mabuknya.
“Iya, begitulah.”
“Bisa nyanyi?” ini pertanyaan surya.
“Tadi, saya mendengar suara merdu. Siapa yang
menyanyi?” tanyaku.
“Surya,” jawab Parno dan Patmo.
“Iya……..suara surya bagus……..bagus sekali. He……….
He…..hk, hk……..coba ulangi lagi, ya astgh….firul……..lah. gimana nyanyinya?
Dalu…..lan …rintan………ya, dulu. Hek….hk…..”
Surya pun menyanyi lagi, diiringi petikan
gitarnya dan gitar parno. Firman mengangguk-angguk. Semakin kencang mengangguk.
Semakin teler. Dan kemudian terhempas.
Dan aku hanya duduk. Mendengarkan musiknya.
Mendengarkan nyanyiannya. Dan hatiku bertanya kepada pikiranku, pengalaman apa
lagi yang tengah aku saksikan ini?
Demi
Allah, tadi ketika aku masih duduk di sana,
di sanalah hatiku bergetar sebab mendengrkan nyanyian cinta kepada sang
Ilahi,
yang diperdengarkan oleh para pemuda ini. Hatiku bergetar dan
berdebar-debar
sebab merenungi dan mendapati diriku berada di tengah malam yang dingin,
di
bibir alun-alun, ditengah kesucian, dan dipecah keheningan ini dengan
nyanyian
hati. Nyanyian cinta. Nyanyian yang menyenandungkan pertobatan dan
pengampunan
diri kepada Ilahi. Telah kuhafal ayat al-Qur’an yang
memfirmankan:……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Para pemuda ini memang tidak sedang membaca
al-Qur’an. Memang tidak sedang menjalankan shalat. Mereka hanya nyanyi. Mereka
menyanyi di keheningan malam. Mereka menyanyi lagu rindu, cinta, pertobatan,
dan pengampunan. Nyanyi seperti inilah yang tadi telah membuat diriku bergetar,
kulit-kulitku merinding, dan jantungku berdebar-debar.
Tetapi sekarang?
Oh , dunia…….
Jawablah, apa arti syair-syair indah dan suci
yang desenandungkan dari mulut-mulut berbau alcohol? Apa arti nyanyian
pertobatan yang disenandungkan dari mulut yang dialiri minuman keras? Adakah keindahan
yang didapat dari keadaan yang mabuk?
Subhanallahm memandang keempat pemuda ini, aku
menjadi ingat dengan Jakarta di malam itu. Di saat aku tengah melintas si gang
sempit di bilangan kramat pulom, senen. Saat itu, aku pu tengah dalam keadaan
antara sadar dan tidak karena miras.aku berjalan melintasi sekumpulan muda-mudi
yang tengah main kartu. Aku pun melintasi tiga orang pemuda yang tengah mabuk
seperti diriku. Tetapi di dekatku, di dekat mereka, dari arah yang sangat
dekat, kudengar alunan-alunan kalam suci yang berasal dari menara masjid. Kalam
al-Qur’an mengalun, dan aku mabuk. Kalam suci terdengar, dan para pemuda-pemudi
itu tenggelam dalam judi dan minuman-minuman keras. Sungguh, betapa dekatnya
jarak antara suara Ilahi dengan perbuatan dosa dan maksiat. Sungguh, taka da
harganya, taka da pengaruhnya, tak ada gunanya kalam-kalam suci itu
didendangkan di sini, sebab pabila ia berpengaruh, ia berguna, dan ia berharga,
tentu para muda-mudi ini tidak main judi dan sebagiannya mabuk-mabukan seperti
itu.
Dan sekarang, di saat aku telah meninggalkan mabuk-mabukan,
di saat aku telah menjauhkan diri dari narkoba dan ganja, di saat aku tengah
mengadakan perjalanan dalam penantian cintaku, aku bertemu dengan para pemuda
dalam keadaan berbeda dan tentang hal yang sama.
“Mas , coba nyanyikan sebuah lagu, dong.”
Aku tergagap. Karena aku sibuk dengan pikiranku
sendiri, aku tidak menyadari bahwa surya telah selasai menyanyi.
“Mas…….ah, mas suka melamun ya?” Tanya Parno.
“Oh, apa? Ah , nggak…..nggak. nyanyi apa?
“Seperti tadi. Seperti aku nyanyi tadi.”
“Iya …………., mas. Nyanyi dong. Mas punya uang
nggak? Bertanya Firman kepadaku.
“Huss, jangan begitu, man !”seru Parno.
“Alaah……….,nggak apa-apa kan? Biasanya juga
begitu!” jawab firman .
“Tapi lihat –lihat dulu dong kalau mau malak!”
“Ah, nggak apa-apa……”kataku. “ bang firman mau
minta uang berapa?”
“Berapa sajalah…….habis nich minuman……….”
“Nggak usah diberi , mas, “ kata Parno.
“Kalau nggak mau ngasih, pergi aja dari sini!”
teriak firman.
Sesaat, timbul ketegangan antara meraka sendiri.
Firman berteriak-teriak kepadaku meminta uang. Parno sibuk memintaku untuk
tidak memberinya. Parno mendorong tubuh Firman hingga terjungkal. Dan surya
terus memetik gitarnya.
Aku menjadi bingung sendiri.
“Gini aja dech, “ demikian akhirnya aku barkata,
“saya akan beri bang Firman fulus, asal tidak untuk membeli minuman dan bukan
pula ganja?”
“Rokok aja, “kata surya.
“Yang lain, yang lebih asyik, apa?” sebenarnya
aku ingin berkata ‘ yang lebih bermanfaat ‘apa; tetapi aku sadar tengah berbicara
dengan para pemuda yang melihat manfaat uang untuk beli rokok, minuman, atau
ganja.
“Memang mau ngasih duit berapa?” Tanya Firman .
“Bagaimana kalau beli gitar aja?”
“Heh……gitar?”
“Ya, kulihat kalian hanya membawa dua gitar,
padahal jumlah kalian empat orang . bagaimana kalau beli dua gitar lagi? Siapa
tahu kalian akan menjadi grup music?”
Sesaat, keempat pemuda itu saling pandang.
“Atau, bagaimana?”
“Ya, setuju,” kata Patmo. “ bagaimana menurutmu,
Man?”
“Ya, terserahlah. Gitar juga lebih baik. Kalau
bosan gitar, nanti kita bisa menjualnya. Uangnya bisa kita bellikan rokok. Oke,
mana uangnya?”
“Mendingan kasih besok aja, mas,” kata
Parno.”lagian, malam-malam begini mana ada took yang menjual gitar? Lagian,
kalau mas mau memberi uang malam ini, bisa-bisa gitar tidak jasi dibeli.”
“Heh, asu…….teriak firman kepada Parno. “kau
mencurigaiku? Kau ingin mengatakan uang itu akan kugunakan untuk membeli yang
lain?”
“sudah, sudah. Nggak usah bertengkar. Saya
percaya bang Firman akan membeli gitar kok. Bang Parno pun harus
percaya,”kataku.
Mereka diam . mereka tidak jadi bertengkar.
Dilihat dari raut wajahnya,aku yakin firman memang akan benar-benar membeli
gitar seandainya saja aku beri dia uang malam ini. Ya Allah. Mungkin inilah
yang harus kulakukan sekarang.
Mungkin disinilah, alun-alun Banjarnegara inilah
tempat tujuannya. Mungkin, bersama sahabat-sahabat pengamen inilah aku akan
menunggu dan mengisi waktu. Aku berdoa kepada-Mu, ya Allah, semoga uang yang
akan kuberikan ini dapat menjadi wakil bagi diriku agar mereka mau
menerimaku sebagai sahabatnya. Dengan
demikian, semoga nanti aku bisa membagi-bagi pengalamanku kepada mereka,
sehingga mereka pun bisa meninggalkannya pula.
Kurogoh saku celanaku. Kuambil dompetku. Dengan
mengucapkan basmalah, kubuka dompetku. Kutahu berapa harga gitar yang standar. Maka, kuambil uang lima ratus
ribu. Dengan hati yang penuh mengharap kepada-Mu, ya Allah, kuberikan uang ini
kepada Firman,”Bang, terimalah.”
Terbelalaklah mata Firaman.
Terbelalaklah mata Parno,Patmo, dan Surya.
Terbelalaklah mereka sebab mereka tidak
membayangkan aku akan memberi uang sebanyak itu.
“Mas, ini terlalu banyak,” kata Firman. Dari nada
bicaranya, aku tahu bahwa mulai ada rasa segan kepadaku.
“Nggak apa-apa.”
“Tapi kalau untuk beli dua gitar,uang ini akan
sisal oh mas?”
“Ambillah.”
“Benar?”
“Mas ini orang kaya ya?”
“Ah, nggak juga. Hanya saja, Allah SWT memberi
rezeki yang cukup pada orang tua saya.”
“Sesungguhnya mas ini mau ke mana?” Tanya Parno.
“kemana pun mas Iqbal mau pergi, sekarang mari
ikut kami pulang dulu. Sudah mau subuh nich. Istirahat dulu di rumahku, mas.
Bagaimana ?” ajak Firman.
Aku mengangukkan kepala.
5
Seandainya Dia
bukan Anakku
Ternyata rumah
Firman tidak jauh dari alun-alun ini. Dia ternyata pemuda kota, kota
Banjarnegara. Banjarnegara ternyata rumahnya terbilang bagus dan mewah,
berpagar tinggi, dan berada du sebelah tenggara terminal. Dua puluh menit jarak
ditempuh dari alun-alun ke rumah ini.
Aku pikir bahwa Firman ini bukanlah berasal dari
keluarga yang kekurangan. Aku bayankan sebelumnya bahwa ia dan juga para
sahabatnya itu berasal dari kelurga tak mampu sehingga mereka mencari
penghidupan dengan menjadi pengamen. Mereka, minimal Firman, berasal dari
kalangan berada. Mungkin sahabat-sahabatnya juga.
Firman memukul-mukul pagar besi, membangunkan
orang yang tertidur di dalam agar membukakan pagar. Firman memukul lebih keras
lagi, dan sesaat kemudian seorang wanita separuh baya membukakan pintu.
“Lama banget sih!” teriak Firman.
“Maaf, den ,” ucap perempuan separuh baya itu.
Dia pasti seorang pembantu. Dia seperti bi inah di rumahku.
Kami segera masuk.
Firman segera mengajak aku dan sahabat-sahabat
yang lain ke kamarnya. Kamarnya terletak di lantai dua.
“Ayo, masuk.”
Sebuah kamar berukuran luas dank has kamar
seorang pemuda. Firman meraih tas punggungku dan meletakkanya di pojok kamar.
Sayu-sayup kudengar suara alunan kitab suci. Ku
lirik arlojiku dan jarum jam menunjuk angka empat pagi.
Kudapati patmo, surya,dan parno sudah terserang
kantuk yang demikian hebat. Mereka merenahkan tubuhnya di atas lantai. Sejurus
kemudian, mereka sudah terlelap.
“Mas Iqbal bisa tidur di sini, atau di lantai
itu. Bebas. Anggap saja rumah sendiri. Nggak usah sungkan-sengkan. Di rumah
ini, akulah yang berkuasa!”
“Saya belum ngantuk. Kalau mau shalat di mana
ya?”
“Oh, iya. Aku lupa. Mas bissa menurumi tangga.di
sebelah kiri tangga ada ruang kosong. Di situ mushola.sori mas, aku nggak
shalat. Nggak apa-apa kan?”
Aku tersenyum. Jawabku,”kalau saya shalat nggak
apa-apakan?”
Firman pun tersenyum. Katanya kemudian “selamat
tidur.”
“selamat tidur,” jawabku.
“mimpi indah,”katanya.
“mimpi indah,” kataku.
Tidak butuh waktu lima menit, firman telah
tertidur. Pemuda itu, jika diperhatikan dengan seksama memiliki wajah yang
tampan. Tubuhnya tegap dan atletis, demikian para gadis sering menyebut bentuk
tubuh yang seperti itu.
Kuraih tasku. Kubuka isinya. Kuambil handuk,
sabun, odol, dan sikat gigi. Aku ingin segera mandi, menghilangkan kepenatan
dankelesuan tubuh, membersihkan badan dari kotoran dan bau-bau.
Aku menuruni tangga. Setelah turun, tidak sulit
bagiku menemukan kamar mandi, sebab berada satu ruang dengan ruang mushola.
@@@
Sekarang, aku sudah memakai pakaian yang bersih,
mengenangkan kain sarung, dan peci. Adzan subuh sudah berkumandang. Firman,
surya, parno, dan patmo sudah semakin terlelap dalam tidurnya. Firman
mendengkur. Dengkuranya sangat keras. Sendainya saja aku tidur di sampingnya,
mungkin mata ini tidak akan mau di pejamkan. Mungkin telinga ini akan rishi
mendengarnya.
Aku ingin mendirikan shalat sunnah terlebih
dahulu, sebelumnya mendirikan shalat subuh. Aku tidak tahu, apa nama shalat
sunnah yang akan aku kerejakan ini. Kalau itu disebut sunnah qabliyyah,
tampaknya tidak tepat sebab adzan baru dikumandangkan. Kalau disebut shalat
fajar, tampaknya juga tidak tepat, sebab fajar shadiq telah lewat. Lalu disebut shalat apa? Ah, apa pun namanya shalat sunnah
itu, aku akan meniatkan sebagai ibadah tambahan (sunnah) untuk mendekatkan diri
kepada Allah.
Usai mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, aku
lanjutkan dengan mendirikan shalat sunnah qabliyyah subuh. Setelah selesai,
kukumandangkan iqamat, lalu setelah itu, kusambung dengan shalat subuh.
Kini, aku duduk dalam munajat kepada Allah. Aku
bersyukur kepada-Mu, ya Allah, bahwa aku masih bisa mengerjakan sembahyang.
Bahwa aku bisa mendirikan sembahyang tepat pada waktunya. Tidak seperti tadi
ketika aku harus mengqadha shalat margib dan mengakhirka shalat isya. Aku
bersyukur kepada-Mu sebab aku masih engkau beri kesempatan untuk menghadap-Mu.
Engkau telah pilihkan aku jalan ini. Engkau telah jauhkan aku dari seorang
Iqbal yang dulu tidak pernag beribadah kepada-Mu.
Duhai, Illahi.
Pagi ini aku berada di rumah sahabat baruku
bernama firman. Pagi ini aku seakan-akan menyaksikan diriku, beberapa bulan
yang lalu, tatkala aku masih seperti firman dan sahabat-sahabat yang lain itu. Pagi
ini seakan-akan adalah pagi yang pernag kulewati , di sepanjang hari , tatkala
aku sering pula pulang di penghujung malam, dan menghempaskan tubuhku tatkala
suara adzan memanggil-manggil. Kusaksikan seakan-akan aku adalah firman, aku
adalah surya, aku adalah parno, dan aku adalah patmo. Pagi ini, engkau
mengigatkan aku akan masa laluku yang kelam, ya Allah, tatkala aku masih suka
mabuk-mabukan, pergi ke night club menghambur-hamburkan uang.
Aku bersyukur kepada-mu bahwa kisah itu telah
menjadi masa lalauku. Aku bersyukur kepada-Mu akan hidayah yang telah engkau
berika kepadaku.
Tetapi bagaimana dengan firman?
Dengan surya?
Dengan parno?
Dan dengan patmo?
Akankah engkau memberikan hidayah pula pada
sahabat-sahabat baru yang baru saja aku kenal ini? Tampak sekali bahwa mereka adalah muslim
seperti halnya aku. Mereka membutuhkan cinta-Mu,
ya Allah. Mereka membutuhkan kasih saying-Mu. Jikalau saja hamba-Mu ini boleh
berharap, dan jikalau saja engkau mengabulkan harapan-harapanku, sekarang ini
tidak ada yang lebih indah kecuali melihat perubagan yang terjadi pada
sahabat-sahabatku itu. Hamba-Mu memohon
kepada-Mu, agar engkau berkenan memberikan hidayah kepada mereka,
sebelum terlambat.
Aku memang baru saja mengenal mereka, tetapi
salahkah aku jika memiliki pengharapan yang seperti itu?
Sungguh, si pagi ini, terlalu banyak yang ingin
kuaduka kepada rabbku. Tentang keadaanku sendiri. Tentang nasibku. Tentang
cintaku. Tentang pesantrenku. Tentang bu
jamilah dan putra-putrinya, tentang anton. Tentang ida. Tentang yoga. Tentang
kedua orang tuaku. Dan tentang kaum muslimin pada umumnya. Telah banyak yang
ingin aku adukan, sehingga lidahku kelu untuk mengeluarkan pengaduan. Akhirnya
aku hanya dapat berdoa,” duh, tuhan kami; berikan bagi kehidupan kami di dunia,
dan berilah kebaikan bagi kehidupan kami di akhirat.”
Setelah selesai munajat, aku segera meraih mushaf
al-Quran yang berada di pojok ruang. Sebentar kemudian, aku segera membaca
ayat-ayaat suci al-Quran.
Aku terus membaca.
Terus membaca.
Dan terus membaca.
Tanpa kusadari, dibelakangku berdiri dua orang
tua.
@@@
“assalamualaikum.”
“wa’alaikum salam.”
Ketoleh kepala. Kudapati seorang laki-laki dan
seorang perempuan tua. Sejenak kuperhatikan mereka, wajah mereka. Beberapa saat
kemudian, aku mendapatkan keyakinan bahwa mereka adalah orang tua Firman. Ya,
tak salah lagi, wajah ibu ini seperti wajah Firman.
“Nak mas ini siapa?” Tanya laki-laki tersebut
yang aku yakin adalah ayah Firman.
“Oh, maaf,” aku berdiri. Aku pun menyalaminya.
“saya Iqbal----Iqbal maulana. Bapak? Apakah bapak ini ayah Firman?”
“Jadi, nak mas ini temannya Firman?” yang
bertanya ibunya.
“Iya,bu. Teman yang beru saja berkenalan.”
“Abah………ternyata………ternyata,” demikian gagap si
ibu itu berkata, “ ternyata putra kita mempunyai teman yang baik.”
Kulihat ibu itu menitikan air mata.
Demi Allah, aku tidak tahu tentang apa yang
tengah terjadi ini. Aku tidak tahu.
“Kami belum shalat subuh, nak Iqbal. Ijinkan kami
untuk mengerjakan shalat dahulu, dan ijinkan kami untuk bercakap-cakap dengan
nak mas, setelah shalat.”
“Oh iya, silahkan bapak dan ibu.”
“Nak mas bisa duduk di sana.”ayah Iqbal menunjuk
kursi di ruang tamu.
Aku mengangukkan kepala.
Beberapa menit kemudian, orang tua Firman telah
duduk berdampingan di depanku. Sulit menggambarkan bagaimana keadaan hati
mereka yang tercermin pada wajah mereka. Kulihat ada kesediahn. Ada kekecewaan.
Ada harapan. Ada ketakutan. Ada keinginan. Ada kemarahan. Sungguh, bahasa wajah
tidak bisa menipu orang yang melihatnya. Perkataan bisa berbohong, tetapi
bahasa tubuh tidak bisa melakukannya.
Kutunggu semenit, dua menit, tiga menit, mereka
hanya diam. Mereka hanya saling pandang. Pada menit berikutnya, ayah Firman
mulai berkata-kata.
“Nak, mas…..”dia mendesah.”darimana saya harus
memulai dan kenapa saya harus mengatakannya.”
Aku diam. Aku hanya menunggu.
“Firman adalah putra kami satu-satunya,”demikian
ayah Firman berkata.
“Tepatnya,putra kami yang masih hidup,”tambah ibu
Firman.
Perlahan namun pasti, ait mata mulai mengalir di
kedua pipinya. Sang ibu menitikan air mata. Air mata kepedihan.
“Dan kami tidak ingin Firman mengalami hal yang
sama.” Imbuh sang ayah.
“Ibu, bapak…..”kataku kemudian,”demi Allah saya
tidah tahu apa yang tengah terjadi pada keluarga ibu dan bapak. Saya baru kenal
firman tadi…..tadi malam, ketika bus yang saya tumpangi mogok. Kalau bapak dan
ibu ingin berbagi cerita dengan saya, saya akan dengarkan dengan
sebaik-baiknya.”
Maka berkisahlah ayah dan ibu firman secara
bergantian. Jika ayah Firman diam, maka sang ibu yang melanjutkan. Jika ibu
Firman diam, sang ayah yang giliran berbicara. Jika ada pembicaraan yang kurang
dari sang ayah, sang ibu menambahkan. Demikian pula sebaliknya.
Mereka berkata bahwa dulu, bertahun-tahun yang
silam, mereka merupakan keluarga yang bahagia. Allah SWT memberikan rezeki yang
cukup pada meraka, bahkan lebih dari hanya sekedar cukup. Bisnis burhan, nama ayah firman,
demikian lancar dan sukses. Sedangkan butik milik bu laela, nama ibu firman,
demikian ramai dikunjungi pengunjungi pengunjung. Keadaan ini berjalan
bertahun-tahun, bahkan sejak firman dan nida masih kecil. Walhasil, segala
kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Kemakmuran dan kebahagiaan hidup menghiasi.
Pak burhan dan bu laela telah bisa menjalankan rukun islam yang kelima, pergi
ke bitullah, menjalankan ibadah haji, bahkan telah dilakukan sebanyak dua kali.
Sungguh demikian, walau rasa-rasanya semua telah
terpenuhi, ada satu hal yang ternyata berjalan di luar dugaan pak burhan dan bu
laela. Satu hal yang tak diduga tersebut, parahnya, berkaitan dengan
perkembangan moral dan spiritual putra-putrinya. Mungkin, karena mereka, firman
dan nida, merasa berasal dari keluarga yang sukses dan kaya, mereka sebagaimana
seringkai terjadi pada keluarga-keluarga sukses dan kaya yang lain-----akhirnya
terlibat dalam pergaulan yang salah, pergaulan yang bebas. Pak burhan dan bu
laela tidak bisa mengontrol perkembangan mereka. Bahkan, pak burhan dan bu laela merasa seakan-akan ditipu oleh sikap
dan perangai putra-putrinya itu.
Di rumah, putra dan putri mereka kelihatan
sebagai anak yang sopan, yang rajin, yang berbakti. Teman-teman mereka, kaliu
dating ke rumah, juga kelihatan sangat sopan dan santun. Pendekanya, pak burhan
dan bu laela melihat putra dan putrinya sebagai anak yang baik-baik.
Tetapi, lama kelamaan, nida dan firman---terlebih
nida---seringkali pulang malam, dengan alas an yang itu-itu juga; belajar di
rumah teman. Pak burhan pernah memerintahkan seseorang untuk mengawasi, apakah
betul anak-anaknya itu belajar di rumah teman atau tidak. Nyatanya, mereka
memang belajar di rumah teman.
“Satu hal yang tidak kami sadari,”demikian kata
pak burhan,”setelah belajar, kami tidak tahu aktivitas apa yang dilakukan
anak-anak kami. Ternyata, kami hanya percaya mereka belajar begitu saja,
padahal waktu belajarnya sangat sedikit, sedang waktu yang dihabiskan di luar
belajar sangat banyak.”
“Hingga suatu malam, kurang lebih satu setengah
tahun yang silam, kami dikejutkan oleh kabar buruk yang demikian menusul ulu
hati kami. Berita yang benar-benar ‘membunuh’kami.”
Bu laela mulai menitikkan air matanya kembali,
pak burhan tersengal-sengal ketika harus melanjutkan kisahnya.
“Para tetangga……..menemukan nida…..telah menjadi
mayat….!”
Kini, meledaklah tangisan bu laela.
Pak burahn sibuk menenangkan istrinya.
Pak burhan melanjutkan kisahnya; dari keterangan
para saksi dan bukti-bukti yang dikumpulkan oleh polisi, nida---putri mereka
yang cantik jelita------ternyata telah menjadi korban pemerkosaan dan
pembunuhan. Tidak hanya itu, dinyatakan bahwa nida sudah sekian lama kecanduan
obat-obatan terlarang.
“Dan kini, nak mas…..”kata pak burhan,”kami juga
telah tahu bahwa firman pun mengalami kecanduan juga. Dia suka mabuk-mabukan.
Dia suka menghisab ganja. Dia ……astagfirulah al-‘azim……..benar-benar membuat
kami menjadi orang tua yang tidak berguna.”
“Sudah lama kami ingin melaporkan keadaannya itu
kepada polisi. Tetapi, bagaimana? Mau bagaimana? Kami tidak ingin kehilangan
dia, setelah kami kehilangan putri kami yang tercinta. Nak mas…..seberapa besar
dosa yang harus kami tanggung sebagai orang tua?!”
Setegar-tegarnya batu karang, dia akan lapuk juga. Setegar-tegarnya hati seorang ayah, dia akan luluh juga. Itulah
yang kusaksikan ketika aku melihat air mata pak burhan menetes, satu per satu,
pelan-pelan, membasahi kedua pipi.
“Nak mas, demi Allah……demi Allah, selama ini kami
tidak bercerita keadaan kami ini kepada siapa pun. Peristiwa tragis yang
menimpa nida sudah lama dilupakan oleh para tetangga. Di mata mereka, kehidupan
kami telah menjadi normal kembali.”
“Nak mas……..selama ini, kami pun tidak bisa
mengatasi keadaan firman. Setelah adiknya diperkosa dan dibunuh, firman tidak
semakin baik, tetapi justru semakin buruk. Di dendam kepada orang yang tega memperkosa dan
membunuh adiknya, tetapi dendamnya itu tidak terbalas. Bahkan, pelakunya
sendiri sampai sekarang tak berhasil ditemukan polisi. Polisi itu kerjaannya
apa sih, nak mas?!” menjerit bu laela keras-keras. Ada nada kegeraman dan
kemarahan kepada orang yang berprofesi sebagai “polisi” ini.
“Dan pagi ini….pagi ini ketika kami hendak
mengerjakan shalat subuh, kami mendapati seorang anak muda asing dan
benar-benar asing di rumah kami. Kami mendapati dirimu tengah bersujud,
bermunajat, dan membaca al-Qur’an di mushola kami, satu pemandangan yang belum
pernah kami saksikan sebelumnya. Dan kami, demi Allan, benar-benar terkejut
ketika mengetahui engkau adalah shabat putra kami.”
“Selama ini, tak satu pun ada teman firman yang
pernah bersembahyang, bermunajat, dan membaca al-Qur’an. Selama ini, kami hanya
menyaksikan teman-teman firman seperti hanya firman; pulang di pagi buta, dan
tidur seperti biasa. Tidak jarang kami mendapati mereka pulang dalam keadaan
mabuk.”
“Sungguh, nak mas…kamu adalah sahabat yang paling
aneh dari semua sahabat putra kami. Kamu
adalah mukhuzat bagi kami, bagi rumah ini. Kami mendirikan shalat di rumah
kami. Kamu bermunajat kepada Allah di rumah kami. Dan kamu hiasi pagi –pagi di
rumah kami dengan kalam suci. Dan kamu adalah teman firman, putra kami.”
“Maka, bagaimana mungkin kami tidak akan berkisah
dan berkeluh kesah tentang keadaan kemi kepadamu, nak mas? Yang dibutuhkan oleh
putra kami adalah seorang sahabat seperti nak mas. Yang di cari oleh putra
kami adalah pemuda seperti nak mas. Dan
yang kami butuhkan, sebagai orang tuannya, adalah seorang pemuda yang teguh
memegang ajaran agama seperti nak mas.”
Apa yang hendak kukatakan?
Bagian mana yang harus kutanggapi?
Apa yang harus kukomentari?
Siapakah aku?
Aku hanyalah seorang Iqbal. Seorang yang baru
benar-benar balajar agama beberapa bulan ini. Seorang yang baru saja melangkah
menuju jalan kebenaran, dan selalu berharanp agar dirinya tidak berpaling dari kebenaran.
Siapakah aku ini? Bahkan aku sendiri tidak sanggup meyakinkan diriku, apakah
untuk selamanya dan untuk seterusnya aku bisa menapaki hidayah ini;aku bisa
mengecap karunia Allah ini.
Suratan nasib ada di tangan Allah. Penanya juha
si tanggan Allah. Apa yang akan terjadi
di kemudian hari, tak satu pun manusia yang mengerti dan mengetahui.
Hari ini aku bisa menjadi orang baik, belum tentu besok aku masih menjadi
pemuda yang baik-baik.
Siapakah aku ini?
Duh, Allahku……..
Pagi ini, kembali engkau menunjukan ayat-ayat mu.
Pagi ini aku bersua dengan sepasang suami-istri yang telah menjalankan rukun
islam yang kelima, sebanyak dua kali,
dan ternyata tengah menghadapi problem hidup yang demikian mengerikan. Putrinya
pernah kecanduan narkona. Lalu, putrinya diperkosa dan dibunuh. Lalu, putranya
pun kecanduan alcohol dan narkoba seperti halnya putrinya.
Duh, Ilahi….
Aku turut menyaksikan dan merasakan, betapa berat
ujian yang engkau sandangkan pada keluarha ini. Dan betapa berat ayat-ayat yang
engkau tunjukkan kepadaku kali ini.
“Nak, kenapa kamu hanya diam?” kata bu laela.”tolong,
kami nak……”
“Benar, nak. Aduh, betapa bodohnya kami ini,
sebab kemi belum mengenalmu sedangkan kami telah berkeluh –kesah kepadamu.”
“Saya, Iqpal-Iqbal Maulana.”
Kini, demi maksud untuk berbagi hati, aku
kisahkan kisahku yang, sejatinya, tidak terlalu mengerikan jika dibandingkan
dengan kisah yang tengah dijalani oleh pak burhan dan bu laela. Kukisahjan dari
A hingga z perjalanan hidupku. Kisah A adalah kisah tatkala aku masih kecil hingga
terjadi kecelakaan pada ibuku di malam itu, di saat aku mabuk, oleh kedua
tanganku. Dan kisah B adalah kisah tatkala aku mengadakan perjalanan hati ke
pesantren, hingga sekarang ini aku berada depan pak burahan dan bu laela.
Mendengar pemutaranku, bu laela tidak bisa
menahan diri. Dia jatuh tak sadarkan diri.
Pak burhan masuk ke dalam kamar. Mengambil ini
dan itu untuk menyadarkan istrinya. Dia dibantu oleh seorang pembantu yang tadi membukakan pintu.
Sejurus kemudian, bu laela sadarkah diri. Dan dia
menangis. Dan terus menangis.
Dan aku binggung. Telahkah aku membuatnya begitu
pedih hati?
Di tengah-tengah isak tangisnya, bu laela
berguman, Ya Allah, seandainya saja dia bukan anak saya….seandainya saja anak
saya adalah nak mas Iqbal ini, alangkah bahagianya saya saat menghadap Ilahi.”
Bu laela jatuh tak sadarkan diri lagi.
6
Lebih Baik
Menghafal al-Qur’an
Begitu berat ujian
yang diberikan Allah kepada bu laela. Begitu lama dia menjalani ujian itu.
Begitu tertekan. Begitu tersiksa. Begitu pedih. Begitu perih. Kehadiranku di
pagi ini ternyata membuka kerudung
kepedihan kembali, bahkan menambah kedukaan dan kepedihan yang tengah
dirasakannya ini.
Aku mejadi tak enak hati. Aku merasa menjadi
orang yang berdosa dengan kehadiranku di sini.
Pak burhan agak lama berada di kamarnya. Tadi,
ketika bu laela kembali pingsan, pak burhan menggotongnya ke kamar, di bantu
aku dan seorang pembantu. Sekarang, aku hanya bisa duduk sendiri di ruang tamu
ini, ditemani secangkir kopi panas dan roti
bakar. Aku tidak tertarik untuk mengecap kopi itu dan melahap roti.
Untuk berapa lamakah aku akan duduk di sini?
Dan apakah aku akam terus-menerus di sini?
Apakah yang harus aku lakukan? Ke mana kedua kaki
ini akan melangkah?
Sejenak, kuperhatikan keadaan di luar dari balik
kaca-kaca jendela. Tampak orang-orang berjalan dan mobil berlalu-lalang.
Datangnya pagi telah sempurna. Kulihat jarum jam dinding menunjuk angka
setengah tujuh. Dan aku masih mendapati diriku sendiri duduk di atas kursi di
ruang tamu ini.
Belum ada tanda-tanda firman dan para sahabat
terbangun dari tidur. Dan aku masih tidak tahu apakah yang harus kukerjakan sekarang. Langkah ke manakah yang harus aku
tapaki?
Jikalau aku pergi dari sini, mencari bus dan
menaikinya hingga ke Purwokerto, lalu untuk apa aku akan ke Purwokerto?
Sesampainya di Purwokerto, apakah yang akan kuperbuat terhadap Purwokerto?
Jikalau aku mau di sini, aku mau tinggal di mana?
Di rumah ini? Untuk tujuan apa? Bagaimana aku akan menolong firman pabila aku
sendiri tidak bisa menolong diriku? Apa yang telah terjadi denganku, belum
tentu akan terjadi pula terhadap firman dan para sahabat. Seharusnya aku
bersyukur kepada Allah atas nasin baik yang sekarang ini telah menimpaku.
Tetapi bagaimana dengan firman dan para sahabat?
Haruskah aku tutup mata dan tutup telinga,
setelah tadi mendengarkan semua yang telah dikatakan oleh pak burhan dan bu
laela? Akankah aku mensyukuri diriku sendiri dan memberikan pak burhan dan bu
laela mengalami peristiwa seperti itu?
Ya Allah…….
Kenapa engkau ciptakan aku dalam keadaan yang
terus-menerus bertanya-tanya begini?
Apakah keadaan yang seperti ini tetap menjadi cara engkau menghukumku, yang
telah kuperbuat selama ini?
Ketika aku masih berada di rumah bu jamilah,
telah kubaca sebuah kisah yang menceritakan tentang Imam Abu Hanifah. Alkisah, Imam Abu Hanifah
memiliki kebiasaan menghabiskan sebagian besar waktu malamnya untuk melakukan
shalat dan membaca al-Quran. Ia mempunyai tetangga seorang pemuda yang
kecanduan minuman keras dan terbiasa pulang larut malam. Tiap malam sehabis
begadang, pemuda itu menyanyikan syair berikut ini;
Aku telah merek
abikan
Dan setiap pemuda
mereka sia-siakan
(kulewati)
hari-hari kalut
Untuk mencari
penyumpal mulut
Suatu malam, Abu Hanifah tidak mendengar nyanyian
sang pemuda itu. Ternyata pemuda itu telah ditangkap polisi dan dimasukkan ke
dalam penjara.
Abu Hanifah lalu pergi menghadap penguasa setempat.
Beliau menceritakan hal ihwal pemuda dan meminta pembebasannya dengan harapan
ia mau sadar dan menjadi orang baik. Demi menghormati Abu Hanifah, penguasa
membebaskan pemuda itu.
Ketika itu Abu Hanifah bertanya kepada pemuda
itu,”hai pemuda, apakah kami mengabaikan atau manjagamu?”
“Semoga Allah memberimu balasan kebaikan atas
bagusnya ketentangganmu. Sungguh, aku berjanji kepadamu untuk bertobat dangan
sebenar-benarnya kepada Allah dan meninggalkan segala perbuatan yang tidak
diridloi-Nya,”jawab sang pemuda.1
Akankah aku masih bertanya-tanya kapada diriku
sendiri ini, pak burhan muncul kembali dari kamar. Ia dating sendiri, tidak dengan
bu laela. Dari pancaran wajahnya, kulihat pak burhan masih cemas, tetapi tidak
secemas tadi. Dia kembali duduk di depanku.
Kutanya kemudian,” Nak mas, ini adalah kejadian
pertama yang dialami istri saya. Kehadiran nak mas di sini sangat kuat pengaruhnya
terhadap istri saya. Saya mohon nak mas mau tinggal di sini.”
“Saya, pak?”
“Saya mahon. Saya benar-benar memohon. Demi
Allah, sesungguhnya saya mali terhadap nak Iqbal. Saya malu terhadap para
tetangga. Dan, saya mali kepada Allah SWT. Saya benar-benar malu, nak. Saya
sebanyak dua kali, ternyata tidak becus mendidik anak. Orang tua macam apa saya
ini, nak?”
Sungguh, aku sendiri tidak tahu jawanan dari
pertanyaan pak burhan tersebut. Aku sendiri tidak tahu. Mungkin Pak Burhan dan
Bu Laela yang telah melakukan kesalahan.kesalahan mereka, barangkali karena
terlalu sibuk dengan urusan merekan sendiri sehingga lupa terhadap urusan
anaknya. Bukankah persoalan seperti ini adalah persoalan yang umum dan terhadap
putra dan putrinya? Aku berpikir, kalau mau dicari kesalahan, tentu kesalahan
itu ada para orang tua itu sendiri.
Orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan
bisnisnya, misalnya, sehingga ia lupa mengontrol dan mengawasi perkembangan
anak-anaknya. Atau, orang tua yang terlalu sibuk dengan ibadah-ibadahnya
sendiri, sehingga lupia untuk mencermati perkembangan ibadah anak-anaknya.
“Saya telah membaca Rasulullah saw
bersabda,”demikian kata pak burhan tatkala menyadari aku hanya diam saja,’Allah mengutuk orang tua yang membuat anak meraka menjadi durhaka
kepada mereka’2saya juga telah
membaca, bahkan berkali-kali----bahkan sampai sudah hafal di luar kepala----
sebuah riwayat dari ibnu Abbas dan Abu
Musa al-Asy’ari yang berkata bahwa Aus bin Ubadah al-Anshari mendatangi
Rasulullah saw lalu berkata,”ya, Rasulullah. Saya memiliki beberapa anak
permapuan dan saya mendoakan agar maut
menjumpai mereka.’Rasul bersabda,’Wahai ibn sa’idah, jangan kamu berdoa seperti itu, karena anak
–anak itu membawa berkah, mereka akan membawa berbagai nikmat, mereka akan
membantu apabila terjadi musibah dan
mereka datang dari Allah SWT !’ tetapi bagaimana dengan saya dan anak saya?
Nikmat apa yang telah saya peroleh dari kepemilikan anak seperti firman? Jangan
dia bisa menjadi penyebab hati kami terasa sakit. Lalu, akankah saya mengatakan
bahwa Rasulullah saw itu telah salah ketika beliau bersabda seperti itu, nak?”
“Pak, saya berlindung dari perkataan yang
demikian itu, akhirnya aku berkata,” Saya sendiri pernah membaca riwayat di
mana Rasulullah saw demikian murka kepada
para orang tua yang telah menelantarkan anak-anaknya. Bahkan dalam
riwayat yang lain dikisahkan bahwa tatkala orang tua shalih di akhirat akan
dimasukkan Allah ke dalam surge-Nya, orang tua tersebut akhirnya diseret
malaikat Malilk ke neraka karena dia telah menelantarkan anaknya.”
“Itualah, nak Iqbal, yang benar-benar membuat
saya takut. Benar-benar membuat istri saya takut. Saya pun telah membaca
riwayat yang demikian itu. Bahkan,
jauh-jauh hari sebelum Nida---oh , semoga Allah mengampuninya---dan firman
lahir. Saya dan istri saya sudah berusaha untuk mendidik anak dengan
sebaik-baiknya. Apa yang bisa saya berikan, telah coba saya lakukan. Tetapi,
masyaallah, kenakpa letak kesalahan saya? Demikian besarkah salah saya terhadap anak-anak saya?
