Labels

2012@Aruna Sachi Kayana. Powered by Blogger.

Blog Archive

Labels

Thursday, 1 November 2018

Guru Harus Ikut Mengejar Teknologi

GURU memang harus berada di depan, membuka pintu gerbang menuju masa depan anak didiknya. Menghadapi perkembangan dunia teknologi informasi khususnya internet, guru akan ketinggalan bila tidak kenal dengan internet. Padahal anak-anak pelajar saat ini untuk urusan internet sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Artinya informasi yang mereka dapat sudah lebih up to date. Bila ini tidak diimbangi oleh sumber daya manusia para guru, boleh jadi sekolah bagi siswa hanyalah rutinitas agar diakui sebagai anak pelajar dalam statusnya.

Intinya, dengan internet tanpa sekolah pun mereka dapat ilmu pengetahuan, referensi, artikel dan sebagainya. Tentu saja dibalik itu ada unsur yang berbau negatif di sana. Bila ini tidak segera dicermati oleh dunia pendidikan, bisa jadi sekolahan hanya menjadi bangku kosong.
Bila ada siswa, karena terpaksa. Sebab sekolah sekarang bukannya biaya makin murah namun makin berat bagi orangtua siswa.
Dari sisi seorang guru, dunia teknologi informasi merupakan dunia yang sulit dicerna karena keterbatasan kemampuan. Beliau ada sebelum perkembangan internet segila ini. Ditambah rutinitas sehari-hari dalam sekolah tentunya menjadi semakin sulit untuk sekedar berinteraksi melalui internet. Sementara realitanya, dunia saat ini tidak bisa lepas dari internet.
Sungguh posisinya yang sangat sulit bagi seorang guru pada dewasa ini. Permasalahan kurikulum yang masih belum final karena selalu gonta-ganti. Gaji guru juga relatif masih rendah. Deraan ekonomi mengharuskan seorang Guru harus berfikir dua kali dalam mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Rasanya tidak adil bila kita semua menuntut mereka untuk berlaku sebagaimana mestinya secara proporsional.
Akumulasi dari berbagai persoalan di lembaga pendidikan adalah wajar, bila sekolah dijadikan semacam industri untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Akhirnya muncul berbagai korupsi, mark up dan sebagainya.
Munculnya lembaga pendidikan swasta, kualitas swasta justru jauh lebih tinggi dari pendidikan hasil dari produk pemerintah (negeri). Ironisnya pemerintah berani mengeluarkan target minimal nilai bagi seluruh siswa. Hampir seluruh siswa mengejar target tersebut. Pagi belajar di sekolah, sore harus lari ke lembaga pendidikan swasta, begitu seterusnya.
Secara tidak sadar kita telah ikut menciptakan generasi nomerik tanpa menyentuh nilai-nilai luhur kemanusiaannya. Terciptalah manusia-manusia brutalisme. Terciptalah manusia tanpa budaya Indonesia dan seterusnya.
Dunia pendidikan Indonesia mulai lemah, sangat tertinggal kualitasnya dengan negara-negara tetangga. Bahkan lulusan SMA di Indonesia tidak diakui oleh beberapa negara tetangga karena memang rendahnya mutu.
Sementara kebijakan pendidikan Indonesia selalu terkait dengan partai politik. Dunia pendidikan hanyalah isu yang dijadikan senjata partai politik dalam meraih tujuan golongannya. Tidak terpikir sedikit, bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh.
Sekarang sudah menjadi benang kusut. Entah dimulai dari mana untuk mengurainya. Bila kita berharap kualitas pendidikan menjadi lebih baik, tentu sarana dan prasarana pendidikan juga harus yang memadai. Demikian pula para guru yang bekerja untuk mencipta generasi bangsa ke depan. Begitu sulitkah untuk mensejahterakan hidupnya, mengingat kredibilitas mereka adalah bentuk Indonesia ke depan. Majulah guru Indonesia.