Bagaimana saya akan mempertanggungjawabkan diri ini di pengadilan Allah? Lalu
apa makna saya dan istri saya rajin bersembahyang? Jika dengan cara yang salah?
Duh gusti Allah, demikian beratkah engkau memberikan ujian pada kami?”
Kembali pak burhan menitikan air mata.
Dan kembali aku dibuat bingung dan tidak mengerti
. dari penuturan yang disampaikan oleh pak burhan ini, aku membaca bahwa dia
dan istrinya telah berusaha sekuat tenaga untuk mendidik putra dan putrinya.
Pak burhan dan bu laela telah berupaya,
sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang mereka miliki, untuk mendidik dan
memberi pembelajaran pada putra dan putrinya.
Namun, fakta ternyata berbicara lain. Nida pernah
kecanduan. Pernah diperkosa. Dan tewas dibunuh. Firman sendiri berubah menjadi
anak jalanan. Menghabiskan hari dengan mengamen. Meninggalkan shalat. Kecanduan
narkoba. Dan mabuk-mabukan.
Aku tahu bahwa perbuatan-perbuatan firman yang
demikian itu tidak bisa dibenarkan dari sudut pandang agama. Dengan demikian,
aku tahu bahwa firman telah melakukan dosa menurut agama.
Akan tetapi, berdosa pulakah pak burhan dan bu
laela jika memang mereka telah berupaya sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya, dan
semampunya, untuk mendidik dan memberikan pembelajaran padanya? Salahkah?
Dosakah mereka di mata Rasulullah ? si mata Islam?di mata Allah SWT?
“Terkadang,”demikian pak Burhan melenjutkan
bicaranya,” saya dan istri sering merasa terhibur dari ketakutan dan kemurkaan Allah, ketika kami
membaca dia berfirman:’ harta dan
anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah baik pahalanya
di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. Kami merasa bahwa
kami telah melakukan kewajiban kami yang sebaik-baiknya kepada firman sebagai
putra kami. Dan akhirnya, apa yang sekarang ini terjadi pada firman sudah
berada di luar kuasa kami untuk mengendalikannya. Akhirnya, yang kami lakukan
adalah selalu berdoa kepada Allah saja, memohon hidayah dan petunjuk-Nya, agar
dia berkenan memberikan hidayah dan petunjuk kepada firman. Kami menenggelamkan
diri dalam ibadah-ibadah kepada Allah sedangkan nasib firman kami serahkan
sepenuhnya kepada Allah SWT. Salahkah
cara kami ini, nak mas?
“Pak burhan, saya meminta maaf beribu-ribu maaf. Masih terlalu banyak yang
tidak saya ketahui tentang salah dan benar dalam pendangan Islam. Berkali-kali
bapak menanyakan pada saya persoalan salah dan benar dalam mendidik anak,
sedangkan pengetahuan tentang hal itu---demi Allah—tidak banyak saya miliki.
Barangkali, pak, sekarang ini adalah saatnya bagi kita untuk tidak berbicara
siapa yang salah dan siapa yang benar. Barangkali , sudah saatnya sekarang ini
kita terus berikhtiar sedemikian rupa sehingga bang firman terbebaskan dari
belenggu hidup yang seperti itu.”
“Tetapi bagaimana dengan firman Allah yang
mengatakan ; Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuj bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap
mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka)
maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Sesungguhnya
hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala
yang besar? Haruskah firman saya padang sebagai musuh? Kemudian, haruskah saya
memberi maaf kepadanya, tidak memarahinya, dan mengampuni
kesalahan-kesalahannya?”
“Memang selama ini bagaimana bapak memandang,
menggap, dan memperlakukan firman?”
“Kami sudah lelah. Kami sudah capek. Kami tidak
sanggup lagi memarahinya, apalagi menasehatinya.”
“Artinga bapak telah putus asa?”
Pak burhan mendesah. “Entahlah, apakah sikap kami
ini bisa disebut berputus asa atau bertawakal kepada Allah.”
“Yang saya tahu, begitu tipis jarak antara putus
asa dan tawakal itu. Yang saya takutkan, bapak dan ibu bukan bertawakal, tetapi
berputus asa.”
“Lalu bagaimana, nak?”
“Saya belum tahu jawabanya, pak. Benar-benar
belum tahu. Mungkin , firman sekarang ini memang membutuhkan sahabat-sahabat
yang mengerti dirinya, mengerti hati dan perasaannya; bukan sahabat atau
kebutuhan-kebutuhan lain. Kami, insyaallah, lebih dari cukup untuk
menanggungnya.”
Bagimana ini, ya Allah?
Keputusan apa yang perlu aku ambil?
@@@
Oh cintku……..
Cintaku yang masih menungguku.
Aku baru akan sampai pada wajah kekasih selama
tiga tahun lagi. Oh tiga tahun.tiga puluh enam bulan. Seribu delapan puluh
hari. Ini bukan jumlah hari yang pendek. Ini hari yang sangat panjang.
Sepanjang itulah aku akan menunggu. Menunggu cintaku. Menunggu aku sampai pada
waja Zaenab dan Pricillia.
Selama dalam masa menanti cinta ini, lalu apa
yang mesti kukerjakan? Haruskah aku seperti ini seterusnya? Haruskah aku puas
dengan apa yang telah kucapai hingga sekarang ini?
Aduhai, bagaimana mungkin aku akan puas dengan
keadaanku sekrang, pabila ternayata pengetahuan dan pemahamanku akan agama
hanya sebatas kuku jari? Apa arti perjalanan hidupku, seandainya aku hanya akan
terus melangkah dan hanya melangkahkan kaki? Apa makna hidup itu sesungguhnya?
Apa yang dicari dalam kehidupan ini?
Kebahagiaankah? Jika iya, apa yang akan membuatku
bahagia?
Bertemu dengan kekasihkah?
Jika sudah bertemu, bukankah berarti kebahagiaan
telah didapat? Lalu setelah didapat, bukankah kebahagiaan akan menjadi hilang?
Apa yang sesungguhnya dicari di balik jerih-payah
seseorang bekerja membanting tulang/ uangkah? Tetapi kalau uang sudah didapat,
lalu apa? Apa lagi yang mesti harus dicari?
Aduhai, kenapa aku selalu bertanya-tanya begini?
Bukankah sekarang ini yang harus segera
kuputuskan adalah apakah aku akan di sini ataukah aku akan melanjutkan
perjalananku ke Purwokerto? Seandainya aku pilih tinggal di sini, lalu
keputusan untuk sebisa mungkin membantu Pak Burhan dan istrinya serta menolong Firman, lalu siapakah yang
akan menolong diriku sendiri mencapai kebahagiaan yang hakiki? Akan tetapi,
jika kuputuskan untuk segera pergi dari rumah ini, ke Purwokerto atau ke mana
pun juga, apakah ini tidak berarti aku telah berubah menjadi orang yang egois?
Jika aku egois, lalu siapakah yang akan membantu Pak Burhan dan istrinya serta
menolong Firman dan sahabat-sahabatnya?
Duh, Allah……
Aku lelah.
Aku bena-benar lelah.
Tak kusangkakan, perjalananku akan berat ini. Tak
kubayangkan, keinginann untuk merubah diri menjadi orang yang lebih baik
ternyata seberat ini.
Beratkan menurut-Mu, ya Tuhan?
Tiba-tiba, kepalaku menjadi pening. Kurasakan
aliran darah demikian cepat memenuhi kepala. Kurasakan darah menjalar di
seluruh kepalaku. Mataku berkunag-kunang. Otakku beku. Kantuk menyerangku
dengan dashyat. Dan aku ambruk tertidur di atas kursi di ruang tamu.
@@@
Aku bangun ketika suara adzan Dhuhur terdengar.
Tak terasa, sudah sekian lama aku memejamkan mata, di atas kursi ini, di ruang
tamu. Sepi menyelimuti rumah ini. Tubuhku terasa pegal linu. Oh, seandainya
saja di sini ada obat pegal linu.
Aku segera teringat Firman dan
sahabat-sahabatnya. Sudah bangunkah mereka? Ke mana Bu Laela? Ke mana pembantu
rumah tangga? Jam berapa Pak Burhan pulang dari kantor? Apa yang sekarang ini
harus kukerjakan?
Aku berdiri. Aku melangkah menaiki tangga. Aku
ingin melihat Firman dan para sahabat, ingin mengetahui apakah mereka sudah
bangun atau belum.
Kubuka pintu kamar.
Sesampainya di dalam, aku tidak menemukan siapa
pun. Firman nggak ada. Surya nggak ada. Parno nggak ada. Patmo nggak ada. Ke
mana mereka ? mungkin, ya..mungkin mereka membeli gitar. Membeli gitar dari
uang yang tadi malam aku berikan.
Oh Iqbal, sombong sekali dirimu!
Dengan mudahnya kamu beri uang lima ratus ribu
kepada orang yang tidak kamu kenal?dan hanya untuk membeli gitar! Bukankah
masih banyak janda-janda miskin dan anak-anak terlantar yang membutuhkan uang sebanyak
itu? Bayangkan seorang kuli bangunan yang memiliki lima anak dan hanya dapat
bekerja ketika lagi ada proyek. Bayangkan bagaimana keadaan mereka di saat
tidak ada proyek yang harus dikerjakan? Sombong
sekali kamu ini, duh Iqbal, sebab kamu memberi uang sebanyak itu hanya
demi membeli gitar, sedangkan orang-orang kelaparan di sekitarmu akan tertolong
pabila kamu beri uang sebanyak itu? Gaji gutu honorer saja tiap bulan tidak
sebanyak itu, sedangkan kamu beri orang asing uang sebanyak itu hanya untuk
membeli gitar!!
Haruskah aku menyesal? Menyesali uang yang telah
kuberikan kepada Firman dan para sahabat?
Kuhempaskan tubuhku di atas kasur. Kupejamkan
mata. Kukumpulkan kekuatan pikiran yang dapat mencerahkan sekarang.
Kusebut-sebut nama Allah berulang kali. Dalam keadaan seperti ini , menyebut
nama Allah lebih baik daripada menyebut apa pun juga.
Pak Burhan.
Seorang bapak yang telah dua kali naik haji. Dari
lidahnya seringkali keluar ayat-ayat suci ketika tadi aku bercakap-cakap
dengannya. Dari ucapan-ucpannya, aku yakin, Pak Burhan telah berupaya sebisa
mungkin untuk menyelematkan Firman dari belenggu hidup yang sia-sia. Aduhai,
seandainya Pak Burhan itu memiliki putra yang shalih dan shalihah, sedangkan
lidahnya bisa menghafal ayat-ayat suci dan ibadah-ibadahnya tak terbilang lagi
jumlahny, tentu semua muslim akan merindukan diri menjadi orang seperti dia.
Dan aku rindu,ya Allah .
Aku rindu dengan hafalan ayat-ayat suci-Mu. Aku
rindu dengan hafalan hadits-hadis rasul-Mu. Aku rindu.
Aku benar-benar rindu. Rindu. Rindu. Rindu!!
Tetapi di sini aku tidak memiliki buku-buku yang
ada ayat-ayat al-Quran dan hadist-hadist nabi. Di sini bukan tegal jading, yang
ke mana pun mataku memandang di dalam kamar, pasti kutemukan buku-buku,
al-Quran, dan kitab-kitab kuning. Atau, seandainya sekarang ini aku ada di
salatiga, tentu aku bisa pergi ke took buku untuk membeli banyak buku. Adakah
toko buku di sini?seperti salatigakah kota Banjarnegara ini?
Tiba-tiba, secerah cahaya memasuki pikiranku
membuatku bangkit terhenyak dari pembaringan. Tiba-tiba pikiranku menjadi
cerah. Aku menemukan jawabannya;
Yaap! Dari pada mengkhayalkan yang tidak-tidak
daripada pusing dan pening memikirkan apa yang mesti kulakukan padahal belum
ada kepastian, daripada mengandikan ada tidakny buku, kitab hadist, atau toko
buku di sini, lebih baik aku menghafal al-Qur’an saja!
Ya, kenapa aku harus tanggung-tanggung? Kanapa
aku hanya menghafal petikan-petikan ayat al-Qur’an saja? Bukankah lebih baik
aku hafalkan selurahnya saka?! Aku cemburu sama Pak Burhan, sebab dia hafal
banyak ayat al-Qur’an di luar ayat-ayat
yang telah aku hafalkan. Aku cemburu. Cemburu buta. Lebih baik aku kalahkan dia
dan semua orang yang hanya memiliki hafalan ayat-ayat al-Qur’an beberapa bagian
saja.
7
Kamar Ini
Penuh Maksiat
Pukul setengah tiga.
Firman dan para sahabatnya pulang. Mereka
mendapatiku sedang membongkar-bongkar tasku, mencari mushaf al-Qur’an yang
sempat aku bawa dari pesantren. Mereka tersenyum. Aku pun tersenyum. Kullihat
Firman membawa sebuah gitar. Parno juga membawa gitar. Gitar-gitar baru, sebab
surya dan patmo pun membawa gitar yang lama.
“Mas, ini kami telah membeli gitar,”kata parno.
“Alhamdulilah,”jawab pendek.
“Aku tidak bohong, kan?” kata Firman.
Aku mengangguk.
“Maaf mas tadi aku tinggalkan. Aku nggak enak
membangunkanmu. Kupikir mas patut untuk tidur sehingga kami membeli gitar tanpa
mengajak mas.”
“Ah, nggak apa-apa.”
“Sedang cari apa,mas?” surya bertanya.
“Ini…..mencari mushaf al-Qur’an. Kok nggak ada
ya? Apakah saya lupa membawa ya?”
“Qur’an?” Tanya Firman.
“Ya,”jawabku.
“Bapakku punya banyak Qur’an, mas seandainya mas
mau. Nanti aku ambilkan.”
“Kamu sendiri tidak punya?” tanyaku menyelidiki.
“Aku?”
“ya.”
“Buat apa?”
Aduh, gimana menjawabnya?” yaaa………buat
dibaca-baca.”
“Sori, mas. Aku nggak bisa membaca al-Qur’an.
Kalau toh aku bisa membacanya, lalu untuk apa? Ya nggak, no!”
Parno dan Patmo mengangguk.
“Untuk cari keselamatan to?!”berkata surya.
“Aaaaaaaaaaah, selamat apa? Di akhirat?!” sergah
Firman. “kayak kakek-kakek saja………hari gini ngomong akhirat? Puihhh! Omong
kosong. Selama ini aku percaya akhirat, lalu aku tidak percaya. Ternyata,
percaya dan tidak kepada akhirat toh sama aja!”
“Tapi bolehkah saya membaca al-Qur’an di sini?”
tanyaku pada Firman.
“Ooo, boleh. Boleh-boleh aja. Ini kamar bebas
sekali, mas. Bebas digunakan apa saja. Making love juga boleh. Ha..ha..ha…! mas
punya “ love-lovean” nggak?”
Ku jawab dengan senyum.
“Senyum berarti punya kan?”
Aku masih
juga tersenyum.
“Sudah pernah bermain cinta dengannya belum?”!
Aku masih tersenyum.
“Nah, kalu senyum yang begituan sih berarti belum
kan?”
Aku mengangguk.
“Bagimana kalau kapan-kapan mas kuajari bercinta,
mau nggak?”
“Memang bercinta harus diajari?”
“Hah…ha…ha, Tanya ada ama surya!” seru Firman.
Aku tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini. “Tanya aja padanya mas, apakah
perlu diajari atau tidak?”
“Wow, untuk masalah yang satu ini, Firman
jagonya, mas!” teriak surya kegirangan.
“Pagutannya kuat!” tambah Patmo.
“Sudah, sudah….aku tak tahan mendengarnya!”
seruku.
“Ha……ha………..ha……….!”
Mereka semua tertawa. Mereka menertawakanku.
Mereka tertawa, aku yakin, sebab mengandaikan aku adalah pemuda yang blooon
terhadap cinta. Mereka pasti mengira aku pemuda yang tidak punya pengalaman
bercinta. Padahal, aku berkata bagitu karena aku memang tidak tahan untuk
mendengar pembicaraan yang jorok seperti itu. Dulu aku memang bajingan. Tetapi
aku tidak pernah menjadi bajingan terhadap perempuan!
Hangphone Firman berbunyi. Ring tonenya lagi Ari
Lasso, Cinta Terakhir.
“Halo,” sapa Firman.
“Man, nanti malam jangan lupa,” terdengar suara
seorang laki-laki di seberang telpon.
“Oke. Beres…….”
“Uangnya sudah siap belum?”
“Beres, beres. Kayak nggak kenal Firman aka!”
“Ini barangnya bagus, fulusnya tambahin ya?”
“Beres, beres. Mudah untuk masalah ini. Tapi benar-benar bagus nggak?”
“Aku jamin……”
“Oke boss. Salamu’alikum………!”
“Haa…………ha………..ha……..kampret lu……..!”
Firman melempar handphonenya ke atas kasur.
Dengan sepenuh girang, dia berkata kepada para sahabat, “ nanti malam barangnya
datang!”
“Bener nich?” teriak para sahabat hamper
berbarengan.
“Kapan Firman bohonh?”
“Waduh, pesta nich nanti malam…….tempatnya di
mana?”
“Biasa.”
“Jam?”
“Biasa.”
“Bagaimana dengan mas Iqbal?”
Firman menoleh kearahku. Dia menggeleng-gelengkan
kepala. Sebentar kemudian, dia bertanya kepadaku,”mas, kamu telah membelikan
gitar. Untuk itu, aku ucapkan terimakasih. Nanti malam ada pesta kecil-kecilan.
Tetapi, dilihat dari tampangmu, aku yakin kamu tidak akan tertarik. Mas boleh
memilih, mau menginap d sini? Atau , mau ke mana?terserah. menginap di sini,
boleh ke mana pun juga boleh. Rumah ini bebas mas. Bebas untuk siapa saja.
Tetapi aku harap, mas pun tidak menghalang-halangi kebebasan kami!”
“Jadi saha boleh menginap di sini?”
“Tidak ada yang melarang.”
“Kalau orang tuamu melarang, gimana?”
“Tidak ada yang berani melarang!!”
“Kalau begitu, nanti malam boleh ikut pesta nggak
nich?”
“Apa?!”
“Jangan lupa, saya ini anak Jakarti.”
“Apa?!”
“Boleh nggak?!”
“Boleh-boleh.”
“Siip!!!!!!!!!!!!!”
“Tapi akibatnya tanggung sendiri ya?”
“Beres. Beres……”kutiru kata-kata Firman di telpon
tadi.
“Kalau bagitu, kami pergi dulu.”
“Mau ke mana lagi?”
“Ke mana lagi kalau nggak ngamen?”
“Anak orang kaya kok ngamen sich?” tanyaku
bergurau.
“Yang kaya itu bapakku, bukan aku. Lagi pula
ngapain juga di rumah?!”
“Kapan-kapan, ikutan ngamen boleh nggak?” tanyaku
lagi, tetapi kali ini serius.
“Orang baik-baik kok ikut ngamen?” jawab Firman.
“Yaa, sipa tahu jadi pengamen yang baik to?”
“Oke, oke.”
“Boleh ngaji nggak di kamar ini?”
“Boleh, boleh. Bukankah tadi telah kukatakan?
Hanya saja, sori berat, sebab kamar ini penuh maksiat!!”
@@@
Ya Allah maafkan aku.
Maafkan aku, sebab aku kembali mendengar bagimana
agamamu demikian tidak berharga pada diri sebagian makhluk-Mu. Al-Qur’an-Mu
dilecehkan, agama-Mu dihinakan. Sungguh, betapa tidak berharganya ucapan
“assalamu’alaikum” diperdengarkan.
Ya, Allah, maafkan Firman. Maafkan hamba-Mu yang
satu ini. Aku yakin dia tidak bermaksud
untuk melecehkannya. Aku yakin. Dia hanya sedang luipa. Tadi malamnya, baru tadi
malam, aku mendengar senandung lagu yang baik, yang dilagukan oleh Firman dan
para sahabat, tetapi segera aku tahu bahwa mereka menyenandungkan lagu
Istighfar dalam keadaan mabuk.
Jangan hukum mereka, ya Allah. Jangan hukum
mereka. Berilah kasih sayang kepada mereka. Berilah petunjuk kepada mereka.
Mereka lebih membutuhkan petunjuk-Mu dari pada kebutuhanku terhadap hal yang
sama. Berilah kekuatan kepada Firman agar dia bisa terbebas dari belenggu
hidupi seperti itu. Dan berilah kekuatan kepada penglihatan dan pendengaranku
agar aku kuat mendengar wujud-wujud pelecehan dari mereka lagi, terhadap-Mu dan
terhadap agama-Mu.
Sekarang, aku yakin bahwa aku tidak boleh
kemana-mana. Aku tidak peril melanjutkan perjalanan lagi, sebab di sinilah, di
rumah inilah, di kota inilah, perjalanan kumulai sekaligus kuakhiri. Aku telah
berketepatan hati untuk menghafal ayat-ayat suci-Mu. Dan aku bertepat hati,
demi kebesaran dan kemuliaan-Mu, untuk mendampingi Firman dan para sahabat
menapaki jalan menuju kepada-Mu.
Aku yakin, sesgguhna di dalam diri oirang yang
jahat, masih tersimpan detak-detak kebaikan dalam hatinya.firman dan para
sahabat sesungguhnya bukan orang yang jahat. Mereka hanya belum menjadi baik
saja. Mereka hanya berjarak dengan kebaikan saja. Aku yakin, mereka bisa
diubah. Mereka bisa berubah.
Aku tidak bisa marah dan memandang hina mereka
sebab jika itu kulakukan, kemungkinan besar mereka akan menjauh dariku. Dan
jika mereka menjauh dariku, kemungkinan mereka semakin akaan terbelengu dalam
hiduip yang seperti itu. Telah kubaca al-Qur’an yang suci memfirmankan;
Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjaukan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, memohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-nya.
Ya, sekiranya aku bersikap kasar dan berhati
keras kepada Firman dan para sahabat, tentu mereka akan menjaukan dariku. Tentu
semakin lebar jarak antara diriku dengan para sahabat yang seperti mereka. Yang
dibutuhkan mereka, aku yakin, adalah kelembutan hati dan cinta kasih yang
sejati. Mereka membutuhkan perhatian yang tulus, bukan wajah yang berpaling dan
mulut yang mencaci maki.
Aduhai, seandainya orang-orang mengerti bahwa
orang-orang seperti Firman dan para
sahabat itu ada untuk didekati dengan penuh kelembutan hati dan
cinta kasih yang sejati, itu adalah sebaik-baiknya sikap yang ditunjukan kepada
mereka, demi kebaikan mereka sendiri. Aduhai sayang seribu sayang, masih banyak
di antara kita yang justru melihat mereka dengan penuh benci dan segudang caci
maki. Mereka yang sudah merasa rendah, semakin direndahkan. Mereka yang sudah
merasa hina, semakin dihinakan. Mereka yang sudah jahat, semakin dibuat jahat.
Dan mereka yang sudah jauh dari cahaya Ilahi, semakin di jauhkan.
Demi Allah, aku tidak mau menjadi orang yang seperti
itu. Aku tidak mau melihat sahabat-sahabat yang nyata-nyata membutuhkan cahaya
hidup dipandang dengan cara yang rendah dan hina. Sebagimana aku yang memiliki
hak untuk menjadi baik, mereka pun hanya sama;
Maka berbicaralah
kamu berdua kepadanya, dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia
ingat atau takut.”
Kuturuni tangga kembali. Kusing-singkan lengan
baju. Kuambil air wudhu. Adzan Dzuhur sudah lama berlalu, dan tidak ada yang
dapat menundaku lagi untuk menghadap Allah-ku.
@@@
Usai menjalankan shalat, aku berencana untuk
pergi membeli mushaf al-Qur’an. Tidak ada yang bisa menghalang-halangiku lagi
untuk segera memulai menghafal kitab suci. Ketika kaki kananku menapaki anak
tangga pertama, bu laela memanggilku dari belakang.
“Nak mas……….”
Aku menoleh. Kulihat wajahnya yang masih memendam
kesedihan. Kutersentuh melihatnya. Kuberikan seulas senyum yang tulus seumpama
aku adalah anak kandungnya sendiri.
Aku tidak jadi menaiki tangga. Kudekati bu laela
yang berjalan mendekati kursi di ruang tamu.
Bu laela duduk.
Aku pun duduk.
“ibu tidak berangkat kebutik?” tanyaku.
Bu laela mengelengkan kepala.
“Maaf, sekiranya kehadiran saya di sini demikian
membuat galau perasaan ibu.”
Dan bu laela kembali menggelengkan kepala.
Katanya, “Bersediakah nak mas membantu kami?”
“Hati saya akan pedih pabila nak mas pergi dari
sini.”
“Bu, saya ingin menghafal al-Qur’an di rumah ini.
Bolehkah?”
“Itulah cahaya yang akan menerangi rumah ini.”
“Firman juga telah mengijinkan saya tinggal di
sini, Bu.”
“Semoga Allah sudi mengucurkan cinta –Nya kepada
Firma.”
“Amin.”
“Amin. Ya rab al’alamin.”
“Ibu saya akan berusaha.saya akan berusaha sekuat
dan sekemampuan saya. Maaf ibu, bukan berarti saya memadang diri saya sebagai
orang yang baik, orang yang benar, orang yang memiliki akhlak al-karimah. Saya
memandang diri saya sendiri masih banyak kekurangan dan kesalahan. Firman dan
saya tidak ada bedanya, sebab saya sesungguhnya pemuda yang baik. Hanya saja,
dia belum menapaki jalan yang baik itu.”
“Ibu percaya kepadamu, nak.”
“Tetapi mari kita semakin mendekatkan diri kepada
Allah, sebab di genggaman tangan-Nyalah nasib
kita ditentuka.”
“Ibu percaya kepada Allah, nak. Ibu percaya.
Pabila ibu hanya bisa mengeluh kepadanya, sebab ibu yakin tidak ada tujuan
megeluh selain dirinya.”
“Bolehkah saya pergi sebentar, Bu”
“Nak Iqbal mau ke mana?”
“Ibu tahu di mana dijual mushaf al-Quran? Saya
berniat menghafal al-Quran……….”
“Nak Iqbal bisa pergi ke pasar kota. Tetapi bila
nak Iqbal membutuhkan mushaf, kami punya. Nak Iqbal bisa mengunakanya.”
“Terima kasih, Bu”
“Jadi bagaimana?”
“Hitung-hitung jalan-jalan ke pasar, sekalian
membeli mushaf.”
“JIka itu yang nak Iqbal mau. Oh iya,
masyaallah……nak mas kan belum makan?”
“Ah, belum lapar kok, bu. Lagi pula, saya bisa
maka di pasar.”
“Jangan begitu.”
Bu laela melangkah ke dalam. Sayup-sayup kudengar
dia berbicara dengan pembantu. Dia meminta pembantu untuk menyiapkan hidangan.
Pembantu menjawab bahwa hidangan sudah sekian lama disiapkan sampai-sampai nasi
dan sayuran tela dingin. Bu laela meminta untuk menghangatkan kembali. Pembantu
mengiyakannya.
Aku masih duduk.
Sesaat kemudian, bu laela kembali. Di tangan
beliau tergengagm mushaf al-Qur’an.
“Ini, nak mas. Mushaf ini bisa nak mas gunakan.
Demi Allah, baru kali ini saya menyaksikan seorang pemuda seperti nak mas.
Seorang pemuda yang memiliki tekad untuk menghafalkan al-Qur’an. Sebagai orang
tua, saya akam mendoakan nak mas. Saya akan memohon petunjuk Allah. Saya akan
memohon kepadanya supaya nak mas bisa menghafalkan al-Qur’an. Putri adik saya
yang di Jawa timur juga telah menghafal
al-Quran, nak. Dia menghafal ketika dia mondok di sebuah pesantren tahfids
al-Quran.”
“kalau boleh tahu, adakah kiat-kiat untuk
menghafal al-Qur’an, Bu?”
“Ibu tidak tahu. Hanya saja, dulu ketika ibu
bertanya kepada Niswan, nama keponakan
ibu itu, orang menghafal al-Quran itu harus selalu berusaha menghindari
dosa dan maksiat. Selain itu, orang yang menghafal al-Quran harus istiqomah, di samping juga dia harus
setoran kepada seorang kiai.”
“Ya, menguji hafalan al-Quran kepada seorang
kiai.”
“Kalau begitu saya……..”
“Kalau nak mas mau, nak mas bisa pergi ke KH
Ilyas Bahesty al-Hafid di parakancanggah.”
“Di parakancanggah? Di mana itu?”
“Tidak terlalu jauh kok dari sini, nak. Paling
sekitar 7 kilo dari sini. Saya bisa meminta Pak Kardi untuk mengantarkan nak
mas. Pak Kardi itu sopir kami. Nanti saya kenalkan nak mas dengannya.”
“Aduh, saya jadi merepotkan ibu.”
“Saya senang. Demi Allah, benar-benar senang.
Sendainya saja Firman itu seperti nak
mas.”
“Insyaallah, Bu. Jika Allah menghendaki…”
“Doakan dia, nak. Doakan. Barangkali, selama ini
Allah tidak mengabulkan doa kami. Barangkali terlalu banyak dosa dan kesalahan
kami sehingga doa kami memohon kebaikan dan petunjuk bagi Firman tidak dia
kabulkan. Barangkali, oleh sebab doa-doa nak mas Iqbal sajalah pabila dia
berkenan untuk memberikan hidayah kepada Firman.”
@@@
Akhirnya, atas keinginan tuan rumah, aku tinggal
di sebuah kamar di lantai bawah. Sebuah kamar untuk tamu. Kamar yang luas
ukurannya., dengan sebuah spring bed besar. Sebuah cermin. Sebuah kamar mandi.
Satu set computer. Dan beberapa buku yang tergeletak tak terurus di meja kamar.
Aku berniat untuk menggunakan kamar ini menghafal al-Quran, sedangkan untuk
tidur aku akan tidur bersama Firman dan
para sahabat. Aku merasa tidak enak pabila harus menempati kamar ini,
sedangkan Firman dan para sahabat berada di atas.
Seperti siang ini. Setelah aku selesai
mengerjakan shalat dhuhur, aku mulai membuka mushaf al-Quran kembali. Sudah dua
hari ini aku tidak memegang mushaf. Rasanya rindu sekali. Kurindui
lekukan-lekukan huruf ayat-ayat al-Quran. Kurindui untuk menyentuhnya. Kurindui
untuk membacanya.
Aku duduk di atas kasur. Kubuka surat al-Fatihah
dan alhamdulilah, aku telah menghafalnya. Aku harus melanjutkan surat selanjutnya,
surat al Baqarah,. Bagaimana caraku menghafalnya ya?
Bisakah aku menghafalkan al-Quran ini? Mempukah
otakku menghafalkan seluruh ayat
al-Quran ini?
Ya Allah…..
Aku memohon petunjuk kepadaMu. Aku ingin
menghafal al Quran sebab aku ingin menghafal ayat-ayatMU, sebab dengan cara
yang demikian ini, aku akan tahu dan mengerti bahwa engkau adalah dzat yang
menciptakan dan dzat yang pantas untuk disembah.
Jadi, perlancarlah lidahku untuk menghafal
ayat-ayatMU, ya Allah. Tunjukkanlah aku bagaimaba aku dapat menghafal semua
ayat-ayatMU dalam mushat yang suci ini.
Yang kulakukan kemudian adalah mengkalkulasi,menghitung-hitung.
Kalau tidak salah ingatanku jumlah ayat-ayat al Quran itu sebanyak 6.666ayat. sementara aku
memiliki waktu 3 tahun untuk menghafalkannya. Ini berarti aku harus mempu
menghafal sebanyak 6.666;(3x12x30_=6,1722. Aduh, adakah ayat berjumlah 6,1722?
Ah, mustahil. Nggak ada ayat pecahan
seperti itu! Ini berarti aku harus menghafal sebanyak 7 atau 8 ayat perhari
selama tiga tahun. Jika aku gunakan waktu setelah shalat fardlu, aku harus
menghafal 2 atau 3 ayat. Ya, dua atau tiga ayat. Setelah dzuhur, dua atau tiga
ayat setelah ashar,dua ayat setelah magrib, dua atau tiga ayat setelah isya,
dua atau tiga ayat dan setelah subuh, dua atau tiga ayat.
Yaapp, dengan cara begitu, insyaalah, dalam
waktu tiga tahun aku bisa menghafalkan
al-Quran dan selesai ~! Syaratnya , aku harus istiqamah. Jika tidak istiqomah,
akan sulit bagiku untuk merampungkan hafalan al-Quran selama tiga tahun.
Bisakah aku utuk istiqomah?
Bisakah aku tidak, aku akan mencobanya, ya Allah.
Aku akan, mencobanya.
Tanpa membuang waktu lagi, segera kubuka kembali
mushaf al-Quran. Kubaca basmalah. Kubaca alFatihah. Kubaca shalawat. Dan
kubertawashul kepada nabi dan para imam yang suci.
Segera kudapati bulu-bulu kudukku merinding.
Kulihat mukaku menebal. Ini fenomena apa? Aku nggak tahu. Aku hanya merasa
seumpam di atas perahu di tengah lautan di mana kedua mataku menyaksikan ombak
tengah bergulung-gulung. Ayat-ayat al-Quran yang akan ku hafalakan, surah al
Baqarah ini, serta mau mengulungku.
Maka kuulangi lagi membaca basmalah. Membaca al
Fatihah. Membaca shalawat. Dan bertawashul kepada nabi yang ummi dan para
imam dari keluarganya yang suci.
Kutunggu sesaat.
Dan alhamdulilah.
Perasaanku takut pun sirana. Hatiku menjadi tenang. Jantungku tidak bergedup kencang.
Dadaku tidak bergetar. Lalu, kubaca ayat
pertama surah al Baqarah; alif laam mim.wallahu a’lamu bi muradihh-----demikian
biasanya kang Rahmat dulu menjelaskan maksud dari ayat mustasyabih ini. Kubaca ayat pertama ini sebanyak tujuh
kali. Setelah itu. Kulanjutkan dengan ayat kedua.
8
Pesta kecil di
dalam kamar
Bel rumah berbunyi
berkali-kali, tetapi tuan rumah tidak membukakan pintu jua. Ke mana Bu laela? Kemana pembantu rumah tangga? Bel berbunyi
lagi sedangkan aku duduk di sini, dekat
sekali dengan pintu rumah. Dan ketika bel bebungi sekali lagi, aku segera turun
dari tempat tidur. Aku menuju pintu.
Kubuka pintu.
Dan di depanku, berdiri seorang gadis memaki kaos
putih ketat lengan pendek dan celana jeans.
“Eh, maaf, Firma nada?” tanyanya.
“Anda………?”
“Saya temanya. Firma nada?”
“Firman lagi keluar.”
“Keluar?”
“Ya.”
“Jam berapa keluar?”
“Masuk dulu, mbak.”
Dia masuk.
Aku pun mempersilahkannya duduk.
“Maaf, aku belum pernah melihat kamu di sini
sebelumnya,”katanya, sesaat setelah duduk.
“Oh, iya. Kenalin, aku Iqbal, Iqbal Maulana.”
“Aku Indri. Indri Rahmaningtyas.”
“Indah sekali nama anda.”
“Kamu saudara Firman?”
“Bukan.
Aku sahabatnya.”
“Ooooh………kok aku baru lihat?”
“Sahabat barunya.”
“Ooooohh…..kok Firman nggak cerita sih?”
“Mbak bisa nelpon Firman. Dia bawa HP kok tadi.”
“Oh, iya. Maaf.”
Indri mengambil HP-nya. Sesaat kemudian,
terdengar pembicaraan dengan Firman.
“Kamu dimana……?Oooo……..aku ke rumahmu nich
sekarang. Iya, aku di temani mas Iqbal cakep lho………he……..he………he. nggak, nggak
. kangen nich. Cepetan pulang dong……..pesta?! heh ntar malam? Jam berapa? Oke.
Di mana? Biaasa? Oke. Dah sayang……….!”
Aku berfikir bahwa inilah kali pertama aku
mendengar perkataan seorang gadis yang demikian terbuka, ceplas-ceplos. Entah
apa yang dikatakan Firman di ujung telponnya sana, aku bisa mengerti bahwa
gadis ini, indri ini, adalah pacar Firman. Mendengar nada bicaranya, wajahnya
ketika bicara, dan kata-katanya, aku yakin gadis ini memang pacar Firman.
“Sebentar lagi dia pulang,”kata Indri kepadaku.
“Aku nggak ganggu kan mas?”
“Ah, nggak. Lagian, aku bukan tuan rumah di
sini.”
“Ssssttt…….Bu laela ada nggak?” dia berbisik.
“Emang kebapa?” aku setengah berteriak.
“Ah, nggak pa-pa. nggak enak aja. Boleh aku ke
atas?”
“Maksudnya?”
“ke kamar Firman?”
“Maaf, Indri. Aku bukan tuan rumah. Aku tidak
bisa memutuskan apakah boleh atau tidak.”
“Tetapi, aku biasa langsung ke kamarnya kok.”
“Tetapi bagaimana kalau Firman ditunggu di sini
saja.”
“Yaaaah, kalau memang nggak boleh. Tapi, temenin
dong. Kamu kan sahabat Firman? Jadi, sahabatku juga kan? Mau kan menemaniku?”
Aku menganguk saja.
Layaknya seorang tamu, seharusnya Indri aku kasih
minum dan makanan ala kadarnya. Tetapi, aku sendiri di sini seorang tamu. Ah,
lucu juga aku ini. Bagaimana tamu sepertiku akan tinggal bertahun-tahun di
sini. Tetapi, kalau dia kuambilkan minuman, apa nanti tidak salah perbuatanku
ini? Nanti tuan rumah akan menganggap aku keterlaluan. Lalu, haruskah aku
belikan Aqua, keluar? Tetapi, kalau bu laela atau pak burhan pulang dan
mendapati aku menyuguhkan minuman Aqua pada Indri, apa nanti nggak dikira aku keterlaluan sebab menganggap tuan
rumah nggak tahu diri?
Sesaat, aku bingung. Jangankan untuk ngobrol apa,
untuk berpikir menjamu tamu saja aku bingung. Kalau tidak kujamu, apakah Indri
tidak akan menganggapku tuan rumah yang tidak baik? Kalau kujamu…..ah, kenapa
jadi nggak karuan begini??!
“Mas kok diam saja. Mas pendiam ya?”
“Oh, nggak. Aku sedang berpikir, maka aku diam.”
“Berpikir apa, kalau boleh tahu?”
Akhirnya kuberkata,”sori banget, in. aku nggak
bisa ngasih minum nich.”
“Nggak usah di pikirin, sudah biasa kok. Sueeerrrr!”
“Alhamdulilah, kalu begitu.”
“Mas seorang muslim ya?”
“Iya………..”
“Aku juga muslim kok. Tapi, aku nggak pernah shalat. Boleh nggak?”
“Kenapa?”
“Kenapa ya? Nggak sih, males saja.”
“Tapi bisa shalat kan?”
“Bisa sih bisa . tapi…..”
“Aku dulu nggak bisa. Baru beberapa bulan saja
masuk neraka, mas?”
“Emang kenapa? Takut neraka?”
Indri tertawa. Katanya,” aku lebih takut
ditinggalin Firman dari pada masuk neraka.”
“Gitu ya?”
“Iya.”
“Jadi Firman lebih hebat dari neraka ya?”
“Maksu loe?”
“Ah, nggak ………sayang loh, kalau cewek secakep
kamu nggak shalat.”
Kulihat, pipi indri bersemu merah. Sumpah, dia
memang kelihatan lebih cantik dengan semu merahnya itu.
“Aku ….aku cewek yang nggak baik kok mas.”
“Maksud loe?”
“Mas suka niruin omongan orang ya?”
“Nggak juga. Aku memang benar-benar nggak tahu
apa yang barusan kamu katakana itu.”
“Aku muslim. Tapi aku nggak pernah shalat. Aku
juga nggak paki jilbab. Kalau ramadhan , aku nggak pernah puasa ramadhan. Dan
dengan Firman , aku sering melakukan …….melakukan hubungan………seksual laiknya
suami istri. Menurut mas, aku ini gadis yang baik atau bukan?”
“Menurutmu sendiri?”
“Mungkin aku tidak layak disebut muslim kali ya?”
“Aku kagum kepadamu, Indri. Boleh aku panggil
namamu saja, tanpa mbak? Usiamu berapa sih?”
“Sembilan belas mas?”
“Dua-dua. In , sori aku naya, apakah kamu
biasanya orangnya ceplas-ceplos begini?”
“Inilah Indri, mas. Nggak usah heran. Mas heran
ya? Mas kok nggak cerita sih, rumahnya di mana. Saudaranya berapa. Di sidi
kerja apa. Kuliah di mana. Pacarnya berap.”
“Pacar bera[a?”
“Iya. Orang secakep mas tentu saja suka ngerampok
ceweek kan?”
Aku
tertawa. Aku geleng-geleng kepala.
Dan aku terus geleng-geleng kepala.
@@@
Malukah aku yang harus berbincang-bincang denga
gadis sepereti Indri? Atau, haruskah aku sedih mendengarkan kata-katanya,
ucapan-ucapannya, dan keterbukaannya? Harus pulakah aku marah dan mencaci-maki
kepadanya sebab dia mengatakan bahwa dirinya adalah seorang gadis muslim yang
tida baik? Yang telah meninggalkan sembahyang, meningglkan puasa, dan bahkan
telah melakukan hubungan badan dengan cara tidak sah dan tidak halal?
Siapakah aku ini sehingga pantas untuk merasa
sedih dan marah; hingga pantas untuk mencaci dan memaki? Kata orang, buah jatuh
tidak jauh dari pohonnya’untuk
menggambarkan watak, sikap ucapan, dan perilaku seorang anak yang mirip
dengan kedua orang tuanya. Siang ini aku kembali belajar tentang hal yang
serupa dangan peribahasa ‘buah tidak jatuh dari pohonnya’akan tetapi tidak pada
hubungan orang tua dengan anaknya. Aku melihatnya pada diri Indri dan Firman.
Peribahasa itu tidak terlalu cocok sih, tapi mungkin bisa menjelaskan bahwa
seseorang akan mendapatkan orang yang sederajat dengannya. Aku pun
menjadi ingat terhadap Ida dan Yoga di dalam bus tadi malam ;orang baik-baik
akan mendapatkan orang baik-baik pula, sedangkan orang buruk-buruk akan
mendapatkan orang buruk – buruk pula. Orang baik memiliki kecenderungan
untuk bergaul dengan orang yang baik pula; sedangkan orang yang buruk
memiliki kecenderungan untuk bersahabat
dengan orang yang buruk pula. Kecenderungan yang demikian inilah yang aku lihat pada diri Indri dan Firman dan para sahabat.
Lalu, ketika aku ikut bergabung dalam persahabatan dan pergaulan mereka, haruskah aku menganggap
atau dianggap sebagi orang yang buruk pula. Haruskah aku dimaki sebagai orang yang
jahat juga?
Oh, demi bintang di langit; demi ombak yang
berdeburan di pantai, demi gunung yang menjulang tinggi, aku berlindung kepada
Allah SWT dari keburukan dan kejahatan perangi dan perbuatanku sendiri. Apa pun
kata orang nanti tentangku ketika mereka melihatku berteman, bersahabat, dan
bergaul dengan orang-orang seperti Firman,Indri, dan para sahabat di sini, aku
tidak peduli apakah aku akan dianggap bajingan atau penjahat. Mereka manusia;
dan aku pun manusia. Mereka adalah orang – orang yang sering diamuk dengan
pandangan beci oleh orang-orang yang merasa dirinya baik; dan aku tidak ingin
mengamuk membeci mereka, sebab aku merasa bahwa mereka tidak hanya berhak untuk
berkawan dengan orang-orang yang seperti mereka. Biarlah orang mencaci mereka,
sedangkan aku ingin belajar mencintai dan menyayangi mereka. Biarlah orang
mendengki mereka, sedangkan aku ingin belajar mengasihi mereka. Semoga, dengan cara mencintai, mengasihi
mereka, dan menyayangi mereka, mereka akan dipercepat untuk sampai pada kebaikan,
kebahagiaan, dan kebenaran!
Itulah hal yang aku tanamkan pada diriku ketika
menemani Indri berbincang-bincang tadi. Ketika Indri sendiri merasa capek
dengan keluh-kesahnya tentang dirinya sendiri kepadaku. Kutemani dia
bercakap-cakap hingga sore, hingga waktu ashar tiba, hingga bu laela pulang
dari berpergian dan hanya memberikan lirikan sebentar kepadanya tanpa menyapa.
Firman yang ditunggu-tunggu tidak juga pulang, sehingga akhirnya indri pulang
tanpa bertemu dengannya.
Setelah kepergian Indri, setelah aku menjalankan
shalat ashar, setelah aku menambah hafalan beberapa ayat dari surat-al Baqarah,
Bu Laela mengajaku berbincang-bincang khusus tentang Indri. Kutemani beliau
bercakap-cakap hingga Magrib menjelang Pak Burhan belum pulang dari kantor.
Dikatakan oleh Bu Laela bahwa dia tidak suka
terhadap Indri. Bagaimana dia akan suka terhadapnya kalau Indri adalah gadis
yang ‘terkutuk’di matanya?! Bagaimana tidak
‘terkutuk’ jikalau hamper setiap hari Indri datang ke rumah ini, bertemu
dengan Firman, bercakap-cakap di kamar, dan tidak jarang tidur bersama Firman?
Sudah tak terhitung Bu Laela mengingatkan (tepatnya;memperingatkan) Firman
bahwa perbuataan itu tidak bisa dibenarkan baik dari sudut pandang agama maupun
kemasyarakatan , tetapi setiap kali Firman diingatkan, setiap itu pula Firman membantahnya.
Setiap kali Bu Laela berbicara keras kepadanya, setiap itu pula Firman menbentak-bentaknya. Ketika Bu Laela memilih untuk berbicara dengan lemah
– lembut, Firman mengatakan bahwa dirinya bukan anak kecil lagi.
“Apa bedanya tidur bersama antara sekarang dan
nanti?”demikian kata firman.
“Bedanya, kamu belum menikahinya sekarang,
Firman.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Masalahnya perbuatanmu itu tidak dibenarkan oleh
agama kita.”
“Aaaalah……..agama lagi, agama lagi…..! aku sudah
capek. Aku sudah muak! Aku sudah muak menyembah Allah . Buat apa?! Buat apa aku
menyembah dia yang tidak mempu menyelamatkan adikku dari pemerkosaan dan
pembunuhan, heh? Buat apa?! Tuhan jenis apa yang tega dan kejam seperti itu!!”
“Huss, jangan berkata begitu!”
“Emang kenapa? Tuhan mau menghukumku?! Mau
membunuhku?! Lakukan saja………tapi, mana? Tuhan tidak bisa berbuat banyak
terhadapku.bagaimana mungkin aku akan menyembahNya? Aku akan melaksanakan
perintah-perintahNya? Enak saja! Bu, sudahlah. Nggak usah ibu mencampuri
urusanku dengan Tuhan dan Indri. Biar kuurusi sendiri!”
Bagitulah.
Demikianlah.
Itulah yang sering dikatakan Firman seperti yang
dikatakan Bu Laela. Ibu mana yang sanggup lagi mendengar kata-kata makian
terhadap Allah? Ibu muslim mana yang tidak sedih bercampur kecewa marah
mendengar kata-kata yang seperti itu? Ibu mana yang masih tahan memberikan
nasehat-nasehat pada orang yang seperti itu?!
Mendengar penuturan Bu Laela, bisakah aku Tanya;
seandainya aku adalah Bu Laela, bisakah aku menjadi orang yang lebih tahan dan
lebih sabar juka dibandingkan dengan Bu Laela ? belum tentu.
Belum tentu aku sesabar dan setaha Bu Laela. Bisa
jadi, firman kupukuli habis-habisan; akan kuanggap sebagai anak yang durhaka,
anak yang tidak tahu diri, anak yang tidak diuntung; akan kuanggap lebih baik
tidak memiliki anak seperti dia, tidak melahirkan anak seperti dia.
Tetapi Bu Laela ?
Dikatakan kepadaku bahwa walau dia sering
mengeluh tentang Firman, sekalipun dia tidak pernah menurunkan tangannya kepada
Firman. Pak Burhan juga demikian. Sakit hati orang tua terhadap anaknya tidak
membuat Bu Laela dan Pak Burhan mendoakan Firman dengan doa-doa yang jelek,
buruk, dan jahat. Perasaan sedih, kecewa, dan marah kepada Firman dilampiaskan
dengan cara lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Akhirnya, Bu Laela dan Pak
Burhan kembali menyerahkan urusan putranya itu kepada Dzat Yang Menentukan
segala urusan, yakni Allah SWT.
Mungkin, itulah sebenar-benarnya hati seorang
ibu. Betapapun anaknya demikian berperangai dan berperilaku yang jahat, buruk,
dan rusak, hati seorang ibu selalu mendendangkan doa-munajat kepada Allah, agar
Allah masih berkenan mengampuni dosa dan maksiat anaknya.
Dan demikian itu pulalah hati yang dimiliki oleh
ibuku.
Aduh, ibu.
Di Banjarnegara ini, aku kembali teringat akan dosa
dan kesalahan yang telah kuperbuat padamu, ibu. Tetapi karena kekuatan hatimu
pula, Iqbal yang sekarang Insyaallah tidak seperti Iqbal yang dulu. Andai saja
engkau tidak memiliki hati seorang ibu, mungkin nasibku akan lebih buruk
sekarang ini jika dibandingkan dengan nasibku yang dulu.
Dan aku yakin, entah bagaimana caranya nanti,
hati Bu Laela akan mampu meluluhkan kekerasan hati Firman putranya.
@@@
Malam telah bergulir lama. Hamper sepanjang satu
jam, aku duduk-duduk di teras rumah, menemani waktu dan angina yang berhembus.
Langit masih cerah. Bintang-bintang masih bertaburan. Tak kulihat satu pun
orang berjalan. Suara mesin kendaraan pun sudah lama tidak terdengar. Kuisi
waktu yang hamper satu jam ini dengan mengulangi hafalan al-Quranku. Alhamdulillah,
semua ayat yang telah aku hafalkan sejak tadi siang masih terjaga di ingatan.
Kuulang-ulang terus hafalankku, sebab aku khawatir berlalunya waktu dapat
meluluhkan hafalanku.
Firman belum juga pulang. Tadi dia akan
mengajakku untuk melakukan pesta, tetapi sampai detik ini tidak ada tanda-tanda
kemunculannya. Dia dan para sahabatnya mau pesta di mana ya?
Aku jadi ingin tahu, apakah cara berpesta narkoba
para pemuda di kota kecil seperti Banjarnegara ini laiknya pestaku dan
kawan-kawanku dulu di kota besar seperti Jakarta? Aku dan kawann-kawan dulu,
biasanya melakukan pesta kayak gituan di hotel berbintang. Kalau tidak
demikian, kami menyewa villa di daerah
puncak. Aku tidak tahu, apakah Firman
dan para sahabat akan berpesta di hotel mana. Apakah di sini ada villa?
Ah narkoba..
Beruntung sekali
aku telah menjadikanmu sebagai musuhku. Sungguh beruntung kamu tidak
membuatku mencanduimu. Amat beruntung
aku dapat mengenyahkan engkau dari ketergantungan diri.
Waktu terus bergulir. Jarum jam menunjuk angka
setengah satu. Tatkala aku hendak masuk ke dalam rumah, terlihat firman, surya,
parno,patmo berjalan dari arah kiri. Di belakang mereka, dua gadis mengikuti.
Aku kenal gadis yang satu, sebab dia adalah Indri. Gadis yang satunya aku tidak
kenal. Dia tampak lebih muda dari Indri. Wajahnya juga ayu seperti wajah Indri.
Segera aku bukakan pintu gerbang.
Firman terkejut mendapatiju yang membukakan
pintu.
“Belum tidur, mas?”tanyanya.
“Belum,”jawabku.
Sesaat, Firman mengenalkanku kembali dengan
Indri. Dan gadis yang satunya itu ternyata namnya Oktaniani.
Firman lalu mangajak kawan-kawan itu masuk ke
dalam rumahnya. Pelan-pelan. Berjingkat-jingkat. Agar tidak membangunkan kedua
orang tuanya. Firman dan para sahabat tidak tahu bahwa kedua orang tuanya belum
tidur dan memperhatikan mereka dari ruang tersembunyi. Aku tahu sebab tadi Bu
Laela dan Pak Burhan mengatakannya kepadaku.
Seperti halnya Firman mengajak para sahabat untuk
memasuki kamarnya, dia pun mengajakku untuk memasuki kamarnya. Aku ikut saja.
“Jadi pesta tadi, bang?”tanyaku lirih.
“Ssst…….belum,”jawabnya. “Pesta akan diadakan di
kamarku. Santai saja. Walaupun pesta kecil-kecilan.”
Sesampainya di dalam kamar. Firman, Parno, Patmo,
dan surya meletakkan gitar-gitar yang dibawa mereka di sudut kamar. Indri dan
Okta duduk di atas tempat tidur. Firman duduk di atas lantai dilingkari surya,
parno, patmo. Aku duduk di atas kursi yang ada di kamar ini.
Firman segera mengeluarkan bungkusan yang tadi
dia simpan di balik bajunya. Sebuah kantong plastic berwarna hitam. Dari dalam
kantong itu, sebuah bungkusan kertas berwarna putih dikeluarkan. Lalu
diletakkan di atas lantai.
“Inilah bubuk surgawi…..!” kata surya dengan
kepuasan yang berlebih.
Ya, apa yang disebut’bubuk surgawi’ oleh surya
tadi sebenarnya adalah marijuana. Itulah bubuk yang dulu sering aku konsumsi
bersama teman-teman di Jakarta. Sudah sekian bulan aku tidak melihatnya lagi.
Dan kini, aku kembali melihatnya.
“Hidupkan music!”teriak Firman pada Okta.
Okta turun dari tempat tidur. Sesaat kemudian,
lagu berjudul wind will yang dibawakan oleh Hlloween terdengar. Tidak terlalu
keras. Sebenarnya dapat membuat kantuk, sebab lagu itu bernada melo. Aku ingin
tertawa sebanarnya, bagaimana sebuah pesta diiringi dengan music sendiri ala
wind will. Tawaku mau terpingkal-pingkal sebenarnya sebab aku bayangkan para
sahabat ini sebenarnya tidak mengerti Helloween sedang berdendang tentang apa!
Sebuah alat dikeluarkan. Bong. Itulah namanya.
Jumlah ada tiga. Tiga korek api juga dikeluarkan.
Lalu, tanpa menungguggu waktu lagi, firman segera
mengisap bubuk itu. Ujung bong disulut korek api. Dihirup bubuk itu dengan
lubang hidung kanannya. Ditutup lubang hidung kirinya dengan tangan kiri.
Semua yang ada di kamar memperhatikan Firman
dengan wajah ceria. Mereka tidak sabar untuk menghisap bubuk durjana itu.
Surya segera mendahului teman-temannya yang lain.
Diikuti dengan Parno. Lalu Patmo. Lalu Indri dan Okta. Mereka beramai-ramai
menghisab marijuana. Menikmatinya hingga sedotan yang terakhir.
Aku tak dihiraukan oleh mereka seakan-akan aku
bukanlah manusia di kamar ini. Seakan –akan aku
tidak ada di antara mereka. Ini menguntungkan bagiku, sebab akan sulit
bagiju menjelaskan pada mereka bagaimana aku tidak ingin lagi menghisap bedebah
tengik itu.
Apa yang terjadi kemudian sungguh malu untuk
kulukiskan. Demi Allah, aku malu terhadap diriku sendiri. Seiring hilangnya
kesadaran para sahabat, terjadilah apa yang akan terjadi. Adalah Indri dan
Okta, sati persatu, segera melepaskan pakaian mereka. Sebelum mereka
benar-benar bugil, aku keluar kamar. Aku tak perlu menebak apa yang akan mereka
lakukan. Semuanya sudah jelas. Pesta narkoba memang sering berjalan beriringan
dengan pesta seks.
9
Gone With the Wind
Mendung mulai
bergulung-gulung. Musim kemarau telah hengkang, berganti dengan musim penghujan. Cerahnya mentari semakin sulit
untuk dilihat. Hari berbalutkan kemuraman. Dan langit berselimutkan awan.
Tetes-tets air hujan telah sekian lama basah. Demikian pula jalam, genting,
pepohonan, mobil-mobil, burung-burung.
Inilah bulan-bulan yang penuh dengan tumpahan
hujan. Inilah saat-saat penghujan di mana aku melihat dan merasakannya setelah
sekian lama keluar dari kota Jakarta dan merantau di tanah jawa. Dulu, ketika
mula pertama aku menapakan kaki di tanah tegal jading, aku disambut oleh panasnya
udara, angina kering, dan kemarau. Kulalaui hari-hari di tegal jading dalam
kemarau yang mengeringkan. Ketapaki jalan-jalan di kota salatiga dalam debu dan
kotoran.
Dan hamper lima bulan waktu kuhabiskan di
Banjarnegara. Dua bulan pertama kemarau masih menemaniku. Tiga bulan terkhir,
penghujan masih menjemputku. Curah hujan demikian tinggi. Mungkin, baru di
tahun inilah curah hujan demikian tinggi.
Kabar-kabar bencana masuk ke telingaku. Cerita
masa lalu yang mengerikan dan terjadi di kota ini kembali terdengar. Dulu, aku
hanya mendengarnya dari surat kabar. Di kota Banjarnegara ini, di sebuah tempat
bernama sijeruk, masyarakat ditelan tanah longsor. Ratusan orang tewas ditelan
bumi. Orang-orang Banjarnegara menyebutnya dengan’tragedi subuh’, sebab tragedi
itu terjadi ketika subuh. Ibu-ibu, gadis-gadis, dan anak-anak menjerit tak
tertolong. Para laki-laki sibuk menyelamatkan ini-itu sehingga mereka lupa
menyelamatkan diri mereka sendiri. Ratusan tewas. Sijeruk menjadi cerita
mengerikan dan memilukan.
Kini, tidak hanya sijeruk yang kembali menyita
perhatian. Bencana atau musibah hamper menyerang di penjuru negeri. Dalam
catatanku, bencana-bencana ini seakan-akan ditumpahkan semuanya dinegeri ini.
Mulai dari bencana moral hingga bencana alam di berbagai kawasa, berita tentang
buruh-buruh perempuan dan pelajar-pelajar putri yang kemasukan makhluk halus
bergema. Tanah negeri ini di sebut sebagi ini pertiwi. Ibu sedang menangis. Anak-anak
perempuan menjadi korban. Beberapa waktu yang silam, bencana lumpur tengah
melanda sidoarjo. Lapindo penyebabnya. Rumah, pekarangan, dan tanah-tanah
menjadi mati. Tanah subur berganti tanag yang mati. Berhektar-hektar lahan
tengelam dalam lumpur. Kerugian sudah tak terbilangkan lagi. Para penduduk
kehilangan tempat tinggal dan tongkat pekerjaan. Nasib mereka masih tidak jelas
hingga sekarang ini. Dan sudah seminggu Pak Burhan dan Bu Laela pergi ke Jawa
Timur. Menjenguk saudara mereka yang ikut menjadi korban.
Pesawat adam air hilang. Penumpangnya tewas tak
ditemukan. Kapal senopati karam. Bangkainya juga tak ditemukan. Yang tewas juga
tak ditemukan. Yang selamat hanya dapar mensyukuri diri. Rel kereta api anjlok
di mana-mana. Bus tabrakan sering terjadi. Negeri ini tengah diamuk musibah.
Pada keadaan yang demikia itu, petinggi-petinggi
negeri hanya terus berpesan kosong. Tebar pesona. Cari simpati. Bikin
pernyataan palsu. Tak berdaya! Para politisi rebut sendiri-sendiri,
memperebutkan gaji, dan mendapatkan tunjangan yang lebih gede lagi. Timnas
sepakbola hanya mendemonstrasikan keluncuan dan kegelian belaka. Para pemainnya
nggak bisa lari. Sok ingin menunjukkan kualitas dirinya sendiri. Malas untuk
mengejar bola. Sok ingin memasukkan bola ke gawang lawan sendiri-sendiri.
Ah, dunia-dunia.
Dunia negeri ini.
Dunia yang banyak diisi oleh orang-orang yang
memuakkan dan menjengkelkan. Dunia yang sulit di cari siaipa sesungguhnya
manusia, sebab yang ada, kebanyakan, adalah binatang bertopengkan wajah
manusia. Kepalsuan-kepalsuan ditampakkan. Citra-citra semu diagung-agungkan.
Ah, ngapain juga aku ngurus negeri yang tak
terurus ini?!”
Buang-buang waktu saja.
Membuncahkan dosa saja.
Memang apa yang telah bisa aku perbuat, di kota
ini, di Banjarnegara ini?
Sudah lima bulan berlalu. Dan aku hanya bisa
tenggelam dalam hafalan al-Quranku. Aku sudah hafal sepuluh juz. Hafal di luar
kepala. Untuk hal ini, aku sungguh berbahagia.
Tetapi apa yang tela bisa kuperbuat demi
kemuliaan para sahabatku?
Apa?!
Tidak ada!
Tidak banyak yang bisa kuperbuat demi kebaikan
dan kemuliaan para sahabatku. Jika yang dimaksud adalah Firman, surya, parno da
patmo telah meninggalkan dunia jalananya, dunia mabuk-mabukkannya, dunia seks
bebasnya, dunia narkobanya, maka omong kosong pabila kukatakan bahwa mereka
telah berubah. Sebaliknya, mereka tetap berada dalam dunianya yang seperti itu.
Sungguh, aku tidak mengerti lewat saluran mana
aku bisa mengubah mereka. Ah, sombong sekali aku ini sebab seakan-akan aku bisa
mengubahnya dan akan mengubahnya. Memang, apa hakku untuk mengeluarkan meeka
dari dunia seperti itu?
Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan terhadap
mereka adalah aku secara menyakinkan bisa diterima sebagi sebenar-benarnya
sahabat mereka. Kukatakan ini dengan sepenuuh hati. Dan mereka pun tahu bahwa
aku tidak mungkin melakukan kebiasaan mereka yang mabuk-mabukan itu. Tidak
mungkin bagi mereka untuk mengajak aku meninggalkan shalatku, meninggalkan
dunia al-Quranku.
Sebagai seorang muslim, mereka menghormatiku.
Menghormati aku yang tidak pernag meninggalkan shalat. Menghormati aku yang
sering mengaji al-Quran dan bahkan menghafalkannya. Menghormati aku yang tidak
menyentuh narkoba atau minuman keras.
Mereka tahu hal itu. Dan mereka tidak memaksaku untuk mengikuti mereka.
Oleh karena itu, haruskah aku memaksa mereka
untuk mengikutiku?
Apakah kebenaran itu bisa dipaksakan untuk di
terima oleh orang yang tidak benar? Memaksa adalah suatu perbuatan yang
tidak bisa dibenarkan. Kebenaran adalah
kebenaran, dan memaksa kebenaran sama dengan ketidakbenaran itu sendiei. Dan
aku tidak pernah memaksa FIrman, parno, patmo dan surya untuk mengikutiku.
Mereka memang muslim juga. Tetapi masalah seorang muslim apakah mau menjalankan
shalat atau mengaji al-Quran adalah
masalah dia dengan Allah SWT. Ini masalah petunjuk. Masalah hidayah. Anih
pabila aku membayankan memaksa seorang untuk masuk ke dalam hidayah Allah.
Hidayah hanya didapat melalui jalan kesadaran. Jalan ketercerahan diri. Dan
kesadaran dan ketercerahan diri selalu
berbanding terbalik dengan keterpaksaan.
Tetapi, seteka aku mengerti dan paham bahwa
keburuka adalah keburukan , kejahatan adalah kejahatan, amoralitas adalah
amoralitas, yang kesemuanya ini di mata agama merupakan dosa, maksiat, dan
kesalahan, di mana setiap muslim akan dihisab oleh Allah SWT di pengadilanNya
nanti di akhirat, sedangkan para sahabat juga seorang muslim, maka haruskah aku
diam saja seperti ini? Haruskah aku laksana seongggok daging dan tulang yang
lalu bersama angina begitu saja?
Haruskah aku puas dengan pencapaianku di dalam
menghafal al-Quran saja, dan terus-menerus melakukan pembiaran pada para
sahabat? Kul al-haq walan kaanamurran, demikian kata-kata para sahabat di
pesantren masih jelas tergiang-giang di telingaku. Maka, haruskah aku
menelankan pil pahit kebenaran pada mulut para sahabat itu?
@@@
Karena aku benar-benar sudah diterima sebagai
bagian dari mereka, aku sering ikut kegiatan-kegiatan mereka. Dan jika di
pikir-pikir dan direnung-renungkan, kegiatan mereka itu tak lebih dari hal-hal
seperti ini:
Kumpul-kumpul
Bicara ngalor-ngidul
Gitaran
Ngamen
Tidak lebih. Tidak pula kurang.
Jika dipikir-pikir dan direnung-renungkan, waktu
hanya dihabiskan untuk hal-hal seperti itu. Hanya untuk kumpul-kumpul, bicara
tak karuan, gitaran, ngamen, dan diselingi dengan mabuk-mabukan dan pesta
narkoba. Tidak lebih. Tidak kurang. Membayangkan saja kegiatan yang seperti itu
bisa membuat pikiran bosan, apalagi menjalankannya.
Tetapi anehnya, para sahabat tidak bosan-bosan
jua. Bayangkan saja, ketika mereka ngantuk-------dan biasanya kantuk menyerang ketika menjelang
subuh----mereka kemudian tergelapar bagitu saja untuk tidur, entah di dalam
kamar Firman, entah di alun-alun, atau entah di sembarang tempat. Mereka akan
tidur hingga sekitar jam Sembilan atau sepuluh. Terkadang, mereka baru bangun
menjelang dzuhur.
Setelah bangun, mereka mandi. Kamar Firman
benar-benar di pakai sebagai pusat kegiatan. Pera sahabat hanya pulang untuk
bersalain, ganti pakaian. Setelah itu, mereka langsung pergi begitu saja,
berkumpul lagi. Sehabis mandi, mereka ngobrol lagi, lalu pergi ngamen,
duduk-duduk, mabuk, ngobrol, dan menunggu kedua mata ngantuk kembali. Begitu
seterusnya. Setiap hari. Selama aku bersama mereka selama lima bulan ini. Tak
bosan-bosankah mereka?ternyata tidak. Sebab kalau bosan, mereka akan
menhentikan kegiatan-kegiatan yang hanya seperti itu saja.
Sesungguhnya, apa yang dicari oleh mereka?
Aku pernah membaca bahwwa anak-anak jalanan, oleh
sebagian ahli pikir, dianggap sebagai anak-anak yang melarian diri dari rumah.
Mereka tidak memiliki kebahagiaan di dalam rumah. Mereka mengalami konflik
dengan orang tua. Mereka pergi dari rumah untuk mencari dan mendapatkan
kebahagiaan yang sejati. Benarkah pendapat yang seperti ini?
Jika pendapat seperti itu dipakai untuk menilai
Firman, aku pikir pendapat itu tidak benar. Mungkin akan benar jika dipakai
untuk membaca surya, parno, dan patmo. Sampai detik ini, aku tidak tahu di mana
rumah mereka dan terlibat masalah apa mereka itu dengan orang tua. Yang aku
tahu, Firman tidak terlibat konflik dengan kedua orang tuanya. Jika pun ada
konflik, tak lain dan tak bukan konflik tersebut hanyalah antara Firman dengan
dirinya sendiri. Kenyataan membuktikan bahwa Pak Burhan dan Bu Laela tidak
pernah terlibat dalam pertengkaran dengan Firman, apalagi terlibat permusuhan.
Tetapi toh ternyata Firman tampak lebih asyik
berada di jalan dari pada di rumah. Dia hanya akan kembali ke rumah tatkala
pagi akan menjelang, tatkala kantuk mulai menyerang. Selebihnya, dia sering
berada di jalan.
Malam ini adalah malam ketiga belas di bulan
kelima aku berada di rumah ini. Di luar, hujan masihlah ders mengucur membasahi
apa saja. Sudah sekian menit aku menutup mushaf al-Quranku. Dan sudah sekian
menit aku duduk sendiri di ruang bawah ini.
Bu Laela dan Pak Burhan belum jua pulang dari
jawa timur. Entahlah, kapan mereka akan pulang. Mungkin, mereka masih kebingungan
mengurus sanak-saudara mereka di sana, yang rumahnya, pekarangannya, ladangnya,
dan sebagainya diamuk lumpur lapindo.
Akhir-akhir ini, firman hanya banyak menghabiskan
waktu di dalam kamar. Para sahabat yang lain jarang datang ke sini. Alasannya
hanya satu; hujan. Hujan menghalangi mereka untuk keluyuran di jalanan.
Entahlah, di mana keberadaan patmo, parno,surya, indri, dan Okta. Mungkin
mereka seperti Firman, menghabiskan sian dan malam hanya di dalam kamar.
Aku membuka pintu, dan aku disambut oleh hujan
demikian deras. Angina berhembus demikian kencang membawa Kristal-kristal air
membasahi sebagian tubuhku. Kilat menyambar-nyambar.udara dingin menusuk
kulitku. Oh, kejadian alam apalagi yang akan terjadi ini?
Aku tidak kuat untuk berlama-lama di luar.
Segera aku masuk kembali. Kututup pintu kukunci.
Aku melangkah menuju kamar Firman. Aku ingin
tahu, apakah yang tengah dilakukan oleh Firman di malam-malam yang seperti ini.
@@@
Demi Allah, demi dia yang jiwaku ada dalam genggaman
tanganNya, langkahku terhenti dengan tiba-tiba di depan pintu kamar Firman,
tatkala aku mendengar tangisan yang menyayat hati. Jiwaku berguncang hebat
tatkala aku menyadari siapa yang tengah menangis ini; Firman.
Firman sedang menangis?
Keajaiban apa yang tengah ia alami sehingga pemuda keras kepala dan berkepala baru
seperti dia terisak-isak dalam tangisan?
Kuketuk pintu, sebab aku tidak ingin masuk begitu
saja dalam keadaan seperti ini. Siapa tahu, aku akan menggangunnya. Kuketuk
pintu lagi. Dan lagi. Dan sekali lagi.
“Masuk”terdengar suara serak Firman menyuruhku
masuk.
Kubuka pintu.
Dan aku kembali terhenyak beberapa saat. Lalu aku
berlari ke arah firman.
“astagfirullah, apa yang tengah kemu lakukan ini,
bang?” bulu kuduku merinding. Kedua mataku melihat darah yang mengucur deras
dari pergelangan tangan kiri Firman.
Kutoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari kain untuk
menutup lukanya. Tetapi aku tak menemukannya. Kusobek saja baju yang kukenakan.
Dan tanpa menghiraukan Firman, kubalut luka di pergelangan tangannya dengan
sobekan bajuku.
“Biarin aja, mas! Biarin!”
“Nggak bisa. Kamu mau bunuh diri, bang?!” seruku
marah.
“Biarin aja! Biarin!”
Ucapan Firman demikian menyayat. Demikian
menyentuuh.
Ada apa sebenarnya ini? Ada masalah apa
dengannya?
“Aku sudah bosan hidup begini. Aku bosan. Aku
muak!” firman memukul-mukul kepalanya dengan tinju kananya.
Aku menjadi geram. Kataku kemudian,”daripada kamu
mau bunuh diri dengan sia-sia begini, lebih baik kamu mati di tanganku. Ayo
kita berkelahi saja hingga satu di antara kita ada yang tewas terkapar. Jangan
jadi cengeng loe! Preman kok cengeng!”
Ternyata, kata-kataku mampu membuat Firman marah
kepadaku. Lalu dengan tiba-tiba, dia menendang-nendang. Ilmu berkelahi telah
mengajariku bahwa orang yang mudah untuk
dirobohkan adalah orang yang tengah kalap. Orang yang kalap mudah sekali
dipatahkan oleh orang yang mampu menahan emosi.
Dan aku mampu menahan emosi. Taka da satu pun
tinjunnya dan tendangan kakinya mengenai tubuhku. Aku hanya memutar tubuhku ke
kiri dan ke kanan, merunduk dan melompat. Akhirnya, firman kehabisan energi
sendiri. Dia roboh kelelahan.
Kuangkat tubuhnya ke atas kasur. Kubaringkan. Dan
kubersihkan darah yang keluar dari kain pembalutnya.
“kenapa, mas? Kenapa hidupku begini?” tanyanya.
Dan pertanyaan ini mempu membungkam mulutku.
Mulutku terkaup rapat-rapat. Secerah pertanyaan yang sudah sekian lama
terpendam dalam dadaku tiba-tiba muncul kembali; inikah saatnya firman
menyesali diri?
“ceritakanlah, duh sahabatku. Apa yang
sesungguhnya terjadi padamu ini? Kenapa kamu tak lukai tanganmu sendiri
seakan-akan kamu tak mengharapkan tanganmu itu adalah tanganmu? Ke mana firman
yang aku kenal selama ini? Yang terdengar laksana batu karang tak tergoyahkan
diterjang ombak? Kenapa mala mini kusaksikan seorang Firman seumpama perempuan
kecil yang menangis memilukan?”
“Begitu kejamkah Allah itu, mas?”
“Apa?”
“Begitu mengerikankah wajah Ilahi itu?”
“Kejam tidaknya dia, tergantung bagaimana kita
menyangkakanNya, bang?”
“Mengapa dia membuat hidupku porak-poranda
seperti ini, mas? Mengapa? Di mana kasih sayangNYa yang sering kita sebut-sebut
itu? Di mana?”
Aku diam. Aku tidak mengerti apa yang harus aku
jawab.
“Bertahun-tahun yang lalu, yakinah mas Iqbal, aku
bukanlah seorang pemuda seperti ini. Hidupku terasa sangat bahagia, sebab Tuhan
telah menciptakan orang tua seperti kedua orang tuaku. Dan dia telah memberikan
kepadaku seorang adik seperti adikku. Percayalah, aku dulu seperti mas Iqbap;
rajin bersembahyang. Rajin mengaji al-Quran. Salah bila kamu menganggapku
selama ini tidak pernah sembahyang sebab aku tidak bisa sembahyang. Salah pula
bila kamu menganggapkku selama ini tidak pernah mengaji al-Quran karena aku
tidak bisa membaca tulisan –tulisan arab. Aku bisa, mas. Sumpah mati aku bisa.
Aku hanya tidak ingin melakukannya. Benar-benar tidak ingin. Demi Allah, demi
malaikat, demi iblis, aku tidak ingin melakukannya.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Kenapa? Mas Iqba Tanya kenapa?! Seandainya mas
adalah Tuhan, aku bertanya kepadamu; kenapa kamu biarkan adikku tenggelam dalam
pergaulan bebas? Dan Tuhan sendiri tahu bahwa karena kematian adikkulah aku
menjadi orang seperti ini. Apa dosa dan salahku? Apa dosa dan salah kedua orang tuaku telah menunikan rukun Islam yang
kelima. Dua kali lagi! Dan Tuhan pun
tahu bagaimana aku memiliki orang tua yang taat dan tekun dalam menjalankan
agama. Lalu kanapa Tuhan biarkan adiku tenggelam dalam pergaulan bebas itu? Lalu dia biarkan
adikku diperkosa ramai-ramai. Lalu setelah itu dia biarkan adikku dibunuh. Dan tidak hanya cukup di
sini, dia biarkan orang-orang yang memperkosannya dan membunuhnya hidup
berkeliaran sampai hari ini. Dia biarkan polisi
tidak berhasil menangkap mereka, mengadili mereka. Bajingan para polisi
di negeri ini. Bajingan Tuhan itu!!”
Laa hawla wa laa quwata illa billh. Kutarik napas
dalam-dalam. Kuhembuskan kuat-kuat.
Dialah Allah SWT. Dzat yang menciptakan langit
dan bumi dan apa-apa yang ada di dalamnya, dan apa-apa yang ada diantaranya;
Dan dialah yang
menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataanNya di waktu dia mengatakan;”jadilah, lalu
terjadilah”,dan di tanganNyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup.
Dia mengetahui yang ghaib dan yang Nampak. Dan dialah yang Maha Bijaksana lagi
Maha Mengetahui.
Dialah yang Esa. Yang bergantung kepadaNya segala
sesuatu. Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Yang tidak ada seorang
pun yang setara denganNya. Di membiarkan sesat orang-orang yang dikehendakiNya
dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan tidak ada yang
mengetahui tantara Tuhanmu melainkan dia sendiri. Dan saqar itu tiada lain
hanyalah peringatan bagi manusia.
Dialah yang telah mengharamkan api neraka
terhadap orang-orang yang bertauhid. Dialah yang telah berfirman;
“….sesungguhnya
orang yang mempersekutukan ( sesuatu dengan Allah, maka pasti Allah
mengharamkan surge, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang
zalim itu seorang peolong pun.”
Malam ini,
aku menjadi saksi betapa Tuhan yang demikian ini tengah dihujat dan di
caci-maki oleh sahabat muslimku sendiri. Malam ini sifar Rahim dan rahmanNya
dipertanyakan. Malam ini kesdilaNya di sangsikan.
“kenapa, mas? Kenapa membisu?!”
Apa yang mesti aku katakana? Apa yang mesti aku
ucapkan kepada dia yang telah meragu-ragukan Tuhan yang telah menciptakanku?
Jika dia saja telah diragu-ragukan, maka bagaimana akuakan dapat memberikan
keyakinan kepada orang sepertimu?
“Aku tidak butuh, mas. Aku tidak perku kamu beri
keyakinan. Aku hanya bertanya, kenapa? Kenapa Tuhan demikian kejam kepadaku?
Kepada keluargaku ini?”
“Jika aku katakana bahwa ini adalah bentuk-kasih
sayang Allah, kamu pastilah akan menertawakanku.”
Dan benar, firman tertawa terbahak-bahak. Demi
Allah, di balik bahak-bahak tawanya itu, tersimpan kegetiran dan kengiluan hati
yang dapat kurasakan.
“Dan jika kukatakan bahwa ini adalah ujian bagimu
dan bagi keluargamu, kamu akan menganggap Allah demikian kejam memberikan ujian
yang seperti ini.”
“Omong kosong! Akankah kamu menganggap bahwa aku
tidak pernag membaca ayat al-Qur’an yang mengatakn bahwa Tuhan tidak akan
memberikan beban yang tidak sanggup dipikul hambaNya? Aku sudah hafal ayat itu,
mas. Hafal fi luar kepala. Mas hafal al-Quran kan? Mas tentu tahu QS al-Baqarah
ayat 286 kan?”
Demi Allah, aku telah hafal surah al-Baqarah.
Tetapi aku tidak tahu ayat yang bagaimana dari surah al Baqarah ayat 286 itu.
Ah, ini kelemahanku, kelemahan seorang penghafal al-Quran. Aku hafal ayatnya,
tetapi aku tidak tahu ayat keberapa.
“Kenapa mas diam saja? Tuhan berkata bahwa. Dia
tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Tapi,
mana buktinya? Kisahkan kepadaku tentang seseorang yang sanggup menelan beban
seperti bebanku; seorang pemuda yang ingin menjadi baik, dari keluarga
baik-baik, memiliki adik yang baik-baik, lalu tiba-tiba mendengar kabar adikku
terjebak pergaulan bebas, lalu diiperkosa, dan kemudian dibunuh? Haruskah pula
kukatakan kepadamu, mas, bahwa sebagimana al-Quran mengajarkan akku untuk
berdoa, ‘ya Allah, janganlah engkau bebankan kami beban yang berat, aku pun
berdoa seperti itu hingga berbusa-busa,
tetapi ternyata dia memberikan jawaban yang sebalikNYa? Sekarang, sebut di mana
letak dosa dan kesalahanku kepadaNya, mas?”
Aku masih diam. Aku binggung. Maka aku diam.
Firman melanjutakn pemberontakan pikirannya,
“kuberi tahu sebuah rahasia, mas agar kamu menjadi tahu bukan hanya Allah
Mu itu saja yang tahu bahwa aku menjadi
gila seperti ini---meninggalkan shalat, meninggalkan puasa, mabuk-mabukan,
mengkonsumsi narkoba, dan lain segala perbuatan yang jahat-jahat dan
buruk-buruk ini---setelah aku percaya dan yakin kepada sifat rahman dan Rahim
Nya; setelah aku yakin dan percaya terhadap kebenaran dan keadilanNya. Tetapi
ternyata, keyakinan dan kepercayaanku kepadaNya di balasNya dengan menimpa
keluargaku. Mas tahu kan kenapa ayah dan ibuku pergi ke sidoarjo? Tidak lain,
bagiku, karena mereka ingin menyaksikan kekejaman Tuhan dengan kedua mata
mereka sendiri terhadap kerabatku. Jadi jangan pernah salahkan aku pabila
berbuat hal yang busuk-busuk seperti sekarang ini. Jangan salahkan aku, sebab
Tuahan sendiri yang telah membuatku melakukannya.”
“Cukup, bang. Cukup!” kataku kemudian. “jangan
kemu teruskan, sebab semakin kemu teruskan ucapan-ucapanmu, kamu semakin
membuatku bingung. Sungguh banyak pertanyaan yang kamu tujukkan kepadaku, tapi
tak satu pun jawaban yang bisa kuberikan dari masing-masing pertanyaanmu.
Cukup-cukup.”
Firman tertawa terbahak lagi. Dia
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku tidak ingin mempengaruhimu untuk
meninggalkan sembahyang. Aku pun tidak ingin mempengaruhimu untuk menjauhi dari
al-Quran. Sebagai pemuda yang baik, mas
adalah orang yang hebat. Akan lebih hebat pabila mas bisa menjawab
seluruh pertanyaanku. Tetapi bagaimana mungkin? Tuhan saja tidak bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaanku, apalagi mas? Apalagi manusia? Apalagi kiai atau
ustadz? Apa lagi mereka yang berpura-pura yakin dan percaya kepada Tuhan sedangkan mereka sendiri tidak sanggup
menunjukan alas an keyakinan dan kepercayaannya itu. Ah, tai orang yang mengatakan
Tuhanlah yang menciptakan langit dan bumi. Mana buktinya bahwa dia menciptakan
langit dan bumi, juga manusia, juga asu………..! pakek dalil keteraturan? Pakek kausa lintas? Pakai dalil al-Quran dn
hadist nabi? Siapa yang mempu
membuktikan dengan bahwa al-Quran itu kalam Tuhan ? mau di buktikan dengan
apa?dengan ayat-ayat al-Quran sendiri? Ah, omong kosong! Bagaimana sebuah bukti
akan dihadirkan sesuatu yang perlu bukti itu sendiri?”
“Dan kenapa kamu mau bunuh diri?” tanyaku tanpa
menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba dan di luar
persoalan yang tengah ia ajukan, firman terdiam dengan tiba-tiba. Mungkin dia
tak menyangka aku akan bertanya masalah ini di luar masalah yang
dipersoalkannya itu.
“kenapa kamu mau bunuh diri ?” kuulangi lagi
pertanyaanku.
“Untuk apa aku hidup? Hanya untuk menyaksikan
adikku menjadi korban kekejaman Tuhan ?
hanya untuk menjalani hidup yang seperti ini?”
“Jadi apa alas an utamamu hingga kamu ingin
membunuh dirimu sendiri?”
“Aku ingin bunuh diri supaya aku dapat segera
bertemu dengan Tuhan supaya aku bisa melabrakNya.”
Jadi untuk bertanya langsung kenapa dia
memberikan kekejaman-----dalam bahasamu--------kepadamu?”
“Iya! Di dalam hidup ini , sayang sekali, aku
tidak dapat menemukan Nya. Jika aku bertemu denganNya, itu lebih baik bagiku sehingga
aku tidak perlu bunuh diri.”
“Coba renungkan, bang. Kamu mau bunuh diri sebab
kamu ingin bertemu dengan Tuhan. Ingin bertanya langsung kepadaNya. Ingin
melabrakNya. Kamu lakukan ini sebab kamu tidak berhasil bertemu denganNya dalam
hidup ini. Dengan alas an yang seperti itu, adalah aneh melihat kamu menangis
sesenggukan ketika tadi kulihat pergelangan tanganmu berdarah-darah. Kenapa
kamu menangis jika keinginanmu untuk
bunuh diri adalah pilihan bagimu agar kamu segera bertemu dengan
Tuhan!?”
“Kenapa aku menangis, mas? Itukah pertanyaanmu?
Seandainya kamu duduk di hatiku, kamu tidak akan bisa mengajukan pertanyaan
yang seperti itu.”
“Aku tahu, bang. Aku tahu. Seandainya aku duduk
di hatimu, aku bisa menyaksikan bahwa kamu sesungguhnya tengah putus asa. Ada
ruang hampa di dalam dirimu. Ada kekosongan. Ada kegelisahan. Kamu meresa bahwa
semua yang telah kamu lakukan hanyalah kesia-siaan. Kamu lari dari kenyataan
dan mecipta kenyataan palsu; mengamen, mabuk, mengkonsumsi narkoba, free sex.
Dan semakin dalam kemu berada dalam kenyataan palsu yang kamu ciptakan sendiri,
maka semakin hampa, semakin kosong, semakin gelisah dirimu. Akhirnya kamu
menjadi putus asa. Semakin menjerit batinmu. Semakin marah kamu kepada Tuhan.
Itulah alasan kamu menangis. Benar kan ?”
Firman diam. Membisu. Lidahnya kelu. Dia salah
jika mengira aku tidak tahu apa yang tengah bergejolak dalam hatinya.
Terdengar Guntur mengelegar. Tampaknya hujan
semakin deras saja di luar. Kullihat jam di dinding. Sekarang sudah hamper
setengah satu.
“Bang, percayalah kepadaku. Dengan cara lari dari
kenyataan, kamu semakin akan menjauh dari dirimu sendiri. Sekarang coba pikir
bang, buah apa yang dapat kamu petik dari pohon kenyataan palsu seperti ini ?
bukankah kehampaan? Bukankan kekosongan jiwamu? Bukankah kamu semakin tergerus
dalam putusnya asa yang semakin
menjerat batang lehermu? Jika pun
kamu tidak lagi percaya Tuhan , setidak-tidaknya kamu harus percaya kepada
dirimu sendiri! Tetapi bagaimaba mungkin
kamu akan percaya kepada dirimu sendiri, sedangkan kulihat kamu akan mengakhiri
hidupnya seperti ini? Aduhai, bang. Jangan manganggpku sebagai orang yang
banyak mulut. Kuhormati sikapmu yang meragu-ragukan kebenaran, cintakasih, dan
keadilan Tuhan. Kuhormati itu. Tetapi, tolong hormatilah dirimu sendiri. Jika
pun kamu telah merusak citra Tuhan, setidak-tidaknya kamu tida merusak masa
depanmu sendiri. Sekarang, istirahatlah. Aku tidak ingin mengganggumu lagi.
Tetapi tolong sebelum kamu buang kata-kataku ke dalam tong sampah kehidupanmu,
pikirkan dan renungkanlah terlebih dahulu. Demi Allah, sesunggunya aku kagum
kepadamu, bang. Aku kagum. Kamu memiliki pikiran-pikiran yang tercerahkan. Dari
pertanyaan-pertanyaan yang telah kamu ajukan kepadaku, sesunggunnya kamu lebih
cerdas dariku.”
10
Cermin Retak
Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata. Aku diamuk gelisah, digulung
resah. Mellihat kejadian yang menimpa firman, dan mendengar keluhan –keluhannya
kepada Allah SWT, sekarang apa yang ada dalam pikiranku bercampur aduk jadi satu. Tadinya, ingin
kuulangi lagi hafalan al-Quran ku tetapi lidahku sering salah-salah melulu.
Yang pertama harus kukatakan adalah aku kersyukur
kepada Allah SWT sebab sekarang aku tahu alasa apa yang telah menjadika firman
menjalankan hidupu dalam dunia yang gelap seperti itu. Aku bersyukur bahwa ternyata dia memiliki prinsip, dan
prinsipnya benar-benar mempu menggetarkanku sebagai seorang muslim. Prinsipnya
itu benar-benar berbeda dengan prinsipku. Barangkali, juga berbeda dengan
prinsip-prinsip banyak orang yang terjebak dalam cara hidup yang sama seperti
firman.
Dulu, ketika aku masih seperti firman, prinsipku
adalah tidak berprinsiip. Kumasuki dunia hitam hanya karena satu alasan ; aku
anak tunggal dari orang tua yang kaya raya. Aku adalah anak tunggal Daeng
Abdillah, seorang pengusaha minyak yang kaya raya, yang lebih banyak
menghabiskan umur di antara minyak-minyaknya dari pada aku dan ibu. Apa yang
mesti dilakukan oleh seorang anak tunggal dari keluarga yang kaya
raya?pertanyaan ini sering ditanyakan. Klise. Tetapi, memang benar jika
diajukan kepadaku. Aku adalah anak tunggal daeng abdillah pengusaha minyak yang kaya raya, maka aku bisa
melakukan semuanya. Dan semau-maunya. Segala yang aku inginkan pasti dituruti.
Segala yang aku minta pasti dipenuhi. Aku mabuk,kluyuran, aku suka berkelahi,
dan aku hamper-hampir membunuh seeorang dengan sepucuk pistol yang kumiliki,
itu semua kulakukan senan aku adalah anak orang kaya raya. Yang banyak harta.
Banyak fulus. Aduhai, bagaimana aku bisa dibandingkan dengan firman yang
memasuki dunia yang pernah aku masuki dulu, tetapi itu ia lakukan karena Tuhan
;karena ingin membuktikan cinra kasih, kebenara dan keadilan Tuhan.
Bagaimana firman bisa dibandingkan dengan para
beradalan lain, yang mereka menjadi berandalan karena mereka lari dari rumah,
merasa rumah adalah penjara bagi
kebebasan mereka, dan meresa di jalanlah kebebasan akan didapatkan oleh mereka?
Bagaimana bisa firman dibandingkan dengan para
pengamen, yang hanya mengumpulkan receh dari satu bus ke bus yang lain, dari
satu terminal ke terminal lain, sedangkan setelah receh terkumpul, mereka
habiskan receh itu untuk membeli minuman keras?
Dan bagaimana bisa firman akan dibandingkan
dengan mereka yang menghabiskan waktu di jalan , hanya karena ikut-ikutan saja,
menuruti selera teman yang mengajaknya saja?
In sepereti membandingkan antara langit dan
sumur. Firman menjadi buruk perngai dan kelakuannya sebab dia memberontak
kepada Tuhan. Dan Nida, almarhumah adiknya, dijadikan pintu pemberontakan
tersebut. Melalui nasib buruk yang dialami adiknya. Firman sesungguhnya
memasuki pintu Tuhan yang berseberangan dengan pintu yang dimasuki oleh
orang-orang shalih. Orang-orang shalih memasuki pintu Tuhan dari arah kanan,
sedangkan firman memasuki dari arah kiri. Tujuannya sama’ Tuhan ! orang-orang
shalih berhasil menemukanNya, sedangkan firman berhasil meragukanNya.
Firman berkata,”jadi , jangan pernah salahkan aku
pabila berbuat hal yang busuk-busuk seperti sekarang ini. Jangan salahkan aku,
sebab Tuhan sendiri yang telah membuatku melakukannya.” Kupahami perkataannya
ini sebagai perkataan yang tidak bisa diartikan bahwa dia menganggap kelakua
buruknya sebagai takdir tuhan. Firman sedang tidak memerangakan diri sebagai
hamba Allah yang menganggap bahwa Allahlah yang menjadikan manusia berbuat buruk.
Firman sedang tidak menunjukkan diri sebagai orang yang ingin mengatakan’Baik
buruk itu dari Allah’. Allah tidak ada urusan dengan baik dan buruk perbuatan
yang dilakukan hambaNya. Allah hanyalah menunjukan; ini loh jalan yang baik
itu, dan ini loh jalan yang buruk itu. Kamu mau pilih mana, terserah
kepadamu! Untuk itu, sebagaimana yang
pernah aku dengar dari kang rakhmat , firman , oleh karenanya, tidak bisa
dibandingkan dengan Mu’awiyah bin abu sofyan.
Setelah meracuni al- hasan bin alli bin abi
thalib da melilhat situasi politik yang tepat, Mu’awiyah bin abu sofyan
berusaha menobatkan putranya, yazid, sebagai khalilfah setelahnya, dan ketika
Abdullah bin umar menyangkalnya, Mu’awuyah berkaata kepadanya,”Aku peringatkan
kamu untuk tidak merusak tongkat kaum muslim dan memecah-belah mereka, dan
menumpahkan darah mereka dan sesungguhnya urusan yasid—yakni penobatannya
sebagai khalifah—merupakan salah satu dari qadha dan tiada pilihan bagi para
hamba dalam urusan mereka.
Demi Allah , aku melihat ada alasan berbeda
antara firman dan mu’awiyah. Beda firman dengan muawiyah adalah muawiayah telah
memahami takdir Tuhan dengan cara yang zalim dan mengesahkan kezaliman dengan
nisbat perbuatan Tuhan, sedangkan firman melakukan kezaliman sebagai wujud
protes terhadap takdirNYa.
Sekarang, aku menjadi mengerti. Aku benar-benar
mengerti. Pak Burhan dan Bu Laela harus tahu masalah ini. Mereka seharusnya
berbahagia dengan firman bukan menyedihkan dan mengeluh-kesahkannya. Firman
adalah pemuda yang hebat, yang tidak bisa dibandingkan dengan muawiyah dalam
sejarah.
Memang, mabuk, judi, mengkonsumsi narkoba, atau
melakukan hubungan seksual secara bebas merupakan perbuatan-perbuatan yang
tidak dibenarkan. Aku tahu hal ini. Tetapi tunggu dulu. Tetapi cermati dulu
alasan yang digunakannya untuk itu. Firman melakukan ini semata-mata karena dia
memberontak kepada Tuhan setelah sekian lama ia mempercayai dan meyakiniNYa’setelah
sekian lama melaksanakan kebanaranNya.
Tetapi, apa yang telah diberikan Tuhan kepada
firman?
Kebahagiaankah?
Kesenagankah?
Kegembiraankah?
Tidak.
Sekali-kali tidak.
Tuhan
Justru mentakdirkan adiknya terjerat dalam pergaulan bebas. Lalu diperkosa
ramai-ramai. Lalu dibunuh. Lalu para pemerkosa dan pembunuhnya tidak berhasil
dibekuk oleh polisi dan dibiarkan berkeluyuran ke sana ke mari dengan bebas.
Inikah balasan Tuhan terhadap kepercayaan dan keyakinan firman kepadaNya?
@@@
Ya Allah, kenapa aku justru membela firman dari
kejahatan dan keburukan perangai yang selama ini telah ia lakukan? Demi engkau
yang jiwaku ada didalam genggaman tanganMu, kejahatan adalah kejahatan dan
keburukan adalah keburukan. Selamanya, kejahatan dan keburukan tidak bisa
berdamai dengan Mu. Aku tidak mengingkari hal yang demikian ini, duh Ilahi.
Sungguh, aku tidak mengingkarinya.
Akan tetapi, mendengat apa yang telah diutarakan
firman dan menimbang perjalanan hidup yang telah ia alami selama ini, sekarang
aku ibarat sebuah cermin yang retak di hadapanMu. Kulihat bayangMu demikian
samar sekarang. Dan aku mulai ragu. Setalah apa yang selama ini berhasil aku
capai, kini aku tahu bahwa aku mulai ragu.
Aku ragu terhadapMu, ya Allah………..
Aku kembali teringat masa laluku. Kala aku berada
di keramaian kota. Di bawah soratan lampu-lampu diskotik. Aku mulai berpikir
bahwa di situ, ditempat itu, Allah tidak ada, sebab jika Allah ada, tentu
diskotik tidak ada. Kenyataannya, diskotik ada( maka Tuhan pun tidak ada). Aku
menjadi jahat karena aku sendiri yang membuat ibuku terbentur kepalanya
didinding. Dan aku sendiri yang mengambil keputusan untuk merubah hidupkku.
Langkah-langkah kakiku menuntunku pergi ke
pesantren. Tujuan hatiku hanya satu;
ingin menjadi orang yang baik setelah sekian lama menjadi orang yang buruk.
Perubahan yang terjadi pada diriku adalah karena aku sendidri yang merubahnya.
Bukan sipa-siapa. Bukan paksaan siapa. Dan bukan dorongan siapa. Dan bukan
anjuran siapa. Dan bukan petunjuk siapa.
petunjukMu, ya Allah?
Tetapi apa buktinya?!
Apa bukti bahawa perubahan yang terjadi pada
diriku adalah bukti adanya hidayah dariMu? Berfirmanlh engkau dalam al-Quran Mu
bahwa engkau memberi petunjuk kepada siapa yang engkau kehendaki. Engaku beri
ampun kepada siapa yang engkau kehendaki.
firmanMu yang demikian itu tetap tidak sanggup
membuktikan bahwa sesat tidaknya seseorang bergantung kepada diri Mu. Sungguh,
aku tidak menolak seseorang yang mendapatkan hidayah kebaikan; aku pun tidak
menolak kenyataan tentang seseorang yang tadinya baik-baik berubah menjadi
buruk. Faktanya, ada orang baik-baik, pun ada orang buruk. Tetapi yang dapat
menjelaskan bahwa orang yang baik-baik itu menjadi baik karena hidayahMu,
sedang orang yang buruk-buruk menjadi buruk karena engkau sesatkan .
mana buktinya? Mana?
Apakah aku harus menunggu ajal untuk memperoleh
keyakinan bahwa apa yang engkau katakana dalam kitab Mu itu benar? Kalau
demikian, tentunya sahabatku firman berhak untuk bunuh diri sebab dia ingin
bunuh diri karena ingin membuktikan keberadaanMu kan/ kalau kematian adalah
jalan satu-satunya untuk meyakinimu dangan sebenar-benarnya keyakinan, lalu apa
artinya engkau hidupkan aku di dunia ini?
kataMu, dunia ini lading untuk beramal. kataMu,
akhirat itu tempat memetik hasil. Kata-kataMu yang demikian itu hanya bisa
diyakini oleh orang-orang yang mempercayai adanya kehidupan akhirat. Kehidupan
akhirat, akan mudah menyanggahMu. Siksa dan pahala hanya berlaku pada orang
yang percaya, maka bukanlah bagi orang-orang yang tidak percaya tentu tidak ada
neraka dan tidak pula ada surge?
Kalau demikian, benarkah apa yang dikeluhkan oleh
firman? Benarkah prinsip yang diyakini oleh firman?
Aduhai diri….
Diriku benar-benar laksana cermin yang retak. Aku
tidak bisa bercermin tentang diriku sendiri sehingga aku tidak bisa bercermin
tentang Allah ku. Sia-siakah perjalanan hidupku sekarang ini? Telah sia-siakah
aku meninggalkan kedua orang tuaku, menjadi seorang musafir hingga terdampar di
kota iini
?
?
@@@
Dan waktu terus berlalu. Hari berganti hari, dan
minggu pun berbilang. Telah hamper dua bulan sejak aku mendengar keluh-kesah
ketuhanan firman, aku terserang ragu yang demikian mencekik batang leherku.
Aku tidal lagi menyentuh mushaf al-Quran
pemberian Bu Laela. Kugelarkan saja mushaf itu di dalam kamar bawah. Dan aku
mulai jarang menjalankan shalat fardlu, apalagi shalat sunnah. Aku merasa bahwa
amalan-amalan selama ini kulakukan hanyalah kesia-sian belaka. Shalat adalah
cara kita berdialog intim dengan Allah, tetapi aku mulai menyadari bahwa aku tidak bisa berpura-pura seakan-akan
melihat Allah dalam shalatku. Ah, konsep ihsan……..ihsan apa?! Bukanlah
berpura-pura melihat Alla dalam sembahyang yang sama saja dengan menjadi
penipu? Allah melihat kita? Mana buktinya bahwa dia melihatku?
Pak Burhan dan Bu Laela tidak tahu tentang apa
yang kurasakan sekarang ini. Mereka masih saja percaya bahwa aku seorang muslim
yang baik. Mereka masih percaya bahwa aku masih khusyuk menjalankan shalat.
Masih khusyuk menghafal al-Quran. Mereka
tridak tahu bahwa aku telah meninggalkan shalat dan al-Quran , walaupun aku
tidak memasuki dunia firman dan para sahabat.
Aduhai, sungguh kasihan Pak Burhan dan Bu Laela.
Sungguh kasiha.mereka percaya kepadaku bahwa aku akan dapat mengubah cara hidup
firman. Padahal, aku sekarang justru meyakinii bahwa cara hidup firman adalah
cara benar. Maka, bagaimana mungkin aku akan merubah cara hiduipu yang benar
kepada cara hidup yang jahat?
Dan firman……….
Seprti halnya Pak Burhan da Bu Laela, firman juga
tidak tahu tentang perubahan yang tengah melandaku ini. Dia tidak tahu sebab
dia tidak pedulikan aku.dia hanya mempedulikan dirinya sendiri. Dan dia hanya
mempedilikan dunianya bersama parno ,patmo, surya, indri, dan Okta.
Oh, nasib, nasib.
Kenapa nasibku menjadi aneh begini? Kenapa aku
terombang-ambing dalam ketidakpastian dan keraguan yang seperti ini?
@@@
Sore ini, kala hujan masih menguyur bumi, aku berlari
dan terus berlari. Aku berlari mencari gereja. Aku ingin ke gereja, sebab siapa
tahu Tuhan tengah ada di sana. Tuhan telah tidak ada di kamar tempatku
menghafal al-Quran dan menjalankan sambahyang. Tuhan telah pergi dari san.
Tuhan telah meninggalkanku.
Kubiarkan tubuhku dihajar hujan. Kilat
menyambar-nyambar. Guntur mengelegar. Orang-orang hanya duduk-duduk di emperan
toko, mencari tempat berteduh. Mata-mata memandangku, memandang dengan kerdipan
heran.
Kubuka pintu gereja. Di sambut oleh bangku-bangku
kosong, tempat jemaat bersembahyang. Kuingin mengadu sebagaimana seorang
Kristen melakukan pengakuan.
“Duh, bapa …….maafkan aku,”suaraku lirih dan
putus asa.
“Ada apa anakku?”seorang pendeta berkata dari balik kelambu.
“Maafkan aku, sebab aku tela mengunjungi rumah
tuhan yang bukan tuhanku. Aku seorang muslim, bapa. Seorang muslim. Aku seorang
muslim yang tidak senggup menemukan tuhanku. Mungkin, engkau akan menolongku
menemukan tuhan melalui pintu rumahMu ini.”
“Ceritakan, apa yang tengah menimpamu, anakku.
Barangkali, aku dapat membantumu menemukan tuhan yang kamu cari.”
Lalu kuceritakan kepadanya ceritaku yang
sedetail-detailnya. Sejanak masa kecilku. Sejenak ku habiskn masa remajaku di
Jakarta. Hingga ke pesantren. Hingga sampai di sini. Kukisahkan pula,
keluh-kesah firman. Dan akhirnya kukisahkan kebingungan, kebimbangan, dan
keraguanku.
“Aduhai, anakku. Semoha tuhan Allah mengampunimu.
Kamu tengah putus asa, anakku. Kemu tengah putus asa. Dan putus asa adalah jalan setan. Jalan yang terkutuk.
Putus asa hanya akan semakin menjauhkanmu dari kasih tuhan.”
“Tetapi aku harus bagaimana, bapa? Akhir-akhir
ini, aku benar-benar tidak lagi sanggup menikmati hubunganku dengan Allahku.
Aku benar-benar tidak sanggup. Aku ragu kepadaNya. Aku meragukanNya. Yang
kubutuhkan sekarang adalah bukti, bapa. Bukti adanya dia. Tetapi, semakin
kucari bukti itu semakin tidak aku dapatkan.”
“Anakku, kamu tadi berkata bahwa dirimu adalah
seorang muslim. Pernahkah kamu mendengar kisah pedih yang menimpa cucu rasul saw, anakku?”
“Apakah itu, Bapa?”
Lalu aku dengarkan pendeta gereja ini
menceritakan suatu tragedy kemanusiaan yang , kata beliau merupakan tragedy
terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah masa lalu. Adalah padang karbala
tempat terjadinya tragedy itu. 10 Muharam waktu terjadinnya tragedy itu. Imam
Husain dan keluarga nabi serta beberapa sahabatnya dibantai oleh prajurit yang
mengatasnamakan kaum muslimin.
“Ajy sudah tahu cerita itu, Bapa. Aku sudah tahu.
Aku sudah tahu apa yang menimpa Husain . apa yang menimpa zaenab dan sukayanah.
Tetapi apa hubungan cerita itu dengan certai hidupku?”
“Anakku, menurutmu mengapa imam Husain dan para
sahabat rela mengorbankan nyawannya di tengah ratusan ribu prajurit yang
mengeroyoknya? Apakah imam Husain ingin menunjukkan kepada sejarah bahwa beliau
adalah orang yang hebat? Orang yang tidak takut terhadap maut? Orang yang tidak
takut terhadap tikaman belati dan tebasan pedang? Demi yesus kritus, imam Husain tidak demikian itu,
duh anakku. Syahidnya imam Husain adalah demi mempertahankan kebenaran. Demi
menegakkan kemuliaan tuhan. Demi menggapai kasih Tuhan. Sekarang, renungkanlah
;dzat yang bagaimana lagi yang melebihi kehebatanNya, ketika dia memiliki hamba
seperti laiknya imam Husain?”
Aku diam, aku tersudut.
“Anakku, hanya karena masalah kecil seperti yang
kamu ceritakan tadi, kamu telah berputus asa. Seharusnya kamu malu kepada imam
Husain, padahal kitab sucimu telah menjaminnya sebagai orang yang suci,
sedangkan taka da jaminan dariNya dan dari siapia pun juga bahwa kamu adalah
manusia suci.”
“Anakku,mengapa kemu ingin seperetei manusia pada
umumnya yang hanya bersyukur ketika diberi nikmat, dan berubah menjadi
resah-gelisah nan putus asa ketika tengah di beri coba? Mohon ampunlah kepada
Tuhanmu, anakku. Mohon ampunlah, sebelum terlambat!”
Aku menagis. Aku bingung. Aku merana.
Aku tidak menyangka ada seorang pendeta yang
demikian bijak bestari, luas wawasannya, dan melintas batas keyakinannya.
Inikah bukti kemuliaan Allah sesungguhnya?
Kata-kat pendeta ini, sungguh mengingatkanku
kepada Pricillia. Dia dulu seorang Kristen yang baik. Dan dia masih tetap baik
ketika melintas Kristen dan memeluk agamaku.
“Anakku, apakah kamu masih di situ?”
“Iya, bapa. Aku masih di sini.”
“Pergilah. Tebarkan kasih Tuhan. Damaikan
orag-orang yang ada di sekitarmu dengan damai Tuhan. Tuhan tidak pernah berbuat
zalim kepada hamba-hambaNya, anakku. Tuhan Maha Adil, dan keadilan Nya akan
dapat kamu saksikan pabila kamu mengikuti tanda-tandaNya.”
Siapakah pendeta itu? Kata-katanya telah
mengingatkanku pada awal perjalananku ketika meninggalkan tegal jading.
Bagaimana mungkin seorang pendeta yang seperti itu diklim dengan sesat dan akan
dibalas neraka?!
Kini, aku berlari kembali. Aku berlari
meninggalkan gereja.
Aku ingin sekali-kali pergi ke masjid agung di
kota ini, tetapi aku mengigil kedinginan. Baju dan celana yang kukenakan basah
kuyup. Mataku berkunag-kunang. Aku harus segera sampai rumah. Berganti baju dan
celana. Bersembahyang asar di masjid agung. Siapa tahu, di sana nanti aku baru
akan kembali menemukan diriku sendiri, sehingga aku tidak lagi seumpama cermin
yang retak.
@@@
“Nak mas darimana? Kok basah kuyup begini?” seru
Bu Laela yang membukakan pintu untukku. Wajahnya sangat cemas, khas wajah
seorang ibu. “Cepat ganti pakaian. Nanti sakit.”
Aku segera ke kamar atas. Membuka pintu. Masuk ke
dalam kamar Firman.
Firman tak jua aku temukan di kamar ini. Sejak
dia kutemukan akan bunuh diri di malam itu, firman tidak pernah pulang. Para
sahabat pun tidak pernah datang. Hanya sekali Indri dan okta datang kemari
mencari firman. Ke mana perginya?
Kuambil handuk. Kukucek-kucek rambutku. Kulepas
baju dan celanaku yang basah. Kuletakkan di kamar mandi. Kupakai baju dan
celana yang kering. Sepereti rencanaku semula, aku ingin pergi ke masjid agung
yang terletak di barat alun-alun. Tiba-tiba, aku merasa sungguh berdosa kepada
rabbku. Aku berdosa sebab sudah beberapa hari ini aku tinggalkan shalat,
kutinggalkan pula mushaf al-Quranku.
Ya Allah.
Apakah dengan cara meragukanMu maka aku adan
mendapatkan kebahagiaan yang lebih jika dibandingkan dengan saat ketika aku
meyakiniMu? Ternyata tidak, ya Allah. Ternyata tidak. Ajy tudak merasakan
kebahagiaan itu. Aku justru merasa diriku semakin jauh dari diriku sendiri. Aku
merasa anih ketika telah meninggalkan kewajibanku sebagai seorang muslim untuk
menghadapMu. Jiwaku kosong. Pikiranku hampa. Hatiku resah. Aku merasa hidupku
tidak tenang, tidak nikmat. menjauhiMu, duh Allahku, ternyata sungguh tidak
membahagiakanku.
Ampunilah aku, ya Allah. Ampunilah aku.
Ampunilah aku yang telah melalaikanMu akhir-akhir
ini. Ampunilah wajahku, rambutkum telingaku, lenganku, dan kakiku yang
akhir-akhir ini tidak lagi menyentuh air wudhu. Ampunilah lisanku yang telah
meragukan keberadaanMU, ampunilah hatiku yang telah melemparkan namaMU dari
sana. Dan ampunilah diriku seutuh utuhnya.
Sesunggunya, bukan hidup yang resah dan gelisah
seperti ini yang kucita-citakan. Tetapi aku mendamba hidup yang bahagia dan
tercerahkan. Dan ternyata, kebahagiaan dan ketercerahan ini raib seiring dengan
nafsuku yang menjauhiMu.
Kudengarkan pintu diketuk dari luar.
“Nak mas, bolehkah saya masuk?” terdengar suara
Bu Laela.
Aku segera bangun.
Kuusap kedua mataku yang basah.
“Nak………”
“Iya, ya , bu. Silahkan masuk.”
Dan aku tidak bisa mengelak ketika Bu Laela
mendapatiku dengan kedua mata yang masih basah. Dan mungkin merah.
“Apakah nak mas
sakit?” cemas Bu Laela bertanya.
Aku mengelenggkan kepala.
“Ada apa, nak? Apakah ada masalah? Apakah firman
membuat masalah denganmu?”
Aku menggelengkan kepala lagi.
“Telah kuanggap kamu sepereti anakku sendiri.
Ceritakan kepada ibu, apa yang tengah menimpamu.”
Aku tidak bisa, aku tidak bisa. Jerit batinku. Aku tidak bisa dan tidak
ingin melukai perasaan Bu Laela dengan cara menceritak apa yang tengah
melandaku, apa yang telah menimpaku. Aku tidak ingin membuat dia cemas, takut,
kalang-kabut.
Atas nama kepercayaan. Ya, atas nama kepercayaan,
Bu Laela telah mempercayaiku dapat menarik firman dari duniannya yang rusuh dak
lusuh, dan seandainya Bu Laela tahu dosa-dosaku akhir-akhir ini, tentu
kepercayaan itu menjadi sirna. Kepercayaan akan berganti kedukaan. Aku tidak
ingin membuat Bu Laela berduka.
“Berapa hari ini, sejak kami pulang dari jawa
timur, saya tidak mendengar suara ayat-ayat Allah memenuhii rumah ini, nak. Ke
mana suara itu? Kenapa nak mas tidak melanjutkannya kembali?”
Aku ingin menangis. Tetapi dengan sekuat tenaga,
aku menahan agar air mataku tidak jatuh.
Kulihat kedua mata Bu Laela menerawang. Katanya
kemudian,”aduhai rasanya ada yang hilang…….ada yang hampa. Setelah sekian lama
rumah ini dipenuhi dengan lantunan ayat-ayat suci, kini rumah ini kembali pada
keadaan yang memprihatinkan. Sebagai orang tua, dan sebagai seorang muslim,
sungguh indah pabila dalam sebuah rumah, terdengar bacaan-bacaan ayat suci
al-Quran. Saya dan suami memang biasa membacanya. Tetapi, kekuatan kami dalam
membaca al-Quran akan semakin bertambah jika nak mas membaca al-Quran lagi,
menghafal al –Quran lagi? Sudah bosankah, nak?”
“Demi Allah, ibu. Saya tidak bosan membaca
al-Quran. Hanya saja, akhir-akhir ini, saya….saya tengah mengalami,
yah…..mengalami sedikit masalah. Tetapi, alhmdulilah, masalah saya sudah
selesai. Saya akan membaca al-Quran lagi, akan menghafal al –Quran lagi. Sayang
sekali pabila saya tidak melanjutkan hafalan al-Quran saya. Sudah sepuluh juz,
bu. Sepuluh juz. Doakan saya segera hafal yang dua puluh juznya.”
“Harus. Memang harus saya doakan.”
“Firaman ke mana, bu?”
“Itulah nak. Sejak kepulangan kami dari jawa
timur, kami hanya bertemu dengannya dua kali. Sesungguhnya, apa yang tengah
terjadi dengannya, nak? Aku lihat, wajahnya demikian murung. Ah, semoga jerih
payah nak mas untuk membangunkan hati firman segera tampak hasilnya. Semoga
kemurungan wajahnya itu tidak lagi teriringi dengan kemurungan hatinya. Semoga.
Ya Allah, aku berharap kepadaMU.”
“Insyaallah, ibu. Insyaallah. Saya yakin itu.
Saya benar-benar yakin. Firman orang yang luar biasa sesungguhnya. Dia tampak
seperti itu, tetapi sebenarnya dia sangat luar biasa.”
11
Ujian Cinta
Aku telah menemukan
diriku kembali. Seorang Iqbal Maulana, yang terus berikhtiar untuk menjadi
orang yang lebih baik di hari ini dari pada hari sebelumnya. Yang terus menerus
berikhtiar dan berharap bahwa esok hari dia akan lebih baik dari hari ini. Tak
seharusnya aku meratapi kemarin dan puas dengan menatap hari ini. Esok harus
kulalui cara yang lebih baik.
Aku telah menemukan diriku kembali. Seorang Iqbal
yang lebih menemukan kesejatian diri ketika berusaha untuk melintasi jalan
untuk mendekati Ilahi dari pada terlempar dari jalan dan menjauhiNya. Ketika
aku mencoba mendekatiNya, kurasakan betapa jiwaku cerah dan bahagia, tetapi
tatkala menjauhiNya, jiwaku terasa begitu hampa.
Dan aku telah menemukan diriku kembali seorang
Iqbal yang sedang mengarungi lautan al-Quran, mengeja, membaca, dan menghafalkan
ayat-ayat al-Quran. Bahkan, aku merasa bahwa tidak seharusnya aku menghafalkan
ayat-ayat al-Quran saja melainkan juga mengerti dan memahami maknanya.
Untuk itu, aku telah menemukan diriku kembali,
seorang Iqbal yang akan mencari kitab al-Quran
dan terjemahannya, karena dangan membaca terjemahannya, aku dapat
memahami ayat-ayat al-Quran yang kuhafalkan dan kubaca.
Aku telah menemukan diriku sendiri, dan aku
merasa nyaman sekarang. Rumah Bu Laela terlihat tampak lebih indah di mataku.
Ada pelangi di sana. Pelangi itu akan
tampak jauh lebaih indah seandainya saja firman telah menemukan dirinya sendiri
sebagai mana aku telah menemukan dirinya sendiri. Kini entahlah apa yang dia
kerjakan. Satu bulan terakhir ini aku hanya bisa bertemu dengannya dua kali.
Kali ipertama, ketika dia pulang sekitar pukul dua malam, ketika aku tengah
tiduran mendengarkan music dari taperecordernyal. Kala itu, kuputar andai
kutahunya band ungu. Lagu itu sangat enak terdengar di telinga. Syairnya
memikat. Melodinya memikat. Lagu menjelang akhir tatkala firman masuk.
Wajahnya kusut. Bajunya lusuh. Ada bekas-bekas
hujan yang masih menempel di baju yang dia kenakan. Dengan tanpa banyak
berkata, dia langsung melempar tubuhnya, dan berbaring di sampingku. Dia
mendesah. Resah. Kuperhatikan, kedua metanya menerawang menembus langit-langit
kamar.
“Di mana-man, Tuhan memang tidak ada.” Dia mulai
mengawali pembicaraan. Lebih tepat, pembicaraan antara dia dengan dirinya
sendiri.
Aku menjawab. “tuhan itu ada di mana-mana.”
Dia menoleh ke arahku. Sanggahnya,”Berarti benar
pabila dia berada di mana-mana, maka kejahatan pun ada di mana-mana.”
“Maksudmu?”
“Yang kudapatkan, di mana-mana ada banyak
kekejaman. Kekejaman atas nama agamaNya. Pembunuhan , pemerkosaan, bencana,
musibah, ah…..Tuhan yang sejati memang tidak ada. Yang ada tuhan –tuhan palsu.
Tuhan yang di mana-mana itu pasti tuhan palsu. Aku yakin itu!”
Tanpa menunggu komentarku, firman beranjak dari
pembaringan. Aku diam saja. Kulihat dia berganti pakaian. Aku hanya melihatnya
saja. Ketika kudapati dia mau keluar, aku bertanya, mau ke mana. Dia menjawab,
mau menemukan Tuhan yang sebenar-benarnya.
“Tetapi aku sudah menemukan Nya,” seruku.
“Aku tidak mau mempunyai Tuhan seperti Tuhanmu.”
“Terserah saja, “aku agak jengkel juga
mendengarnya.
Pada pertemuan yang kedua, dua hari yang lalu,
tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya. Dia pulang. Dia mandi. Dia
berganti pakaian. Dan dia pergi. Sesaat ketika dia mau melewati pintu kamar aku
sempat berkata,”semoga kamu sudah menemukan Tuhanmu.”
“Belum!!” serunya.
Sejak saat itu, firman tidak pulang. Firman raib,
entah ke mana. Entah di mana. Surya, parno, dan patmo berkali-kali datang ke
rumah. Mereka ternyata juga mengalami kebingungan. Firman tidak bersama mereka.
Firman hilang entah di mana.
Dan kemarin, kala Bu Laela berada di butiknya dan
Pak Burhan berada di kantornya, kala aku duduk sendiri di ruang tamu, indri
datang sendirian. Wajahnya tampka sedih. Dan benar saja, seperti halnya para
sahabat yang lain, dia juga mempertanyakan keberadaan firman.
“Aku nggak tahu.”
“Masak sih nggak tahu? Kamu kan satu rumah?
“Aku benar-benar tidak tahu.”
“Lalu apa yang kamu tahu?”
“Aku hanya tahu dia sedang mengembara.”
“Heh, mengembara…….mengembara apa? Di mana? Ke
mana?”
“Mengembarai hatinya sendiri.”
“Apakah dia sudah tidak mencintaiku lagi?”
“Memang kenapa?”
“Kalau dia mencintaiku, tentu dia akan pamit
padaku.”
“Indri, benarkah kamu mencintai firman?”
“Maksuh mas?”
“Bukan. Tidak, jangan salah mengerti. Maksudku,
seberapa dalam cintamu kepada bang firman?”
“Akankah mas Iqbal mengukur kedalaman cintaku
kepadanya?”
“In, cintakah kamu terhadap dirimu sendiri?”
“Ma……..maksud mas?”
“Tanyailah dirimu sendiri, apakah kamu mencintai
dirimu sendiri atau tidak. Lihatlah , bagaimana seseorang itu mencintai dirinya
sendiri. Dia tidak akan menyakiti dirinya sendiri. Sebab, jika dia menyakiti
dirinya sendiri, dia pastilah tidak memiliki cinta pada dirinya sendiri.”
Kukatakan demikian pada indri, sebab aku ingat
sebuah kisah tentang seseorang yang menulis surat kepada sahabat ahu dzaral
ghifari. Ternyata surat itu datang dari jauh, dari seorang yang mengenal
dirinya, mengenal kedudukannya di mata rasululullah saw, dan mengenal
pengetahuannya yang luas terhadap hadist-hadist dan hikmah rasulullah saw.
Orang tersebut meminta nasihat kepada abu dzar. Abu dzar lalu memberikan
jawaban. Di dalam suratnya, dia mengatakan, “jangan engkau memusuhi dan
menyakiti orang yang palilng engkau cintai.”
Laki-laki pengirim surat itu menerima surat
jawaban tersebut. Ia pun membacanya, namun tidak memahami sama sekali.
Laki-laki itu bertanya –tanya sendiri,”apa yang dimaksud abu dzar dengan jangan
memusuhi orang yang paling engkeu cintai?” apakah masuk akal, ada orang yang
memusuhi dan menyakiti orang yang paling dicintainya? Yang aku tahu, orang tidak adan menyakiti orang yang paling
dicintainya, malah akan membelanya dengan harta dan nyawanya.”
Akhirnya, laki-laki itu menulis lagi kepada abu
dzar , yang berisi tentang permintaan
agar abu dzar menjelaskan apa
yang dimaksud dengan ucapan nya itu.
Dalam surat jawabannya abu dzar barkata;
SSSSSSSSSSSSSS
Ingin kukatakan perkataan abu dzar seperti dia
kepada indri , tetapi aku takut melukai,
pikiran dan perasaannya. Akhirnya, aku hanya bisa berkata demikian tadi. Aku
tidak ingin melihat seorang indri yang cantik nan ayu wajahnya ini, akan
terus-menerus melukai jiwanya sendiri dengan cara membelenggukan diri dalam
dunia hitam seperti itu. Ayu wajahnya akan lebih indah lagi ketika ayu pula
spiritualitasnya. Tetapi bagaimana aku dapat menjelaskan hal yang demikian ini
pada orang seperti indri?
@@@
Tiga hari kemudian, indri datang lagi ke rumah.
Kulihat wajahnya masih sedih waktu kemarin dia
bersua denganku di rumah ini. Yang membuatku heran, dia tidak bertanya tentang
firman. Dia bertanya jawab tentang aku dan tentang dirinya.
Katanya, mas, sumpah……..sampai detik ini aku
tidak mengerti apa maksud perkataanmu kemarin itu. Jadi , plis, jelaskan apa
maksudmu?”
“jadi kamu tega memikirkannya?”
“heh, tega? Kok tega sih ? yang disebut tega
adalah ketika mas Iqbal berkata-kata aneh terhadap diriku sendiri. Emang siapa
orangnya sih di dunia ini yan tidak mencintai dirinya sendiri? Tetapi, aku
yakin, mohon jelaskan . saat ini juga.”
“Kamu cantik, in.”
“Emang.”
“Pernahkah kamu menyadari bahwa kamu adalah gadis
yang cantik.”
“Mau ngerayu nih? Nggaku dirayu, aku juga mau
kalau mas mau.”
“Bukan begitu…….”
“Lalu?”
“Kecantikanmu akan bertambah pabila kamu tidak
hanya merawat tubuh dan wajahmu.”
“Emang mas pernah ngeliatin tubuhku? Baguskan
tubuhku?”
Aku tersenyum . getir rasanya. Aku mesti harus
bersabar( maaf kugunakan kata-kata yang menyimpang dari kaidah berbahasa ini)
menghasapinya. Barangkali, memberikan, nasihat yang baik pada indri lebih mudah
dari pada memberikan masukan kepada firman. Dari indri, mungkin firman bisa
berubah.
“Maksudku, kecantikanmu akan bertambah pabila
kamu tidak hanya merawat tubuh dan wajahmu, tetapi juga merawat hati, pikiran,
dan perasaanmu.”
Indri menatapku tajam. Bibirnya berkaup rapat.
“Ah, betapa bodohnya aku ini, kataku. “sori
banget ya, aku ngomong begitu. Aku pasti telah melukai hatimu.”
Indri menggeleng-gelengkan kepala. Menggelengkan
kepala. Dan terus menggelengkan kepala.
Aku jadi merasa bersalah. Aku telah melukai
hatinya, menusuk jantungnya,dan perasaannya.
“Ah, sudahlah. Jangan dipikirkan. Indri sudah
demikian canti kok. Sumpah. Demi Allah. Indri gadis yang baik. Luar biasa.
Canti dan ayu. Pantas untuk mendapatkan firman. Aku doakan.”
Tiba-tiba indri menutup mukannya dengan kedua
telapak tangannya.
Dia menangis.
Dia berdiri. Lalu pergi. Lari.
@@@
Telah begitu sombongkah aku ini, sehingga
tega-teganya menyakiti perasaan seorang wanita? Oh, iqbal…iqbal. Siapa dirimu
ini sehingga kamu berhak memberikan nasihat kepada orang lain?
Tetapi, tidak. Bukan demikian maksudku. Aku tidak
bermaksud untuk menyakiti seorang gadis muslimah yang baik, minimal jika
dibandingkan seorang gadis muslimah terjebak dalam pergaulan bebas seperti itu,
ikut mabuk-mabukan, mengkonsumsi naskoba, dan melakukan hubungan seksual secara
tidak sah dan tidak halal. Aku tidak ingin melihat dirinya lebih hancur dari
kehancuran sebagai seorang gadis muslimah
seperti sekarang ini, maka aku beri nasihat yang seperetei itu.
Tetapi, pabila aku menginginkan dia menjadi
seorang gadis muslimah yang baik, jangan-jangan dia sendiri tidak
menginginkannya? Lalu, apa artinya keinginanku pada dirinya? Bukankah hal yang
demikian ini disebut sebagai egoku tentang egonya?
Ah, wallahu a’lam. Yang pentin, aku telah memberi
dia masukan yang berarti, setidak-tidaknya menurut agamaku sendiri. Saling
nasihat-menasehati dalam hal kebaikan adalah kebaikan dan keutamaan, dan aku,
minimal, sekali telah melakukannya kepada seorang Indri. Lebih baik aku tidak
lagi memberikan nasihat kepadanya, sebab
aku khawatir dia mendengarku bukan dengan hatinya, tetapi dengan
perasaannya yang terluka.
Beberapa hari kemudian, di kala jam telah
menunjuk angka setengah delapan, indri datang kembali ke rumah. Seperti
biasanya, bu laela dan pak burhan tidak mau menerimanya. Kebetulan aku tengah
duduk diteras rumah. Langit sedang cerah. Hujan yang akhir – akhir ini sering tertumpah, mala mini tidak berani
memunculkan dirinya.
Tetapi seperti wajahnya yang kemarin, kulihat
wajah indri agak cerah sepereti langit yang sedang merekah. Aku berharap, dia
tidak terluka perasaannya di mala mini oleh sebab kata-kataku beberapa hari
yang lalu.
“Mas, ayo dong kita cari firman,”pintanya
kepadaku. Dia berdiri di depanku, seperti seorang adik kepada kakaknya.
“Mau cari di mana?” tanyaku.
“Yaaah……di mana sajalah. Mungkin dia sedang di
alun-alun. Aku takut jalan sendiri.”
“Sahabat-sahabat yang lain pada ke mana?”
“Tau, mereka rasanya tidak peduli terhadap
firman. Mereka mungkin modar!”
“Jangan berkata begitu.”
“Ya, ayo, bantuin aku!”
Mau bagaimana lagi, akhirnya aku berdiri.
Kami akhirnya menyusuri jalan. Menyisir jalan di
sekeliling terminal. Sungguh, aku tidak akrab dengan siapa pun orang yang ada
di sekelilling terminal ini, tetapi lain halnya dengan indri. Hampir sepanjang
jalan, ada aja orang yang menyapanya dan berbasa-basi dengannya. Di sini, di
sekitar terminal ini, indri seumpama artis yang dikenal banyak orang. Kepada
mereka indri bertanya kalau-kalau mereka tahu di mana firman. Mereka menjawab
tidak tahu. Hebat juga firman itu, sebab---- sebagaimana indri----dia juga
sangat terkenal di kalangan orang-orang ini.
Kami terus melangkah, di basahi cahaya lampu dan
bulan yang tersenyum di angkasa. Kami menuju arah pasar. Indri sibuk bertanya
lagi. Dan dijawab dengan jawaban yang sama; tidak tahu di mana keberadaan
firman.
Lalu, kami menuju perempatan lampu merah di mana
kami mendapati sekelompok pemuda sedang duduk-duduk mengobrol bersama tukang
becak. Lagi-lagi indri mengenal mereka. Lagi-lagi bertanya tentang firman pada
mereka. Dan lagi-lagi dijawab dengan jawaban yang sama.
Dan kami terus berputar-putar. Berputar-putar tak
menentu. Kulihat jam di tangankku. Waktu menunjuk angka setengah sepuluh. Dan
aku sudah demikian letih berjalan. Berjalan seperti iini benar-benar
meletihkanku. Oh, seandainya saja firman dapat kami temukan, tentu keletihanku
akan berkurang.
“Berhenti dulu, in. capek nih.”Aku duduk begitu
saja di atas trotoar.
“Masak gini aja capek sih?”
“Iya, kamu nggak capek. Aku yang capek.”
“Iya, tahu. Anak Jakarta nggak pernah jalan kaki
sejauh ini.”
“Duduk dululah.”
“Jangan di sini ah, nggak enak. Lebih baik di
alun-alun aja. Siapa tahu firman mendarat di sana.”
Bener juga, batinku.
Aku pun segera berdiri. Mensejajari
langkah-langkah kaki indri. Hebat nian indri ini, walau dia seorang perempuan,
dia memiliki langkah-langkah yang cepat melebihi langkah-langkah kakiku.
Kami telah sampai di alun-alun.
Kusapu sekeliling dengan mataku. Kulihat
alun-alun ini demikian sepi. Hanya ada beberapa pedagang kecil yang jualan nasi
kucing, wedang ronde, tempe goreng, dan kopi. Dua orang tukang becak duduk
mengantuk di atas becaknya masing-masing. Sepasang muda-mudi melintasi menuju
arah selatan.
Kami duduk di atas rumput di dekat pohon
beringin. Kedua kakiku kuselonjprkan untuk merenggangkan otot-otot yang terasa
kaku. Indri duduk di samping kiriku, juga denga menselonjorkan kedua kakinya.
Aku putus asa. Aku tidak melihat kelebatan
bayangan firman, apalagi firman yang sebenarnya. Aku capek. Aku lelah. Aku
baringkan begitu saja punggungku di atas rerumputan alun-alun.
Tanpa kuduga, indri melakukan hal yang sama
dengan apa yang aku lakukan. Dia juga
berbaring. Bahkan, dia berbaring miring ke arahku. Da aku terkejut. Aku
benar-benar terkejut. Melihat wajahnya, aku sadar bahwa wajah yang demikian itu
wajah yang sedang mengoda.
Akhirnya aku duduk kembali.
“Kenapa, mas? Takut pada indei?”
“Ah, nggak. Bukan kamu yang kutakutkan. Aku takut
terhadap diriku sendiri.”
“Emang kenapa?”indri kembali duduk di
sampingku.”Apa indri terlalu buruk di mata mas sehingga mas merasa takut?”
“Justru karena kamu tidak buruk itulah yanga
membuatku takut.”
“Apkah mas sudah punya pacar?”
“Ah, itu lagi yang kamu tanyakan.”
“Sungguh, beruntung sekali kekasih mas itu.
Bolehkah aku rebahan di paha mas?”
Tak kuduga, indri mulai menurunkan kepalanya ke
atas pahaku. Dengan pelan-pelan, aku mendorong kepalanya itu. Kuminta dengan
halus agar dia tidak melakukan hal yang demikian itu.
“Memang aku sungguh tidak berharga di mata mas
Iqbal.”
“Bukan begitu, in.”
“Lalu kenapa? Salahkah aku rebahan di pahamu?
Terlalu sucikah kedua pahamu terhadap kepalaku, mas?”
“Kamu jangan salah paham. Pertama, kamu telah
punya fireman. Coba bayangkan, seandainya saja firman tahu kamu sedang rebahan
di pangkuanku, lalu apa jadinya?”
“firman nggak ada mas. Lagian, kita sudah cari
kesana-kemari tidak kita temukan.”
“Kedua, aku sudah memiliki gadis yang aku cintai.”
“Di mana?”
“Jauh dari kota ini.”
“Jauh kan? Apa salahnya kalau kita menjalain
cinta di kota ini, lalu cinta bisa kita pisahkan ketika mas pergi dari kota
ini, dan aku akan kembali kepada firmanku.”
“Tak terlalu berhargakah cinta di matamu, in?
percayalah kepadaku, orang yang mudah menjalin cinta, mudah pula
memutuskannya.”
“Sungguh demi Tuhan, indri belum pernah bercinta
dengan laki-laki seperti mas?”
“Kemana arah kata-katamu ini, in? begitu
sempitkah kamu mengartikan cinta sebagai hubungan seksual? Cinta bukan itu, in.
itu terlalu rendah untuk mengukur cinta.”
“Cinta memang bukan hal yang demikian itu, aku
tahu mas. Tetapi aku memang belum pernah bermain cinta dengan orang baik kayak
mas.”
“Kenapa kamu selalu berbicara tentang nafsu, in?”
“Karena mas membuatku bernafsu!”
“Astagfirullah, in. sadarkah dengan apa yang kamu
ucapkan ini? Kemu seorang gadis muslimah, in. ingat itu.”
“Walau aku muslimah, aku bukan muslimah yang
baik. Aku sadar itu. Sebagi orang yang buruk, salahkah aku berkata tentang
cinta dan nafsu?”
“Kuhormati sikapmu itu. Tetapi, plis, hormati
juga diriku.”
“Mas, bukankah aku hanya meminta kepadamu agar
kamu mengijinkanku merebahkan kepalaku di pangkuanmu? Marilah kita akhiri saja
bicara soal cinta dan nafsu, walau sangat menyenagkan bagikku berbicara hal
yang demikian itu. Marilah kita hanya berbicara tentang boleh tidaknya aku
merebahkan diri di pangkuanmu.”
“Sekali tidak boleh, tetap tidak boleh.”
“Kalau memaksa?’
“Aku terpaksa akan meninggalkanmu.”
“Kalau aku berteriak keras bahwa kamu akan
memperkosaku? Dan orang-orang akan mendatangi
kita dan memukulimu?”
“Itu lebih baik dari pada kemu merebahkan diri
dipangkuanku.”
“Setegar itukah kamu ini, mas? Sehebat itukah
dirimu?”
“Sekali lagi, kuhormati sikapmu dan tolong hargai
pula sikapku. Sekarang, ayo aku antar kamu pulang. Kalau kemu tidak mau, aku
akan pulang sendiri sekarang!”
@@@
Dunia, dunia…
Inilah dunia nyata.
Sebuah pembicaraan cinta yang demikian singkat
antara aku dan indri. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa indri demikian
blak-blakan berbicara tentang cinta dan demikian fasih mengartikan cinta hanya
sebatas nafsu. Indri, sebegitu parahkah dirimu? Sebegitu bejatkah moralmu?!
Astagfirullah al adzim……..
Dalam hidupku dan dalam pergaulanku selama ini,
aku belum pernah menjumpai seorang gadis seperti indri. Di Jakarta itu, aku
banyak mengenal gadis, tetapi lebih banyak lagi aku mengenal sahabat-sahabat
laki-laki. Dari semua gadis yang aku kenal, dari semua gadis yang dekat
denganku, tak satu pun ada pembicaraan indri. Maka,salahkah jika kukatakan
bahwa indri terlalu bejat moralnya?
Siapakah yang telah membejatkan moral gadis itu?
Aduhai menyedihkan sekali. Pabila seorang indri
yang canti jelita seperti itu berbusana muslimah dan bertutupkan jilbab, lalu
dari lidahnya tak ada ucapan lain kecuali kebenaran dan tak ada dzikir yang lain kucuali ayat-ayat suci
al-Quran, tentu keindahan wajahnya berbanding lurus dengan keindahan jiwanya.
Aduhai, sayang sekali indri hanya memiliki keindahan wajah, sedangkan jiwanya
dipenuhi nafsu seperti itu.
Ya Allah, apa yang mesti aku doakan kepadaMu tentang gadis
seperti indri? Firman saja belum bisa
kuajak menapaki jalanMU kembali, tetapi engkau telah hadirkan indri dengan jiwa
yang dipenuhi nafsu seperti itu di hadapanku.
Alangkah malangnya nasibku………
Jangan-jangan, aku menolak indri karena aku sudah
tahu bahwa dia moral bejat seperti itu. Tetapi, seandainya saja dia memiliki
moral yang cantik secank parasnya, aku tidak bisa lagi menolak dia yang ingin
rebahan di pangkuanku, ya Allah? Jangan-jangan, begitukah aku ini, duh,
Tuhanku? Pembimbingku?
Jangan-jangan , aku seumpama lelaki biadab
bangsat buaya darat yang menolak seorang
wanita buruk karena keburukannya, sehingga ketika ada wanita baik, maka aku
mengejar-ngejar dan merayunya!
Masyaallah, laa hawla walaa quwata illa billah.
Benarkah aku menolak kemauan indri kemarin karena
aku takut kepadaMu? Aku berlindung kepadaMU dari tarian nafsuku, ya Allah? Aku
benar-benar berlindung kepadaMu. Kau telah selamatkan aku dari ujian cinta yang
sepereti itu.
Oh, zaenab. Sekian lama aku tidak menyebut
namamu. Ijinkan aku meminta maaf kepadamu sebab baru kali ini lagi aku ingat
dirimu. Kamu adalah cinta sejatiku. Kamu adalah gadis yang menambat hati dan
jiwaku. Jilbab birumu selalu saja terbayang
di pelupuk mataku. Lihatlah! Ujian cinta baru saja menghampiriku. Dan
lihatlah, atas karunia Allah aku dapat lulus darinya. Dan doakan aku dengan
munajatmu, agar ujian seperti ini tidak lagi menggulungku sehingga mempu
menutup cintaku kepadamu.
12
Tuhan Benar-benar
Maha Aneh
Sudah sekian lama
indri tidak datang ke rumah. Kuharap dia sekarang benar-benar mengerti bahwa
tidak semua laki-laki memiliki cara pandang yang sama terhadap wanita, dan
bahwa tidak semua laki-laki memiliki tatapan mata yang sama ketika melihat
wajah seorang gadis. Jika pun bukan karena alasan itu, aku senang dia tidak bertemu
dengan firmab, sebab jika dia bertemu dengannya, bisa-bisa dia dan firman lebih
seru berenang dalam dunia hitam.
Dan tidak hanya aku saja yang merasa senag bu
laela dan pak burhan pun merasakan hal yang sama. Indri—sebagimana juga
okta—adakah dua gadis yang paling sering datang ke rumah ini. Mereka membawa
sikap yang tidak selayaknya untuk ukutan seorang gadis. Bergaul dengan mereka,
demikian bu laela sering berkata, tidak lebih selamat daripada menjauhi mereka.
Bu laela dan pak burhan pun merasa senang sebab
teman-teman firman yang lain juga telah jarang datang ke sini. Surya, patmo,
dan parno tidak lebih baik dari pada firman dan bersahabat dengan mereka
justru semakin menerjunkan diri dalam
jurang kenistaan.
“Setidak-tidaknya,”demikian kata bu laela, “rumah
ini terbebas dari pemuda-pemudi dan gadis-gadis yang nista. Saya benar-benar
tidak habis mengerti mengapa anak-anak sepereti itu bisa dibiarkan oleh orang
tuanya.”
“Lagi pula, “imbuh pak burhan,”mengapa rumah ini
di jadikan markas mereka?walau mereka bersahabat dengan firman dengan cara
seperti itu, setidak-tidaknya mereka menghormati kami sebagai orang tua dan
sebagai pemilik rumah ini. Jika mereka datang bersama firman, mereka ngeloyor
begitu saja, atau mereka nyelonong begitu saja ke kamar firman. Ah, apakah
anak-anak sekarang tidak diajari sopan-santun oleh orang tuanya?”
Sebagai orang tua dan juga sebagai pemillik rumah
ini, wajar jika mereka berkata seperti itu. Rumah ini bukan markas orang-orang
nista. Tidak ada tullisan di depan rumah yang mengatakan.”rumah ini milik
umum!” apalagi digunakan sebagai tempat untuk minum-minuman keras, pesta
narkoba dan seks bebas.wajar jika pak burhan dan bu laela berekata begitu. Jika
aku menjadi orang tua , tentu aku akan berpendapat yang sama sepereti mereka.
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya
menjadi anak yang shalih, menginginkan
anaknya bergaul dan bersahabat dengan anak-anak yang shalih pula. Tidak
ada manusia waras di dunia ini yang mengharapkan anaknya menjadi penjahat dan
memilliki teman-teman jahat. Bahkan para penjahat sendiri, jika mereka masih
menggunakan otaknya sedikit, tidak mengharap punya keturunan pembunuh , pemabuk
, atau pemerkosa.
Kulihat bu laela dan pak burhan merasa sedikit
lebih tenag, walau firman sampai detik ini belum juga pulang. Doa bu laela dan
pak burahn , semog firman di luar sana
tidak berkumpul-kumpul dengan pera sahabatnya itu. Semoga firman
terbebas dari orang-orang seperti itu?
@@@
Tetapi doa adalah doa. Doa adalah permohonan.
Terkadang, orang yang berdoa lupa bahwa dia tidak sedang berdoa, melainkan
sedang memaksa. “Berilah aku kebahagiaan, ya Tuhan!” bagaimana Tuhan bisa
diperintah-perintah seperti ini? “Berilah aku panjang umur!” berikan aku surge
dan jauhkan aku dari neraka!” al-Quran berfirman;
Doa mereka di dalamnya ialah;”subhanakallahumma”
dan salam penghormatan mereka ialah;”salam”. Dan penutuup doa mereka
ialah;”alhmdulilaahi rabbil’alamin”
Subhanakallahumma; maha suci engaku,duh
Allah…..doa seharusnya dimulai dengan pujian-pujian kepada Allah. Allah adalah
dzat yang pantas untuk dipuji. Dia pantas untuk dipuji sebab dialah dzat Yang
Maha Pencipta dan Maha Disembah. memujiNya berarti mengakui dan meyakini
keagunganNya. Meka, setelah mengakui dan meyakini kengunganNya, si pendoa baru
berdoa kepada Allah SWT tentang hajat-hajat yang diharapakannya. Dan si pendoa
seharusnya mengakhiri doa dengan pujiaan-pujian lagi kepadanya’”alhamdulillahi
rabbil’aalamin”
Ya, Allah…….
Tetapi walaupun demikian, aku percaya bahwa
engaku memang adalah Dzat Yang Maha Mengabulkan doa. Sebagaimana bu laela dan
pak burhan berharap firman di luar sana—entah di mana dan sedang apa—dapat
selamat dari kejahatan dan kemaksiata, aku pun mengharap padaMu akan hal yang
sama.
Aku tidak memaksa Mu, ya Allah. Aku hanya memohon
kepadaMu, sebab engaku lah sebaik-baiknya tujuan memohon. Berilah petunjuk
kepadaNya sebagaimana engaku telah memberi petunjuk orang-orang yang shalih.
Kuatkan hati da jiwanya sebagai mana engkau telah menguatkan hati dan jiwa
orang-orang merdeka.
Sementara aku terus memiliki pengaharapan seperti
itu, aku pun terus-menerus mengahafalkan ayat-ayat al-Quran selanjutnya. Dan
alhamdulilah, terhitung sejak sore itu
di hari pertama aku menghafalkan surat al-Baqarah, sekarang aku sudah sampai
pada surat Ibrahim. Alhamdullilah. Tidak akan lama lagi, aku akan segera
mengkhatamkan hafalanku.
Tetapi, bagaimana cara aku menguji hafalanku?
Oh, iya. K.H.Ilyas Bahesti al Hafid di parakan canggah!
Aku jadi ingat, aku harus pergi setoran al-quran
kepada beliau. Ya aku harus segera pergi ke beliau untuk mempertanggungjawabkan
hafalankuk.
@@@
Sore nanti atau kalau tidak malam nanti, aku
berencana akan pergi ke Parakancanggah. Aku akan setoran al-Quran. Ya Allah,
bagaimana yan rasanya setoran hafala al-Quran di hadapan seorang kiai yan hafal al-Quran?
Tiba-tiba darahku berderis. Aku terkisap. Aku
merasa takut. K.H.Ilyas Bahesty al-Hafid aku belum prnah bertemu dengannya,
tetapi menyebut nama beliau saja tubuhku bergetar kayak begini. Maha Besar
Allah ketika Dia telah menjadikan hamba-hambaNya penghafal al-QuraN. Bangun berdekatan
dengan al-Quran. Berdiri dimanja al-Quran. Dan berjalan diiringi al-Quran. Maha
Besar Allah yang telah membersihkan lidah para hambaNya yang hafal al-Quran
dari ucapan-ucapan kotor dan buruk. Maha Mulila wauah Allah SWT.!
Jam menunjuk angka setengah tiga. Seperti biasa,
bu laela dan pak burhan belum pulang. Seperti biasa, pembantu rumah tangga
menyibukkan diri di dalam sana. Dan aku hanya duduk di ruang tamu ini, denga mushaf al-Quran di tangan
kananku.
Bel berbunyi.
Aku menuju pintu
Kubuka pintu.
Dan kulihat, surya, parno , dan patmo berdiri di
depanku
Kupersilahkan mereka masuk.
Mereka pun masuk.
Kepersilahkan mereka duduk.
Mereka pun duduk.
Kok mereka mau-maunya duduk di sana ya? Padahal
biasanya mereka akan nyelonong begitu saja ke kamar firman?
“Apa yang kamu pegang, mas?” Tanya Parno.
“mushaf al-Quran,”jawabku.
“Nah, benarkan…..apa aku bilang?” berseru
tiba-tiba surya.”Gara-gara ini firman jadi begitu!”
“Sebentar, sebentar,”aku terkejut. Tampaknya ada
satu peristiwa yang tidak aku ketahui tentang firman dan para sahabat
ini.”kok aku merasa jadi tertuduh
seperti ini, para sahabat?”
“Mas sedang menghafal al-Qurankan?”
“Iya.”
“Dan rajin membaca al-Qurankan?”Tanya surya.
“Kamu itu guoblokkk!”cercaa patmo.”sudah tahu sedang
mengahafal al-Quran secara otomatis rajin membaca al-Quran to?”
“Belum tentu, mo. Kamu itu yang guoblokk! Sebagai
pengamen, memalukan sekali kemu tidak bisa membedakan antara membaca dan
menghafal. Tanya tuch mas Iqbal, apa beda membaca dan menghafal.”
“Alaaaah, kalau kamu tahu, kenapa harus minta mas
Iqbal untuk memberi tahu. Bilang saja kamu guoblokkk sepertiku!!”
“Biar kalian nggak sama-sama
goblok,”menimbrunglah parno,”kita dengarkan saja apa kata mas iqbal tentang
perbedaan membaca dan menghafal.”
“Membaca itu kedua matanya memelototi apa yang
dibaca. Kalau menghafal matanya bisa merem melek. Benar kan kata saya, mas?”
Aku tersenyum.”kira-kira, begitulah
perbedaannya,”kataku.
“Nah, apa aku bilang?” berseru surya dengan
bangga.” Aku kan sudah bilang banyak menghafal itu belum tentu banyak membaca.
Sebaliknya, banyak membaca belum tentu pula banyak menghafal.”
“Gitu aja bangga,” patmo belum mau mangalah,”
kamu memang tahu beda membaca dan menghafal al-Quran. Tapi, mbok ya ngaca kamu
ini. Membaca al-Quran, tidak. Menghafal juga tidak. Gitu aja bangga.”
“modar kamu!!” terik parno pada patmo,
kegirangan.”kena kamu……….!”’
“tapi setidakp-tidaknya aku tidak pernah mengaji
juga kan, No?”
“sudah, sudah. Apa hubungan antara mushaf ini
dengan firman? Ada kejadian apa yang tidak aku ketahui tentang kalian dan
firman?
Mendengar perkataanku, mereka tertunduk lesu.
Mereka jadi ragu. Mereka kelihatan sedih. Mereka bungkam membisu. Mereka ragu
untuk berkat-kata kepadaku.
Aku terus mendesak mereka.
Akhirnya mereka pun angkat bicara.
Pertama-tama, yang berbicara adalah surya.
Katanya,”mas, maafkan kami jika kami harus berkata bahwa firman telah berubah.”
“telah berubah? Maksudmu? Berubah bagaiman?”
“maksud surya, “menambah patmo dengan
kata-katanya,”firman telah berubah menjadi orang yang aneh.”
“aduh, tolong yang jelas dong kalau
ngomong,”seruku.
“dan kami curiga, perubaha ini gara-gara mas,
maaf, mas.”
“cepet ngomong!!” perintah parno pada surya.
“diantara kita, kamu yang pandai ngomong.”
“Gini mas. Sebagaimana mas, indri, dan okta yang
mencari-cari firman, kami pun mencari firman ke sana ke mari. Kami mencarinya
sebab kami takut kehilangannya. Sekian lama kami mencari firman. Di sungai, di
lautan, di gunung, di mana-mana.”
“Alaah, tai, jangan sok puitis loe ! to the point
aja…? Patmo meneriaki surya.
“kamu seringya sirik sih sama aku? Apa kamu nggak
suka kalau aku ngomong baek-baek!” membantah surya kepada patmo.
“Iya nich, mas. Mereka ini suka berkelahi. Tidak
hanya adu jotos. Dalam hal bicara pun mereka sering berkelahi, mas. Maafkan
mereka, “ berkata parno. Kalau di pikir – pikir , parno ini adalah sahabat yang
palling sopan sikapnya terhadapku, sejak aku mengenal mereka.
“lebih baik kamu lanjutkan ceritamu, pintaku kepada surya.
“di sungai, di lautan , digunung-gunung, kami
telah mencari firman. Tetapi, kami tidak menemukan tapak-tapak kakinya.”
Kini, meledaklah tawa patmo. Katanya, “memang
aneh mempunyai sahabat aneh sepertimu, ya. Kalau kamu cari dilautam, sampai
ubun-ubunmu pecah pun kamu tidak akan melihat tapak-tapak kaki; baik dari
golongan jin, setan, maupun manusia. Huah…..ha…..ha…..!!!
Parno yang baru menyadari kesalahan bicara surya
ikut-ikutan tertawa.
Aku menikmati saja perbincangan mereka.
Seterusnya, surya kembali bercerita.
“kami bertanya kepada sahabat-sahabat pengamen
yang lain, mereka ternyata juga tidak mengetahui di mana keberadaan firman.
Firman sepereti raib begitu saja tertelan bumi. Tempat-tempat yang biasa kami
gunakan mangkal juga telah kami datangi, kami sisiri. Tetapi kembali kami tidak
menemukan firman.”
“Akhirnya kami merasa khawatir firman terjerat
dalam”lingkaran lima”.lingkaran lima adalah gang yang ada di kota ini di mana
hubungan antara firman, kami dan mereka adalah hubungan antara penjual dan
pembeli. Beguk---nama julukan pimpinan gang itu---adalah partner narkoba
firman. Dari dia firman mendapatkan narkoba. Jumlah mereka memang hanya lima
orang, tetapi pengaruh mereka lumayan besar. Rata- rata, teman-teman di jalanan
takut terhadap gang itu. Hanya kami saya yang tidak takut. Mereka juga tampak
segan terhadap kami. Ini karena kami tidak pernah berurusan ributh dengan
mereka, dan firman selalu memberi tips yang lebig ketika belli narkoba pada
mereka.”
“Usut punya usut, kami akhirnya bertemu beguk.
Dia bilang bahwa beberapa hari sebelumnya dia memang bertemu dengan firman di
seruling mas. Tapi tidak banyak ngobrol. Firman kelihatan lesu. Kusut.
Semrawut. Beguk sempat menawari sabu-sabu,tetapi firman menolak. Padahal beguk
menawari gratis, tetapi firman tetap menolak. Beguk merasa tersingung.
Hamper-hampir terjadi perkelahian antara mereka, tetapi banyak aparat di situ.
Perkelahian urung terjadi.”
“Hingga malam itu, selepas isya……”surya menelan
ludah .”ketika kami baru saja mengamen dan berjalan di depan gereja dalam
guyuran hujan dan gulita malam, sesosok bayangan yang kemi yakini sebagai bayangan firman terlihat di depan gereja.
Kami saling berbisik. Betulkan dia firman? Kami yakin, dia memang firman. Dia
membuka pintu gereja. Tepatnya, berusaha membuka. Tetapi tampaknya pintu itu
terkunci. Firman memutar. Mau masuk lewat pintu samping. Dia mendorong pintu.
Dan pintu pun terbuka.”
“Kami terus mengikuti dalam rasa penasaran yang
mencekik leher kami. Apa yan dilakukan firman di gereja itu?”
“Sebentar gereja mana?”
“Itu tuch, yang dekat makam arah purbalingga?”
Aku menelan ludah. Aku tahu, itu gereja yang aku
masuki dulu dan bertemu dengan pendeta yang bijaksana. “lalu?”tanyaku.
“Dengan pelan, kami membuka pintu geeja juga. Dan
di dalam kami disambut gelap. Kami tidak bisa melihat, bahkan melihat tubuh
kami sendiri. Tetapi, kami mendengarkan suara firman yang berteriak. Ohhh, suara
itu---sumpah mati---baru pertama kali kami dengar keluar dari mulutnya. Aku
tidak ingat persis apa yang diucapkan firman, tetapi sahabat kita yang satu
ini----saudara parno yang terhormat---diberkahi dengan ingatan yang kuat. Coba,
katakana pada mas Iqbal, apa yang diucapkan firman kala itu.”
Parno berdehem. Menata duduknya. Memejamkan mata.
Dan berucap seru menirukan firman;
Oh, gereja……
Dimana kau
sembunyikan Tuhan dari kedua mataku
Telah kubuka pintu
hatiku untuk memasukimu
Tetapi kenapa kau
tutup pintumu sehingga
Menghalangiku
bertemu denga Tuhanku
Aduhai isa al masih
putra Maryam
Beginikah engaku
memderita dalam perjalanan mencari
Tuhan
Engaku menusia suci
Sedang aku?
Aku laksana
selembar bulu kering
Mudah tertirp angin
Mudah pula terbakar
Ke mana kaki hendak
melangkah
Jika yang tinggal
hanya gelisah?!
“kami terus berada di situ. Dan kami hanya mendengar firman
mengucapkan kalimat-kalimat itu berkali-kali. Hingga serak suaranya. Hingga
lirih. Hingga yang kami dengar kemudian hanyalah isak tangis.”
“Dua hari kemudian, kami mengikuti Firman
kembali. Seperti tebakan kami, dia berjalan menuju klenteng yang ada di Pasar
Wage. Keadaan sudah sepi. Malam gelap-gullita. Mas masih iingat malam itu
listrik mati? Ada gardu yang rusak karena tersambar petir? Kami berada di balik
rerimbunan pohon. Baju dan celana kami basah kuyup. Kami saksikan, kami
lihat……Firman duduk tertelungkup di halaman klenteng. Dia pun berteriak;
Pabila malam gelap
gulita
Dan hujan mengguyur
bumi
Semesta menari
dalam tarian kilat dan sambaran petir
Kafan kegelapan
menyelimuti
Tetapi pabila hati
gelap gulita
Bintang pun tak
kuat sinarnya
Tubuh lusuh
Jiwa remuk
Hati hancur
Perasaan terluka
Oh,. Tuhan
Ampunilah aku
Sampai hari ini,
tak jua aku menemukan Mu
“Dan lima hari kemudian, hamper terjadi geger di
mushola dekan bank mandiri. Kami menemukan firman rebahan di tempat imam
dalam mushola tersebut. Sore itu di situ
banyak orang yang mau bersesmbahyang. Mereka, duuh nasib……, mereka menganggap
firman sebagai orang gila. Kami lihat firamn di gelandang keluar seperti orang
yang gila.”
“kami marah. Kami berteriak. Kami memaki orang-
orang itu. Seandainya jumlah kami banyak, sudah kami pukuli mereka rame-rame.
Kami habisi. Kami bunuh sekalian!!”
“kami tidak tahan melihat keadaan firman yang
memilukan. Dia mengis seumpama anak kecil yang ditinggal mati indungnya. Yang
lebih memedihkan hati kami, dia meminta kami untuk menjauhinya, pergi dari
hadapannya. Kami terenyuh. Kami pun pergi dalam nestapa yang tak terperi.”
“Itulah yang membawa kami ke sini, mas. Bertemu
denganmu. Kami ingin bertanya, kenapa firman bisa berubah seperti itu. Tidak
biasanya dalam sejarah pergaulan kami dan firman, kami mendengar dia menyebut
nama Tuhan dengan mata berlinangan seperti itu. Selama ini, ketika Tuhan kami
sebut, Tuhan hanya disebut untuk dimain-mainkan saja. Dan, maaf, kami curiga
mas Iqbal lah yangh menyebabkan dia demikian.”
Demi dzat yang jiwaku ada dalam gengganman
tanganNya, seandainya saja aku tidak malu terhadap para sahabat ini, sudah
kukuras air mataku mendengar nasib yang di alami firman. Di balilk kebejatan
moral dan perbuatannya, ternyata firman masyaallah, memendam rindu yang
demikian dalam akan pertemuannya dengan Allah. Di balik sikap-sikapnya yang
demikian itu, ternyata dia memiliki segumpal hati yang ingat kepada Allah SWT.
“Gimana, mas. Kamu kok dia,?”Tanya parno.
“Bersyukurlah, kalau begitu,” bersyukur
bagaimana?” surya bertanya.
“Firman sedang berusaha mendekati Allah,
“jawabku.
“Nah, benar kan? Benar kana pa kataku!”kata
parno.
“Apa pun katamu itu, berdoalah kepada Allah agar
Firman segera sampai di wajah Allah.”
“Tak masuk akal. Benar-benar. Ah, kami sudah
merasa aneh melihat Firman seperti itu. Dan berbicara dengamu, kami semakin
merasa aneh saja, seru parno.
“Lagi pula, bagaimana mungkin Firman seperti itu
kamu katakana sedang……..sedang apa tadi?”Tanya parno.
“Mendekati Allah, “jawab surya.
“Allah yang mana sich?”Tanya parno.
“Allah benar-benar akan Maha aneh ketika sedang
menunjuki jalan orang yang aneh seperti Firman,”celetuk surya.
Aku hanya tersenyum.
Pelan-pelan namun pasti , aku merasa bahagia.
Jiwaku membisikku bahwa para sahabat ini sebentar lagi akan berubah. Ya,
berubah.
Aku yakin itu!!
13
Butakan Kedua
Mataku,
Ya Illahi
Hari itu, kamis
pahing tanggal 25 Januari adalah hari dimana aku kembali mendapatkan berkah
dari Allah SWT. Setelah aku sempat diselimuti keraguan akan DiriNya, kini
keyakinanku kepada Allah SWT semakin bertambah. Keyakinan kepadaNya sekarang
melebihi keyakinanku sebelum keraguan. Ternyata, atas berkahNya, aku tidak
perlu mengalami kebingungan untuk dapat menarik surya, parno dan patmo dari
lembah hitam kehidupuan. Tidak perlu kubuka mulut untuk membuncahkan nasihat
dan petuah, kritik dan masukan. Aku tidak perlu mendatangi mereka, menanyai
mereka dan menunjukan di mana letak kemaksiatan mereka. Mereka mendatangiku, ke
rumah ini, menawarkan anggur jiwa yang mulai menemukan titik kehausan dalam
perjalanan menuju Tuhanku.
Bagi para sahabat I ni, apa yang terjadi
pada Firman benar-benar membuat mereka
terguncang, seakan-akan aku melihat tiga orang yang lebih membutuhkan kehadiran
seorang Firman dari pada kehadiran Tuhan. Sekarang aku sadar betapa berharganya
Firman bagi para sahabatku ini. Aku pun sadar, kenapa mereka sering mengikuti
Firman dan bahkan sering pula menginap di sini. Mereka merasa Firman melebihi
Tuhan. Maka tatkala Firman bermain-main dengan Tuhan, mereka pun mempermainkan
Tuhan.
Tetapi kini, ketika kubukakan pintu hati mereka
akan kehadiran Tuhan yang sesungguhnya melalui perejalanan ruhaniah Firman,
mereka pun coba untuk mengikuti jejak-jejak Firman.
Ya Allah…
Aku tidak peduli apakah alasan yang mereka
gunakan untuk mulai mencintaiMu. Memang,
aku thu bahwa mereka ikut apa yang diikuti Firman. Oleh sebab Firman mulai
mencariMu, mereka pun mulai ikut mencariMu.
Mereka sesungguhnya orang-orang baik, ya Allh.
Mereka hanya sedikit terlambat untuk memperoleh kebaikan itu. Kini, dengan
kemuliaan wajahMu, aku memohon semoga engkau berkenan memberikan hidayah kepada
para sahabatku itu.
Ketika kutanyakan pada mereka apakah mereka bisa
shalat, mereka sesungguhnya bisa shalat, ya Allah. Hanya, hari mereka saja
selama ini……..ya, hati mereka sedikit tertutup untuk mengingatMu. Mereka pun sesungguhnya bisa
mengaji al-Quran, hanya saja nafsu membelenggu mereka untuk menjauhi kitab
suciMu. Kini, aku benar-benar memohon kepadaMu, demi kemuliaan Muhammad dan
keluarga Muhammad, tunjukkanlah mereka jalan yang lurus, sebagaimana engkau
telah menunjuki orang-orang yang telah kau beri nikmat sebelumnya;
Ihdinassirathal mustaqim. Sirathalladhina an’amta’alihim.
Mereka
telah berjanji kepada diri mereka sendiri-sendiri, mulai detik ini
mereka tidak akan meninggalkan sembahyang dan mengaji. Pada saat yang sama,
mereka akan mencoba, dengan sekuat tenaga, untuk meninggalkan perilaku seks
bebas. Mereka ingin kembali kepada jalanMu , ya rabb al’alamiin.
Maka, berkah apalagi yang lebih dahsyat
kesaksikan dari pada berkah adanya hidayah? Hidayah yang telah kau tampakkan di
kedua mataku? Ini benar-benar agung kepada
hamba-hambaMu ini. Ya Allah, ijinkan
kami menjadi hamba-hambaMu. Amin ya rabb al’alamin.
Kini, masih ada satu lagi harapanku kepadaMu,
ialah nasib yang tengah dialami saudaraku yang satunya; firman. Betapa berat
beban yang harus ia sandang untuk menujuMu, jika dibandingkan dengan beban yang
pernah aku sandang. Seumur hidup, aku tidak memeiliki adik kandung, minimal
sampai detik ini. Aku tidak memiliki perasaan seorang kakak kandung terhadap
adik kandungnya sendiri, sehingga sulit bagiku mengukur kekuatan cinta seorang
kakak kepada adiknya. Di pondok dulu, aku memang telah menganggap Aisyah
laiknya adik kandungku sendiri. Tetapi aku yakin, sepenuh-penuhnya yakin bahwa
perasaan kakak kandung terhadap adiknya jauh lebih misterius daripada perasaan
seorang kakak yang menganggap seseorang seperti adiknya.
Karena perasaan itulah, firman meresa benar-benar
kehilangan adinya, Nida. Perasaannya kian hancur ketika mengetahui adiknya
diperkosa sebelum dia dibunuh. Dan perasaan hancura itu semakin lebur ketika si
pemerkosah dan si pembunuh tidak juga berhasil ditangkap.
Dengan perasaan yang luka sepereti itu, firman
mencoba bertahan untuk selalu memuji kebesaranMu. Hanya saja jiwanya tidak
kuat. Jiwanya runtuh. Jiwanya rapuh. Dan itulah, aku yakin, jiwa seorang anak
manusia. Firman bukanlah malaikat yang selalu haus dalam kepatuhan dan
ketundukkan kepadaMu. Dia bukan setan yang selalu gelisah dalam pembangkangan
dan pengingkaran terhadapMu. Aku yakin, firman bukanlah jenis orang yang
dikatakan oleh ayat al-Quran;
Dan diantara manusia ada orang yang berkata;”kami
beriman kepada Allah,” maka apabila ia disakiti ( karena ia beriman) kepada
Allah. Ia menganggap fitnah manusai itu sebagi azab Allah. Dan sungguh jika
jatang pertolongan dari Tuhanmu, mereka
pasti akan berkata;”sesungguhnya kami adalah besertamu.”bukankah Allah lebih
mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?
Firman bukanlah seorang muslim yang lemah
imannya. Sebaliknya, imannya demikian kuat kepada Allh. Aku yakin itu. Hanya
saja, kekuatan iman tersebut tidak
dibarengi dengan kekuatan jiwanya, sehingga jiwanya memberontak terhadap
ujian yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.
Dengan qadhaMu, engaku tetapkan langakah-langkah
firman seperti itu. Berdosakah firman kepadaMu, sebab dia ingin menuju Mu dengan
cara yang seperti itu, ya Allah? Sungguh, dimi diriMu aku bersumpah bahwa
dosatidaknya seorang anak manusia, maka satu-satunya pihak yang berhak
menentukan adalah diriMu. Lagi pula, aku ingat sabda rasulMU yang mengatakan;
Demi dzat yang jiwaku ada dalam genggamanNya,
seandainya kamu sekalian tidak berbuat dosa kepada Allah, niscaya Allah Ta’ala
akan mengambil kamu sekalian dan mendatangkan kaum yang berbuat dosa, kemudian
mereka memohon ampun kepada Allah maka Allah pun berkenan mengampuninya.
Dan kini, menurut para sahabat, firman sedang
mencari Tuhan kembali. Dia telah pergi ke gereja, tempat di mana aku dulu pergi
ke sana, dengan tujuan yang sama. Dia pun telah pergi ke klenteng. Dia pun
pergi ke mushola, bahkan harus digelandang keluar seumpama dia adalah orang
gila. Hari ini, besok, atau lusa, dia pergi ke wihara, pergi ke pura, pergi ke
lautan, pergi ke puncak gunung, dan lain sebaginya, semata-mata ingin berjumpa
denganMu.
Maka, dengan keagungan wajahMu, ya rabb aku
memohon sudilah kiranya engkau membimbingnya ke arahMu.
@@@
Hatiku mulai terbangun dalam nafas cinta yang
menyeluruh kepada Allah SWT, tatkala ujian cinta kembalil menggerayangi jiwaku.
Ujian citan yang beberapa waktu silam telah berhasil kulewati dengan selamat,
kini datang lagi.
Adalah okta, dengan cara yang hampir sama dan
sebanding dengan indri, mendatangiku dalam rahyuan nafsu. Okta, pemilik wajah
ayu, berkulit lebih bersih dari kulit indri, dengan rambut panjang tergerai dan
dengan pipi kemerah-merahan laksana merahnya bintang di ufuk timur. Jika indri
berbicara dengan blak-blakan dan tampak seperti seorang gadis yang kurang
pendidikan, maka okta berbicara dengan nada yang lembut, santun, dan lebih
menyentuh kalbu.
Berawal dari saat ketika aku tengah
berputar-putar keliling pasar, mencari al-Quran dan terjemahannya, juga mencari
buku-buku agama atau umum yang dijual di
sana, aku bertemu dengan okata dan ibunya yang sedang berbelanya. Aku
benar-benar rindu membaca buku di kota ini, dan rinduku yang membawa aku
berkelililng di tempat yang tidak pernah aku datangi seperti ini.
Kepada ibunyya, okata memperkenalkanku. Kepada
ibunya, okta meminta ijin untuk menemaniku. haruskah aku tolak? haruskah aku
katakana kepadanya bahwa aku ingin sendiri dan takut berdekatan dengan seorang
wanita? Atau, haruskah aku berkata bahwa
kamu jangan dekat-dekat denganku sebab kamu gadis yang tidak baik sedang aku
laki-laki baik?
Tidak.
Tidak boleh begitu.
Aku tidak mau menjadi manusia yang sepereti itu.
Mau tidak mau, aku menerima okta di sampingku,
ikut mambalik-balik buku yang using yang dijual asongan dipojok gelap dalam pasar kota.
“mau cari buku apa sih mas?”
“apa saja dech. Asal bisa dibaca.”
“tapi ini buku-buku lama, mas? Tak ada buku-buku
baru kelihatannya. Ah, masak mas mau cari mujarobat sih? Atau , ini, buku
kumpulan doa? Atau juz amma?
Kami terus memballik-balik buku.
“kalau mas mau mendapatkan buku-buku terbaru,
mas bisa pergi ke purwokerto. Di kota
kecil kayak sini, jangan harap mas akan menemukan buku baru, bagus dan mahal.
Di sini, di kota ini, bukan tempat para mahasiswa-mahasisiwi, mas.”
“jadi harus ke purwokerto ya?”
“iya. Aku mau kok nganterin?”
“bener nich?”
“asal diongkosin aja.”
“loh, kok diongkosin sih?”
“kan nganterin.
Akhirnya, aku tidak menemukan buku yang aku cari, buku apa pun itu, yang
penting bukan mujarobat,bukan jus amma, bukan kumpulan huruf hijayah , bukan
komik, bukan buku gambar, dan lain sebagainya yang hanya ada di sini.
Beberapa hari kemudian, demi memenuhi kehausanku
akam membaca berbagai buku, aku pun
berangkata ke purwokerto dengan diantar okta. Kami berangkat pukul delapan
pagi.
Kami sampai di purwokerto pukul sepuluh. Dan kami
habiskan waktu di purwokerto untuk berputar-putar mencari buku hingga pukul
satu. Jelang pukul setengah dua, tas punggungku sudah dipenuhi buku. Jelang jam
dua kurang seperempat aku ajak okta ke mushola terdekat untuk menjalankan
shalar duhur.
Dan ternyata ini di luar dugaanku okta shalat
juga. Dia shalat berjamaah denganku. Aku imamnya. Dia makmumnya. Sungguh, demi
Allah, hanya ada tiga perempuan yang pernah menjadi makmumku. Bu jamilah,
Fatimah, dan okta.
Dan apa yang kusaksikan selanjutaya, sungguh di
luar dugaanku pula. Ketika selesai shalat dhuhur dan berdiri dasi dudukku, okta
masih duduk menunduk dalam doa-doanya. Ini serius, atau ini main-main? Pikirku
sejenak. Dan aku tidak mau berburuk sangka tentangnya. Kuperhatikan dia dari
belakang. Dia memang benar-benar tunduk dalam duduknya. Dan aku hanya berdoa
semoga hatinya benar-benar tengah terbuka
dalam menghadap Ilahi, walau mungkin untuk kali ini saja.
Usai menjalankan shalat, kami pun mencari
restoran. Perun belum kami diisi sejak pagi. Panggilan perut harus segera kami
penuhi.
Ternyata tidak sulit bagi kami mencari restoran
yang enak. Okta telah hafal restoran
dengan sajian yangenak, harga miring, dan halal masakannya. Ketika aku
berseloroh, demikian hafalkah okta terhadap tempat-temkpat di purwokerto Ini,
baru aku tahu dan sadari bahwa dia ternyata pernah tinggal agak lami di sini.
Sekitar dua setengah tahun. Ternyata, baru kuketahui bahwa okta pernah kuliah
du kampus negeri di kota ini.
Maka, di sepanjang perjalanan pulang ke
banjarnegara, di dalam bus antar kota, kuhabiskan waktu untuk
berbincang-bincang dengan okta. Disinilah aku dapati performa okta yang mantan
mahasiswi, dengan bahasa-bahasa cerdasnya, menggelitik, dan menarik. Kami
berbincang ke sana ke mari, hingga perbincangan kami menjurus pada soal cinta
dan hati.
“dulu, aku dikeluarkan dari kampusku sebab au
dituduh sebagai pergedar narkoba, mas.
Padahal, sumpah, yang menjadi pengedar itu pacarku. Dengan kejamnya, pacarku
menyeretku dalam jeretan hukum, padahal aku dama sekali tidak mengedarkan
narkoba. Pacarku di penjara, dan aku tidak terbukti kampus mengeluarkanku. Aku
sakit hati, mas. Benar-benar sakit hati. Kulampiaskan saja rasa sakit. Kulampiaskan saja rasa sakit di hatiku dengan benar-benar
mengkonsumsi narkoba.”
“kenapa pilihanmu melampiaskan diri, okta?
Kenapa, misalnya, kamu tidak lampiaskan dengan cara yang baik, cerdas, dan
terpuji?”
“seperti apa, mas?”
“seperti misalnya kamu membuktikan bahwa kampus
adalah sekumpulan tikus-tikus mahasiswa dan dosen, di mana tinggi rendahannya
kualitas ilmu dan pengetahuan seorang manusia tidak ditentukan apakah dia
pernah atauhanya mondok di perkampungan yang terpencil. Kenapa, misalnya, kamu
tidak membuktikan diri sebagai orang yang tidak lulus kuliah, tetapi ilmu dan
keterampilanmu jauh melebihi seorang dosen?”
“Ah, seandainya aku tidak sakit hati kala itu.”
“Dan kamu merasa sudah terlambat?”
“Masih adakah waktu untukku, mas? Aku sudah
merasa terlalu tua untuk belajar kembali? Lagi pula, tak kutemukan pembimbing
yang tepat bagiku.ah, seandainya saja ada kamu di sisiku.”
Mulai.
Mulai…..!
Mulailah pembicaraan kami tersebut seputar
masalah cinta dari masalah hati. Mulailah okta mengungkapkan
perasaan-perasaannya yang terdalam. Terntang sosok seorang pemuda yang ideal,
menurutnya, yang tidak hanya menjadi laki-laki dan menjadi pacarnya saja,
melainkan juga bisa berperan sebagai kakak yang baik, ayah yang baik, saudara
yang baik, pokoknya yang serba baik.
“Dan tampaknya itu akan temukan dalam dirimu,
mas. Maaf pabila aku berkata demikian. Menurutku, mas ini hanya tampan
wajahnya, tetapi tampan pula hatinya.”
“Dan jika kamu sungguh-sungguh dengan harapanmu,
suatu ketika kamu pasti akan bertemu malaikatmu.”
“Malaikatku telah ada di sampingku. Walau,
sungguh, aku tidak tahu apakah dia akan memandangku sebagai bidadari atau
sebagi pesakitannya.”
Aku tatap wajah okta.
Dia membalas tatapan wajahku.
Dan bibirnya itu.
Masyaallah, imanku bisa hancur pabila dia terus
memandangku dengan bibir seperti itu !!
@@@
Sekali lagi, nasib manusia apa yang tahu, kecuali
Allah SWT. Manusia hanya mengenakan selendang nasib, sedangkan pemilik
selendang itu hanyalah Allah SWT. Bicara soal takdir sesungguhnya adalah bicara
soal masa depan. Takdir selalu berkaitan
dengan masa depan. Dan masa depan setiap insane hanya ada di dalam gengagman
Tuhan.
Beberapa hari setelah aku dan okta kembali dari
belanja buku di purwokerto, benang-benang
takdir terpintal kembali. Ketika
aku mencemaskan diriku sendiri terhadap okta, jangan-jangan godaan cinta mulai
mendekatiku, maka justru problema cinta terjadi antara okta dan indri. Aku tahu
hal itu ketika para sahabat mencertikan hal tersebut kemarin sore. Surya, parno,
dan patmo datang ke rumah, dan memberiku kabar buruk tentang okta dan indri.
“Mereka bertengkar, mas,”kata surya.
“Tidak hanya itu, mereka berkelahi,”imbuh patmo.
“Mereka memperebutkan mas Iqbal,”imbuh parno.
“Masyaalah , laa hawla wa laa quwata illa billah.
Mereka memperebutkan aku? Apa hubungan antara aku dan mereka?”
“Justru kami bertanya kepada mas? Mohon maaf,
jika terhadap okta mas Iqbal ini memiliki persaan cinta, bumi dan langit dan
Allah menjadi saksi bahwa kami mendukung perasaan seperti itu. Lagi pula,
setelah pacarnya dipenjara, kami tahu okta belum memiliki pacar lagi. Okta itu
anaknya baik mas. Dia memang peminum, pakai narkoba, dan pernah berhubungan
seks dengan…….entah, tetapi sejatinya dia
memiliki hati yang baik. Bukankah mas pernah mengatakan kepada kami bahwa tempat cinta itu ada di hati? Alasan
kita mecintai adalah hati, bukannya wajah, tangan, atau kaki?”
“Ya, aku memang pernah mengatakan hal yang
demikian itu.”
“Dan apakah mas punya perasaan kepada okta? Mohon
maaf,mas.”
“Tidak, jika yang kalian maksud adalah perasaan
cinta seorang laki-laki kepada seorang gadis.”
“Jadi mas terlibat asmara dengan Indri?” seru
Patmo.”Wah, bahaya nih! Bahaya. Bisa-bisa terjadi perang kemerdekaan antara
kamu dengan Firman nih. Bahaya. Pokoknya bahaya! Aku lepas tangan. Nggak, aku
lepas tangan dan kakilah untuk masalah yang satu ini!”
Aku tersenyum. Kataku, “Aku juga tidak puunya
perasaan kepada Indri.”
“Ah, yang betul?”
“Demi Allah, bumi dan langit menjadi saksi.”
“Tetapi mengapa mereka sampai cakar-cakaran
begitu? Kami dengar nama mas disebut-sebut mereka. Indri mengatakan bahwa
dirinya yang berhak lebih dekat dengan mas, sebab dirinya yang lebih sering
datang ke rumah ini, berbincang-bincang dengan mas, dan menyusuri bibir malam
bersama mas,” kata Surya lagi.
Menambahkan Parno dengan ucapannya,”Okta juga
merasa lebih dekat dengan mas ketimbang Indri. Okta mengatakan kepada Indri
bahwa Indri belum pernah diajak mas pergi ke luar kota, sedang Okta sudah
diajak mas ke Purwokerto, berdua-duaan.”
“Bermesra-mesraan lagi katanya,”tambah Patmo.
“Yang penting, kalian sudah tahu bahwa aku tidak
ada perasaan cinta kepada Okta maupun Indri. Terhadap Okta, aku bisa
menjelaskan masalah ini. Dan terhadap Indri, aku minta kalian membantuku untuk
berbicara jujur dan dari hati ke hati dengan Okta ketimbang Indri. Sedangkan
kalian juga tahu bahwa Indri itu pacar Firman.”
“Memang benar sih apa yang dikatakan Okta maupun
Indri. Sebagai laki-laki saja, aku melihat wajah mas demikian bercahaya.
Tatapan mata mas demikian jernih, bijak, dan luar biasa. Rahang mas demikian
kokoh. Otot-otao mas demikian kekar.”
“Huss, kami itu sedang ngapain sih? Menjijikan
sekali bicara begitu tentang laki-laki padahal dirimu sendiri laki-laki!”pekik
Patmo.
“Tapi benar kan apa yang kukatakan?”
“Benar sih benar, tapi jangan menjijikkan
sepereti itu dong!”
“Jika karena wajahku ini, Indri dan Okta
bertengkar dan berkelahi,” kataku kemudian,”lebih baik aku memohon kepada Allah
agar Dia memburukkan wajahku. Jika kedua mata ini yang telah menjadikan Indri
dan Okta terpikat denganku, lebih baik aku berdoa kepada Allah semoga Dian
berkenan membutakan kedua mataku.”
“Mas, jangan berkata begitu. Aku takut
mendengarnya,” ucap Surya.
“Iya, mas. Sungguh mengerikan jika doa mas
dikabulkan oleh Allh,”tambah Patmo.
“Ah,tak bisa dibiarkan jika mas berdoa seperti
itu. Aku akan membalas doa mas dengan cara yang sebaliknya,”imbuh Parno.
“Sahabat-sahabtku, pernahkah kalian mendengar
al-Quran yang memfirmankan;
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah lading. Itulah kesenagan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik(surga)?
Oleh Allah, kecintaan kepada wanita ditempatkan pertama kali sebelum
kecintaan terhadap anak-anak dan harta. Ini berarti godaan terbesar dalam hidup
ini adalah godaan terhadap wanita.”
“Jadi, wanita itu
makhluk penggoda, mas? Ah, pantas saja kami mudah sekali tergoda,”kata surya.
“Jangan
bawa-bawa aku, ya. Kamu aja yang suka tergoda perempuan. Perempuan buruk
aja kamu tergoda. Dasar lelaki buaya darat!” vonis Patmo.
“Mas, semoga aku salah. Kenapa wanita, mas?
Kenapa al-Quran menyebut kata’wanita’sebagai kecintaan anak dan harta? Ah,
jangan-jangan Allah keliru nich ketika menyebut kata’wanita’dalam ayat
tersebut. Di dalam pikiran seorang pengamen seperti ku, ayat ini kok kelihatan
sangat merendahkan wanita gitu, mas, “kata Parno. “Jangan-jangan benar yang
dikatakan sebagian orang yang berpendidikan itu, jenis kelamian Allah itu
laki-laki.”
“Huss,
kusumpahin terlaknat oleh Allah baru tahu rasa kamu!” seru Surya.
“Maaf, mas. Saya benar-benar bingung. Di dalam
pikiran sederhana seorang pengamen sepertiku, laki-laki dan perempuan itu
sama-sama makhluk pengoda. Benar kan mas? Aku tidak terlaknat ketika bicara
begitu to?”
“Adalah kebiasaan bagi al-Quran dan hadits-hadits
nabi,”jawabku,”untuk mewakilkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus
dalam satu istilah, entah itu memakai kata’wanita’, atau memakai kata
‘pria’.menurutku, ayat yang kubacakan tadi mengandung maksduh bahwa kecintaan
kepada wanita berarti kecintaan kerhadap lawan jenis.”
“Nah, kalau begitu kan kesnnya nggak ngerendahin
satu jenis kelamin terhadap jenis
kelamin yang satunya to mas?”
“Ya, semoga demikian.,”
“Lohh…kok semoga demikian sih?”
“walahu a’lam bimuradih.”
“Maksudmu?’
“Dan Allah lebih tahu terhadap apa yang
dimaksudkanNya itu.”
“Kembali pada soal tadi,mas. Lalu gimana nich
sikap mas? Kami harus melakukan apa terhadap Indri dan Okta?”
“Kalian adalah sahabat-sahabat mereka yang sudah
lama. Kalian lebih mengenal watak mereka ketimbang aku. Terlebih Indri. Tolong
bicaralah kepadanya dari hati ke hati, tentang cintanya kepada Firman dan cinta
Firman kepadanya. Jangan karena aku Indri menjadi begitu.”
“Bolehkah kami mendoakan mas mencintai Okta?”
“Jangan.”
“Kenapa?”Tanya Parno.
“Karena cintaku telah menanti. Telah ada gadis
yang menambat hatiku. Aku mengadakan perjalanan ini, juga disebabkan karena gadis
yang berjilbab biru itu. Bolehkah aku mendoakan kalian mencintai Okta?”
“Jangan!!!”teriak mereka bebarengan.
“kenapa?”tanyaku.”
“sebab kami tidak ingin melukai jalainan
persahabatan kami dengan mencintai Okta.”
14
Kutunggu Kamu
Di Alun-alun
Indri dan Okta
bertengkar dan berkelahi gara-gara aku?
Masyaallah, sejauh itukah? Kenapa? Kenapa mereka bertengkar dan
berkelahi gara-gara aku? Bukankah aku sudah bilang pada mereka bahwa aku tidak
bisa mencintai mereka, sebab sudah ada cinta yang menunggu cintaku?kenapa
mereka bisa berbuat begitu?
Apakah aku pernah memberikan sedikit harapan
kepada mereka? Adakah kata-kataku,sikap-sikapku, atau perilaki yang dinilai dan
dirasakan oleh mereka sebagai kata-kata, sikakp, dan perilaku seorang laki-laki
yang sedang kasmaran kepada mereka? Atau, jangan-jangan aku ini sudah berubah
menjadi laki-laki penggoda?!
Aku tidak habis mengerti. Di sini, di kota ini,
ada dua gadis memperebutkan seorang laki-laki seperti aku. Dalam tradisi cinta,
hanya laki-lakilah yang berebutan dan berkejaran untuk memiliki seorang wanita.
Memang, aku pernah membaca berita tentang tiga orang pelajar SMU di Amerika
yang berkelahi cakar-cakaran dan jambak-jambakan gara-gara memperebutkan
seorang pria. Tetapi, bukankah di sini bukan Amerika? Di sini hanyalah sebuah
kota kecil pegunungan di Indonesia?
Aku tidak bisa mengatakan bahwa para gadis di
sini sudah demikian parah. Tidak pula aku bisa mengatakan bahwa para gadis di
sini sudah demikian murah menawarkan cintanya. Indri dan Okta hanlah contoh kecil
dari orang yang tidak bisa menahan emosi cintanya kepada lawan jenis. Kehidupan
mereka hingga menguat, sehingga sisi feminimnya. Aku yakin itu. Mereka memang
wanita, tetapi dalam hal cinta mereka sudah berubah laiknya pria!
Dan akulah penyebabnya.
Jika bukan karena aku, Indri dan Okta tentu tidak
akan bertengakar dan berkelahi. Jika bukan karena aku dekat dengan mereka,
tentu mereka tidak akan berbuat sesadis itu. Kukatakan sadis karena, menurutku,
budaya Timur2 tidak mengijinkan dua orang gadis untuk bertengkar dan berkelahi
gara-gara seorang laki-laki. Sungguh memalukan bagi budaya Timur jika ada gadis
yang seperti itu.
Tetapi, kenapa mereka tidak memiliki malu seperti
itu?
Ah, kenapa aku harus mempersoalkannya?
Jangan-jangan, persoalannya tidak terletak pada diri mereka. Jangan-jangan
akulah yang menjadi biang masalah bagi mereka. Kahadiranku di sini, mungkin
tidak tepat untuk perjalanan cinta mereka. Kahadiranku di sini ternyata dapat
melukai perasaan mereka.
Oh, Allah….
Betulkah aku ini seorang laki-laki yang baik? Dan apakah karena hal ini yang kemudian
merangsang Okta dan Indri untuk mananamkan
benih-benih cinta ke dalam lading hatiku? Namun, seandainya aku berubah
menjadi orang yang tidak baik, bukankah justru jerat cinta akan manarukku untuk memeluk dan mencium mereka? Ya Allah, jika
karena aku dianggap sebagai orang yang baik oleh mereka, lebih baik engkau
limpahkan kebaikan yang berlipata pada diriku, sehingga dengan kebaikan itu
Indri dan Okta akan menjauhkan diri mereka untuk mencintaiku. Semoga dengan
kebaikan itu, mereka menjadi sadar dan tercerahkan bahwa cinta itu tidak bisa
dipaksa-paksa dan jalan untuk menuju cinta yang sejati tidak seperti jalan yang
ditempuh Okta dan Indri.
Ya Allah, senadainya saja mereka bertengkar dan
berkelahi karenaku bukan karena alasan kebaikan sikap, ucapan, dan perilakuku
yang tampak pada mereka, lalu apakah alasan yang mereka gunakan adalah seperti
yang dikatakan oleh para sahabatku itu?
Wajah ini.
Tubuh ini.
Kedua mata ini.
Seorang yang tampankah seorang Iqbal Maulana?
Apakah arti ketampanan bagi cinta seorang gadis? Aku telah membaca maqalah yang
mengatakan,”jika seorang laki-laki mengawini seorang wanita karena
kecantikannya atau hartanya, ia hanya akan mendapatkan hal itu, jika ia
mengawininya karena agamanya, niscaya Allah akan memberinya pula harta dan
kecantikan.
Ketampanan dan kecantikan seringkali dijadikan
alasan pilihan pertama untuk menanamkan cinta pada lawan jenis. Yang pertma
dilihat orang kebanyakan orang ketika ia mencintai lawan jenis, biasanya adalah
wajahnya. Bagi pria, dia akan melihat apakah wajah kekasih nya itu canti atau
tidak. Demikian pula bagi wanita.
Maka, apakah karena wajahku ini telah menarik
minat cinta Okta dan Indri untuk mencintaiku?
Apakah karena kedua mataku ini, sebagaimana
dikatakan oleh para sahabat?
Aduhai, Allahku………
Aku tidak ingin terjerumus dalam belenggu syahwat
kepada gadis sebelum engkau takdirkan aku merengkuh perkawinan yang suci. Hari
ini aku bisa menahan syahwatku, tetapi aku tidak tahu nasib di keesokan hari.
Hari ini aku bisa menahan pandangan mataku dari perasaan syahwat kepada Indri
dan Okta, tetapi bisa jadi setan besok akan lebih dahsyat lagi menggodaku;
Penglihatan adalah salah satu anak panah iblis.
Barang siapa meninggalkannya karena Allah ‘Azza wa Jalla, dan bukan karena
selainNya, niscaya Allah akan menyeretkan keamanan dan keimanan kepadanya, dan
ia akan mendapatkan rasanya.
Pandangan demi pandangan akan menanam syahwat di
dalam hati, dan cukuplah bagi orang yang melakukannya untuk mendapatkan fitnah.
Barangsiapa memandang seorang wanita, kemudian
mengalihkan pandangannya ke langit atau memejamkan matanya, niscaya matanya
tidak akan berkedip sampai Allah mengawinkannya dengan bidadari.
Ya Allah, Engkau tahu siapa gadis yang aku cintai
Engkau pun menjadi saksi sehingga kapan aku akan menjemput tambatan hati.
Sebentar lagi, ya Allah, kala Engkau tiupkan takdirMu kepadaku agar aku bisa
menjemput pujaanku. Tetapi waktu selalu merantai misteri, dan dalam rahasia
waktu segalan sesuatu bisa terjadi.
Aku takut kepadaMu dari godaan setan yang berupa
syahwatku, maka lebih baik Engkau cabut syahwat itu dari kedua mataku. Butakan
kedua mataku, ya Illahi, sebab,”tiada ibadah yang lebih baik dari pada kesucian
perut dan kemaluan”. Aku takut kedua mata ini menjeratku untuk mendekati zina.
Dan aku takut aku tidak bisa menghentikannya. Selamatkan diriku dari syahwat
terhadap wanita, duh, entah kepada Indri, kepada Okta, atau kepada gadis siapa
pun juga. Sampai datang waktu bagiku untuk pergi ke tegal jading, dan menjemput
belahan jiwaku di sana.
Ya Allah, berikan kepadaku hati yang merendah
lidah yang memujiMu, badan yang dapat memikul pernderitaan, dan istri yang
beriman, yang member suaminya kesenangan bila si suami melihat kepadanya serta
menjaga dirinya dan harta suaminya ketika si suami tidak hadir.
@@@
Kubuka sebuah buku yang sudah aku beli. Buku ini
berjudul Gulistan merupakan karyanya yang palling popular di Persia di samping
karya yang satunya, bustan. Sa’di hidup
sejaman dengan jalaludin Rummi(1207-1273M). periode itu merupakan
periode yang penuh dengan bencana politik. Namun, dalam situasi yang demikian
ini maraklah kegiatan spiritual yang entah apa penyebabnya. Nama sejumlah
penyair, sarjana, seniman kalilgarafi terkemuka muncul, namun abad itu
merupakan zaman pemuka tasawuf.
Mungkin agak mengherankan di tengah krisis besar
yang dihadapai masyarakat, sa’di member judul yang romantic bagi bukunya,
Gulistan yang artinya; Taman Bunga. Namun, mungkin dalam situasi yang sangat
tidak terkendali, penuh dengan intrik-intrik politik, keserakahan, nafsu, dan
kejahatan, jiwa-jiwa manusia sangat membutuhkan kedamaian spiritual, sehingga
apa yang dapat menyejukkan jiwa itulah yang akan dapat menyelamatkan manusia
dari berbagai bencana. Maka, dalam situasi yang seperti inilah, barangkali,
yang dijadikan alasan sa’di untuk member judul bukunya.
Kuniatkan untuk membaca habis buku yang lumayan
tebal ini. Tetapi sekarang, aku ingin menjelajahi dulu secara acak, menemukan
aggur kenikmatan dalam kalimat-kalimat. Maka, ketemukan sebuah kisah yang
menulis begini.
Meskipun Sheikh Abdul Faraj bin Juzi yang
tersohor keshalihannya membekaliku berbagai nasihat agar aku menjauhi hiburan
music, dengan memperbanyak doa dan dzikir, kenakalan masa muda masih menguasaiku.
Sebuah keinginan kuata selalu muncul sementara aku tidak bisa mengendalikannya.
Aku melupakan nasihat Sheikh itu dan terlena menikmati hiburan music dalam
sebuah pesta meriah……
Belum lagi aku meneruskan bacaanku, tiba-tiba
kantuk menyerang kedua mataku. Ini tidak biasanya terjadi pada diriku di saat
aku kerjakan, lalu baru pula aku selesai menambah hafalan al-Quranku. Tetapi
kenapa kantuk bisa menyerangku secara dahsyat seperti ini?
Ah, barangkali hawa dingin yang dibawa hujan yang
deras malam inilah yang telah membuat kedua mataku mengantuk. Atau, barangkali
aku teerlalu lelah sesudah tadi hampir seharian aku berkeliling di seputar
kota. Jarum jam didinding menunjukkan angka setengah delapan, sedangkan kedua
mataku mulai terpejam.
Hampir saja aku terlelap, tatkala aku
mendengarkan ada orang mengetuk pintu kamar. Mungkin Bu Laela, atau Pak Burhan,
atau malah Firman ya? Aku persilahkan saja orang yang mengetuk pintu kamar itu
masuk. Kukatakan pintu tidak dikunci.
Dan, masyallah, betapa terkejutnya aku setelah
tahu siapa yang berdiri di ambang pintu. Aku tersentak kaget dan bangun dari
tidurku. Tak salahkah aku melihatnya ini. Dia yang berdiri di ambang pintu itu
adalah Indri!
“Bolehkah aku masuk?” tanyanya.
Aku tidak bisa menyebunyikan kekagetan dan
keherananku, yang membuat bibirku gemetaran dan membuat mulutku berkata,”kamu
sudah minta ijin tuan rumah?”
“sudah. Tadi aku bertemu Bu Laela. Bolehkah aku
masuk?”
Apa yang hendak kukatakan , kecuali
mempersilahkannya masuk. Jika tuan rumah sudah mengijinkan dan jika Indri sudah
berdiri di situ dengan basah kuyup, apa yang mesti kulakukan.
Kuambilkan handuk dan kusuruh dia mengeringkan
rambutnya. Aku kasihan melihat baju yang dikenakannya itu basah kuyup dan aku
ingin berbaik hati untuk mengganti bajunya yang basah itu, tetapi dengan baju
siapa?dengan kaos? Dengan kaos Firman? Ah, tidak mungkin kulakukan, sebab
Firman tidak ada dan aku tidak bisa mengambilkan kaos milliknya tanpa seijinnya.
Bagaimana dengan kaosku? Aduh, aku khawatir dia
akan salan aggap. Dalam situasi hati yang diiipenuhi gejolak emasi, aku khawatir dia akan menilai
lain pabila aku beri dia pinjaman kaos
untuk di pakainya. Walhasil, aku hanya mengambilkannya handuk saja dan
menyuruhnya untuk mengeringkan rambutnya yang basah.
“Firman belum pulang , In,”kataku.
Indri masih megeringkan rambutnya. Jika
dipikir-pikir, rambutnya itu demikian indah.
Innalillah, kenapa aku memuji rambutnya?
“Aku kesini bukan untuk ketemu Firman,mas,”katanya.
Dia sudah selesai mengeringkan rambutnya. Dia gantungkan handuk di kaun pintu.
“Lalu, kenapa malam-malam begini kamu datang
kemari?”
“Aku ingin bertemu denganmu.”
“Kalau begitu, ayo kita turun. Tidak enak jika
kita berbicara di sini, berdua-duaan di kamar ini.”
“Aku nggak
mau turun. Aku maunya di sini. Aku maunya kamu temani.”
“Astagfirullah, apakah kamu belum sadar juga,
In?”
“Bahwa aku tidak boleh mencintaimu?”
“Ya!”
“Mas, coba kamu pikir;setelah aku
renung-renungkan, betapa benarnya perkataanmu. Setelah aku bertanya kepada
diriku sendiri, aku akhirnya sadar betapa besar maksiat yang telah aku lakukan
selama ini. Kamu benar ketika mengatakan bahwa aku haruslah mencintai diriku
sendiri, dan ternyata selama ini aku memang membenci diriku sendiri. Aku
menyakiti diriku sendiri. Bolehkah aku duduk di sini, mas?’
Indri duduk di kasur di sampingku. Kini, aku
benar-benar merasa cemas, khawatir, dan takut kepadanya. Naluriku mengatakan
bahwa Indri malam ini menjadi sosok yang tidak peduli apa pun dan siapa pun
juga.
“Seharusnya kamu tidak kemari, In. ini nggak
baik, bagimu maupun bagiku.”
Tanpa menghiraukan perkataanku, Indri bertanya,
“kenapa kamu pergi ke Purwokerto bersama Okta, mas?”
“Loh, memang kenapa? Aku pergi bersama siapa toh
itu urusanku, In?”
“Tetapi mas nggak punya perasaan.”
“Aku, aku nggak punya perasaan?”
“Mas menghancurkan perasaanku.”
“kok bisa?’
“sebab mas tidak mengajakku malah mengajak Okta.
Pertama, sebelum mas mengenal Okta, mas sudah mengenalku. Kedua, sebelum mas
berbicara dengan Okta, mas sudah sering mengobrol denganku. Ketiga, sebelum
Okta menyatakan perasaannya kepada mas, aku sudah menyatakan perasaanku
terlebih dahulu.”
“jadi itu alasannya?”
“Mas memang benar-benar tidak memiliki perasaan.”
“Aku akan lebih tidak memiliki perasaan ketika
aku memiliki perasaan cinta kepadamu, In.”
“kenapa mas? Kenapa?”
“Sebab berarti aku menghancurkan perasaan Firman.
Pertama, sebelum aku mengenalmu, aku sudah mengenal Firman. Kedua, sebelum aku
berbicara denganmu, aku sedah sering mengobrol dengan Firman. Ketiga, seblum
aku menyatakan perasaanku kepadamu, kamu dan dia telah menjalain cinta. Maka
bagaimana bisa kamu berkata bahwa aku tidak punya perasaan?!”
“Aku memang hanya gadis yang bodoh. Yang bejat
akhlaknya, mas. Aku tidak pandai berkata-kata seperti mas. Tetapi, tolong beri
aku sedikit cinta sehingga aku tidak terbakar seperti ini?’
“In, lebih baik kamu segera kuantar pulang
sebelum aku menjadi marah kepadamu.
Telah kukatakan berkali-kali kepadamu, bukan sikap yang seperti ini yang akan
menambah kecantikan wajahmu. Telah kukatakan kepadamu bahwa menjadi seorang
gadis muslimah itu seharusnya lebih berharga dan bernilai daripada menjadi
gadis biasa. Tidak ada orang yang tidak pernah melakukan dosa dan kemaksiatan,
In, tetapi percayalah kepada Allah bahwa sebaik-baiknya manusia adalah orang
yang bertobat dan memohon ampun terhadap dosa dan kemaksiatan yang telah ia
lakukan.”
“Mas, demi Allah, aku akan bertobat dan memohon
ampun kepadaNya. Kedatanganku ke sini justru
dalam proses pertobatan dan permohonan ampun itu. Aku ingin mencinati
Allah SWT dengan cara mencintaimu, aku membayangkan bisa bercinta denganmu
seakan-akan aku bercinta dengan Allah.”
“Jangan pernah kamu bicara sepereti itu lagi,
In?”
“Mas marah?”
“Kunasehati baik-baik kamu tidak mendengarnya
juga. Apakah aku harus menggunakan kekerasaan agar kamu keluar dari kamar
ini?!”
“Mas, sebelum aku keluar dengan baik-baik atau
kamu lempar aku dari kamar ini, berilah sedikit seindahan pada wajahku. Ciumlah
wajahku, ma. Ciumlah.”
Jika indri seorang laki-laki, sudah aku remukkan
tulang-tulangnya. Jika dia laki-laki,
sudah aku tantang dia untuk berkelahi!
Aku mundur beringsut.
Indri menyorongkan wajahnya.
Kudorong pundaknya.
Indri menggila.
Dia melompat ke atas tubuhkku. Aku mencoba untuk
melemparnya.
“Indri!” terdengar suara lantang seorang
laki-laki.
Indri terhenyak.
Aku pun kaget sekali.
Di sana, di ambang pintu, Firman berdiri dengan
gagahnya.
Indri merapikan pakaiannya.
Kedua mata Firman melotot memerah.
“Bang,”kataku kemudian,”jangan salah sangka
dulu.”
“Mas Iqbal!” firman memotong kata-kataku.”Apa pun
yang ingin kamu katakan, kamu bisa mengatakannya di luar. Sekarang, benagi
pakaianmu. Masukkan ke dalam tasmu. Aku tunggu kamu di alum-alun!”
Firman membanting pintu keras-keras.
Dan tak ada yang bisa kuperbuat, selain mengikuti
perintahnya.
Haruskah aku menyalahkan Indri? Haruskah aku
meneriaki dan mencaci makinya? Haruskah aku gampar wajahnya dengan telapak
tanganku?
Aduhai, malam………
Jika karena kejadian ini aku harus diusir oleh Firman dari rumah ini, aku akan
menerimanya. Dia memintaku untuk membenahi pakaian-pakaianku. Dia memintaku
untuk memasukkan pakaian-pakaianku ke dalam tasku. Itu berarti, tak ada lagi
pintu rumah ini yang terbuka untukku. Aku harus pergi dari rumah ini.
“Mas, maafkan aku………maafkan aku,”isak tangis
Indri mulai kudengar.
“Sudahlah, In. ini bukan salahmu.”
“Gara-gara aku, mas harus pergi dari rumah ini.
Maafkan aku, mas…….”
“Aku akan memaafkan pabila kamu meminta maaf
kepada Allah atas perbuatanmu yang seperti itu. Ketahuilah, ada lima perkara
yang dikandung dalam zina; menghilangkan kehormatan, mewariskan kefakiran,
mengurangi umur, memurkakan ar Rahman, dan mengekalkan di neraka.” Hari ini aku
masih bisa bertemu denganmu, mungkin besok atau lusa kita tidak lagi bisa
bertemu. Maka dengarkan kata-kata seorang sahabt ini; berjanjilah kamu untuk
menjadi gadis yang baik hati.
Suara ribut-ribut di kamar ini ternyata terdengar hingga ke
telinga Bu Laela dan Pak Burhan. Mereka pun berdiri di ambang pintu.
Ya Allah……
Betapa memalukannya aku ini. Betapa memalukan aku
dilihat Bu Laela dan Pak Burhan berdua –duaan di kamar ini. Betapa
menyakitkan aku harus pergi dari rumah
ini dengan cara seperti ini.
“Nak mas mau kemana?”Tanya Bu Laela lembut.
“Saya harus pergi bu.”
“Pergi ke mana? Malam-malam begini?” Tanya Pak
Burhan. “Maaf, kami tadi mendengar suara rebut-ribut dari kamar ini. Kami
seharusnya tidak mendengarkannya. Tetapi, nak mas……….apa pun yang tengah
terjadi antara nak mas dengan Firmman dan Indri, tolong jangan pergi dulu.
Tunggulah besok. Malam sudah larut. Nak mas tidak punya siapa-siapa di sini.
Hujan deras. Kilat menyambar-nyambar. Jangan pergi dulu.”
“Maafkan saya, pak ini salah saya. Salah saya
terhadap Firman. Saya harus meminta maaf kepadanya. Saya harus menyelesaikan
masalah ini dengannya. Firman telah menunggu saya di alun-alun.”
‘”Pak, Bu……..” indri ikut berkata,” mas Iqbal
nggak salah. Ini salah saya. Saya telah menggoda mas Iqbal.
Saya……..masyaallah…maafkan saya, Bu. Maafkan saya, Pak!”
Indri berlari sambil menagis. Rasa malu memang
sedang dialaminya.
Ya Allah, jika memang harus dengan cara demikian
Indri bertobat dan memohon ampun Mu, maka aku terima apa yang akan terjadi
denganku. Aku terima, ya Allah.
“Pak maafkan saya pabila selama ini telah merepotkan
bapak dan ibu. Bapak dan ibu sudah saya anggap seperti orang tua saya sendiri.
Betapa memalukannya saya harus
meninggalkan rumah ini dengan cara seperti ini. Tetapi, saya berharap
mungkin dengan cara inilah Firman akan berubah. Jadi, ijinkan saya untuk pergi
dari rumah ini.”
Bu Laela dan Pak Burhan tidak bisa berkata
apa-apa lagi.
Bu Laela hanya menagis, menagisi kepergianku.
Pak Burhan memelukku.
Tak terasa, air mataku pun meleleh.
@@@
Hujan masih deras mengucur. Berkali-kali, langit
diterangi kilat,dan malam di pecah dengan suara Guntur. Aku berjalan dipayungi
hujan, menjejakkan langkah menuju alau-alun.
Sepi mencekam. Angin bertiup sangat kencang.
Terkadang, air hujan masuk ke dalam bola mataku. Lelerannya masuk ke dalam
mulutku. Aku mempercepat langkahkuke alun-alun, menemui Firman, dan segera
menjelaskan apa yang mesti aku jelaskan padanya. Aku tidak ingin dirinya
termakan asumsi, kemudian salah mengerti, dan kemudian menjauhkan aku darinya.
Aku tidak ingin melukai persahabatan dengan fitnag.
Sesampainya di alun-alun, kutoleh ke kiri dan
kekanan mancari-cari keberadaan Firman. Malam yang hujan begini menjadikan
alun-alun sepi dari orang-orang. Hanya terlihat satu orang pedagang bakso yang
sepi dari pembeli di depan sana. Tiga orang tukang becak duduk kedinginan di
dalam becaknya. Aku melangkah mendekati penjual bakso tersebut.
Dan benar saja………
Firman berada di dekat tukang bakso itu. Duduk
bersamanya para sahabat yang lain; Surya, Patmo, dan Parno. Aku melangkah
mendekati mereka. Tas punggungku yang memang berat semakin terasa berat oleh air yang meresap. Isi tasku pastikah
telah basah semuanya. Aduh, buku-buku yang barusan aku beli pasti basah juga.
Tetapi biarlah.
Bersama dengan Firman, para sahabat yang lain
ternyata juga menungguku. Mereka semua menungguku dalam lidah yang bisu. Entah
apa yang telah dikatkan Firman kepada mereka, tampak sekali di mataku mereka memendam kebencian.
“Mas, kamu ini manusia atau bukan?! Kkamu
seharusnya sadar siaipa Indri itu dan apa hubungan antara Indri denganku.
Sungguh, selama ini aku percaya kepadamu. Kata-katamu begitu mempengaruhi
jiwaku. Selam ini aku pergi untuk menemukan diriku kembali. Dan ketika pulang,
masyaallah…….kamu…..kamu kayak disebut
binatang!”
“Apa pun yang ingin kamu sebut tentang aku, percayalah
bahwa aku dan Indri tidak melakukan apa pun. Jika kamu tuduh aku dan dia
berselingkuh, demi Allah, aku tidak demikian. Aku juga tidak berbuat zina
dengannya.”
“Tetapi apa yang aku lihat tadi?”
“Abang bisa bertanya kepada Indri?”
“Itu akan aku lakukan, mas. Pasti aku lakukan.
Aku hanya ingin bertanya kepadamu; apakah layak bagi seorang muslim seperti
kamu, yang berusaha menjalankan ajaran-ajaran agama, yang setiap hari waktu
kamu habiskan untuk mengaji dan menghafalkan isi kitab suci, yang setip lima
kali dalam sehari kamu rajin menghadap Tuhanmu, membiarkan seorang perempuan
menggumulimu seperti itu?! Layakkah kamu ini disebut mausia muslim?!”
“Aku tidak memungkiri Indri menggumuliku seperti
itu. Tetapi aku menolak tuduhanmu bahwa aku dan dia ingin melakukan
kemaksiatan. Sebaliknya, aku mencoba untuk melempar pacarmu itu dari tubuhku!”
“Apa pun yang ingin kamu katakan untuk membela
diri, hal itu tidak bisa menutup fakta bahwa Indri dan kamu berada dalam satu
kamar dan kutemukan tengah beradegan seperti itu. Luar biasa..dia yang memiliku
mulut manis berkunyahkan pengetahuan dan wawasan agama, ternyata selama ini
hanya pura- pura belaka! Kamu ternyata lebih bejat dari orang yang bejat
sepertiku. Aku menjadi bejat dan aku bertanggung jawab dengan kebejatanku.
Tetapi kamu? Kamu berpenampilan agama tetapi nafsu busuk membara di dadamu.”
“Sungguh, kamu telah memfitnahku, bang. Kamu
telah menyakiti perasaanku. Kuyakinkan abang sekali lagi, aku tidak seperti
yang abang tuduhkan.”
“Aku tidak percaya.”
“Terserh. Sekarang, apa yang abang inginkan
dariku.”
“Kamu menantangku? Menantangku setelah apa yang
baru kusaksikan tadi?”
“Aku tidak menantang abang. Aku hanya sekedar
mengingatkan abang agar abang tidak menurutiu kata hati abang sendiri.”
“Indri memng permpuan yang tidak baik, aku tahu.
Dan aku pun laki-laki yang tidak baik. Tetapi apa salah kami sehingga kamu
memasuki cinta di antara aku dan dia?”
“Aku tidak mencitainya. Dan aku tahu dia itu
pacarmu.”
“Jadi, apa? Jadi alasan apa yang dapat aku terima
darimu, mas?!”
Habislah kesabaran Firman kepadaku. Dan pabila
aku menuruti hawa nafsuku, akan kuhabiskan pula kesabaran. Tetapi, ya,
Allah…….ini adalah ujian kecil yang engkau berikan kepadaku. Jika dengan ujian
kecil saja aku tidak mampu mengalahkannya, bagimana bisa aku akan engkau
masukkan ke dalam golongan hamba-hambaMu?!”
Maka, apa yang terjadi haruslah terjadi. Untaian
kata tidak lagi berarti pada diri orang yang tengah diamuk emosi. Semakin
banyak berkata-kata, semakin naik emosinya.
Tanpa ampun lagi, aku menjadi sasaran empuk tinju
dan tendangan Firman. Kemaluanku
ditendangnya habis-habisan. Perutku dipukuli berkali-kali. Tak puas dengan itu,
tiba-tiba Firman meraih mangkok berisi sambal di atas meja.
Aku tidak tahu apa yag akan dia lakukan. Dan aku
tidak sempat lagi menghindar ketika sambal dalam mangkok itu dihambur-hamburkan
ke wajahku. Kedua tinju, silih berganti, menghajar wajahku.
Kepalaku pening. Kedua mataku sakit. Bumi
berputar pelan. Dadaku sesak. Kepalaku semakin penig. Mataku semakin sakit.
Akhirnya aku ambruk tak sadarkan diri.
15
Di Lian ini
Aku
Menunggu Mu
Bau obat-obatan menyerang
perutku terasa mual-mual. Aku menggeliat bangun. Tetapi, seluruh tubuhku terasa
nyerti. Dan……masyaallah, kenapa dunia menjadi gelap gulita seperti ini?
Aku ingin membuka
kedua mataku.
Tetapi….
Astagfirullah
al’adzim……
Aku tidak
bisa membuka kedua mataku. Ada perban yang menempel di sana. Ya Allah, apakah
aku telah menjadi buta?!
“Alhamdulillah,
kamu sadar,” terdengar suara permpuan yang berucap hamdalah di dekatku.
“kamu
siapia?”tanyaku.
“aku Okta.”
“Okta?”
“Iya, mas.
Sebenta, aku panggil kawan-kawan dulu.”
Tak lama
kemudian, suara gaduh memenuhi ruangan ini. Di manakah aku ini?
Satu
persatu, kurasakan ada orang yang memegang lengan tangan kananku. Satu per satu
mereka mengatakan siapa dirinya;Indri, Patmo, Parno dan Surya.
“Dimanakah
aku?”tanyaku kepada mereka.
“Kamu
sedang dirawat di rumah sakit Banjarnegara, mas,”jawab Okta.
“Mas Iqbal
lama sekali tak sadarkan diri,”ucap Surya.
“Iya, tiga
hari tiga malam, mas. Mas lapar nggak?”tanya Patmo.
“Huss, kamu
itu mesti begitu, mo, mo. Sudah tahu tak sadarkan diri selam tiga hari, masih
bertanya lapar nggak. Lebaih baik kamu beli makanan yang paling enak sana untuk
mas Iqbal!”
“Uangnya
mana?!”
“Ya pakek
uang hasil ngamen tadi, guoblok!”
“Astagfirullah,
kamu sudah janji kepadaku untuk tidak ngomong jorok seperti itu.”
“Oh, iya,
sori, lupa banget.”
“sora-sori
sora-sori. Percayalah, menjadi orang baik sepertimu akan lebih sulit daripada
aku!”
“firman
…….dia ke mana? Apa dia baik-baik saja?ah, aku bersalah kepadanya. Ke mana
dia?” tanyaku kepada orang-orang ini.
“Sungguh
mulia hatimu, mas,”kata Parno.”kami saja sudah membencinya, kok kamu yang
tega-tega disakiti olehnya masih menanyakannya.”
“Dia ke
mana?”
“Bukan
urusanku!”
“Apakah
kalian membencinya?!”
“Bagaimana
tidak membencinya, lha wong dia yang salah. Bukan mas yang salah?!”
“Apakah
kamu juga membencinya, Indri?”
“Ah,
entahlah, mas.”
“Jangan,
In. jangan kamu benci dia. Aku takut pabila kamu dan para sahabat membencinya,
dia semakin jauh dari dirinya sendiri. Yang dia butuhkan sekarang ini pastilah
bukan kebencian, tetapi ketulusan hati untuk mencintainya.”
“Mas Iqbal,
maafkanlah aku ya? Aku benar-benar meminta maaf. Gara-gara aku, mas menjadi
begini. Dokter mengatakan mas Iqbal akan….akan…….”
“Akan apa?”
“Mas tidak
akan bisa melihat untuk waktu yang lama.”
Aku
menghembuskan nafas. Tetapi kemudian, aku tersenyum. Inilah takdirku, takdir
seorang Iqbal. Aku sendiriyang telah berdoa kepada Allah untuk membutakan kedua
mataku. Hanya saja, aku tidak tahu ternyata aku menjadi tidak melihat begini
dengan cara dihajar habis-habisan Oleh Firman.
“Aku nggak
pa-pa kok, In,”kataku kemudian. “Aku hanya senang, kamu telah berubah.”
“Iya,
mas,”kata Surya dengan nada yang riang.”Indri dan Okta bahkan sekarang ini
sedang belajar memakai jilbab.”
“Ah, jangan
ngomong gitu dong, jadi malu nich,”kata Okta.
“Alhamdulillah.
Kallian memang akan semakin cantik pabila mengenakan jilbab.”
“Mas,
apakah kira-kira Allah akan mengampuni dosa dan kesalahan kami?”
“Insyaallah,
insyaallah. Dia telah berfirman; dan Allah
sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka.
Dan tidaklah(pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.
Bertobatlah, dan meminta ampunlah kalian kepada Allah, niscaya Allah akan
memberi kalian surga dan kebahagiaan.”
“Assalamu’alaikum………”terdengar orang mengucapkan
salam.
Kami yang
berada dalam ruangan ini pun membalas ucapan salamnya.
“Nak mas……..”katanya.
“Pak
Burhanka ini?” aku ingin bangun, tetapi aku tidak kuat. Tubuhku terasa
lemas sekali.
“Iya, nak. Bapak ke sini bersama ibu.”
Bu Laela menubrukku. Dia terisak –isak. Katanya,
“Maafkan anakku, nak. Maafkan Firman………”
“Nggak apa-apa kok. Di mana sekarang Firman?”
“Dia di rumah. Dia mengunci dirinya di kamar.
Maafkan dia,nak. Karena dia, nak mas menjadi seperti ini.”
“Sudah takdir Allah, bu. Tidak perlu disesali.”
Lalu kami berbicang-bincang. Ke sana ke mari.
Bersenda gurau. Tertawa-tawa. Aduhai, seandainya aku bisa berharap, kebahagiaan
ini akan semakin lengkap pabila Firman ada di sini.
@@@
Sepuluh hari sudah aku menginap di rumah sakit. Sungguh, aku merasa
sudah sehat kembali. Sudah benar-benar sehat. Hanya saja, dokter belum
mengijinkanku untuk meninggalkan rumah sakit. Aku masih harus menunggu
kesembuhan kedua mataku. Perban ini belum boleh dibuka. Sebagaimana dokter, aku
sendiri ingin sekali segera membuka mataku dan mendapati apakah aku masih bisa
melihat atau tidak.
Selama di rumah sakit ini, silih berganti para
sahabat menjengukku. Hampir setip hari Bu Laela dan Pak Burhan menjengukku. Demikian halnya Indri
dan Okta. Bahkan, kalau malam, surya, Parno dan Patmo menemaniku tidur di rumah
persakitan ini.
Kepada para sahabat laki-lakiku itu, aku selalu
meminta agar mereka mengajak Firman datang kemari. Awalnya mzzzereka nggak mau.
Mereka masih jengkel kepada Firman. Mereka membenci Firman. Mereka telah tahu
siapa yang salah dan siapa yang benar. Mereka menanyakan masalah ini kepada
Indri sebagai orang yang bersangkutan. Mereka memaki-maki Indri, memaki
sejadi-jadinya, membuat Indri dua hari dua malam menangis dan tidak bisa tidur.
Indri menyesali perbuatannya. Bahkan, Indri menyesali hidupnya selama ini.
Setelah mendapatkan kejalasan dari Indri, para
sahabat pun mendatangi Firman. Memaki-maki Firman, memaki sejadi-jadinya.
Dikatakan oleh mereka bahwa Firman adalah manusia terbodoh di dunia ini. Manusia terkutuk.
Manusia terlaknat. Manusia yang tidak memiliki hati, otak, dan perasaan.
Manusia yang sudah dibutakan hatinya untuk membedakan mana yang benar dan mana
yang salah. Manusai yang tidak tahu diri. Manusia bejat. Manusia biadab!
“Jika kamu tidak terima, ayo kita berkelahi saja,
hingga ada di antara kita yang tewas, dan cepat dimasukkan Allah ke dala
neraka!” demikian kata Patmo kepada Firman.
Bungkam mulut firman. Dia tidak bisa berkata
apa-apa. Jika para sahabatnya saja sudah memendam kebencian kepadanya seperti
itu, maka kepada siapa lagi Firman akan menunjukan dirinya.
Akhirnya kunasehati para sahabat untuk meminta
maaf kepada Firman. Kukatakan kepada mereka, Firman lebih butuh cinta dan kasih
sayang serta perhatiaan dari pada aku yang mengalami pesakitan begini. Dan
ternyata, para sahabat pun mau mengikuti nasihatku. Mereka meminta maaf kepada
Firman, dan mereka mengajak Firman untuk menjengukku.
Akan tetapi, entah karena merasa bersalah
kepadaku atau karena malu, Firman tak jua datang ke sini. Aku hanya berdoa
kepada Allah SWT, semoga dengan masalah yang terjadi antaranya denganku tidak
membuat dirinya semakin jauh dari Allah SWT.
Ah, rumah sakit……….
Kurang lebih dua setengah tahun yang silam, ibu
pernah dirawat di rumah sakit seperti ini di Jakarta. Dan sekarang, aku pun
dirawat di rumah sakit pula. Para sahabat, mengatakan bahwa Pak Burhanlah yang
menanggung seluruh biaya selama aku dirawat di sana, sebagai wujud
pertanggungjawaban. Mereka terhadap perbuatan putra mereka. Betapa baik Pak
Burhan dan istrinya itu. Kuharap, dengan kejadian ini mereka tidak membenci
Firman.
Jam berapa sekarang? Hari sudah malam atau belum
ya?
Aku mendesah. Baginilah rasanya orang yang tidak
bisa melihat itu? Dunia hanyalah lingkaran hitam nangelap. Terkadang, aku
seakan-akan melihat butiran-butiran atom bertebaran di sekelilingku. Terkadang,
ada garis-garis hitam yang melintas di depan mataku.
Apa yang bisa kulakukan sekarang?
Oh iya, daripada bingung-bingung begini, bukankah
lebih baik aku mengulangi hafalan al-Quran yang telah kuhafal? Aduh, sudah
beberabpa hari aku tidak menghafalkannya. Masih hafalkah aku terhadap ayat-ayat
yang telah kuhafalkan?
Kumulai membaca al-Fatihah. Setelah itu, kumulai
mambaca surat al-Baqarah, lalu surat Ali Imran, lalu suat an Nisa dan
seterusnya. Dan ketika aku sampai di pertengahan surah al Maidah, terdengar suara
langkah-langkah kaki menuju ke sini.
Aku pun berhenti membaca surah al Maidah. Aku
hanya menunggu siapa yang datang.
“Assalamu’alikum,”katanya.
“Wa’alaikumsalam,”jawabku.”Parno kah?”
“Iya, mas. Gawat, mas. Bahaya. Sungguh bahaya!”
“Ada apa lagi, Parno?”
“Firaman, mas. Firman membuat kegemparan di
penjuru kota. Mas Iqbal harus segera ke sana.”
“Ke sana? Ke sana ke mana?”
“Ke kuburan.”
“Apa?? Ke kuburan?”
“Maaf, mas. Hanya mas mungkin yang bisa menolong
Firman.”
Aku menjadi cemas. Cemas sekali. Ada apa lagi
dengan Firman?
“Nanti kalau ketahuan perawat gimana?”
“Ah, itu mudah. Ayo kutuntun keluar.”
Aku pun dituntun Parno. Kuucapkan basmalah,
shalawat kepada nabi dan keluarganya. Parno menarikku dalam langkah-langkah
yang dipercepat.
Alhamdulillah, aku dapat keluar tanpa dipergoki
dokter atau perawat. Aku sudah sampai di luar rumah sakit. Dan………masyaallah,
kenapa hujan demikian deras begini?
“Tidak ada waktu untuk mencari payung, mas. Mohon
maaf pabila aku mengajak mas Iqbal untuk berhujan-hujanan begini.”
“Ayolah, nggak apa-apa.”
@@@
Telah aku aniaya
diriku
Dan telah berani
aku melanggar karena kebodohanku
Tetapi, kusandarkan
diri pada ingatan dan karuniaMu
Yang kekal atasku
Ya, Allah
pelindungku
Betapa banyak
kejelekan yang engaku tutupi
Betapa banyak
melapetaka yang telah engaku
Hindarkan
Betapa banyak
rintangan yang telah engkau singkirkan
Betapa banyak
bencana yang telah engkau gagalkan
Betapa banyak
pujian yang baik yang tidak layak bagiku
Telah engkau sebarkan
Ya, Allah, besar
sudah bencanaku
Berlebihan sudah
kejekekan keadaanku
Sedikit sekali
amal-amalku
Berat benar
belengguku
Angan-angan panjang
telah menahan manfaaf dariku
Dunia telah
memperdayaiku dengan tipuannya
Dan jiwaku telah
terpedaya oleh pengkhianatan
Serta kelalaian
Wahai jujunganku,
kumohon kepadaMu
Dengan kemuliaan Mu
Jangan kau halangi
doaku kepadaMu
Oleh karena
kejelekan amal dan perangaiku
Janganlah engkau
ungkap dengan pantauanmu
Rahasia yang tersembunyi
Janganlah engkau
segerakan siksa atas perbuatanku
Dalam kesendirianku
Dari jeleknya
perbuatanku dan kejelekanku
Dari kekalnya aku
dalam dosa dan kebodohan
Dan banyak nafsu
dari kelalaian
Bola mataku menghangat. Kurasakan air mata
mengalir di sana. Kuberdiri dengan tubuh gemetaran. Suara gaduh orang-orang
terdengar di sekitarku. Aku tidak bisa melihat apa yang tengah terjadi.
Kegelapan menghampiriku. Hanya untaian doa dari mulut Firman itulah yang
sekarang ini aku dengar.
“Dimana bang Firman?”
“Firman di sana, mas. Di liang itu.”
“Di liang?”
“Iya, aku tidak tahu kapan dia menggali kuburan .
tiba-tiba ketika tadi aku, Surya, dan Patmo berada di alun-alun, kami melihat
Firman berlari. Kami pun mengejarnya, mengikutinya. Dia berlari ke sini. Dia
berteriak-teriak begitu sejak tadi.”
“Lalu mana sahabat yang lain?”
“Sebentar, aku carikan.”
Duhai kau yang di
sana!
Di sinilah aku
menunggu Mu
Setelah sekian lama
aku meyakiniMu
Dan kemudian
meninggalkanMu
Ke mana lagi hendak
kuhentikan langkah?
Ketika aku hanya
menemukan jiwa gelisah
Tak kuasa menerima
takdirMu
Tak berdaya
menghadapi kebesaranMu
Dalam kesendirian
kudekati engkau
Tetapi semakin ternggelam
aku dalam jalan ini,
Tidak begitu
berhargakah diriku di mataMu
Duhai, Tuhan yang
Kuasa?!
Akankah aku harus
mengharap MU melalui kematian
Agar akku dapat
menyaksikan wajah Mu?!
“Mas, tolonglah, Firman. Tolonglah……..”orang yang
berkata ini menubrukku.
“Kamu siapa?”
“Aku Indri, mas. Tolonglah dia. Aku mencintainya.
Aku mencinatinya.”
“Besabarlah, saudariku. Biarlah Firman
menumpahkan segala perasaannya kepada Allah dulu.”
“Hai, gila! Keluar dari kubur!” terdengar
seseorang berseru.
“Iya, kau mau mati?” sambutan kata orang yang
lain.
Sejurus kemudian, orang-orang meneriaki Firman.
Mencaci makinya.
Hatiku pedih. Hatiku pilu. Seandainya saja
orang-orang ini mengetahui apa yang ada di balik dari apa yang terlihat dari
diri Firman, mereka akan jatuh tersungkur tak berdaya.
Sungguh bodoh orang-orang ini. Mereka telah
tergelapkan hati, pikiran, dan perasaannya. Dunia telah memalingkan mereka.
Bukan Firman yang sesungguhnya gila, melainkan merekalah yang sesungguhnya
kurang sehat akalnya.
Jika aku harus mati
untuk bisa menemuiMu
Sudah kugali liang
kubur ini sebagai pintu untuk
Bertemu denganmu
Saksikanlah
Asyhadu an laa
ilaha illallah
Wa asyhahhu anna
muhammadar rasulullah
“Firman tunggu…jangan kamu lakukan itu!”
Entah apa yang akan dilakukan Firman. Parno
berteriak sekencang-kencangnya. Sejurus kemudian terdengar gedebuk suara orang
jatuh. Indri menjerit. Dan orang-orang menjerit.
“Lepaskan pisaumu. Lepaskan!”
“Lepaskan aku! Lepaskan aku!” teriak Firman.
Aku pun berteriak keras-keras membaca sebuah ayat
dalam al-Quran al karim.
Alif, laam raa.
(Ini adalah)kitab yang kami turunkan kepadamu supaya cahaya terang benderang
dengan izin Tuhan mereka, yaitu menuju jalan Tuhan yang maha perkasa lagi maha
terpuji.
Juga firmanNya;
Ibrahim berkata;
tidak ada orang yang berputus asa daari rahmat TuhanNya, kecuali orang-orang
yang sesat.
Dan firmanNya;
Dan demikian kami
perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan(kami yang terdapat) di langit
dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata;”inilah
Tuhanku,”tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata.”saya tidak suka
kekpada yang tenggelam.’kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata;
“Inilah Tuhanku.”tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata;”sesungguhnya
jika Tuhanku tidak member petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang
sesat.”kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata;”Inilah
Tuhanku, ini yang lebih besar.”maka tatkala matahari terbenam, dia berkata;”Hai
kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Raab yang menciptakan langit dan
bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Lalu kuberteiak kepada Firman;”Bang, Firman. Kamu
sudah sampai di penghujung perjalananmu. Dalam gelapnya malam dan butanya mata,
aku menjadi saksi atas perderitaan dan kerinduanmu kepada Ilahi. Aku , Iqbal
Maulana, sahabatmu sebagai manusia dan sebagai seorang muslim, menawarkan diri
untuk memelukmu. Kemarilah, bang Firman. Kemarilah.”
Sejurus kemudian, kumerasakan kepala Firman
bersujud di kakiku. Dia berkata,”Ampunilah aku, mas. Ampunilah aku.”
“Bangunlah!”
“Maafkan segala kesalahanku. Kamu benar, mas.
Kamu benar. Betapa besar dosa dan kesalahanku. Betapa bodohnya diriku. Betapa
lalainya aku. Orang yang kukira hanya berpura-pura, ternyata memiliki hati
lebih berkilau dari mutiara.”
“Dan pemuda yang kukita bermain-main saja dengan
waktu, ternyata menapaki waktu untuk menuju Tuhannya,”sahutku.
“Apakah Allah akan mengampuniku?’
“Allah akan mengampuni orang yang
bersungguh-sungguh memohon ampun dan bertobat kepada Nya.”
“Bimbinglah aku, bimbinglah aku………..”
“Alhamdulillah. Allahu akbar. Allahu akbar.”
Sejurus kemudian, kudengar gemuruh takbir memecah
kubur dan sunyinya malam. Dia dalam hatiku, kumelihat para malaikat turun dari
langit dan menjadi saksi atas apa yang telah terjadi di mala mini.
16
Berkah langit
Apa artinya kedua
mata yang buta, jika hati dapat melihat? Di dunia ini, banyak orang yang kedua
matanya dapat melihat, tetapi hatinyalah yang buta. Mungkin , sebaik-baik
manusia adalah manusia yang kedua matanya dapat melihat dan hatinya pun dapat
melihat. Hanya saja, terkadang kebijaksanaan Ilahi menghendaki hati baru akan
terbuka ketika mata telah menjadi buta.
Telah tiga hari ini aku keluar dari rumah sakit.
Aku meminta maaf kepada pihak rumah sakit sebab malam itu aku pergi tanpa
permisi. Malam itu aku harus pergi. Baru keesokan harinya, dengan diantar oleh
Pak Burhan, Bu Laela, Indri, Okta, Parno, Patmo, dan Surya, kudatangi rumah
sakit sekaligus meminta maaf. Pak Burhan menyelesaikan biaya administrasi pada
pihak rumah sakit. Dia berjanji, nanti ketika sudah tiba waktunya, akan
membawaku ke sini untuk membuka perban yang menutupi kedua mataku dan melihat
bagaimana perkembangannya.
Dan kini, aku kembali ke rumah Pak Burhan dan Bu
Laela.
Aku kembali dengan jiwa yang baru, segar, indah,
dan tercerahkan. Di sini, selam tiga hari ini, tak kucium lagi bau alcohol,
kepulan ganja yang dihisap, atau pun suara derai Indri dan Okta yang penuh
dengan gejolak nafsu. Kini, yang kudengar adalah lantunan suara ayat-ayat suci,
yang memenuhi berbagai ruangan di rumah ini.
Memang, setelah kejadian malam itu, Firman
benar-benar telah terbuka hatinya. Menurut para sahabat, tak henti-hentinya dia
bersujud kepada kedua orang tuanya,
memohon maafnya, dan memohon ridho
meraka. Tak henti-hentinya Bu Laela menangis. Pak Burhan pun demikian. Tangisan
haru dan bahagia.
“sudahlah, anakku. Yang lalu, biarlah berlalu.
Betapa bodohnya ayahmu ini, sebab aku hanya melihat perangimu saja yang buruk,
padahal di balik perangaimu itu, tersimpan kerinduanmu yang dalam kepada Raabmu. Maafkanlah aku,
anakku,”kata Pak Burhan.
“Ibu juga meminta maaf. Dulu ibu menyayangimu.
Ketika ibu melihat perangaimu yang buruk, ibu tetap menyayangimu. Dan ketika
ibu sadar apa yang sekarang ini tengah terjadi padamu, ibumu lebih
menyayangimu. Maafkanlah ibu, sebab sebagaimana ayahmu ibu hanya melihat apa
yang tampak saja pada dirimu, dan tidak sanggup mengerti rahasia tersembunyi
dalam hatimu.”
“sekarang, marilah kita iklaskan kepergian adikmu
yang sudah sekian lama. Semoga Allah menempatkannya di dalam surgaNya.
“amin ya, rabb al’alamin.”
Memang, semua kejadian yang menimpa Firman, semua
peristiwa yang ada hubungannya antara aku, para sahabat, dan Firman, semua
bermula dari pemberontakan Firman terhadap peristiwa kematian adiknya yang
sudah bertahun-tahun itu. Firman tidak siap menerima takdir Allah yang seperti
itu. Takdir telah membawanya ke dunia hitam, dan takdir pula yang telah
mengangkatnya dari lembah hitam.
Bahkan, tidak hanya itu. Takdir jualah yang telah
merubah arah hidup para sahabat yang kukenal selama ini. Indri, menurut para
sahabat juga , sudah tidak mau lagi melepas jilbabnya, menanggalkan
al-Qurannya, dan meninggalkan shalatnya. Dia habiskan siang untuk membantu
ibunya, dan dia habiskan malam untuk beribadah kepada Allah SWT.
“Mas,ijinkan aku untuk segera menikahi
Indri,”kata Firman.
“Emang kenapa?”
“sebab dengan cara cepat menikah dengannya, aku
dan dia akan segera terbebaskan dari belenggu dosa dan kemaksiatan yang selama
ini telah kami lakukan.”
“Ah, jangan-jangan kamu dan dia nanti akan
dituduh menikah hanya demi menghalalkan perbuatan zina,”seloroku.
“Biarin aja, mas. Aku lebih percaya pada mas
daripada pada semua orang di dunia ini.”
Aku berkata bagitu sebab aku penah membaca sebuah
buku yang konon bestseller, ditulis oleh seorang muslim yang masih muda di
negeri ini, terbitan Jakarta atau Banduang kalau gak salah, di mana dalam buku itu sang penulis
mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang berpacaran, lalu melakukan
hubungan seks di masa pacarannya itu, dan kemudian menikah, maka pernikahannya itu hanyalah melegalisasi zina
yang telah dilakukannya.
Aku dibuat terkekeh-kekeh ketika membaca buku
yang aneh dan menggelikan seperti itu. Bagaimana cara berpikir sang penulis
kita itu?
Pabila dua insane sudah sekian lam amenjalin
hubungan kasih, sehingga mereka melakukan hubungan yang diharamkan oleh agama,
maka aku sepakat dengan dua alternative penyelesaian seperti yang ditunjukkan
oleh Murtadha Muthahhari;
Pertama, kita bisa saja membiarkan para remaja
itu dan tidak memusingkan dengan apa yang mereka perbuat. Kita biarkan saja
seorang remaja pria melakukan hubungan seks yang haram dengan ratusan gadis
remaja, dan membiarkan gadis remaja melakukan hubungan seks yang haram dengan
puluhan remaja pria serta melakukan penggunguran berkali-kali.
Kedua, kita harus “memaksa” para remaja untuk
menyegerakan pernikahan di awal-awal pertumbuhan pubernya. Atau, remaja itu
sendiri yang harus segera sadar untuk segera menikah.
Maka, pabila dua insane segera menikah karena
mereka telah lama terjebak dalam hal yang diharamkan, tetapi kemudian
pernikannya diangganp sebagai pelarian belaka, lalu apakah kita akan membiarkan
dua insane tersebut untuk tidak segera menikah dan terus-menerus tenggelam
dalam syahwatnya?
Ah, ada-ada saja sahabat penulis itu, semoga
Allah menunjukkannya pikiran yang logis dan lurus!
@@@
Yang benar-benar membuatku merasa bahagia, lebih
dari ukuran kebahagiaan itu sendiri, dan bahkan membuat mulutku tak
henti-hentinya memuji dan mengucap syukur kepad Allah SWT adalah pilihan hidup
yang telah diipilih oleh Okta.
Peristiwa Firman yang menggali liang kubur,
berbaring di sana, dan berteriak-teriak mencari Tuhannya, benar-benar mengguncangkan
batin Okta. Apa lagi yang bisa disombongkan oleh manusia ketika dia sudah
menjadi mayat dan menguni alam kubur? Berkali-kali Okta digetarkan oleh
pertanyaan yang demikian ini, hingga berdirilah bulu kuduknya. Merindinglah
kulit-kulitnya. Pabila kematian sudah mendatangi anak manusia, maka apa yang
tersisa kecuali seonggok tulang-belulang yang dimakan rengat? Harta,
kedudukann, kekuasaan, paras wajah, kekayaan, rumah, mobil, anak, istri,
sahabat, dan semua akan ditinggalkan. Semua tidak turut serta. Semua akan
sirna. Pada ketika itu, manusia hanya tinggal menunggu waktu, apakah dia akan
dimasukkan Tuhan ke dalam surge kebahagiaan ataukah dia justru terlempar ke
dalam neraka kesengsaraan.
Satu hari setelah peristiwa yang mengguncangkan
nuraninya itu dan aku yakin hal ini menjadi bagian dari hidayah Allah yang
didapatkan Okta menemukan sebuah buku yang di dalamnya dikutip sebuah hadits
yang panjang, tentang keadaan manusia ketika baru mengalami kematian di dalam
kubur.
Al-Barra’ bin Azid ra berkata; pada suatu saat,
kami menggiring jenazah seorang sahabt dari kaum Anshor, kemudian Rasulullah
duduk di atas kuburnya dengan menundukkan kepala, lalu bersabda;”Ya, Allah, aku
berlilndung kepada Mu dari siksa kubur.”
Lalu beliau bersabda;
Sesunggunya, seorang mukmin jika berada dalam
permulaan dari akhirat, maka Allah mengutus malaikat-malaikat yang seakan-akan
wjah mereka tidak rusak kafannya, lalu mereka duduk sejauh mata memandang. Lalu
jika nyawanya keluar, maka setiap malaikat yang ada di langit menshaltinya dan
beberapa pintu –pintu itu kecuali ia
suka jika dia di masukan nyawanya melaluinya. Jika dia naik dengan nyawanya,
maka dikatakan;”wahai, Tuhanku. Hamba Mu fulan.”lalu dia
berfirman,”kembalikanlah dia. Lalu perlihatkanlah kepadanya apa yang aku
sediakan waktunya dari kemuliaan. Sebab, sesunggunya aku berjanji
kepadanya,’dari bumi(tanah)itulah kami menjadikan kamu dan kepadanya kami akan
kembalikan kamu dan daripadanya kami
akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.’
Dan sesungguhnya dia mendengarkan bunyi
sandal-sandal mereka ketika mereka berpaling membelakangki, sehingga
dikatakan,”hai Fulan, siapa tuhanmu? Apa agamamu? Dan siapa nabimu?” lalu dia
menjawab,”Tuhanku adalah Allah. Agamaku adalah Islam. Dan nabiku adalah Muhamad
saw.”
Lalu keduanya membentaknya dengan bentakan yang
sangat. Itu adalah akhir kesempatan yang di perlihatkan kepada orang yang mati.
Lalu dia mengatakan ucapan itu, maka penyeru
menyeru;”Engkau sungguh benar.”Itulah
makna firman Allah ta’ala;”Allah meneguhkan(iman)orang-orang yang
beriman dengan ucapan yang teguh itu.”
Kemudian datanglah kepadanya seseorang yang
tampan wajahnya, wangi aromanya, dan bagus pakaiannya, lalu
berkat,”Bergembiralah dengan rahmat Tuhanmu dan beberapa surge yang di dalamnya
terdapat nikmat yang tepat.”dia lalu berkata.”dan engkau, maka semoga Allah
memberikan kabar gembira kepadamu dengan kebaikan. Siapakah engkau?” maka orang
itu berkata,” aku adalah amalmu yang shalilh. Demi Allah, aku tidak tahu
sesungguhnya engkau benar-benar cepatt taat kepada Allah, jauh dari maksiat
kepada Allah. Maka semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
Lalu pernyeru berseru;”Bentanglah untuknya
beberapka permadani surge dan bukalah untuknya pintu ke surge.” Maka
dibentangkan untuknya dari beberapa permadani surge dan dibuka bagianya pintu
ke surge. Lalu dia berkata,”Ya Allah, segerakanlah berdirinya kiamat, sehingga
aku kembali ke keluargaku dan hartaku.”
Ada pun kafir, maka sesungguhnya dia juga berada
dalal permulaan dari akhirat dan terputus dari dunia. Maka, turun kepadanya
beberapa malaikat yang keras dan kasar. Bersama mereka ada beberapa pakaian
dari api, dan beberapa jubah dari tir, lalu meeka mengepungnya. Lalu jika nyawanya keluar, maka
dia dilaknat oleh setiap malaikat di langit, dan pintu-pintu langit ditutup.
Maka tidak ada di antara pintu kecuali benci jika nyawanya dimasukan
melaluinya. Lalu jika nyawanya naik, maka dibuang dan dikatakan,”wahai Tuhanku,
hambaMu si fulan tidak diterima oleh langit dan bumi.” Maka Allah
berfirman;”kembalikanlah dia, lalu perlihatkanlah kepadanya apa yang aku
sediakan baginya dari kejelekan . sesungguhnya aku berjanji kepadanya.
Dari bumi itulah kami menjadikan kamu
dan kepadanya kami akan mengembalikan kamu dan dari padanya kami akan
mengeluarkan kamu pada kali yang lain.”
Dan sesungguhnya dia mendengar suara
sandal-sandal mereka ketika mereka berpaling membelakangi, sehingga dikatakan
kepadanya,”hai fulan, siapa Tuhanmu, siapa nabimu, dan apa agamamu?” lalu dia
menjawab,” aku tidak tahu.’ Kemudaian dia didatangi oleh seseorang yang buruk
wajahnya, busuk baunya, dan buruk beberapa pakaiannya, lalu berkata,
“bergembiralah dengan murka Allah dan
siksa yang menyakitkan dan tetap.” Dia lalu berkata,”semoga Allah
memberikan kabar gembira kepadamu dengan kejelekan, siapa engkau
adanya?”siburuk ruupa mejawab,”aku adalah amalmu yang buruk. Demi Allh,
sesungguhnya engkau benar-benar cepat dalam maksiat kepada Allah dan jauh dari
taat kepadaNya. Maka semoga Allh membalasmu dengan kejelekan.”maka dia
berkata,”dan engkau, semoga Allah membalasmu dengan kejelekan.”
Lalu ditakdirkan baginya sosok yang buta, tuli,
dan bisu. Bersamanya ada tongkat kecil dari
besi yang andaikata manusia dan jin berkumpul untuk mengangkatnya, maka
mereka tidak mampu mengankatnya. Andaikata gunung diipukul dengannya, niscaya
menjadi debu. Sosok itu lalu memukulnya dengan satu pukulan, kemudian menjadi
debu. Lalu ruh kembali di dalamnya,
kemudian diipukulnya dengan tongkat tersebut di antara kedua matanya dengan
satu pukulan yang didengar oleh makhluk yang dia di atas bumi, bukan manusia
dan jin.
“Jadi, pilihanmu sudah mantap, saudariku?”
tanyaku kepadanya.
“Insyaallah, mas. Kumohon doa restumu.”
“Tetapi pilihanmu adalah pilihan yang berat.
Ibarat bunga, kamu baru saja mekar dan kelopakmu menebarkan wewangian yang
menyebar ke mana-mana. Harummu sanggup menghentikan langkah dan nafas terhirup
menikmati keharuman itu. Yang aku tahu, uhkti, menjadi lajang seumur hidup di
dalam Islam merupakan sebentuk pillihan
yang amat sulait ketika Rasulullah saw bersabda bahwa termasuk dalam sunnahnya
adalah menikah.”
“Jadi, kalau aku tidak menikah, maka berarti aku
melanggar sunnahnya?’
“wallahu a’lam. Aku hanya tahu bahwa rasul juga
bersabda,”orang meninggal di antara kalian yang berada dalam kehinaan adalah
bujangan. Beliau juga bersabda, ‘sebagian besar penghuni neraka adalah
orang-orang bujangan.
“sudah bertahun-tahun aku meninggalkan
kewajibanku sebagi wanita muslimah. Aku tinggalkan sembahyang. Aku tinggalkan
jilbab. Aku tinggalkan amalan-amalan ibadah di malam hari. Aku tinggalkan
al-Quran. Aku tinggalkan kebaikan. Pada saat yang sama, aku terjerumus dalam
lembah hitam. Sebagai mana sahabat laki-lakiku yang mabuk, aku ikut-ikutan
mabuk,ikut-ikutan mengkonsumsi narkoba, dan bahkan….astagfirulah al’adzim,
aku..aku lakukan hubungan seksual secara haram. Mas, aku merasa bahwa dosaku
lebih luas dari samudra, lebih tinggi dari gunung yang menjulang, lebih dalam
dari jurang yang paling dalam. Sesalku sekarang tidak pernah berakhir. Aku
ingin bertobat dengan sebenar-benarnya bertobat. Aku ingin memohon ampun Allah.
Dan aku merasa bahwa aku harus meninggalkan semua cinta, selain hanya mencintai
Allah SWT. Kupilih mencintai Allah, dan kutinggalkan cintaku kepada lawan
jenisku. Jika pun ada yang ingin mencintaiku, maka aku katakan kepadanya bahwa
cintaku hanya akan habis untuk mencintaiNya. Aku khawatir bahwa ketika aku
membina rumah tangga, kesibukan dunia membuat cintaku kepada Allah berkurang,
padahal dosa, kesalahan, dan kemaksiatran yang telah kuperbuat selama ini
rasa-rasanya tidak bisa terhapuskan, kecuali jika aku menyerahkan sepenuh
diriku dalam cinta kepadaNya. Cintaku
kepadaNYa tidak ingin kubagi. Oleh karena itu, apakah pilihan
seperti ini sama dengan melanggar sunnah
nabi?”
“semoga tidak,”jawabku pendek.
“aku ingin menjadi wanita kedua di dalam islam
yang tidak menikah, setelah Rabi’ah al adawiah.
“kamu kenal dia?”
“sudah lama kumembaca dia. Hanya saja, baru kali
ini aku menetapkan pilihan seperti dia.
Apa hendak kukatakan kepada Okta. Pilihannya
adalah prinsipnya. Prinsipnya adalah mencintai Allah secara total, sehingga dia
tidak ingin membagi-bagikan cintanya kepada makhlukNya. Dia memilih prinsip
yang seperti itu dengan memiliki alasan yang jelas, kuat, dan dapat
dipertanggungjawabkaan. Dan semoga, prinsip yang seperti ini tidak melanggar
sunnah nabi.
@@@
Berkah yang lain, yang telah aku terima sekarang
adalah kenyataan bahwa surya, parno, dan patmo sekarang ini adalah orang-orang
yang paling dicari oleh para kuli tinta. Mereka adalah para pemuda pengamen
yang tetap menekuni dunia agamanya, tetapi dengan jiwa yang baru.
Peristiwa yang dialami Firman di malam itu,
ternyata banyak pula disaksikan oleh para wartawan, media cetak maupun
elektronik, sebagaimana aku, firman menolak untuk diwawancarai. Tetapi, melalui
lidah surya, patmo dan parno, para wartawan dapat mengorek berbagai informasi
mengenai awalmula perjalanan spiritual firman yang seperti itu. Mau tidak mau,
namaku disangkut pautkan, mau tidak mau namaku menjadi terkenal lagi.
Maka, selama tiga hari ini, Koran-koran
menurunkan laporannya tentang kisah perjalanan spiritual firman. Ada yang
menullis esai dibawah judul dengan huruf dan tebal ; SEORANG PENGAMEN YANG
BERHASIL MENEMUKAN TUHAN. Koran yang lain menulis esai; KISAH PENGAMEN MELEWATI
TAKDIR. Dan Koran yang lain menulis; SEMUA IN BERAWAL DARI SEORANG IQBAL.
Sebuah surat kabar harian bahkan ingin memuat
secara berseri kisah seputar pengalaman spiritual ini, baik dari sisi aku,
firman, indri, okta, surya, patmo dan parno, maupun kedua orang tuan firman.
Ini berarti, kisah tersebut akan demikian panjang, lebih panjang dari
kenyataannya itu sendiri.
Para sahabat meminta ijin kepadaku, apakh
keinginan dari surat kabar tersebut dapat kami penuhi atau tidak. Aku bilang,
kenapa tidak? Siapa tahu, ketika banyak orang
membaca kisah tersebut, sebanyak itu pula hidayah dan inayah Allah akan
turun. Berkah langit akan menyebar ke penjuru bumi. Minimal bumi jawa tengah,
atau bumi yang terjangkau oleh perdaran surat kabar tersebut.
Dua stasiun radio di kota ini, mengundang surya,
parno ,dan patmo untuk acara talk show. Lalu, dari lidah-lildah mereka,
orang-orang di Banjarnegara mulai
mendatangi rumah firman; mereka ingin tahu dan melihat kayak apa sih
firman itu? Mereka ingin dapat berbincang-bincang dengan firman. Firman tiba-tiba berubah
menjadi orang yang paling terkenal di kota ini, melebihi bupati dan wakil
bupati.
Dan ketika hanya Firman yang mereka uber-uber.
Mereka juga menguber-uber aku.
Apalagi, selidik punya selidik sebuah harian di
Jawa Tengah berhasil menemukan bahwa Iqbal Maulana yang disebut-sebut oleh
banyak orang itu adalah Iqbal Maulana yang dulu pernah ditahan di kepolisian
resort salatiga atas tuduhan sebagai bagian dari teroris. Tak hayal, aku pun
menjadi orang yang paling dicari pula orang-orang.
Pada keadaan yang demikian inilah, telah tiga
kali aku menerima kiriman SMS dari sahabatku ini bernama Anton. Dia adalah
sahabat bicara dan diskusi yang indah dan menarik selama aku naik bus dari arah
sragen sampai di kota ini. Sahabatku itulah yang telah memilih agama cinta
sebagai agamanya.
SMS pertama berbunyi;
Betulkah berita yang aku dengar dan aku baca ini
adalah berita tentangmu, sobat. Sungguh, kamu seorang muslim yang luar biasa.
SMS kedua berbunyi;
Karena aku pernah berbincang-bincang dan
berdiskusi denganmu dalam bus itu, kini aku pun tengah menapaki hidayah Allah
kembali. Sekarang, aku bangga menjadi seorang muslim.
SMS ketiga berbunyi;
Jika Allah mengijinkah, aku ingin bertemu
denganmu.
Memsan secangkir kopi di alun-alun dan menikmati
malam yang dibentang oleh Allah. Bisakah
Kita bertemu?
Ketiga SMS Anton itu pun aku balas. Balasan untuk
SMS yang ketiga berbunyi;
Kutunggu kamu segera. Sudah kupesankan secangkir
kopi dan tinggal kita nikmati.
Semua SMS yang masuk ke dalam HP ku dibaca kan
oleh Parno. Tentu kamu tahu alasannya, kenapa. Kamu benar. Aku tidak bisa
membaca, sebab kedua mataku masih buta. Aku juga meminta parno untuk membalas
SMS itu.
@@@
Duh, Allh, kurasakan semua itu merupakan berkah
yang Engkau turunkan dari langit. Engkau bentangkan berkah hidayah dan inayahmu
kepada mereka yang memang membutuhkan. Engkau telah tunjuki jalan-jalan para
sahabat, sehingga mereka menapaki jalan-jalanMu.
17
Musafir cinta
Liima belas hari aku
mendapatkan perawatan di rumah sakit, tiba waktunya perban yang menbalut kedua
mataku dibuka. Aku terserang H2C----- meminjam istilah sebuah tayangan di
tv---; harap-harap cemas. Sebuah pertanyaan mucul di benakku; aku benar-benar
sembuhkah kedua mataku? Kalau sembuh, alhamdulilah. Tetapi, kalau tidak sembuh,
haruskah kuucapkan innalilah?!
“sudah mas tenag ajalah,”hibur parno.
“pasti kedua mata mas akan sembuh,”imbuh Patmo.
“Huss, kamu jangan ngomong begitu, Mo. Kamu
ngomong kepastian, sedangkan kamu tahu kamu ini seorang muslim. Ngomong
insyaallah,kek. Berani-beraninya ucapkan kata ‘pasti’!”seru surya.
“Aku benar-benar heran kepadamu, ya. Kamu ini
tidak pernah ridho dengan ucapan-ucapanku. Selalu saja di otakmu ucapanku itu
yang keliru. Kapan sih kamu akan memberikan perkataan yang indah untuk memuji
kata-kataku?!”
“Memang kenyataanya kamu salah, kok, minta
dipuji-puji segala. Benerin dulu ucapanmu, baru aku puji.”
“Mas insyaallah pasti sembuh!” ucap Patmo.
“Kalau pake kata’insyaallah’,jangan ngomong
‘pasti’dong!”
“salah lagi, salah lagi.”
“Memang kenyataannya begitu!”
“Insyaallah itu artinya apa sih? Kamu tau nggak?
Tanya tuch mas Iqbal. Bukankah artinya;’jika Allah menghendaki”. Maka, jika
Allah menghendaki kedua mata mas Iqbal sembuh, bukankah pasti akan sembuh?!”
“Bener juga ya?”
“Makanya! Peliharalah mulutmu dan mulut
keluargamu dari siksa api neraka!”
Kami tertawa mendengar banyolan Patmo tersebut.
Aku tersenyum.
Keinginan agar kedua mataku buta adalah
keinginanku. Aku pernah berdoa kepada Allah untuk hal yang demikian itu. Aku
berkeinginan seperti itu sebab aku ingin terhindar dari maksiat mata, terutama
maksiat terhadap lawan jenis. Aku tidak bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa
aku, pabila masih dapat melihat, akan mampu tidak tergoda oleh rayuan dan
lirikan mata seorang gadis, apalagi itu gadis yang cantik. Aku tidak ingin
menggejolakkan nafsu, mengerakkan syahwatku. Godaan terhadap lawan jenis,
menurut al-Ouran, adalah godaan yang paling tinggi. Faktanya, banyak orang
tidak mampu untuk menghindari godaan yang seperti itu. Maka, dengan cara aku
tidak bisa melihat, dengan sendirinya aku tidak bisa melihat maksiat. Dengan
demikian, aku terhindar dari kemaksiatan. Aku yakin akan hal ini.
Namun, dengan pilihan keinginan seperti itu,
bagaimana nanti seandainya zaenab dan Pricillia mendapati diriku sebagai orang
yang buta kedua matanya?! Nah, inilah masalah baru akan aku hadapi.
Duh, Illahi……
Selama ini, dalam perjalanaku menujuMU, engkau
telah member aku berkah, rahmah, dan hidayah yang tak ternilai harganya.
Harapan-harapan ku engkau penuhi. Doa-doaku engkau kabulkan.
Keinginan-keinginanku terwujud. Saksikanlah bahwa aku sekarang ini lebih merasa
bahagia dan senang karena engkau telah tunjuki para sahabatku di kota ini
dengan hidayah yang lurus. Engkau telah angkat mereka dari lembah nista. Engkau
telah tempatkan mereka dalam maqam untuk menujuMu. Kebahagiaan dan kesenangan
yang bagaimana lagi yang melebihi ketika engkau telah tunjukkan orang-orang
yang memang pantas untuk mendapatkan petunjuk!
Illahi……..
Aku memang merasa bahagia terhadap semua itu.
Tetapi, sebagimana engkau titahkan garis
kehidupan di mana tak satu pun manusia yang mengetahui akhir dari masa
depannya, aku pun tidak tahu akhir dari masa depanku. Aku tidak tahu takdir apa
yang akan engkau berikan di hari esok dan di masa depan. Aku tidak tahu, apakah
engkau akan selalu memberikan hidayah, rahmah, dan inayah kepadaku dan kepada
kaum muslimin.
Dan, sungguh, demi kemuliaan wajahMu, aku pun
tidak tahu apakah zaenab dan Pricillia akan menerima keadaanku yang buta kedua
matanya pabila memang engkau telah mentakdirkan kedua mataku menjadi buta. Jika
pun aku berhak untuk berharap, berdoa, dan bermunajat kepadaMu, maka aku
memohon, dengan kesucian Mu dan dengan kemulliaanMu, agar zaenab dan Pricillia
menerima keadaanku apa adanya. Aku berharap mereka tidak akan melihat seorang
Iqbal dari wajahnya, dari tubuhnya, dari penampilan fisiknya, atau dari kedua
matanya. Aku berharap mereka akan melihat apa yang ada dihatiku, walau aku tahu
bahwa tak satu pun manusia yang tahu isi hati orang lain.
Akan tetapi, pabila ternyata Zaenab dan Pricillia
memng lebih melihat penampilan fisikku, melihat tubuhku, melihat wajahku, atau
melihat kedua mataku, dan engkau takdirkan kedua mataku buta, maka apa hendak
kukata? Kau tidak mungin menolak keadailanMu. Pabila kebutaan merupakan cara
yang tepat untuk dapat memperoleh kemulliaan di sisiMu, dan kemuliaan itu
engkau berikan dengan syarat aku tidak engkau takdirkan untuk bersanding hidupu
dengan zaenab atau dengan Pricillia, maka takdir yang demikian itu akan aku
terima dengan lapang dada.
Sekarang, ijinkan aku untuk menapaki takdir itu,
ya Allah. Ijinkan aku untuk melihat kedua mataku sendiri.
Semua sahabat yang kukenal sudah hadir. Indri
duduk dekat dengan Okta, sedangkan surya, patmo, parno dan firman duduk didepan
mereka. Di sebelah kiri firman, duduk Bu Laela. Mereka semua diam. Aku juga
diam. Aku berdoa. Mereka pun mungkin juga berdoa. Aku berdoa, apa pun hasilnya
nanti akan aku terima dengan kerelaan hati. Dan mungkin, semua yang hadir di
sini mendoakan semoga kedua mataku sembuh seratus persen.
Wallahu a’lam…..doa siapakah di antara kami yang
akan diterimaNya.
Pak Burhan melangkah dari dalam ruang menuju
tempat kami duduk di bangku tunggu di bangsal 16 di rumah sakit ini.
“Nak Iqbal, sudah waktunya…..” kata dokter
lembut.
Pak Burhan menghela nafas.
Bu Laela menghela nafas.
Para sahabat menarik nafas.
Aku sendiri
menata nafas.
Aku akan segera tahu, takdir yang bagaimanakah
yang akan diberikan Allah kepadaku tentang kedua mataku.
@@@
Aku berbaring.
Aku menarik nafas.
Degup jantungku terasa sekali.
Seorang dokter ditemani dengan seorang perawat
berada di dekatku. Berkalai-kali dokter itu memintaku untuk tenang. Perawatnya
juga demikian.
“Semoga sembuh ya, mas,”kata dokter itu.
Aku hanya bisa mengangguk.
“Maaf…..”kata dokter itu.
Dia kemudian membuka perban yang menutupi kedua
mataku. Dibuka pelan-pelan. Di sebelah kanan dulu. Lalu beralih ke sebelah mata
kiriku.
Dan, masyaallah, aku tidak berani membuka kedua
mataku. Sungguh aku tidak berani.
“Sekarang mas bisa membuka mata, mas,” kata
dokter itu lagi.
“Aku takut dokter?”
“Looh, kenapa? Nggak usak takut dong.”
“Demi Allah aku sangat takut,”jawabku.
“Cara untuk mengalahkan ketakutan adalah dengan
melakukan apa yang kamu takuti.”kata dokter itu lagi.
Dan memang, sekarang ini, apa lagi yang akan kuperbuat
kecuali membuka kedua mataku? Detik ini atau menit ini aku bisa menutup kedua
kelopak mataku, tetapi aku sendiri tahu
bahwa pada detik atau pada menit selanjutnya, tak kuasa bagiku untuk
menutup mata.
Maka dengan mengucap basmalah, dengan perlahan, kubuka
mataku. Kukerjap-kejapkan. Dan….
Dunia kembali terbuka.
Walau agak samar.
Aku bisa melihat kembali.
Walau belum sepenuhnya normal.
Kulihat wajah dokter dan perawat. Mereka
tersenyum kepadaku. Kubalas senyum mereka dengan senyuman yang paling iklas yang
pernah aku miliki. Memang, sekali lagi aku belumlah begitu jelas melihat. Masih
banyak’semut’ yang kulihat. Masih ada butiran-butiran rupia sehingga
menghalang-halangi pandangan mataku.
Dan inilah takdir Allah yang berlaku atas kedua
mataku. Dia telah mentakdirkan aku tidak menjadi orang yang buta, walaupun dia
juga menakdirkan kedua mataku tidak berfungsi sepenuhnya normal.
Tetapi dokter berkata,”Jika kedua mata mas terus
mendapatkan perawatan yang insentif, insyaallah, mas Iqbal akan kembali melihat
dengan sempurna.”
“Saya akan membuatkan resep untuk mata mas. Mas
nanti bisa mengambilnya di bagian obat.”
“Ok, dok. Terima kasih.”
“Sama-sama, mas.”
Dokter dan perawat itu segera keluar.
Sebentar kemudian, Bu Laela, Pak Burhan, dan
semua sahabatku berusara satu persatu. Sejurus kemudian, ucap syukur dan
puji-pujian memenuhi ruangan ini. Dan tanpa kuketahui sebelumnya, di sini hadir
pula dua orang wartawan yang sejak tadi berkali-kali mengambil gambarku.
@@@
“IQBAL MAULANA TELAH SEMBUH KEDUA MATANYA”
Kubaca judul berita tentangku itu di sebuah
Koran. Tadi pagi, Parno mengantar Koran tersebut ke rumah ini, dan menunjukkan
tulisan tersebut kepadaku:
Setelah
selama 15 hari mendapatkan perawatan yan intensif dari dokter, kini kedua mata
Iqbal Maulana telah sembuh. Dia telah melihat kembali, walaupun belum seratus
persen. Tentunya kabar ini merupakan kabar yang menyenangkan berbagai pihak.
Ketika kemarin ditemui di rumah sakit, tampak hadir Bu Laela, Pak Burhan,
Firman, Indri, Okta, Surya,Parno, dan Patmo. Orang-orang yang selama ini
dikenal dekat dengan Iqbal pun tampak berbahagia dan berucap syukur kepada
Allah SWT.
Yang paling
bahagia adalah Firman. Sudah menjadi rahasia umum Firmanlah yang menyebabkan
luka di kedua mata Iqbal dalam sebuah peristiwa salah paham beberapa waktu
sebelumnya…..
Siang harinya, para tetangga pun datang ke rumah.
Mereka mengucapkan selamat kepadaku atas kesembuhan kedua mata ini. Memang,
sudah beberapa hari ini, rumah Pak Burhan kedatangan banyak tamu. Bahkan, para
tamu ini, konon, tidak hanya berasal dari seputar wilayah Banjarnegara. Ada
yang dari Wonosobo. Ada pula yang datang
dari Purbalingga.
Sehabis Dhuhur, para sahabat pun pada datang. Tetapi
mereka datang bersama sahabat-sahabat lain termasuk Surya, Parno, Patmo. Kepada
mereka, pada sahabatku ini memperkenalkan.
“Mas, mereka semua adalah sahabat-sahabat
jalanan. Mereka datang ke sini, selain untuk berilaturahmi dengan mas Iqbal,
mereka juga membawa misi khusus, “ kata Parno.
“Ya, misi. Sebuah pilihan kata yang menarik,”
sambung Surya.
“Mereka ingin mengikuti jejak kita, mas.”
“Maksudmu?”tanyaku.
“Mereka ingin menjadi pengamen yang baik. Minimal
kayak kami. Maksimal melebihi kami.”
“Betulkah?”
“Iya, mas.”
“Lalu bagaimana caranya?”
“Mereka ingin belajar agama dari mas.”
“Tetapi aku bukan ahli agama, kalian tahu itu.”
“Bagi kami, para sahabatmu ini, kamu lebih ahli
daripada ahli agama.”
“Benar, bang,”kata salah seorang di antara mereka
yang memperkenalkan dirinya bernama Amir.”membaca berita tentang abang, tentang
Firman, dan tentang para sahabat ini
dikoran-koran, mendengarkan diskusi di radio-radio, kami ingin sekali menjadi
bagian dari kehiduuipan abang dan para sahabat semuanya. Kami menjadi malu
dengan kemusliman kami ini setelah selama ini kami meninggalkan ajaran-ajaran
islam dalam kehidupan kami. Untuk itu, mohon kiranya bang Iqbal mau menunjuki
kami jalan yang lurus.”
Lalu, setelah peristiwa tersebut, para pengamen
jalanan ini pun bersepakat untuk membentuk sebuah kelompok yang, atas usul dan
saranku, dinamakan kelompok Ashabul Khafi. Aku memilih nama ini, sebab selain
nama ini diabadikan oleh al-Quran yang suci, nama ini kiranya tepat untuk
menjadi tadzkir bagi mereka sendiri khususnya dan bagi orang-orang yang ingin
mengikuti jalan hidup seperti mereka. Tersusunlah pengurus Ashabul Kahfi
sebagai berikut:
Pelindung :
Allah SWT
Pembimbing :
Iqbal Maulana
Ketua :
Firman Ardiansyah
Wakil ketua :
Surya Purnama
Sekretaris :
Parno Atmojo
Wk sek :
Patmo Prastowo
Bendahara :
Okta
Wk ben. :
indri
Dalam susunan kepengurusan ini, ada beberapa
seksi, yakni seksi pengumpulan dana, seksi acara, seksi hubungan masyarakat,
dan seksi logistic.
Kelompok Ashabul Kahfi inilah yang mempelopori
kegiatan-kegiatan keagamaan Islam bagi, khususnya, orang-orang yang hidup di jalanan. Salah satu hal yang
paling menyolok adalah kegiatan mengamen di terminal-terminal dan dalam bus-bus
kota, di mana angggota dari Ashabul khafi mewajibkan dirinya sendiri untuk
membawakan lagu-lagu yang indah dan religi, dan menggantikan lagu-lagu yang
selama ini sering dinyanyikan semacam”cucak rowo”,sms, teman tapi mesra, kucing
garong dan lain sebaginya.
Dan lama kelamaan, jumlah anggota Ashabul kahfi
semakin bertambah, apalagi ketika kegiatan-kegiatannya semisal pengajian rutin
yang diadakan di malam jumat di alun-alun, pengumpulan dana untuk membantu
anak-anak yatim piatu dan orang-orang terlantar, simakan al-Quran yang diadakan
tiap habis shalat maghrin di rumah Firman, dan lain-lain, didukung para
wartawan.
Dan ketika kegiatan-kegiatan Ashabul Kahfi ini
sudah sekian lama berjalan, oleh sebuah harian aku diminta kesediaanku untuk
diangkat kisah perjalananku selama ini, sehingga membuahkan kenyataan seperti
itu. Dengan niat bahwa semoga Allah SWT semakin
menujuki orang-orang ke dalam jalan kebenaran dan Islam, aku pun
bersedia perjalananku kersebut dikisahkan ini akan ditullis secara bersambung
di bawah judul; MUSAFIR CINTA_SEBUAH PERJALANAN HATI SEORANG IQBAL MAULANA.
Dan karena kesepakatan itulah, setiap hari di
setiap sore sehabis sembahyang Ashar, aku pun diwawancarai untuk tulisan esok
harinya.
Dan kini, tiga tahun hampir berlalu. Tiga tahun
aku memendam kerinduan terhadap orang-orang yang aku cintai. Tiga tahun aku
tidak menghubungi diriku. Tiga tahun aku
tidak pernah tahu bagaimana kabar pesantrenku. Tiga tahun aku tidak pernah
mengirim sms kepadaku.
Tiga tahun aku berada di Banjarnegara. Tiga tahun
aku menghuni rumah Pak Burhan dan Bu Laela. Tiga tahun aku bersahabat dengan
para sahabat di Ashabul Khafi.
Dan yang paling membuatku bahagia, hampir tiga
tahun ini aku menghafalkan al-Quranku. Kini, kurang tiga juz lagi aku akan
mengkhatamkan hafalan itu. Aku akan segera mengebut saja menghafalkannya. Tidak
perlu menunggu lama-lama. Sebab aku ingin segera setoran hafalanku kepada KH.
Bahesty. Sudah lama aku I ngin bersua dengan beliau, tetapi waktu selalu tidak
mengijinkankku.
Indri dan Firman sudah menikah. Bu Laela dan Pak
Burhan benar-benar menerima Indri sebagai menantunya, sebaik-baiknya menantu.
Seperti apa yang kurasakan, Bu Laela dan Pak Burhan merasa bahwa seorang yang
awalnya terlantar dalam ketidakbaikan sikap dan perilaku, maka ketika dia telah
bertobat dan memohon ampun Allah, dia akan menjadi orang yang lebih baik
daripada orang yang sejak awal baik-baik saja. Dan memang, keadaan yang
demikian itu benar-benar ditunjukkan oleh Indri. Bahkan, sebagaimana keinginan
Firman, Indri pun ingin segera menyusulku untuk menghafal al-Quran.
Waktu terus saja berjalan.
Saat untuk setoran al-Quran telah tiba. Dengan
diantar oleh para sahabat, aku pun pergi ke Parakancanggah. Sesampainya di
sana, aku langsung diterima oleh kiai. Ternyata beliau sudah mengenalku melalui
tulisan di berbagai surat kabar. Beliau
juga telah tahu bahwa aku menghafal al-Quran. Pun beliau sangat ingin menyimak
hafalan al-Quranku.
Dan saat itu juga, dengan disimak oleh para
sahabat dan para santri di Parakancanggah, di dalam serambi masjid pesantren
Parakancanggah, aku pun mulai menunjukkan hafalanku. Awalnya aku merasa grogi,
sering menelan ludah, dan keringat dingin membasahi tengkukku. Tak terbayangkah
bahwa aku disimak oleh banyak orang begini.
Tetapi, semakin lama memasuki samudra al Baqarah,
semakin lancer hafalanku. Dan semakin kebelakang, semakin cepatlah bacaanku.
Dan menjelang waktu maghrib, aku telah selesai setoran al-Quranku pada kiai. Aku
melakukan sujud syukur. Aku ucapkan puhi-pujian kepada Allah SWt. Air mataku
meleleh. Telah kuarungi samudera al-Quran tanpa banyak kendala dan rintangan.
Berkali-kali,sang kiai memuji bacaanku dan
hafalanku yang demikian lancer. Untuk ukuran seorang yang kurang dari empat
bulan pernah hidup dan tinggal di pesantren, aku termasuk memiliki keistimewaan
yang lura biasa, demikian puji sang kiai.
Tetapi bagiku, aku selalu yakin bahwa pabila kita
benar-benar memiliki niatan yang tulus dan iklas, semata-mata karena Allah SWT,
untuk merubah diri dari keadaan yang buruk atau tidak baik, menuju cahaya
kebaikan dan kebenaran, maka Allah SWT akan memberikan hidayah dan inayahNya
yang tiada terkira. Muhammad Rasulullah saw menjadi seorang nabi dan rasul
bukan karena Allah memilih beliau dan mengesampingkan orang-orang lain; bukan
berarti Allah pilih kasih. Tetapi Allah SWT memilih beliau karena beliau
sendiri telah berusaha menapaki jalan spiritual, mendekati dan berada dekan
denganNya.
“Aku harap, kamu mau untuk menjadi ustadz di
pesantren ini,”pinta kiai.
“saya , kiai?”
“Ajari anak-anak disini menghafal al-Quran dan
cepat mengkhatamkan al-Quran sepertimu. Ajari mereka kitab kuning.”
“saya tidak bisa membaca kitab kuning. Kiai.
Terhadap bahasa Arab , saya baru sedikit belajar nahwushorof. Jadi mohon maaf,
saya tidak bisa. Tentang menghafal al-Quran, insyaallah saya bisa
membagi-bagikan pengalaman saya pada para sahabay. Tetapi saya tidak mau
disebut ustadz, kiai. Maaf.”
“Aku mengharap yang lebih dari dirimu terhadap
anak-anak santri di sini. Kamu memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh anak-anak
santri, yakni ilmu tentang keiklasan dan
ketulusan hati. Demi Allah, aku sendiri tidak bisa memastikan apakah diriku
punya ilmu tersebut atau tidak. Aku hara, kamu mau membagi-bagikan ilmu
tersebut kepada para santri. Aku pun akan belajar dari kamu juga.”
“Jangan berkata begitu, kiai,”kucium tangan kiai
sebagai tanda penghoramatanku kepada beliau. Beliau begitu merendah. Beliau
begitu iklas dan tulus.
Akhirnya, aku tidak bisa berjanji kepada beliau
apakah aku bisa melaksanakn amanahnya atau tidak. Kukatakan kepada beliau bahwa
masih ada tanggung jawab yang harus segera aku laksanakan, yakni
tanggungjawabku sebagai seorkang laki-laki terhadap perempuan. Aku harus segera
menjemput cintaku.
“Insyaallh, jika Allah menghendaki, saya akan
kembali ke pesantren ini dan melaksanakan amanah kiai.”
@@@
Tanpa sepengetahuanku dan hal di luar rencanaku,
ternyata pengurus Ashabul kahfi telah menyediakan dua buah minibus ditambah
dengan mobil millik Pak Burhan. Minibus itu diparkir di depan rumah Pak Burhan.
Di kepala minibus itu dipasang sebuah tulisan: ROMBONGAN ASHABUL KAHFI.
Mobil Pak Burhan pun sendiri sudah dipersiapkan.
Kulihat, para sahabat telah mempersiapkan dirinya
masing-masing. Mereka membawa perbekalan. Dengan memakai baju lengan panjang,
celana panjang, dan peci, mereka menaiki minibus itu satu per satu. Mobil Pak
Burhan sendiri dipersiapkan untuk kunaiki bersama keluarga Pak Burhan dan
menantu.
Hatiku berdebar-debar. Jantungku berdegup sangat kencang. Rombongann Ashabul
kahfi ini akan mengantarku menuju
Pesantren Tegal Jadin untuk menjemput cintaku.
Entahlah, jangan ditanya ide siapakah ini, sebab
tak satu pun para sahabt yang mengaku. Ketika mereka kutanya, mereka semua
menjawab bahwa ini ide bersama. Aku
pantas untuk mendapatkan kehormatan dan kemuliaan sepereti ini. Apalagi, banyak
sahabat yang ingin menetap di Tegal Jadin, belajar agama kepada kiai sepuh dan
kiai subadar.
Kurang lebih, jam setengah Sembilan kami meluncur
meninggalkan kota Banjarnegara. Dan semakin detik berlalu, semakin cepat degup
jantungku. Semakin gelisah aku. Semakin grogi. Tidak berapa lama lagi aku akan
segera sampai di wajah kekasihku.
Selamat tinggal Banjarnegara. Selamat tinggal
kenangan. Semoga Allah SWT menjadikan Banjarnegara kota yang indah dan
diberkahi.
Amin
SELESAI